Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1 TANDA TANGAN YANG MENGGUNCANG
Hujan sore itu menempel di kaca kamar kos Amara seperti sidik jari. Meja lipatnya penuh kabel, sketsa, dan cangkir teh yang sudah dingin. Di layar, ilustrasi kelinci memeluk payung tinggal render terakhir. Fee proyek itulah yang ia andalkan untuk bayar listrik dan uang kos yang sudah seminggu menunggak. Jam digital menunjuk 16.47; dua jam lagi deadline.
Ketukan keras menghantam pintu.
“Amara Kirana?” suara berat menembus kayu. “Kami dari pihak penagihan. Buka.”
Jantungnya menukik. Ia mematikan lampu, menahan napas, merapat ke dinding. Ketukan kedua lebih keras, lalu gumaman kesal, dan langkah-langkah menuruni tangga kos. Ponselnya berdering: Ibu.
“Ma, aku di kos,” bisiknya.
“Ra… dua orang datang lagi ke rumah. Katanya kalau Papa tak melunasi sampai Jumat, toko disegel. Mereka tinggalkan surat,” suara ibunya serak. “Papa keluar cari pinjaman. Ponselnya mati.”
Amara menutup mata. Di kepala, angka-angka mengapung: sisa utang, listrik, obat Ibu, cicilan kulkas. “Kunci pagar. Jangan buka pintu untuk orang tak dikenal. Aku selesaikan gambar, lalu pulang.”
Ia meraih stylus yang terjatuh, memaksa tangan stabil. Garis-garis terakhir dituntaskan. Notifikasi masuk: Selvia.
Ra, bisa ke Tower Atmadja jam enam? Papa butuh orang untuk retouch visual panggung. Aku bilang kamu cepat.
Amara menimbang. Atmadja itu berita nasional: proyek, CSR, merger. Dan Selvia, sahabatnya sejak SMA, anaknya satu-satunya. Mereka makin jarang bertemu setelah kuliah; jarak dan kelas sosial jadi tembok. Ia mengetik:
Aku ada deadline jam lima. Bisa nyusul paling cepat 18.30. Feenya?
Tenang, aku urus. Fast job, fast pay. Tolong ya. Penting buat Papa.
“Buat Papa.” Dua kata itu mengetuk sisi hatinya. Ia kirim file ilustrasi ke editor, menulis: Final. Revisi ringan masih bisa. Notifikasi bank bergetar: fee masuk. Napasnya sedikit lapang. Ia menyambar jaket, payung, dan map kosong, lalu berlari menembus gerimis.
Lobi Atmadja Tower memantulkan cahaya seperti danau kaca. Orang-orang bersetelan gelap mengalir tanpa suara. Amara berdiri di dekat pilar, merapikan rambut yang lembap, mencari Selvia.
“Amara!” Selvia memeluknya cepat. Wangi parfumnya tajam, bibirnya merah anggur. “Maaf mendadak. Papa di lantai 46. LED panggung perlu dikalibrasi—logonya kurang hangat. Kamu bisa?”
“Bisa,” Amara menahan canggung. “Acara apa?”
“Peluncuran beasiswa dan press conference. Media banyak,” Selvia menekan tombol lift. “Sekalian Papa mau umumkan hal penting.”
Lift memantulkan wajah mereka di empat sisi. Amara menangkap refleksi sendiri: mata kurang tidur, pipi tanpa bedak. Di sampingnya, Selvia seperti poster film—sempurna. Pintu terbuka. Koridor karpet tebal menyambut, lampu-lampu langit-langit seperti cincin tipis. Auditorium sibuk: teknisi merunduk di balik konsol, lighting test, layar LED menampilkan dummy visual.
“Ini Amara,” kata Selvia kepada supervisor. “Beri akses.”
Pass tamu dikalungkan. “File kami kirim email,” ujar supervisor. “Butuh warm tone tanpa kehilangan identitas brand.”
Amara duduk di konsol, membuka preset. Warna demi warna ia rawat: merah yang dingin jadi bersahabat, oranye yang norak diturunkan. Logo yayasan tampak seperti matahari yang akhirnya tahu cara menyinari tanpa membakar. Ketika ia mengunci keyframe, pintu samping terbuka. Seorang lelaki berhenti di ambang, memindai ruangan seperti dirigen menakar tempo.
