Aruna Elise Claire, aktris muda yang tengah naik daun, tiba-tiba dihantam skandal sebagai selingkuhan aktor lawan mainnya. Kariernya hancur, kontrak diputus, dan publik membencinya.
Putus asa, Aruna memanfaatkan situasi dan mengancam Ervan Zefrano—pria yang ia kira bisa dikendalikan. Ia menawarinya pernikahan kontrak dengan iming-iming uang dan janji merahasiakan sebuah video. Tanpa ia tahu, jika Ervan adalah seorang penerus keluarga Zefrano.
“Kamu mau uang, kan? Menikah saja denganku dan aku akan memberimu uang setiap bulannya. Juga, foto ini akan menjadi rahasia kita. Tugasmu, cukup menjadi suami rahasiaku.”
“Dia pikir aku butuh uang? Aku bahkan bisa membeli harga dirinya.”
Pernikahan mereka dimulai dengan ancaman, di tambah hadir seorang bocah menggemaskan yang menyatukan keduanya.
“Liaaan dititip cebental di cini. Om dititip juga?"
Akankah pernikahan penuh kepura-puraan ini berakhir dengan luka atau justru membawa keduanya menemukan makna cinta yang sesungguhnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Ervan
Ervan melirik jam tangannya, ternyata sudah jam delapan malam. Rasanya sudah cukup memberi pelajaran pada orang tua Alian. Dengan langkah tergesa, ia mencari keberadaan anak itu yang sejak sore bermain bersama Elara. Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sang ayah, tengah menggendong Alian yang tampak sudah tertidur.
Ervan berdiri mematung. Tatapannya kosong namun dalam, seolah jiwanya ditarik mundur ke masa lalu. Sebuah kenangan muncul begitu saja—saat dirinya masih bocah dan digendong sang ayah, sebelum tidur. Dengan cara yang sama, seperti yang dilakukan Arion pada Alian sekarang. Tapi kali ini bukan dirinya yang digendong. Melainkan bocah lain, yang dirinya baru kenal.
Arion menoleh, menyadari kehadiran Ervan. Tatapan mereka bertemu. Tanpa perlu kata-kata, Arion mengerti maksud anaknya.
“Tadi Alian sudah mengantuk, jadi Papa timang sebentar, eh … langsung tidur. Mirip kayak kamu dulu, di timang sebentar aja udah lelap,” ucap Arion sambil tersenyum kecil.
“Terima kasih, Pa. Aku harus mengantar Alian pulang malam ini,” ujar Ervan sambil mengulurkan tangan, hendak mengambil anak itu.
“Biar Dara temani kamu,” sahut Arion sambil menyerahkan Alian ke pelukan Ervan.
Ervan hendak menolak, namun Dara sudah keburu muncul sambil mengenakan jaket.
“Ayo, Bang. Sekalian aku cari angin,” ucap Dara santai.
Ervan mendengus pelan. Ia tahu benar maksud cari angin versi Dara, alias jajan. Sudah hafal luar kepala.
Mau tak mau, Ervan membiarkan Dara menemaninya. Tapi ia tidak menyetir, ia sengaja duduk di kursi penumpang dengan memangku Alian yang masih tertidur. Dara lah yang menyetir mobil.
“Bang, masih cari tahu soal keberadaan Kak Skyla?” tanya Dara, memecah keheningan.
Ervan mengangguk pelan. “Masih. Tapi … belum ketemu juga. Entahlah, mungkin dia sudah menikah, atau …,” ujarnya, diakhiri helaan napas berat.
“Mau sampai kapan nunggu, Bang? Kalau dia udah nikah, abang mau tetap sendiri? Jangan terus terjebak di masa lalu. Apa yang terjadi sama orang tua kita, nggak akan kejadian ke abang dan Kak Skyla. Kalian itu terpisah waktu remaja, bukan saat udah nikah,” ucap Dara, nada suaranya tegas tapi penuh kepedulian.
Ervan membalas pelan, “Jangan menasihati aku kalau kamu sendiri masih jomblo.”
Dara mel0t0t, “Aku kan nunggu Abang! Emang mau aku langkahi, hah?” serunya kesal.
Dara kembali fokus menyetir. Sementara itu, Ervan menatap wajah Alian yang tertidur pulas. Tangannya terulur, menggenggam tangan kecil bocah itu dan mengusap punggungnya lembut. Memar biru yang sempat ada di sana kini mulai memudar, tapi jejaknya masih terlihat samar.
Ervan membuka dashboard mobil dan mengambil ponsel cadangannya. Ia menyalakan perangkat itu, dan langsung muncul banyak panggilan tak terjawab dari Aruna. Tanpa pikir panjang, ia segera menelepon balik.
“Kamu di mana?” tanya Ervan tanpa basa-basi. “Aku ke sana, sekarang,” jawabnya cepat, lalu menutup telepon.
Dara melirik ponsel lain milik Abangnya itu. “Kayak nyembunyiin selingkuhan aja,” gumamnya. Tapi Ervan tak menanggapi.
Mobil pun berhenti di depan gerbang rumah Aruna. Ervan bersiap turun, tapi lebih dulu menatap Dara dan memberi peringatan.
“Diam di sini, jangan ikut masuk. Abang cuma sebentar.”
“Iya-iyaaa … kayak di dalam ada martabak aja,” gerutu Dara sambil kembali bermain dengan ponselnya.
