NovelToon NovelToon
Kultivator Koplak

Kultivator Koplak

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Sistem / Tokyo Revengers / One Piece / BLEACH / Jujutsu Kaisen
Popularitas:8k
Nilai: 5
Nama Author: yellow street elite

seorang pemuda yang di paksa masuk ke dalam dunia lain. Di paksa untuk bertahan hidup berkultivasi dengan cara yang aneh.
cerita ini akan di isi dengan kekonyolan dan hal-hal yang tidak masuk akal.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellow street elite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1

Dunia itu bernama Aetherion—sebuah jagat luas tempat sihir dan nasib bertaut dalam lingkaran takdir yang abadi. Di tengah langit bintang yang selalu bergerak, bersemayamlah seorang Dewi kuno: Anantasia, Sang Pemelihara Titik Awal dan Akhir. Ia bukan sekadar pencipta Aetherion, tapi penjaga harmoni semesta yang menyatukan berbagai lapisan dunia.

Namun harmoni itu kini terancam.

Dari celah-celah realitas yang retak, bangkitlah sesuatu yang tidak semestinya ada—Eidros, entitas prakeberadaan yang pernah disegel jauh sebelum waktu dimulai. Dalam diamnya, Eidros menumbuhkan kegelapan yang menelan tanah, menodai langit, dan membungkam suara roh. Pasukannya menyebar: makhluk-makhluk tanpa nama, bayangan-bayangan yang merasuki jiwa dan menelan cahaya kehidupan.

Anantasia melihat bahwa para dewa sendiri mulai kehilangan kekuatannya. Takdir tak lagi bisa ditulis ulang, dan hukum dunia mulai runtuh. Dalam keputusasaan yang tenang, ia membuka Gerbang Pemanggilan Takdir, sebuah ritus kuno yang dilarang dipakai kecuali saat kehancuran mutlak mengancam.

Melalui gerbang itu, ia menyerukan panggilan suci ke berbagai dunia—ke jagat modern yang tak mengenal sihir, ke dunia perang yang penuh darah, ke ruang masa depan yang terbungkus logika dan mesin. Ia tidak memanggil sembarang makhluk, tapi hanya mereka yang memiliki "jiwa tak terikat": orang-orang yang pernah kehilangan arah, namun tetap memiliki bara kecil dalam diri mereka… kekuatan untuk memilih sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Mereka datang dalam jumlah yang tidak sedikit.

Pria dan wanita dari usia dan bentuk hidup yang berbeda. Ada yang datang dalam tubuh fana, ada pula yang hanya berupa cahaya, suara, atau wujud spiritual. Sebagian datang karena harapan, sebagian karena pelarian, dan sebagian lagi karena rasa penasaran yang tak dapat dijelaskan.

Anantasia berdiri di hadapan mereka—tinggi, tak tergapai, namun lembut. Suaranya menembus jiwa.

"Kalian bukanlah pahlawan karena dipilih. Tapi karena kalian memilih. Aku tak akan memaksa kalian tetap di sini. Tapi jika kalian ingin... Aetherion bisa menjadi awal dari segala sesuatu yang belum pernah kalian pahami."

Tak semua menjawab dengan pasti. Tapi beberapa melangkah ke depan, menatap kegelapan di ujung cakrawala dunia asing itu… dan memilih untuk tinggal.

Dari sekian banyak sosok yang dipanggil ke dunia Aetherion, salah satunya muncul agak terlambat—seorang pemuda kurus dengan kaos oblong lusuh, celana jeans belel, dan wajah ngantuk seperti baru bangun tidur. Namanya Ryandi Pratama, seorang mahasiswa berusia 18 tahun dari dunia modern. Tidak ada aura istimewa darinya, tidak ada pancaran kekuatan, bahkan posturnya sedikit membungkuk seperti orang yang terlalu sering tidur di meja kelas.

Ia mengucek matanya, menatap sekeliling, lalu menggumam pelan,

"Apaan nih… tempat seminar kampus pindah ke dunia isekai?"

Beberapa orang lain yang dipanggil bersikap waspada, kagum, bahkan gemetar karena kehadiran Dewi Agung itu. Tapi tidak dengan Ryandi. Begitu pandangannya menumbuk pada wujud Anantasia, pupil matanya membesar.

Sosok sang Dewi berdiri di atas altar cahaya, rambutnya panjang menjuntai hingga lantai, kulitnya bersinar lembut seperti bulan purnama. Tapi yang paling mencolok adalah pakaiannya—atau lebih tepatnya, ketiadaan pakaian itu.

