Ketika perang abadi Alam atas dan Alam bawah merembes ke dunia fana, keseimbangan runtuh. Dari kekacauan itu lahir energi misterius yang mengubah setiap kehidupan mampu melampaui batas dan mencapai trensedensi sejati.
Hao, seseorang manusia biasa tanpa latar belakang, tanpa keistimewaan, tanpa ingatan masa lalu, dan tumbuh dibawah konsep bertahan hidup sebagai prioritas utama.
Namun usahanya untuk bertahan hidup justru membawanya terjerat dalam konflik tanpa akhirnya. Akankah dia bertahan dan menjadi transeden—sebagai sosok yang melampaui batas penciptaan dan kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Slycle024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mu Huan
Tak jauh dari Akademi Mortal, deretan kedai berjejer rapi. Aroma masakan bercampur dengan suara murid-murid yang bercanda dan tertawa, menciptakan suasana hidup. Zhang Hao berjalan pelan, matanya menyapu setiap kedai sebelum berhenti di sebuah tempat yang sepi.
Ia masuk, lalu menyapa pelayan, “Permisi, saya pesan sup tulang iga dan sepoci anggur.”
Pelayan mengangguk, “Baik, tunggu sebentar.”
Zhang Hao duduk, menatap sup dan anggur di depannya. Anggur itu mengingatkannya pada larangan ayahnya dulu. Dengan hati-hati, ia meneguk segelas kecil.
“Hm…rasanya pahit-manis, cukup aneh,” gumamnya, sambil menatap cangkir. Lidahnya menolak, tapi tubuhnya terasa hangat, aneh sekaligus menyenangkan.
“Tidak heran ayah selalu melarangku,” bisiknya pada diri sendiri, lalu tersenyum tipis. Untuk sekarang, ia hanya ingin menikmati rasa penasaran itu.
Tiba-tiba, seorang murid lain menghampirinya. “Boleh ikut duduk?” tanya suara ramah.
“Silakan,” jawab Zhang Hao singkat.
Murid itu duduk, lalu menatap sup dan anggur di depan Zhang Hao . “Wah, anggur? Seleramu cukup unik,” katanya sambil terkekeh.
Zhang Hao mengangkat cangkirnya, “Hanya ingin tahu rasanya. Ternyata…lumayan.”
Murid itu tersenyum, “Kalau begitu, silahkan dinikmati.”
Lalu murid itu mengangkat tangan dan berteriak, “Pelayan, bawakan hidangan seperti biasa.”
Segera pelayan itu menatapnya, tersenyum, lalu kemudian membawakan pesanannya.
Keduanya duduk dengan tenang, suara kedai dan aroma makanan membuat suasana hangat, sementara rasa penasaran terhadap anggur spiritual tetap membakar pikiran Zhang Hao .
---
Perlahan, kedai mulai ramai. Tak jauh dari situ, tiga murid perempuan melangkah masuk. Cara mereka berjalan angkuh, seolah dunia harus memberi jalan.
Begitu tiba, salah satu dari mereka langsung bersuara. Perempuan di tengah jelas merupakan pemimpin kelompok itu. Wajahnya cantik, tubuhnya ramping, namun tutur katanya penuh penghinaan.
“Rakyat jelata, minggir! Pelayan, buatkan aku hidangan paling mahal.”
Murid-murid lain hanya bisa menahan kesal, tak berani melawan.
Mereka bertiga duduk di meja tak jauh dari Zhang Hao .
Pemimpin kelompok itu bernama Mu Huan. Matanya menelusuri kedai hingga berhenti pada seorang bocah laki-laki yang tampak belum dua belas tahun. Bocah itu meneguk anggur dengan penasaran. Segera, senyum lembut tersungging di wajahnya.
Mu Huan bangkit, melangkah mendekat ke meja Zhang Hao .
Murid yang duduk bersamanya langsung berkeringat dingin. Tatapannya tertuju ke Zhang Hao yang masih asik menikmati minumannya.
“Adik kecil,” suara Mu Huan lembut, manis, “sepertinya kamu murid baru akademi. Aku Mu Huan, siapa namamu?”
Mendengar suara lembut itu, murid yang duduk di meja yang sama dengan Zhang Hao bergetar. Ia hendak meninggalkan meja, namun ketika ditatap Mu Huan ia dengan pasrah mengurungkan niatnya.
Zhang Hao menatap Mu Huan dengan tenang. “Zhang Zhang Hao . Baru masuk kemarin.”
“Oh, dari keluarga Zhang rupanya.” Mata Mu Huan sedikit terkejut, pasalnya ia sering datang berkunjung namun belum pernah mendengar namanya. “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Sepertinya tidak,” jawab Zhang Hao sambil meneguk anggur. “Aku hanya berkunjung saat upacara penobatan kepala keluarga kalian, itu juga karena diundang Paman Mu Tian.”
Mu Huan mengangguk pelan, “Jadi begitu…” Namun sekejap kemudian, kilatan aneh melintas di matanya. Suasana hatinya mendadak memburuk.
“Tunggu,” katanya cepat, “kau kenal Mu Jingyan? Dan… anak sok dewasa itu?”
Zhang Hao menghela napas, “Oh, perempuan kasar itu? Ya, kita pernah bertemu. Kebetulan, aku cukup dekat dengan Lanxing.”
