Hutang pinjol 120 juta menjerat Juwita, padahal ia tak pernah meminjam. Demi selamat dari debt collector, ia nekat jadi pengasuh bayi. Tapi ternyata “bayi” itu hanyalah boneka, dan majikannya pria tampan penuh misteri.
Sebuah kisah absurd yang mengguncang antara tawa, tangis, dan cinta inilah perjalanan seorang gadis yang terpaksa berperan sebagai janda sebelum sempat menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MahaSilsi24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiba-tiba Punya Hutang
"Eh, parah banget ya dunia sekarang. Orang yang nggak sekolah tinggi kayak kita nih jangan harap dapat gaji besar," keluh Juwita sambil mengucek piring kotor yang menggunung di wastafel restoran.
Desi, teman kerjanya, tertawa kecil sambil mengeringkan gelas. "Mau gimana lagi, nasib sudah di tangan. Kecuali kita nikah sama pria kaya raya, kayak di novel-novel itu lho, nikah sama CEO tampan, hidup langsung bahagia."
Juwita melirik sekilas, lalu menyiramkan busa sabun dari tangannya ke arah Desi. "Astaga, Des. Kamu kebanyakan baca novel! Gimana mau dapat yang kaya, wong yang susah pun nggak ada yang mau sama aku," katanya sambil tertawa hambar.
Suasana dapur yang panas dan berisik tak mampu meredam obrolan mereka. Di luar, pelayan mondar-mandir mengantar pesanan, sementara di dalam, Juwita hanya bisa menatap air cucian yang keruh. Kadang ia bertanya pada dirinya sendiri apakah hidupnya akan selalu begini, terjebak dalam rutinitas tanpa akhir?
"Eh, tapi serius, Wit. Aku tuh kadang iri sama tokoh-tokoh di novel. Mereka hidup susah, lalu tiba-tiba ketemu pangeran kaya yang jatuh cinta. Kalau kita?" Desi mengangkat bahu, matanya menerawang.
Juwita terdiam. Ia ingin menjawab, tapi perasaan getir menahannya. Pikirannya melayang pada ayahnya yang suka mabuk sana-sini. Belakangan ini, wajah ayahnya sering murung, pulang larut dengan tatapan gelisah. Sesuatu yang besar pasti sedang disembunyikan darinya.
Tiba-tiba, ponsel Juwita yang ia taruh di pojok meja bergetar kencang. Sebuah pesan masuk, membuat jantungnya berdegup tak karuan. Tangannya bergetar ketika membuka notifikasi:
“Segera lunasi hutang 120 juta! Jika tidak, kami akan menagih ke rumah.”
Darah Juwita serasa berhenti mengalir. Tubuhnya melemas. Apa maksudnya? Hutang apa? Ia bahkan tidak pernah meminjam uang sebesar itu.
Di tengah suara piring yang beradu dan tawa Desi, dunia Juwita runtuh seketika.
Tiba saatnya pulang kerja, Juwita menyalakan motor matic bututnya yang sering mogok. Malam itu jalanan sepi, hanya ada suara mesin motor yang meraung pelan. Perutnya lapar, pikirannya penat, dan yang ia inginkan hanya segera sampai rumah kontrakan kecil yang ia tinggali bersama ayahnya.
Namun, baru saja sampai di depan kontrakan, jantungnya langsung berdegup kencang. Dua orang asing berdiri di sana. Yang satu bertubuh besar, tinggi, dengan brewok lebat. Yang satunya kurus, matanya sayu tapi sorotnya tajam membuat bulu kuduk merinding.
“Nah, ini dia sudah pulang. Lihat dari wajahnya sih, sama nih,” kata si brewok sambil menunjukkan layar ponselnya pada rekannya. Foto wajah Juwita terpampang jelas.
Juwita spontan menahan napas. Ia memarkir motor dengan gemetar, mencoba tersenyum paksa. “Ini bapak yang kirim pesan ke saya, ya? Maksudnya apa hutang seratus dua puluh juta? Bikin jantungan aja.” Suaranya terdengar sok santai, tapi lututnya bergetar hebat.
Si kurus mendengus kasar. “Jangan pura-pura nggak tahu! Di KTP kamu, juga di KTP bapakmu, jelas tertulis. Kalian pinjam lima puluh juta masing-masing. Bunganya jalan, jadi total seratus dua puluh juta. Kalau miskin jangan belagu minjem banyak!”
Juwita membelalak. Kata-kata itu seperti petir menyambar. Ia bahkan tidak tahu ayahnya pernah mengajaknya berurusan dengan pinjaman seperti ini. Mulutnya ingin berteriak, ingin membantah, tapi tatapan tajam kedua pria itu membuat nyalinya ciut.
