NovelToon NovelToon
Beginning And End Season 2

Beginning And End Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Misteri / Cintapertama / Balas Dendam / Romansa Fantasi / Anime
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: raffa zahran dio

Lanjutan dari Beginning And End.

Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.

Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.

Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.

Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2 : Analisis.

Hari berikutnya, sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah tirai jendela ruang rapat Reiz dan Tia, menerangi debu-debu halus yang menari-nari dalam sorot cahaya. Aroma kopi Luwak yang mahal, bercampur dengan aroma antiseptic yang samar—sisa dari operasi Reina—menghangatkan ruangan. Meja bundar futuristik dari kayu jati Kalimantan, dipoles hingga berkilau seperti cermin, memantulkan cahaya dengan sempurna. Reiz, dalam setelan jas Armani yang serasi dengan warna matanya yang gelap, berdiri tegak di depan meja, tangannya terlipat rapi, namun jemarinya sesekali bergetar halus—sebuah tanda kecemasan yang terselubung di balik sikap profesionalnya. Tia, elegan dalam gaun sutra biru langit yang lembut, duduk di sampingnya, jari-jarinya lentik menari di atas tablet canggih, laporan medis Reina yang setebal kamus terbuka di depannya. Ekspresi wajahnya serius, namun matanya yang indah berkilat-kilat dengan tekad.

Empat anggota tim sudah duduk mengelilingi meja. Pemuda berambut pirang, dengan mata cokelat muda yang cerdas, terlihat tenang dan observatif, jari-jarinya dengan santai memainkan pena berbahan titanium—sebuah kebiasaan yang menunjukkan konsentrasinya yang tinggi. Di seberangnya, pemuda botak dengan tubuh atletis yang menawan, bersandar santai di kursinya, kaki terentang di atas meja dengan sikap yang menantang. Ekspresi wajahnya datar, hampir tanpa emosi, namun sudut bibirnya sedikit terangkat—sebuah isyarat kecil yang menunjukkan rasa percaya dirinya yang tinggi. Di sebelah pemuda berambut pirang, duduk wanita dengan rambut hitam panjang di sebelah kiri dan putih di sebelah kanan, memainkan-mainkan untaian rambutnya dengan gelisah, matanya setengah tertutup, seakan mengantuk—namun sesekali tatapannya tajam dan penuh perhatian. Di sebelah pemuda botak, wanita berambut cokelat pendek dengan mata heterochromia—hijau zamrud di kiri dan silver di kanan—menatap layar tabletnya dengan intens, jari-jarinya bergerak cepat dan lincah, menunjukkan keahliannya dalam menganalisis data.

Tiba-tiba, pintu terbuka dengan bunyi swoosh yang khas, memperlihatkan Craig, sosok jangkung dan selalu misterius, masuk sambil… menyikat gigi. Sikat gigi elektriknya berdengung pelan, busa putih bertebaran di sekitar mulutnya, menciptakan pemandangan yang tak terduga dan sedikit absurd.

Reiz dan Tia tercengang. Reiz, yang berusaha keras untuk menjaga ketenangannya, merasakan alisnya terangkat tinggi, sebuah reaksi spontan yang menunjukkan keterkejutannya. Tia, yang sedang fokus membaca, hampir menjatuhkan tabletnya, tangannya terangkat menutupi mulutnya—sebuah gerakan refleks yang menunjukkan betapa terkejutnya ia.

"Craig… ini ruangan rapat, loh," kata Reiz, suaranya sedikit meninggi, namun tetap berusaha terdengar tenang. Ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan keterkejutannya yang sebenarnya, namun rahangnya mengeras—sebuah tanda tekanan batin yang tersembunyi.

Tia memegang kepalanya, menghela napas panjang, bahunya sedikit merosot. "Astaga, Craig…" gumamnya, suaranya terdengar lelah namun ada sedikit geli. Ia menggelengkan kepalanya pelan, menunjukkan rasa frustasi yang tercampur dengan sedikit humor.

