Dokter Arslan Erdem Mahardika, pria tampan dan cerdas berusia 33 tahun, memiliki segalanya kecuali satu hal yaitu kepercayaan diri untuk menikah.
Bukan karena dia playboy atau belum siap berkomitmen, tapi karena sebuah rahasia yang ia bongkar sendiri kepada setiap perempuan yang dijodohkan dengannya yaitu ia impoten.
Setiap kencan buta berakhir bencana.
Setiap perjodohan berubah jadi kegagalan.
Tanpa cinta, tanpa ekspektasi, dan tanpa rasa malu, Tari Nayaka dipertemukan dengan Arslan. Alih-alih ilfeel, Tari justru penasaran. Bukannya lari setelah tahu kelemahan Arslan, dia malah menantang balik sang dokter yang terlalu kaku dan pesimis soal cinta.
“Kalau impoten doang, bisa diobatin, Bang. Yang susah itu, pria yang terlalu takut jatuh cinta,” ucap Tari, santai.
Yang awalnya hanya pengganti kakaknya, Tari justru jadi pawang paling ampuh bagi Arslan pawang hati, pawang ego, bahkan mungkin pawang rasa putus asanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23. Lamaran Nyeleneh
Ke esokan harinya…
Tawa mereka pelan, sesekali diselingi bisik-bisik jahil. Sinar sore mengendap di sela-sela tirai rumah sakit, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan obrolan iseng sekelompok perempuan muda di ruang istirahat staf medis.
Di sudut ruangan, Nayaka menunduk sambil mengunyah biskuit cokelat, sesekali melirik ponselnya sambil senyum-senyum sendiri.
Kiara memeluk bantal kursi dan melirik nakal, “Tadi tuh kamu yang mulai duluan atau dokter dinginmu itu?” tanyanya menggoda.
“Dari wajahnya sih kayaknya kamu yang nempel duluan,” timpal Odelia sambil nyengir lebar.
Nayaka memutar bola matanya, pura-pura acuh, padahal pipinya mulai merona. “Kalian ini berisik banget, deh,” ucapnya setengah malu.
Tiba-tiba pintu terbuka. Aylara masuk sambil membawa sekotak roti bakar yang sudah hampir dingin. Langkahnya santai, tapi pandangannya penuh rasa ingin tahu.
Tanpa aba-aba, Aylara meletakkan kotak makanan itu di atas meja, lalu menyipitkan mata ke arah Nayaka.
“Ngomong-ngomong, ya,” ujarnya sambil duduk dan menyilangkan kaki, “waktu ciuman tadi, itu dokter impoten kesayangan kamu itunya bereaksi nggak sih?” tanyanya lantang, penuh nyinyiran bercampur tawa.
Seketika ruangan hening.
Kiara menahan tawa sambil menutup mulut, sedangkan Odelia nyaris tersedak air mineral. Nayaka mendongak perlahan. Tatapannya menusuk, tapi bibirnya tetap tersenyum santai.
“Buat apa juga dia bereaksi?” balas Nayaka dengan nada kalem namun tajam. “Kalau cuma sekadar buat bukti cinta, aku lebih percaya mata sama tangan dia, bukan bagian tubuh yang kalian pikirin,” imbuhnya sambil menyeruput kopi dengan gaya santai yang justru bikin Kiara dan Odelia makin ngakak.
Aylara tergelak, lalu mengangkat bahu. “Oke, oke... kamu memang beda. Tapi sumpah, Nay, aku salut. Nyiumin cowok sekeras itu tuh adrenalin banget,” serunya sambil memegang dada sendiri, pura-pura dramatis.
“Makanya jangan salah pilih. Kalau hatimu kuat, cowok kayak Arslan malah bisa bikin kamu bertumbuh,” kata Nayaka sambil tersenyum kecil.
Odelia berdecak pelan. “Tapi jujur, Nay. Lo tuh nekat banget. Itu pria bukan tipe yang gampang disentuh,” katanya penuh takjub.
“Justru karena itu,” jawab Nayaka singkat. “Yang susah didekati, biasanya paling tulus kalau sudah percaya.”
Kiara mengangguk pelan. “Dan kamu udah berhasil bikin dia percaya. Itu yang nggak semua orang bisa,” katanya lembut.
Angin sore menyelusup masuk lewat celah jendela. Mereka kembali tertawa. Bukan karena Aylara melainkan karena keberanian Nayaka yang begitu absurd, tapi nyata.
Tiba-tiba suara langkah berat terdengar dari arah lorong.
Pintu kembali terbuka.