“Kami kasih waktu. Jangan coba kabur. Kalau sampai telat, kamu tahu akibatnya.” Si brewok mendekat, menepuk bahunya keras, seolah memperingatkan.
Setelah keduanya pergi, Juwita bergegas masuk ke kontrakan. Nafasnya masih tersengal. Matanya langsung mencari-cari ayahnya, tapi rumah sepi, hanya gelap dan dingin. Tidak ada suara, tidak ada tanda-tanda.
“Pak?” panggilnya lirih. Kosong.
Perasaan Juwita semakin tak karuan. Malam itu, ia merasa baru saja terperangkap dalam mimpi buruk yang nyata.
Juwita langsung melempar tasnya ke kursi reyot. Nafasnya masih berat, jantungnya deg-degan. Tanpa pikir panjang, ia meraih ponselnya dan menekan nomor ayahnya.
“Tuut tuut, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.”
“Ya ampun, Pak!” Juwita menjerit frustasi. “Aku capek, lapar, duit tipis, sekarang ditinggal nggak jelas pula. Hadeh, cobaan macam apa lagi ini, Tuhan?” gerutunya sambil membanting diri ke lantai.
Ia mencoba menelepon lagi, hasilnya sama. Tidak aktif. Marah bercampur panik membuatnya bangkit, berjalan mondar-mandir di ruang sempit itu. “Bapak ini kenapa sih? Suka bikin drama! Kalau mau kabur, minimal ninggalin catatan kayak di sinetron-sinetron. Ini malah hilang kayak diculik alien.”
Dengan kesal, Juwita membuka pintu kamar ayahnya. Kamar itu sederhana, cat temboknya sudah mengelupas, dan bau apek menyengat. Lemari kayu tua yang sudah miring tampak terbuka sedikit.
“Eh, jangan bilang Bapak ninggalin duit di situ, biar aku bisa jadi kaya mendadak,” gumam Juwita setengah berharap sambil menahan napas.
Ia mendorong pintu lemari. Kosong. Baju-baju ayahnya sudah tidak ada. Hanya tersisa gantungan kawat berkarat dan beberapa kertas lusuh.
Air mata Juwita langsung jatuh. Namun, di tengah tangisnya, mulutnya tetap nyinyir. “Nasib kau lah, Juwita. Dari dulu nggak punya nasib baik. Gimana mau nikah sama orang kaya, sekarang aja melarat makin melarat. Yang ada besok aku nikahnya sama debt collector. Romantis sekali hidupku ini!”
Tangisnya pecah, tapi suaranya juga terdengar kocak. Ia menutupi wajah dengan kedua tangannya.
Malam itu, Juwita sadar ayahnya telah pergi entah kemana, meninggalkan hutang besar di pundaknya.
Juwita duduk di lantai kamar dengan mata sembab. Ia menatap ponsel di tangannya. Tidak ada lagi yang bisa ia andalkan selain sahabat kerjanya, Desi. Dengan jari gemetar, ia mengetik pesan panjang.
"Des, hidupku resmi tamat. Barusan ada dua debt collector nyariin aku. Katanya aku sama Bapak utang 120 juta. Bayangin, Des 120 juta! Aku beli gorengan aja masih utang ke warung. Sekarang disuruh bayar segitu. Parah, kan?"
Pesan terkirim. Tak sampai lima menit, telepon masuk. Nama Desi muncul di layar.
“Wit! Kamu serius? 120 juta? Itu kan kayak harga motor baru plus cicilan kontrakan lima tahun!” suara Desi panik bercampur tak percaya.
“Iya, Des. Aku juga shock. Rasanya kayak ketiban kulkas tiga pintu. Nggak ngerti lagi,” jawab Juwita sambil mengusap air matanya.
Desi yang sebenarnya baru saja naik angkot untuk pulang, langsung meminta turun. “Udah, tunggu aku. Aku ke rumahmu sekarang. Jangan kemana-mana!”
Tak sampai setengah jam, suara langkah tergesa terdengar di depan pintu kontrakan. Desi muncul dengan wajah pucat. Begitu mendengar detail ceritanya langsung dari Juwita, ia menepuk jidatnya sendiri.
“Wit, gaji kita cuma dua juta. Itu pun kadang dipotong kalau pecahin piring. Kita nabung sepuluh tahun pun belum tentu cukup bayar bunga hutangmu!”
Juwita mendesah panjang, lalu menatap sahabatnya dengan ekspresi setengah menangis setengah konyol. “Ya gimana, Des? Mau nabung sepuluh tahun, aku takut umur nggak nyampe. Keburu debt collector yang ngirim aku ke alam barzah.”
Desi tercekat, lalu sama-sama tertawa getir. Dua gadis itu terdiam sejenak. Realita terasa begitu kejam, tapi setidaknya malam itu Juwita tidak lagi sendirian.
Bersambung