Craig, tanpa berhenti menyikat gigi, menjawab dengan tenang, namun suaranya terdengar sedikit tinggi dan bernada sarkastis, "Salah siapa yang menyuruh cepat-cepat? Jadwal rapat jam 8 pagi, sekarang sudah hampir jam 8.15. Efisiensi, Reiz, efisiensi! Waktu adalah uang, dan uang adalah… well, kalian tahu." Ia berkumur dengan suara yang cukup keras, lalu tanpa ragu-ragu, membuang air kumurnya ke lantai, di dekat kaki pemuda botak yang masih terentang di atas meja. Pemuda botak itu hanya mengangkat satu alis, tanpa ekspresi.

"Craig!!" seru Reiz, suaranya sedikit lebih keras kali ini, nada suaranya menunjukkan kemarahan yang tertahan. "Ini kantorku!!" Ia menunjuk ke lantai dengan ekspresi wajah yang hampir meledak, tangannya mengepal erat—sebuah tanda emosi yang terpendam.

Craig, dengan wajah datar yang khas, menyeka mulutnya dengan sapu tangan sutra yang mahal. "Maaf," katanya singkat, lalu duduk dengan santai di kursi kosong di ujung meja, sikapnya yang santai menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap kekacauan yang ia ciptakan. Ia mengambil cangkir kopi dari meja, meminumnya dengan tenang, namun matanya mengamati setiap orang di ruangan itu dengan tajam—sebuah tanda bahwa ia tetap waspada.

Pemuda berambut pirang, dengan senyum tipis yang penuh arti, berkata, "Ketua Craig memang selalu begitu. Kita sudah terbiasa." Ia menggelengkan kepala, namun matanya menunjukkan sedikit rasa geli dan sedikit kekaguman terhadap keberanian Craig.

Pemuda botak, tanpa menggerakkan kaki dari atas meja, menjawab dengan malas, namun suaranya terdengar sedikit lebih tajam, "Hah… membosankan. Kapan kita mulai menganalisis si boneka hidup itu? Aku sudah bosan menunggu." Ia menunjuk ke arah Tia dengan dagunya, sikapnya yang acuh tak acuh menunjukkan ketidaksukaannya terhadap penundaan.

Wanita berambut hitam dan putih menguap lebar, menggeliat di kursinya. "Aku ngantuk… Ketua Craig, cepat duduk di posisi… Aku ingin pulang dan memeluk kucingku, namanya Snowball." Ia menguap lagi, menunjukkan rasa kantuknya yang nyata, namun matanya tetap memperhatikan Craig dan Reiz.

Wanita berambut cokelat, tanpa menoleh, berkata, "Iya… aku ingin menganalisis tubuh adik Profesor Reiz. Data yang kita kumpulkan selama dua hari terakhir sangat menarik. Ada anomali yang perlu diinvestigasi lebih lanjut. Khususnya, peningkatan aktivitas seluler di area…" Ia menunjuk ke arah layar tabletnya, menunjukkan grafik yang rumit, suaranya penuh semangat dan profesional.

Craig mendengus pelan. "Dasar anak buah nggak sabaran. Baiklah, baiklah. Kita mulai rapat. Tia, laporkan perkembangan Reina." Ia menatap Tia dengan tatapan tajam, namun ada sedikit lengkungan di sudut bibirnya, seolah-olah ia terhibur dengan kekacauan yang ia ciptakan. Sikapnya yang tampak dingin sebenarnya menunjukkan rasa tanggung jawab yang tinggi.

Tia, setelah mengatur napasnya, mulai menjelaskan perkembangan kondisi Reina dengan detail, menjelaskan tentang jantung robot, reaksi tubuh Reina terhadap implan baru, dan berbagai komplikasi yang mungkin terjadi. Ia menjelaskan dengan bahasa ilmiah yang kompleks, namun tetap mudah dipahami oleh anggota tim yang lain, suaranya terdengar tenang dan penuh percaya diri. Reiz sesekali menambahkan penjelasan atau koreksi, menunjukkan kekhawatiran namun tetap berusaha profesional, sikapnya menunjukkan kepedulian yang mendalam terhadap Reina.