Segera, ekspresi Mu Huan berubah drastis. Senyum lembutnya hilang, berganti cemberut. Nama Mu Lanxing baginya adalah luka lama—selalu dibandingkan dengan gadis itu. Mendengar bocah ini menyebutnya dengan santai, hati Mu Huan langsung tidak nyaman.
Pandangan Mu Huan kembali tertuju pada Zhang Hao . Sebuah pikiran aneh menyelinap di benaknya, membuat matanya berkilat samar. Tanpa sepatah kata pun, ia mengulurkan tangan ke arahnya, penuh kesombongan dan tantangan.
Di sisi lain, murid yang duduk di samping Zhang Hao menegang, tatapannya ragu-ragu, seolah takut ikut terseret dalam gelombang ketegangan itu.
Zhang Hao menatap wanita itu dengan tenang. Perlahan, ia mengulurkan tangan dan menjabat tangan Mu Huan. Saat menarik tangannya kembali, tangan Zhang Hao secara tidak sengaja menyentuh kuah yang tumpah di meja. Ia segera membersihkan tangan di depan Mu Huan.
Melihat itu, Mu Huan merasa sangat tersinggung. Rasa kesalnya membara, hingga matanya memancarkan amarah yang menyala-nyala.
Zhang Hao menatapnya, matanya sedikit menyipit, mencoba menafsirkan kemarahan yang terpancar. Dalam hati, ia bergumam : Apakah aku salah? Kenapa wajahnya terlihat begitu marah… apa yang harus kulakukan?
Dengan sedikit gugup, ia menoleh ke murid yang duduk di depannya, mencari petunjuk. Murid itu hanya mengangkat bahu, lalu dengan cepat memperagakan sebuah adegan singkat. Zhang Hao menatapnya sejenak, kemudian mengangguk, seolah menemukan jalan keluar.
Entah bagaimana, tubuhnya bergerak lebih cepat daripada pikirannya. Tangan kecilnya secara otomatis meraih lengan Mu Huan—dan sebelum ia sempat menyesal, bibirnya sudah menempel di punggung telapak tangan itu.
“Ahhh! Plak!”
Teriakan Mu Huan yang bercampur tamparan keras menggema di seluruh kedai. Beberapa murid yang sedang makan menoleh dengan mata terbelalak, sementara murid di depan Zhang Hao tampak lebih terkejut—padahal ia hanya bercanda.
Wajah Mu Huan memerah, bukan hanya karena sentuhan tak terduga itu, tetapi juga karena rasa malu. Matanya menatap Zhang Hao dengan amarah yang nyaris bisa membunuh.
“Bajingan! Tak tahu malu! Awas kau… aku tidak akan melepaskanmu!” serunya, suaranya bergetar menahan emosi.
Tanpa menunggu lama, ia berbalik melangkah menuju kelompoknya dengan langkah berat. “Ayo pergi. Aku sudah tidak nafsu makan.”
Namun, salah satu temannya buru-buru menahannya. “Tapi kita sudah memesan hidangan.”
“Benar sekali, aku juga sedang lapar,” sahut yang lain menambahkan.
Mendengar itu, wajah Mu Huan semakin kesal. Ia mendengus keras, lalu berjalan pergi seorang diri, meninggalkan kedua temannya yang masih duduk menunggu hidangan.
Zhang Hao hanya bisa duduk terpaku, pipinya masih perih akibat tamparan, dan tak ada perubahan pada suasana hatinya—hanya rasa sakit yang tersisa.
Tak lama kemudian, murid yang duduk di depannya mendekat dan menepuk Zhang Hao dengan penuh arti.
Kedai mulai kembali ramai. Zhang Hao membayar tagihan, membeli beberapa daging kering dan buah-buahan, lalu melangkah kembali ke asramanya.
****
Sesampainya di asrama, Zhang Hao terhenti sejenak. Tak jauh dari pintu, matanya menangkap sosok yang tak asing—Mu Huan, gadis yang tadi ia temui di kedai.
Permusuhan samar masih terpancar darinya, meski kini lebih redup. Wajahnya tampak lesu, seolah menahan beban yang tak ingin ditunjukkan. Zhang Hao hanya bisa menghela napas. Ia benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan gadis itu.
Keduanya saling berhadapan dari jarak beberapa langkah. Zhang Hao tidak berhenti, melainkan terus melangkah menuju pintu asrama. Jarak mereka perlahan menyempit. Saat melewati Mu Huan, ia merasakan betapa lemah dan lelahnya gadis itu.
Namun alih-alih menghindar, Zhang Hao menatap kantong kecil di tangannya. Ia mengeluarkan beberapa makanan yang dibelinya sebelumnya. Dengan nada santai, seolah tak terjadi apa-apa di kedai tadi, ia berkata,
“Kakak Huan, ini ada makanan ringan. Sepertinya kau butuh tenaga.”
Mu Huan terdiam sejenak, menatap anak laki-laki sepuluh tahun itu. Mata mereka bertemu, lalu tanpa sepatah kata pun, ia meraih makanan itu dan mulai memakannya. Zhang Hao hanya menghela napas, sedikit lega melihatnya benar-benar lapar.
Tanpa banyak kata, ia pun berbalik dan melangkah masuk ke dalam asrama.
Namun, tak lama setelah pintu menutup, Mu Huan menatap punggung Zhang Hao yang menghilang dengan tatapan penuh pertanyaan.
Tanpa disadari Zhang Hao , Mu Huan perlahan bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah hati-hati, ia mengikuti dari belakang… hingga akhirnya masuk ke dalam asrama secara diam-diam.