Ia tidak perlu bertanya. Wajah itu ada di koran, billboard, siaran ekonomi. Bagas Atmadja.
Ia memberi instruksi singkat pada tim, kemudian—sekejap, namun panjang—pandangannya tertahan di arah Amara. Mata itu menilai, bukan meremehkan, melainkan kebiasaan orang yang terlalu sering mengambil keputusan mahal.
“Pa,” Selvia menjemputnya, “ini Amara. Dia bantu visual.”
“Terima kasih sudah datang,” suara Bagas seperti besi dipanaskan seperlunya: keras, namun tak menusuk. Tatapannya turun ke layar. “Kau ubah temperatur warna. Bagus.”
“Terima kasih, Pak,” Amara menjaga suaranya stabil.
Seorang staf berbisik di telinga Bagas. Ada kilat kesal sekilas di matanya, cepat seperti bayang burung di air. “Selesaikan. Undang wartawan pukul tujuh tepat,” katanya, lalu pergi.
Ponsel Amara bergetar: Ibu.
“Ra, mereka datang lagi,” suara ibunya bergetar. “Bilangnya malam ini terakhir.”
“Bu, tarik napas. Pak RT ada di rumah?”
“Ada. Tapi mereka ancam surat dari legal besok.” Napas Ibu berat. “Ibu pusing.”
“Minum air hangat. Aku selesai sebentar, lalu pulang,” Amara menutup telepon. Auditorium mendadak seperti meredup; dunia menyempit antara panggung dan rumah.
“Semua oke?” Selvia memperhatikan raut Amara.
“Masalah keluarga sedikit. Tapi aku selesaikan ini dulu.”
Ia render set terakhir, mengunci profil warna. Supervisor mengacungkan jempol. Jam mendekati tujuh. Amara melepas pass, melangkah ke lift. Dua lelaki berjas—bukan staf—tiba-tiba menyilang langkahnya.
“Amara Kirana?” Lelaki pertama menahan pintu lift agar tak tertutup. “Ada urusan keluarga. Mohon tanda tangan.”
“Maaf, saya sedang kerja,” Amara menegang.
“Kami juga,” lelaki kedua tersenyum tipis. “Sebentar saja, Nona. Ini penting.”
Sebuah suara tenang memotong, tanpa memberi ruang bantah. “Ada masalah apa dengan karyawan kami?”
Bagas berdiri tak jauh. Dua lelaki itu refleks merapikan jas.
“Urusan pribadi, Pak,” ujar yang pertama. “Kami hanya minta tanda tangan. Tidak terkait perusahaan.”
Bagas menoleh pada Amara. “Kau mengenal mereka?”
“Mereka datang ke rumah untuk Papa,” Amara menelan ludah.
Bagas menatap kedua lelaki itu. “Kalau pribadi, selesaikan di luar gedung saya. Auditorium penuh tamu. Saya tidak ingin keributan.”
“Kami mengerti, Pak,” kata mereka, tetapi sempat menatap Amara tajam. “Malam ini juga, Nona. Jangan menghindar.”
Mereka menghilang di belokan. Lift menutup tanpa Amara. Udara di koridor jadi berat seperti hujan yang hendak jatuh lagi.
“Kau baik-baik?” tanya Bagas. Di mata menilai itu kini ada sesuatu yang lain: kalkulasi yang lebih dalam.
“Saya… harus pulang setelah acara mulai,” Amara memegang strap tas.
“Lima menit saja,” kata Bagas, berbalik. “Ikut saya.”
Ia berjalan tanpa menoleh, dan entah bagaimana, kaki Amara mengikuti. Mereka masuk ruang briefing kecil di samping auditorium: meja meeting, rak berkas, jendela menatap kota yang berkilau basah. Bagas berdiri di seberang meja, membuka laci, mengeluarkan map hitam tipis. Ia tidak duduk.
“Aku minta maaf atas kejadian barusan,” katanya to the point. “Aku tidak suka orang luar mengganggu acara, apalagi seseorang yang sedang bekerja untukku.”
“Bukan salah Bapak,” Amara menunduk. “Keluargaku… terjerat.”