Seorang pria berseragam polisi lengkap muncul di ambang pintu, tangannya penuh dengan buket mawar aneka warna—merah, putih, kuning, ungu, bahkan biru langka. Wajahnya serius, sorot matanya tajam, tapi ada senyum mengambang yang membuat siapa pun yang melihat bakal tahu: dia sedang membawa misi penting.
"Astaga, itu... itu komandan Audra Elzhar, kan?" bisik Odelia sambil berdiri setengah berlutut di sofa, matanya membelalak.
Kiara hampir tersedak tawa. “Nih orang nggak ada angin nggak ada hujan, bawa kebun bunga ke sini?” katanya setengah berbisik.
Nayaka cuma menahan tawa, sedangkan Aylara baru saja hendak menyuap roti ke mulutnya, kini terdiam kaku. Matanya menatap lurus pria yang kini melangkah masuk ke tengah ruangan dengan percaya diri penuh aura komandan.
“Permisi,” ucap Audra datar namun lantang. “Saya datang bukan sebagai aparat, tapi sebagai seseorang yang udah cukup lama nunggu waktu yang tepat.”
Aylara memutar bola mata. “Aud, kamu serius banget mukanya. Bikin merinding, tahu nggak?” katanya nyengir, meski suaranya bergetar.
Audra menatap tajam, lalu menyodorkan satu buket mawar biru. “Ini buat kamu. Yang lain jangan baper, ya. Ini cuma buat satu perempuan yang bikin aku pengin nyerahin lencana… dan seluruh masa depan.”
Kiara menutup mulut dengan tangan, menahan teriakan heboh.
Nayaka sudah lompat ke belakang sofa sambil bilang, “Astaga, ini serius banget. Sumpah kayak drama Korea, tapi versi bar-bar.”
Audra menurunkan semua buket itu di atas meja, lalu jongkok tepat di depan Aylara yang kini hanya bisa menatap dengan rahang mengeras.
“Gue tahu lo cewek tangguh, pintar, bisa sendiri. Tapi kalau boleh, boleh nggak gue jadi satu-satunya orang yang lo izinkan buat jaga lo… sampe tua?” ujarnya dengan suara berat.
Ruangan mendadak senyap.
Cuma suara jam dinding yang berdetak, dan napas mereka yang tertahan.
Aylara menghela napas panjang. Tangannya reflek mengangkat satu buket kecil mawar ungu.
“Lo bawa pasukan, nggak?” tanyanya kalem.
Audra tersenyum tipis. “Kalau perlu, satu polres tak panggil. Tapi hari ini gue datang sendiri. Biar jelas, ini bukan perintah dinas. Ini perintah hati.”
Kiara langsung menjerit kecil, “Ya ampun, itu gombalnya serius tapi lucu banget, sumpah!”
Odelia ikut bersorak, “Gue udah bilang dari lama. Aylara tuh pasti dijatuhin cowok kaku atau polisi. Ternyata… dua-duanya!”
Aylara cuma menggeleng pelan, tapi senyum di bibirnya tak bisa disembunyikan. Ia berdiri, lalu menepuk pelan dada Audra yang masih berlutut.
“Bangun. Gue nggak mau lo pegel cuma gara-gara gue,” katanya lembut.
Audra berdiri. “Jadi... ini iya?”
Aylara diam sebentar. “Kalau ini prank, gue lempar semua bunga ini ke wajah lo.”
Audra tertawa keras. “Berarti lo mau?”
“Gue pertimbangin. Tapi kalau malam ini lo berani nyolong cium di depan orang banyak, gue pastikan lo harus tanggung jawab penuh. Bukan cuma tanggung jawab hati, tapi juga napas dan nasi goreng gue tiap malam,” ujarnya santai.
Audra menatap tajam. “Deal.”
Nayaka sudah berjingkrak di belakang sofa sambil memukul-mukul bantal. “Ya Allah, dunia ini makin absurd. Tadi ngebahas impoten, sekarang ada lamaran dadakan!”
Kiara ikut menjerit, “Next episode Odelia dilamar Pak polisi juga dalam operasi penangkapan buronan!”
Seketika semua mata melirik ke Odelia yang sedang menyeruput kopi sambil pura-pura polos.
“Eh, jangan salfok dong. Yang dilamar tadi Aylara. Bukan aku,” ujarnya, tapi pipinya memerah pelan.
“Tenang aja. Kamu mah tinggal nunggu waktu. Dokter Arslan tuh cuma butuh satu percikan nyawa buat bangkit dari kejenuhan duniawinya,” timpal Kiara menggoda.
Kiara menyodorkan roti. “Eh, ngomong-ngomong dokter Arslan mana, ya?”
Nayaka tersenyum tipis. “Mungkin lagi nyari jawaban dari reaksi tubuhnya yang selama ini dia anggap mati.”