Reiz, dengan gestur tangan yang tenang namun tegas, membuka rapat. Cahaya matahari sore menerobos jendela, menyorot debu-debu halus yang menari-nari di udara—sebuah metafora yang pas untuk situasi yang mereka hadapi. "Terima kasih telah datang," suaranya terdengar berat, namun di baliknya tersirat kelegaan yang dalam. "Kita akan membahas dokumen dan peristiwa yang dialami Reina sebelum dia dibawa ke sini. Informasi ini krusial untuk menentukan langkah selanjutnya." Ia menatap setiap anggota tim, matanya berhenti sejenak pada Tia, yang duduk di sampingnya, wajahnya masih tampak lelah namun teguh.

Keheningan singkat menyelimuti ruangan, dipecah hanya oleh suara dengkuran pelan dari pendingin ruangan. Kemudian, wanita berambut cokelat pendek, Zhivago Helena, mengangkat tangannya, sebuah gerakan yang halus namun penuh percaya diri. Tia, dengan senyum tipis yang lembut, mengangguk. "Ya, Helena. Ada pertanyaan?"

Helena berdiri, posturnya tegak dan penuh wibawa. Rambut cokelatnya yang pendek berkilau di bawah cahaya matahari. "Profesor Tia," suaranya jernih dan tegas, "setelah saya cek kembali data, kondisi Hasane Reina hampir membaik. Kinerja jantung robot berhasil total, melampaui ekspektasi. Namun yang lebih mengejutkan, daya tubuh Reina sendiri memberikan kontribusi signifikan terhadap pemulihannya."

Helena menekan jam tangannya yang canggih, sebuah perangkat teknologi futuristik yang terlihat seperti perhiasan. Dengan usapan jari yang cepat dan tepat, sebuah hologram muncul di atas meja—gambar tiga dimensi yang detail dari tubuh Reina, menunjukkan organ-organ dalam dan tingkat aktivitas seluler. Sebuah grafik berwarna biru terang menunjukan angka 58 persen di samping tulisan "Daya Tubuh."

Seketika itu juga, ruangan dipenuhi keheningan yang tegang. Pemuda botak, Jimmy Hopkins, yang selama ini terlihat acuh tak acuh, terperanjat. Ia terlonjak dari kursinya, matanya membulat lebar, ekspresi wajahnya berubah dari datar menjadi terkejut. "B… bagaimana bisa?!" serunya, suaranya sedikit terbata-bata. "Padahal jantung pertamanya sudah tidak ada tanda kehidupan!!" Ia mengusap rambutnya yang botak dengan gugup, menunjukkan betapa terkejutnya ia.

Helena, dengan tenang, mengangkat tangannya, menenangkan Jimmy. "Tenang, Jimmy Hopkins," suaranya lembut namun tegas. "Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan. Pertama, meskipun jantung Reina berhenti berdetak, sel-sel tubuhnya masih mempertahankan potensi regeneratif yang luar biasa. Kedua, teknologi jantung robot yang kita gunakan tidak hanya menggantikan fungsi jantung, tetapi juga menstimulasi regenerasi sel secara aktif. Ketiga, dan yang paling mengejutkan, Reina memiliki tingkat ketahanan tubuh yang luar biasa tinggi. Analisis genetik menunjukkan adanya mutasi genetik langka yang meningkatkan kemampuan regenerasi dan ketahanan tubuhnya secara signifikan. Mutasi ini mungkin juga terkait dengan kemampuannya untuk bertahan hidup setelah jantungnya berhenti."

