Area khusus Dewasa
Di mansion kediaman keluarga Corris terdapat peraturan yang melarang para pelayan bertatapan mata dengan anak majikan, tiga kakak beradik berwajah tampan.
Ansel adalah anak sulung yang mengelola perusahaan fashion terbesar di Paris, terkenal paling menakutkan di antara kedua saudaranya. Basten, putra kedua yang merupakan jaksa terkenal. Memiliki sifat pendiam dan susah di tebak. Dan Pierre, putra bungsu yang sekarang masih berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir. Sifatnya sombong dan suka main perempuan.
Edelleanor yang tahun ini akan memasuki usia dua puluh tahun memasuki mansion itu sebagai pelayan. Sebenarnya Edel adalah seorang gadis keturunan Indonesia yang diculik dan di jual menjadi wanita penghibur.
Beruntung Edel berhasil kabur namun ia malah kecelakaan dan hilang ingatan, lalu berakhir sebagai pembantu di rumah keluarga Corris.
Saat Edell bertatapan dengan ketiga kakak beradik tersebut, permainan terlarang pun di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keadaan berbahaya
Di ruang makan yang luas dengan lampu gantung kristal bergoyang perlahan di langit-langitnya, meja panjang dari kayu mahoni telah terisi penuh dengan berbagai macam hidangan. Aroma sup bawang putih yang khas menyelimuti udara, berpadu dengan wangi roti panggang dan rempah-rempah dari daging panggang yang masih mengepul.
Semua anggota keluarga telah duduk rapi. Hanya anak bungsu yang tidak ada, Pierre. Lelaki itu masih di kampus. Hart Corris di ujung meja, duduk dengan postur tegak dan pandangan penuh wibawa. Ibu mereka, Lady Corris, tersenyum tipis seperti biasa, sikap anggun yang telah dipelajari selama bertahun-tahun sebagai nyonya rumah bangsawan. Ansel duduk di sisi kiri, dengan mata menelusuri buku kecil yang selalu dibawanya, seolah tak tertarik pada dunia di sekelilingnya.
Basten menarik kursinya tanpa suara, lalu duduk di kursinya yang berada tepat di seberang Ansel.
"Kau terlambat," ujar Hart Corris tanpa menoleh, suaranya tenang namun penuh tekanan.
"Aku lupa waktu," jawab Basten, mengambil sendok dengan tenang.
"Lain kali jangan lupa waktu. Kau bukan lagi remaja yang bisa lari dari tanggung jawab."
"Aku juga bukan anak kecil yang harus diingatkan setiap jam," balas Basten sambil mulai menuang sup ke dalam mangkuknya.
Ansel mengangkat alis sebentar, menatap Basten sekilas.
"Kau berkutat dengan kasus-kasus lagi?"
Basten mengangkat bahu.
Lady Corris melirik anak keduanya.
"Basten, bagaimana dengan Anne, putri dari sahabatku itu. Kau benar-benar tidak ingin coba mengenalnya dulu? Dia sangat tertarik padamu."
Basten menatap ibunya tanpa minat.
"Tidak tertarik." tolaknya langsung. Lady menarik nafas panjang. Putra pertama dan keduanya tidak pernah mau berhubungan dengan wanita. Selalu menolak dijodohkan, padahal umur mereka sudah umur menikah semua.
"Sebenarnya kalian berdua itu tertarik pada perempuan atau tidak sih? Kalau kalian tidak mau pacaran apalagi menikah, bagaimana keluarga Corris akan mendapatkan keturunan?"
"Pierre, bilang saja padanya untuk menghamili semua wanita yang dia tiduri. Gampang kan?"
Lady menatap tidak percaya pada putra pertamanya. Kepalanya makin pusing. Tiga putranya tidak ada yang beres semua. Yang pertama dan kedua hanya sibuk mementingkan pekerjaan dan tidak mau berhubungan dengan wanita, sementara putra ketiga, entah sudah berapa banyak wanita yang ia tiduri.
"Ansel, kau itu ..."
"Berhenti bicara, makan saja." kata sang kepala keluarga.
"Madam Sin, hidangkan makanan penutup." ucap Lady kemudian dengan nada memerintah.
Sesaat kemudian beberapa pelayan wanita datang dengan berbagai macam makanan penutup. Tak ada satu pun yang berani menatap ke para tuan muda. Tentu karena larangan tidak boleh menatap mata para anak majikan tersebut. Di antara mereka ada Edel.
Awalnya Edel seperti para pelayan lain, hanya menunduk, tetapi kemudian, saking penasarannya, sesekali ia mengambil kesempatan mencuri-curi pandang ke atas. Dan begitu tatapannya bertemu dengan sosok yang ia pikir tukang kebun atau vampire itu, matanya melotot lebar. Piring berisi makanan penutup yang ada di tangannya hampir jatuh, untung saja dia bisa mengendalikan diri.
