"Kamu mau nanya apa?" Rasa penasaran mengalahkan sifat apatisnya.
Layaknya angin segar, Davina seolah mendapatkan lampu hijau melihat roman muka sang bos yang mencair, tak sebeku tadi.
"Kalau misalkan setiap hari sabtu sepulang saya kerja, saya izin pulang kerumah ibu, bolehkah?" Nampak keraguan di raut wajah Davina.
Radithya tak langsung menjawab, seolah sedang berfikir dan tak menghiraukan pertanyaan Davina tadi. Ia kembali memainkan gawainya yang sedari tadi berdering, entah dari siapa yang jelas nampak di raut wajahnya kesan bahwa ada sesuatu yang mengganggu fikirannya.
Davina hanya bisa menelan salivanya, ia menyesal telah berani mempertanyakan soal itu yang jelas-jelas telah ada dalam peraturan bahwa ia tidak bisa kemana-mana meski hari libur sekalipun karena sang Tuan Muda bisa membutuhkannya kapan saja.
"Sungguh peraturan tak manusiawi dan tak berakhlak" . Fikirnya saat itu.
Namun ketika di iming-imingi akan ada bonus kerja tambahan yang cukup besar jika bekerja di hari libur, tanpa fikir panjang Davina langsung menyetujuinya.
Dan kini, ada rasa rindu terselip dihatinya mengingat ia sekarang telah terikat dengan si bos jutek yang pastinya ia akan sangat sulit sekali untuk bisa bertemu dengan adik dan mamanya. Padahal ia telah menjanjikan akan pulang setiap seminggu sekali.
Ekor mata Davina melirik kearah Radithya yang masih diam. Dengan menyandarkan kepalanya, kedua netranya ia tutup perlahan. Jelas sekali bukan karena mengantuk ia pejamkan matanya, melainkan seperti ada yang sedang ia fikirkan, entah apa itu.
Hembusan nafasnya terasa berat seolah menyiratkan persoalan yang dihadapinya pun begitu berat. Lagi-lagi Davina hanya bisa diam tanpa berani mengusiknya lagi dengan pertanyaannya tadi.
"Pak, sepertinya kita telah sampai." Davina memberanikan diri membangunkan Radithya yang seolah tertidur.
"Hemmm... ya aku tahu!" Kemudian ia menoleh kearah Davina yang masih kebingungan untuk membuka pintunya. "Kamu tinggal tekan tombol kecil itu!" Katanya.
Tanpa menunggu pintu dibukakan, ia pun keluar. Davina bergegas mengekor sang bos dengan kedua tangan penuh dengan barang-barang kantor dan berkas-berkas penting yang selalu dibawa kemana-mana oleh si Bos.
Tiba di depan ruangan resepsionis, sepanjang perjalanan menuju ruangan Sang Bos, beberapa pasang netra memandangnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Mungkin mereka heran bahkan sebagian ada yang mengenalku yang dulunya sebagai karyawan kontrak biasa, dan kini bisa dengan tiba-tiba menjadi dekat dengan sang Bos idolanya, bahkan menjadi asisten pribadinya. Kehebohan pun tak terelakan lagi.
Davina tahu kalau ia kini jadi bahan gosip para pemilik mulut nyinyir di perusahaannya, namun ia sama sekali tak berniat untuk mengelak, membela diri atau bahkan melabraknya. Justru baginya sikap tak elegan itulah yang nantinya akan membuat dirinya sakit hati sendiri bahkan lebih parah lagi akan membuatnya terpuruk.
Ia coba hadapi semua nyinyiran dengan senyum dan tenang, ia sikapi dengan elegan. Bahkan ketika ia harus melewati kerumunan para karyawan yang tengah beristirahat dan bergosip ria, dengan penuh percaya diri dan bersikap sedewasa mungkin, ia angkat kepala dengan melebarkan senyum diiringi langkah tegap penuh percaya diri melangkah didepan mereka sambil sesekali menyapa dengan kalimat ramah dan akrab.
"Hei, liat tuh cewek itu. Pede amat yah? Baru aja diangkat jadi asisten pak Radith, gayanya udah selangit."
Kalimat pedas dan nyelekit terdengar jelas di telinga Davina, namun sama sekali ia tak berselera untuk menanggapinya. Ia lanjutkan makan siangnya sambil asyik dengan gawainya memainkan game favoritenya.
" Zaman sekarang tuh, jika mau dapetin jabatan penting itu kalau bukan karena uang yang berbicara, yaaaah... dengan apalagi coba?"
Kata salah seorang perempuan bertubuh seksi dan beriasan tebal, sengaja ia keraskan volume suaranya agar bisa terdengar oleh Davina yang duduknya tidak seberapa jauh dari tempat duduk mereka.
"Yah dengan apalagi coba, pasti dengan tubuhnya kali... hahaha...."
kata salah satu temannya menimpali, diiringi gelak tawa sinis serta cibiran yang bagi siapapun yang mendengarnya pasti akan tersulut emosinya. Mereka sengaja ingin memancing emosi Davina yang sedari tadi tak menanggapi sama sekali ocehan mereka.
"Dan kalian juga harus tahu, kalau ciri- ciri cewek murah meriah tuh, walaupun banyak orang yang ngomongin jelek juga, telinga sama mukanya tuh dibikin tebal biar mereka tetap fokus dengan aksinya dan yang penting uang tetap ngalir ke dompetnya, sungguh menjijikan kan?"
Seraya mencibirkan bibirnya, ia kembali berceloteh nyinyir tanpa beban. Sungguh tak pantas ucapannya itu keluar dari bibirnya yang cantik. Teman-temannya meresponnya dengan menatap Davina sinis.
Walau sudah mencoba mengalihkan pendengarannya dengan bermain gadget, namun telinganya masih tetap saja bisa menangkap omongan mereka yang menyakitkan.
Setelah menghabiskan makan siangnya dan menyimpan beberapa lembar uang dimeja saji, kemudian ia bangkit hendak keluar dari cafe yang baginya terasa sangat panas dan tidak nyaman, terlebih harus berada satu ruangan dengan orang-orang pengghibah seperti keempat cewek cantik itu.
"Besok aku harus memilih makan di warteg saja lebih nyaman daripada harus makan seatap dengan cewek-cewek rese ini." Katanya dalam hati sambil berlalu hendak pergi meninggalkan cafe itu.
Bersambung
Mohon dukungannya yah.. dengan komen yang membangun agar saya lebih semangat lagi menulis. Terimakasih🙏🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Akun Baru16
bagus davina. sy juga kalo jd kamu mnding makan d warteg aja. ngirit...hehehe.
2021-10-26
0