Helena menunjuk ke hologram, menjelaskan detail-detail ilmiah dengan bahasa yang lugas namun tetap presisi. Ia menunjukkan area-area di tubuh Reina yang menunjukkan aktivitas seluler yang tinggi, menjelaskan proses regenerasi yang sedang berlangsung. Ia juga menjelaskan tentang mutasi genetik langka yang ditemukan dalam DNA Reina, menjelaskan bagaimana mutasi ini meningkatkan kemampuan regenerasi dan ketahanan tubuhnya. Ia berbicara dengan penuh semangat dan kecintaan terhadap sains, namun tetap menjaga profesionalitasnya.

Jimmy, yang awalnya terkejut, perlahan-lahan mulai tenang. Ia mendengarkan penjelasan Helena dengan saksama, matanya berbinar-binar dengan kekaguman. Setelah Helena selesai menjelaskan, ia mengangguk pelan. "Menarik," katanya, suaranya terdengar kagum. "Dia cocok sebagai petarung." Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang mengungkapkan kekagumannya terhadap ketahanan tubuh Reina. "Kita perlu mempelajari mutasi genetik ini lebih lanjut. Mungkin ada potensi aplikasi yang luar biasa di bidang medis dan militer."

Reiz dan Tia saling bertukar pandang, wajah mereka dipenuhi dengan campuran kekaguman dan kekhawatiran. Mereka menyadari bahwa pemulihan Reina tidak hanya bergantung pada teknologi canggih, tetapi juga pada kekuatan tubuhnya sendiri yang luar biasa. Perjalanan masih panjang, namun harapan baru telah muncul. Mereka memiliki banyak hal untuk dipelajari dan dikerjakan. Petualangan mereka untuk menyelamatkan Reina baru saja memasuki babak baru yang lebih menegangkan dan menjanjikan.

Reiz menarik napas dalam-dalam, matanya menatap tajam ke arah hologram tubuh Reina. Cahaya matahari sore kini telah sepenuhnya menghilang, digantikan oleh cahaya lampu ruangan yang lebih redup, menciptakan suasana yang lebih serius dan intens. Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan, sebuah gestur yang menunjukkan kelelahan namun juga tekad yang kuat. "Helena sudah menjelaskan sebagian," suaranya berat, dipenuhi dengan emosi yang kompleks, "namun ada satu faktor penting yang belum diungkap: zat yang disuntikkan oleh Hasane Danton, ayah kandung Reina."

Reiz menunjuk ke arah hologram, jari-jarinya berhenti tepat di titik hitam kecil yang terlihat di nadi Reina. Titik hitam itu tampak seperti bintik kecil yang membeku, namun memancarkan aura yang misterius. "Zat ini, awalnya dirancang untuk menghancurkan tubuh Reina secara perlahan. Sebuah racun yang mematikan, dirancang untuk membunuh secara perlahan namun pasti." Ia berhenti sejenak, matanya menatap tajam ke arah anggota tim, sebuah tatapan yang penuh dengan amarah dan kesedihan. "Namun, berkat vaksin yang saya kembangkan dan suntikkan sebelum jantungnya berhenti, racun itu tidak bekerja sesuai rencana."

Reiz menjelaskan dengan detail, suaranya bergetar sedikit karena emosi yang terpendam. "Vaksin tersebut, secara tak terduga, bereaksi dengan racun Danton. Alih-alih menghancurkan tubuh Reina, racun itu justru berikatan dengan komponen-komponen dalam vaksin, membentuk semacam… perisai. Racun itu tidak hilang, tetapi berubah menjadi sumber ketahanan tubuh yang luar biasa. Titik hitam itu adalah sisa-sisa racun yang telah 'terprogram ulang', menjadi bagian dari sistem pertahanan tubuh Reina. Ini menjelaskan mengapa daya tubuhnya masih sangat tinggi meskipun jantungnya sempat berhenti." Ia menghela napas panjang, sebuah gestur yang menunjukkan beban berat yang dipikulnya.

Keheningan menyelimuti ruangan, diselingi hanya oleh suara napas anggota tim yang menahan napas. Wanita berambut hitam di sebelah kiri, dan putih di sebelah kanan, Alice, tiba-tiba bersuara. Ia menguap lebar, matanya setengah tertutup, namun suaranya terdengar tajam dan penuh keyakinan. "Dari analisis zat tersebut… saya tahu siapa yang membuatnya." Ia menyilangkan tangannya di dada, sikapnya yang santai menunjukkan kepercayaan dirinya yang tinggi.