"Jangan angkat wajah. Tundukkan wajahmu, kau masih ingat peraturannya kan? Kalau ketahuan majikan kau akan langsung di pecat."
Alice berbisik pelan di telinga Edel. Edel menelan ludahnya dengan sulit, buru-buru menundukkan kepalanya kembali. Hatinya berdegup kencang. Itu dia. Lelaki yang barusan mengecup lehernya di bangunan belakang. Yang ia kira hanyalah tukang kebun penyendiri dengan sorot mata mengerikan, atau jangan-jangan memang bukan manusia biasa? Tapi sekarang dia tahu siapa lelaki itu sebenarnya.
Salah dari ketiga tuan muda dari mansion ini.
Edel tidak tahu mana yang lebih mengerikan, fakta bahwa dia telah bicara begitu santai dengan salah satu tuan muda dari keluarga Corris atau bahwa tatapan lelaki itu kini sedang tertuju padanya. Entah sejak kapan, tapi begitu Edel mengangkat wajahnya sesaat tadi, pandangan Basten langsung menancap padanya, datar, dingin, tapi jelas penuh perhitungan. Apa pria itu akan membuatnya perhitungan karena dia telah sembarangan bicara santai, masuk ke tempat pribadinya, bahkan menyebutnya tukang kebun?
Astaga. Bisa di pecat dia pasti.
"Kau, letakkan yang itu di sebelah sana." perintah Lady pada Edel. Ia menunjuk bagian yang kosong di atas meja, tempatnya dekat Basten.
Tak ada yang memperhatikan kalau pembantu kecil itu sedang di amati diam-diam oleh tuan muda pertama dan kedua. Ada ketertarikan dalam hati kedua kakak beradik tersebut yang tak bisa mereka sembunyikan. Baik Ansel maupun Basten, sama-sama tertarik pada pembantu itu. Padahal mereka baru bertemu sekali.
Edel menghentikan langkahnya di dekat tempat duduk Basten, lalu meletakkan piring berisi tart stroberi mungil di sisi kanan piring porselen milik Basten. Tangannya sedikit gemetar, dan ia tahu Basten pasti melihat itu. Saat ia menunduk untuk sedikit membungkuk sesuai etika, aroma parfum pria itu menyeruak lembut ke hidungnya, aroma cedar, tembakau ringan, dan entah apa yang membuat jantungnya berdebar lebih kencang.
Saat ia menyelesaikan tugasnya dan hendak menjauh, bunyi sendok jatuh menghentikan langkahnya. Sendok Basten jatuh ke bawah meja. Basten sengaja menjatuhkannya. Edel hanya mematung dengan pandangan ke bawah, ia takut kalau menatap mata si tuan muda di depan semua orang di ruang makan ini akan membuatnya langsung di pecat.
"Hei, kenapa diam saja? Ambil sendoknya." kata si nyonya besar menatap Edel.
"Ah, eh? O- oke!" balas Edel. Seperti orang gagu.
Gadis itu pun membungkuk ke bawah meja makan panjang tersebut, mencari di mana sendok yang jatuh tadi berada. Sepertinya ada di bawah kolong meja. Ia pun masuk ke dalam sana. Sementara dia mencari, di atas sana nyonya Lady dan tuan besar Hart saling berbincang.
Edel merangkak perlahan di bawah meja, berusaha tidak menabrak kaki siapa pun, meski lututnya nyaris menyentuh sepatu mengilap milik para majikan. Matanya menyapu gelapnya ruang sempit di bawah sana, hingga cahaya dari kristal lampu yang tembus lewat celah meja membuat sendok itu terlihat, tergeletak di dekat sepatu Basten.
Baru saja ia mengulurkan tangan, sepatu itu bergerak. Pelan, tapi cukup membuat Edel terkejut. Ia menahan napas, jantungnya berdetak kencang ketika melihat sepatu itu sedikit bergeser... lalu sejurus kemudian, ujung kaki pria itu menyentuh tangan Edel.
Jari-jari Edel langsung membeku.
Sentuhan itu bukan tidak sengaja.
Edel tidak bergerak. Ia seolah membatu. Ujung sepatunya menggesek lembut punggung tangannya, lalu menekan pelan. Seperti isyarat. Seperti peringatan. Atau ... sebuah permainan?
Kemudian Edel melihat sebelah tangan pria itu masuk ke bawah meja dan ... meraih tangannya.
Tangannya yang masih menggenggam sendok itu tiba-tiba digenggam oleh tangan besar dan hangat milik Basten. Seketika Edel membeku. Nafasnya tercekat. Ia ingin menarik diri, tapi genggaman itu terlalu kuat, bukan kasar, tapi juga tak membiarkannya pergi begitu saja.
Tubuhnya merapat ke lantai karpet, wajahnya memanas. Jantungnya berdetak keras seperti genderang perang. Apalagi saat jari-jari Basten perlahan menyusuri punggung tangannya, menyentuh kulitnya seolah sedang menghafal tekstur dari sesuatu yang sangat berharga ... atau berbahaya.