“Ya.” Bagas menutup map, mengetuk permukaannya ringan. “Setiap nama yang masuk ke gedung ini kami cek. Standar keamanan. Jadi aku tahu garis besar masalahmu.”
Pipi Amara hangat oleh malu. “Maaf kalau menyusahkan.”
“Kau membawa kemampuan, bukan masalah,” katanya datar. “Visualmu menyelamatkan panggung.” Ia menarik napas pendek, seperti baru memutuskan sesuatu. “Dan kebetulan, aku sedang butuh seseorang yang mampu—dan berani.”
“Maaf?” Amara mengernyit.
“Aku butuh solusi cepat untuk dua hal: sorotan media beberapa minggu ke depan, dan perseteruan internal yang menuntut stabilitas keluarga—di atas kertas.” Pandangannya menancap. “Aku bisa menolong keluargamu. Utang, rumah, keamanan ibumu. Bersih dalam dua puluh empat jam.”
Dunia di dalam dada Amara menahan napasnya sendiri.
“Sebagai gantinya,” lanjut Bagas, “aku minta satu hal yang terlihat sederhana di surat, tapi sulit dijalani di hidup.”
Ia mendorong map hitam melintasi meja. Berhenti tepat di depan Amara.
“Menikah denganku.”
Kata-kata itu jatuh pelan, tapi menghantam keras. Amara menatap map seolah benda itu bisa menggigit. Di luar, suara soundcheck berganti opening jingle, penonton sorak. Di dalam ruangan kecil, detak jam menonjok ruang hening.
“Ini… gila,” suaranya nyaris tak terdengar.
“Gila itu mengulangi kesalahan yang sama,” jawab Bagas tenang. “Aku tidak mengulang. Aku menghentikan badai sebelum menabrakku—dan menabrakmu.”
“Selvia…” nama itu lolos refleks dari bibir Amara, lalu menggantung getir di udara.
“Selvia akan membencimu,” Bagas menyatakan tanpa ornamen. “Mungkin juga membenciku. Tapi aku terbiasa dibenci saat memutuskan hal yang menyelamatkan banyak hal.”
Amara memeluk tas. Wajah Ibu melintas, pagar rumah, ancaman surat legal, angka-angka di layar ponsel. Lalu tawa Selvia di kantin SMA, janji-janji kecil yang tak pernah ditulis. Dan di hadapannya: lelaki yang menawarkan tali keselamatan dengan ujungnya terikat pada karang.
“Tidak sekarang,” bisiknya. “Aku harus pulang.”
“Bawa map itu,” kata Bagas. “Baca pasal-pasalnya. Perjanjian ini tidak menyakitimu secara hukum. Ada jalan keluar jika syarat terpenuhi.” Ia melirik jam. “Acara mulai satu menit lagi.”
Ia menoleh ke pintu, lalu berhenti sepersekian detik. “Aku tidak memaksa orang yang tak mau dipaksa. Tapi aku tahu kapan waktu menawar. Malam ini—waktunya.”
Pintu tertutup. Amara memegang map itu; kulitnya dingin, ujungnya tajam di telapak. Tangannya gemetar. Ia menempelkan dahi pada punggung map, mengambil napas panjang. Sorak penonton meledak di luar, lampu panggung menyapu langit-langit. Hujan di luar mungkin mereda, tetapi di dadanya, badai baru saja tumbuh.
Ia memasukkan map ke dalam tas, meraih payung, dan melangkah keluar ruangan. Koridor berkilau basah oleh refleksi lampu, lift memantulkan wajahnya berkali-kali—wajah seorang perempuan yang baru saja ditawari keselamatan yang berharga… dengan harga yang bisa menghancurkan segalanya.
Di lobi, ia berhenti sejenak, menatap hujan tipis di balik kaca. Ponsel bergetar: pesan dari nomor tak dikenal.
Nona Amara. Jangan lupa tanda tangan malam ini. Kami menunggu.
Amara menekan tombol power, mematikan layar. Ia membuka payung, melangkah ke gerimis. Setiap tetes jatuh seperti hitungan mundur. Dan di tasnya, map hitam itu terasa makin berat—seberat kata “ya” yang belum diucapkan… dan “tidak” yang tak sanggup ia pilih.