Tia, alisnya terangkat sedikit, menatap Alice dengan penuh minat. "Siapa, Alice Nevisa?" Suaranya penuh pertanyaan, namun ada sedikit kecurigaan dalam nada suaranya.

Alice mengetik sesuatu di atas meja bundar teknologi yang canggih, jari-jarinya bergerak cepat dan lincah. Sebuah hologram hijau muda muncul, menampilkan informasi detail tentang seseorang: Alexander, umur 42 tahun, lengkap dengan foto, riwayat hidup, dan informasi keluarga. Foto Alexander memperlihatkan seorang pria dengan wajah yang keras dan dingin, matanya tajam dan penuh perhitungan.

Alice menguap lagi, matanya masih setengah tertutup. "Huaaaahh… noh… pria jelek ini, Alexander," katanya, suaranya terdengar sedikit malas namun penuh kepastian. "Ia adalah ahli biokimia terkemuka, namun reputasinya di dunia gelap lebih terkenal. Saya menemukan jejak DNA-nya pada zat racun yang disuntikkan pada Reina. Ia memiliki hubungan erat dengan Hasane Danton, dan kemungkinan besar dialah yang membuat racun tersebut atas perintah Danton." Ia menunjuk ke hologram, menunjukkan detail-detail yang mendukung klaimnya. "Kita perlu menyelidiki lebih lanjut keterlibatan Alexander dalam kasus ini."

Reiz mengangguk pelan, wajahnya dipenuhi dengan amarah yang terpendam. "Alexander… Nama itu familiar. Saya pernah mendengarnya dari beberapa sumber yang tidak resmi. Ia memang terkenal karena keahliannya dalam menciptakan racun dan senjata biologi." Ia mengepalkan tangannya, sebuah gestur yang menunjukkan amarahnya yang terkendali. "Kita harus menghentikan Alexander sebelum dia melakukan hal yang lebih buruk."

Tia, dengan tenang, menyusun rencana. "Kita perlu mengumpulkan bukti yang lebih kuat untuk menuntut Alexander. Helena, lanjutkan analisis zat tersebut. Jimmy, siapkan tim untuk melakukan penyelidikan lapangan. Alice, cari informasi lebih lanjut tentang Alexander dan hubungannya dengan Danton. Kita harus bertindak cepat dan hati-hati." Suaranya tegas dan penuh otoritas, menunjukkan kepemimpinannya yang kuat. Perburuan untuk mengungkap kebenaran dan menyelamatkan Reina telah memasuki babak baru yang lebih berbahaya dan menegangkan. Bayangan Alexander, dengan wajahnya yang dingin dan kejam, kini menghantui pikiran mereka.

1
Riri
ini bukan maha karya, ini sebuah wahyu yang di tulis dengan tinta jiwa dewa author 🤓🙀
secret: wihhh 😭🙏🙏
total 1 replies
Rezaa..
semoga season dua lebih bagus dari season satu... no momy Andras 😭
secret: gapapa... nanti Andras muncul lagi kok... tapi nunggu lama ya wkwkw
total 1 replies
Rezaa..
baru bangun dari kematian lansung rasis si Reina cok 🤣🤣
secret: rasis dulu sebelum membantai /CoolGuy/
total 1 replies
esere
Serius... cerita ini walaupun panjang, tapi seru... karakter karakter nya unik sama narasi nya hidup gitu... pokok nya setia dari s1 🔥
secret: yoi dong 🤝
total 1 replies
esere
hampir kenak parani gara gara Reina mati 😭😭
secret: Dawg... mereka lansung putus asa baca waktu Reina mati 🤣
total 1 replies
Author Sylvia
semangat,moga rame yang baca/Smile/
secret: makasih ya author... kamu juga!!
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!