Tawa kembali pecah. Suara riang, aroma kopi, dan wangi bunga memenuhi ruangan sore itu seolah semua luka, rahasia, dan kebisuan yang pernah ada akhirnya dikalahkan oleh tawa dan keberanian untuk mencinta dengan cara masing-masing.
Aylara masih memeluk setangkai mawar biru ketika Nayaka akhirnya bersuara, setengah berbisik, tapi cukup keras untuk memancing reaksi semua orang.
“Kak, serius nih… aku yang nikahan, tapi kayaknya Kakak yang mau nikung duluan, ya?” ujarnya santai, tapi sorot matanya nggak bisa bohong. Setengah protes, setengah geli.
Audra yang baru duduk langsung tertawa keras. “Eh, kok jadi gue yang disangka tukang tikung?”
Kiara menimpali cepat, “Tolong dicatat, calon pengantinnya Nayaka, bukan Aylara. Tapi vibes mesra-mesraan yang viral duluan kayaknya pasangan sebelah!”
“Pffft!” Odelia hampir nyembur minuman. “Eh ya bener juga, Nay. Lu lamaran lusa, tapi adegan lamaran kakakmu udah viral duluan dalam hitungan menit!”
Aylara menyandarkan tubuh di sandaran sofa, lalu melempar senyum menang. “Gimana dong, Nay. Jodoh datangnya kadang nggak bisa ditunda. Siapa suruh kamu nikah sama cowok kayak Arslan, yang butuh pemanasan tiga dekade buat bilang sayang?”
“Ya, mending Arslan daripada komandan yang hobi muncul tiba-tiba bawa karangan bunga macam toko bunga buka 24 jam,” sindir Nayaka ringan, membuat semua tertawa.
Audra mengangkat tangan seolah menyerah. “Oke, oke. Gue angkat tangan. Tapi serius, Nay, kamu percaya Arslan bakal tahan seminggu lagi?”
“Aku percaya,” ujar Nayaka tenang, “karena yang dia tahan itu bukan cuma rasa, tapi juga trauma. Dan aku rasa, cinta yang benar tuh sabar, bukan panik.”
Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar di belakang. Semua menoleh bersamaan.
Dr. Arslan Han Mahardika berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut, dasi tergantung longgar di leher, wajahnya datar tapi mata menatap lurus ke arah Nayaka.
“Aku tidak panik,” ucapnya pelan, namun tegas. “Hanya memastikan tunanganku belum dibawa lari sebelum akadnya.”
Kiara langsung berdiri, “O-M-G! Dokter kaku akhirnya muncul dengan kalimat posesif terselubung!”
“Aku suka kalimatnya,” imbuh Odelia sambil tepuk tangan pelan.
Aylara menyikut Audra. “Nah, tuh. Calon adik ipar lo baru muncul aja udah nyikat semua perhatian.”
Arslan melangkah pelan mendekat, matanya tetap pada Nayaka. “Kamu baik-baik aja?”
“Masih waras sejauh ini,” jawab Nayaka manis.
“Kalau begitu, boleh kuajak kamu pulang? Banyak hal yang harus kita siapkan. Aku tidak mau menikah dalam keadaan setengah siap,” ujarnya lagi.
Nayaka berdiri, lalu menoleh ke arah kakaknya. “Kak jangan nikung duluan, ya. Minimal kasih aku momen pelaminan duluan. Setelah itu silakan rebut panggung.”
Aylara mengangkat tangan. “Deal.”
Audra terkekeh. “Tapi jujur ya Nay, aku suka cara lo ngomong barusan.”
Sore itu diisi tawa, sindiran, dan keheningan kecil dari dokter kaku yang akhirnya membuka satu-satu lapisan hatinya.
Pernikahan tinggal seminggu lagi. Tapi semesta seolah sedang menyiapkan banyak kejutan sebelum dua jiwa benar-benar sah.
Di balik tirai tipis yang membatasi ruangan, sepasang mata memperhatikan mereka lekat-lekat. Tidak ada senyum. Tidak ada simpati. Hanya gelombang panas di dadanya yang makin menyala setiap kali tawa itu terdengar.
"Kenapa mereka bisa sebahagia itu..." bisiknya, seperti racun yang merayap keluar dari lidah.
"Sedangkan aku harus merangkak dalam kehancuran, sendirian, dipermalukan, dilupakan..."
Ia pernah mencintai. Pernah berharap. Tapi semua itu dicuri. Direnggut oleh dua manusia yang kini saling menatap seolah dunia hanya milik mereka.
Sialan.
"Aku akan pastikan kebahagiaan mereka nggak bertahan lama," gumamnya. Pelan. Tajam. Seperti pisau yang sudah diasah bertahun-tahun.