Seluruh tubuh Anantasia hanya dibalut oleh lembaran tipis berwarna putih keperakan, nyaris transparan, membungkus seadanya bagian-bagian penting, tapi justru menonjolkan lebih dari yang disembunyikan. Pinggulnya terbuka dari sisi, belahan dadanya memanjang dalam potongan V yang dalam, dan kaki jenjangnya sama sekali tak tertutup apapun selain untaian cahaya samar yang seolah dengan sengaja menyembunyikan titik paling rahasia.

Dan di saat yang lain berdebar karena kehadiran Ilahi...

Ryandi malah menyipitkan mata, menelan ludah, dan bergumam pelan,

"Gila... ini... Dewi beneran? Atau model Victoria's Secret? Buset... bahannya tipis bener..."

Otaknya langsung bekerja, tapi bukan dalam cara yang biasanya diharapkan dari seorang calon pahlawan. Imajinasi mesumnya melesat liar, membayangkan berbagai hal yang tak pantas, termasuk ide-ide bodoh seperti berpura-pura tersandung agar bisa jatuh di "tempat yang tepat".

Di sebelahnya, beberapa calon pahlawan menatap sinis atau heran melihat ekspresinya yang seperti anak SMA nonton film semi untuk pertama kali.

Namun Anantasia, meski menyadari tatapan pemuda itu, tidak marah. Ia hanya menoleh perlahan, dan untuk sesaat—entah kenapa—seulas senyum tipis muncul di sudut bibirnya.

"Kau… berbeda dari yang lain," ucapnya pelan, suara lembut itu menusuk langsung ke dalam hati Ryandi.

Dan dia?

Ryandi hanya garuk-garuk kepala.

"Iya, iya… gua juga gak ngerti kenapa bisa nyasar ke tempat begini..."

"Ahh… ini pasti game VR, ya kan? Grafisnya realistis banget…" pikir Ryandi sambil melihat sekeliling. Cahaya, aroma, suhu udara—semuanya terasa nyata. Terlalu nyata. Tapi bagi mahasiswa malas yang doyan tidur di kelas ini, pemikiran logis tidak pernah menjadi kekuatan utamanya.

Ia mendengus pendek lalu mengangguk pada dirinya sendiri.

"Yah, kalau ini memang dunia virtual, berarti saatnya masuk mode karakter."

Dengan gerakan penuh gaya—padahal tidak diminta siapa pun—ia melangkah ke depan, membuka menu imajiner di udara (yang sebenarnya tidak muncul apa-apa), lalu berkata setengah berbisik:

"Nama karakter… hmm… Rynz. Ya, itu lebih keren. Biar keliatan misterius dikit."

Salah satu orang di dekatnya sempat melirik heran karena pemuda itu bicara sendiri, tapi Ryandi—sekarang menyebut dirinya Rynz—tidak peduli. Ia mulai berjalan santai, menyilangkan tangan di belakang kepala, lalu bertanya cukup lantang:

"Kalau ini memang kayak game... terus kita semua dapet skill khusus, nggak?"

Pertanyaan itu mengundang lirikan dari beberapa orang. Suasana yang sebelumnya hening berubah jadi bisik-bisik penasaran. Beberapa memang sempat memikirkan hal serupa, tapi tak ada yang cukup bodoh atau cukup nekat untuk langsung bertanya pada Dewi Anantasia.

Namun sang Dewi tidak marah. Ia justru menoleh perlahan, dan seulas senyum muncul di wajahnya—senyum lembut yang anehnya terasa hangat, namun menyimpan sesuatu yang sulit ditebak.

"Tentu saja," ucapnya pelan, suaranya seolah menyelinap masuk langsung ke dalam dada mereka.

"Setiap jiwa akan diberi sesuatu yang mencerminkan kedalaman batin mereka... Sebuah kekuatan. Atau mungkin, sebuah kutukan."

Seketika, tanah di bawah mereka bergetar. Langit meredup. Dan di hadapan mereka terbentuk sebuah bola energi raksasa—melayang di udara, berputar perlahan, memancarkan aliran cahaya dan suara gema spiritual yang menembus alam bawah sadar.

Anantasia melangkah ke depan, tubuhnya dilingkupi aura suci yang menggema seperti gelombang lautan.

"Masuklah. Di dalam sinilah takdirmu akan terbaca."

Satu per satu, orang-orang mulai berjalan menuju bola energi itu.

Beberapa dengan rasa takut.

Beberapa dengan harapan.

Dan Rynz?

Ia justru berseru pelan dengan gaya seenaknya:

"Heh… semoga dapet skill ngintip baju musuh."

Kemudian ia tertawa sendiri sebelum ikut melangkah masuk ke dalam bola cahaya, tanpa tahu bahwa...

ia akan mendapatkan sesuatu yang bahkan tak ada dalam sistem manapun.