Ervan turun membawa Alian dalam gendongan. Tas kecil anak itu ikut dibawanya. Sudah pasti berisi camilan yang Elara siapkan.
Di dalam rumah Aruna, suasana sedang kacau. Wajah Aruna tampak bengkak dan merah karena menangis. Neo dan Reva juga terlihat panik. Sementara Gladis tak henti-hentinya menangis, ditenangkan oleh sang suami.
“Kan aku sudah bilang, Mbak. Jangan telat jemput Ervan. Dia masih anak-anak. Kalau telat, ya bilang!” bentak Aruna dengan nada tinggi.
Ting!
Tong!
Bel rumah berbunyi, semuanya saling tatap. Akhirnya, Neo cepat-cepat membuka pintu.
Cklek!
Matanya membelalak kaget. Di hadapannya berdiri Ervan, menggendong Alian yang sedang tertidur. Neo menyingkir, membuka jalan bagi Ervan.
Semua pandangan langsung tertuju pada pria itu. Namun bukan Gladis yang pertama kali bereaksi—melainkan Aruna.
“Alian! Aliaaaan!” teriaknya. Ia berlari menghampiri Ervan dan langsung merebut Alian dari pelukannya, memeluk anak itu erat-erat seolah tak ingin melepaskannya lagi.
Ervan hanya diam. Tatapannya kini beralih ke Gladis dan suaminya yang ikut mendekat.
“Lian ngantuk … Lian ngantuuuk … ekheee …,” rengek Alian pelan saat Aruna menc1um wajahnya penuh haru.
Aruna tersadar. Ia menyerahkan Alian pada Gladis, lalu berdiri menghadap Ervan. Tatapannya tajam.
“Kalau kamu bawa Alian, bilang! Kami di sini mencarinya! Sudah berapa kali aku menghubungimu?!” serunya, emosi meledak-ledak.
Namun Ervan tetap tenang. Dalam benaknya, hanya satu kalimat yang terlintas, Bukankah seharusnya yang marah adalah orang tua Alian?
“Ervan, jawab aku! Kenapa kamu bawa Alian begitu saja?! Kami panik! Kami pikir dia diculik!” bentak Aruna lagi.
Ervan akhirnya bicara. Tapi bukan dengan nada tinggi—justru suaranya tenang, dalam, dingin.
“Di sini saya berdiri bukan sebagai siapa-siapa. Hanya sebagai seorang pria dewasa yang merasa bertanggung jawab atas seorang anak kecil yang diperlakukan tidak adil.”
Matanya menatap satu per satu yang ada di ruangan itu. “Kemarin, saya menemukan Alian sendirian di depan sekolahnya. Sampai jam dua siang. Sekali lagi, Jam dua. Di mana kalian? Tidak satu pun yang menjemputnya. Apa kalian tidak khawatir? Bagaimana kalau dia diculik?”
Gladis mencoba bicara, “Maaf, kemarin supir saya—”
“Uang Anda kurang untuk menyewa supir satu lagi? Kurang? Tapi saya lihat, Anda bukan orang yang tidak mampu menggaji dua, bahkan tiga supir. Apa nyawa anak ini tidak lebih berharga dari uang?” tukas Ervan, nadanya dingin dan menusuk.
Ia melanjutkan, “Kalau saya adalah ayah Alian, akan saya sewa dua supir sekaligus. Karena saya percaya, nyawa lebih berharga dari apapun. Dan satu lagi …,”
Ervan menarik tangan Alian dan menunjukkannya pada semua orang di ruangan itu. Semua terdiam saat melihatnya.
“Memar biru ini … dia dapatkan dari neneknya. Dipvkul hanya karena mengambil makanan abangnya tanpa izin. Ya, dia memang salah. Tapi anak seusianya belum tahu mana yang benar dan salah. Kalau kalian belum siap jadi orang tua—belajarlah dulu.”
Aruna terdiam, ia memeriksa tangan Alian dan mendapati memar itu masih ada. Lalu, matanya menatap ke arah Gladis, yang menunduk.
“Mbak … kenapa tangan Alian bisa begini?” tanyanya pelan.
“Mamaku lagi banyak pikiran, Alian memang sedang aktif sehingga membuatnya kesal. Aku sudah memperingatkan Mama, dan aku janji nggak akan terjadi lagi. Aku ibunya, aku pasti akan jaga anakku.”
“Mbak … tapi aku—” Ucapan Aruna terhenti. Pandangannya kembali tertuju pada Ervan yang mulai melangkah pergi.
“Ervan … maafkan kami dan terima kasih … sudah menjaga Alian.”
Ervan tak menjawab. Ia hanya melangkah, meninggalkan rumah itu. Aruna menatap punggungnya yang menjauh, sampai hilang di balik pintu.
Neo buru-buru menyusul, ingin mengejar pria itu. Dari balik gerbang, ia melihat Ervan naik ke dalam mobil sport berwarna kuning terang.
Matanya membulat sempurna, syok melihat mobil yang sangat jarang di miliki itu. “Mo … mobil harga belasan miliar? KEEREEE katanya? Keereee punya mobil miliaran?! Lah aku … aku keere jenis apa dong?!” gumamnya panik, nyaris frustasi.
______________________________________
Ingin pergi hatiku tak sanggup~
Alian: "Nyanyi lah kau othol, cudah di buat ceteleees nya kita,"