Sambil melangkah pelan mengikuti arus, Rynz tetap memperhatikan setiap orang yang mendahuluinya masuk ke dalam bola energi spiritual itu. Setiap jiwa yang melewati medan cahaya itu, tubuh mereka berpendar sesaat, lalu sebuah lingkaran sihir muncul di bawah kaki mereka—mengumumkan profesi, atribut utama, bahkan kemampuan awal yang mereka peroleh.

Ada yang langsung dipenuhi cahaya perak tebal dan mendapat panggilan "Tanker".

Tubuhnya membesar, dilapisi aura pelindung tebal seperti perisai hidup.

Yang lain dikelilingi oleh api dan logam—seorang Warrior, dengan kekuatan fisik brutal dan refleks cepat.

Beberapa diselimuti bayangan pekat, nyaris tidak terlihat, lalu dipanggil sebagai Assassin.

Tubuh mereka menghilang dari pandangan sebelum muncul kembali di tempat lain, seperti bayangan yang melompat antar dimensi.

Ada juga yang ditutupi kabut ungu penuh simbol, lalu diakui sebagai Magician. Mereka memanggil petir, bola api, bahkan hujan racun, hanya dengan isyarat tangan.

Dan tentu saja, mereka yang disinari cahaya hangat dan tenang, menjadi Healer, pemulih luka dan penahan batas antara hidup dan mati.

Satu gadis muda bahkan tiba-tiba dikelilingi oleh kupu-kupu bercahaya, dan dari dalam bola energi, muncul seekor serigala bermata dua.

"Spiritual Beast Contracted", ujar suara gaib.

Rynz mengangguk-angguk pelan, mencoba bersikap seperti sedang menilai sebuah game balance.

"Hmm… Tanker itu kayak paladin. Warrior sih mainstream. Assassin, meh, udah terlalu banyak di game PvP. Magician? Ntar kena stun langsung ampas. Healer? No, thanks."

Lalu ia menyeringai kecil, menatap bola energi yang kini makin mendekat padanya.

"Kalau gitu, biar kuajukan satu harapan terakhir…"

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu bergumam dalam hati:

"Tolong ya… kasih aku jadi Super Saiyan… atau minimal One Punch Man lah. Biar bisa jadi karakter OP dari episode satu."

Bola energi itu perlahan menyelimuti tubuhnya.

Tapi berbeda dari yang lain, cahaya yang muncul bukan putih, merah, atau emas...

melainkan abu-abu, samar, berdenyut pelan, nyaris tanpa gema atau efek suara. Tak ada sinar menyilaukan, tak ada formasi lingkaran sihir di bawah kakinya.

Bahkan sistem tidak langsung mengumumkan profesinya.

Hening.

Membingungkan.

Rynz melongok ke tubuhnya sendiri, mengangkat tangan dan melihat ke sekeliling.

"Lah? Kok gak ada efek-efeknya? Mana tulisan 'Selamat, Anda Mendapat Profesi Langka'?"

Tapi kemudian, dari dalam bola energi itu… terdengar suara Dewi Anantasia.

Lembut. Tapi kali ini... agak aneh.

"Kau bukan petarung. Bukan penyembuh. Bukan pemanggil. Kau adalah… sesuatu yang tidak pernah tertulis dalam sistemku."

Sekejap setelah itu, seluruh bola energi mendadak meredup. Para peserta yang belum masuk tampak kaget.

Bahkan langit di atas mereka sempat berubah warna.

Sementara Rynz berdiri di tengah pusaran kekacauan itu, matanya melotot.

"Wah anjir... jangan-jangan aku beneran jadi karakter bug..."

1
yayat
tambah kuat lg
yayat
mulai pembantaian ni kayanya
yayat
ok ni latihn dari nol belajar mengenl kekuatan diri dulu lanjut thor
yayat
sejauh ini alurnya ok tp mc nya lambat pertumbuhnnya tp ok lah
‌🇳‌‌🇴‌‌🇻‌‌
sebelum kalian baca novel ini , biar gw kasih tau , ngk ada yang spesial dari cerita ini , tidak ada over power , intinya novel ini cuman gitu gitu aja plus MC bodoh dan naif bukan koplak atau lucu. kek QI MC minus 500 maka dari itu jangan berharap pada novel ini .
Aryanti endah
Luar biasa
Aisyah Suyuti
menarik
Chaidir Palmer1608
ngapa nga dibunuh musih2nya tanggung amat, dah punya api hitam sakti kok masih takut aja nga pantes jadi mc jagoan dah jadi tukang tempa aja nga usah ikut tempur bikin malu
Penyair Kegelapan: kwkwkw,bang kalo jadi MC Over Power dia gak koplak.
total 1 replies
Chaidir Palmer1608
jangan menyalahkan orang lain diri lo sendiri yg main main nga punya pikiran serius anjing
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!