Pagi-pagi sekali aku dan mas Doni menemui ibu di rumahnya. Kami sengaja membawa banyak makanan untuk disantap bersama ibu dan adikku.
Kami berempat sudah duduk di atas tikar untuk bersiap sarapan. Kami sedikit berbincang sambil mengunyah makanan.
"Makasih, ibu emang beruntung punya menantu sebaik nak Doni." Ibu tersenyum.
"Ibu jangan selalu memuji, menurut saya ini biasa aja kok." Mas Doni merendah.
"Syarif, katanya sebentar lagi kamu jadi seorang ayah muda." Mas Doni mencoba menyapa adikku yang dari tadi belum bicara.
Syarif memang pendiam, dia tidak akan bicara sebelum ditanya duluan.
"Ya mas." Jawab Syarif singkat.
"Suci bilang kamu masih 21 tahun. Hebat ya kamu masih muda udah bisa memikul tanggung jawab besar. Menjadi seorang suami dan juga seorang ayah."
"Bukan hebat mas. Saya cuma berusaha yang terbaik saja bagi istri dan calon anak saya."
"Ya...bagus itu.Mas harus belajar dari kamu sepertinya. Belajar biar bisa cepat punya anak." Mas Doni nyengir.
Sementara aku dan adikku saling bertatapan karena sedikit bingung. Ternyata mas Doni yang terkesan sering serius, bisa juga bercanda seperti itu.
Sementara ibu terlihat senang mendengarnya, mungkinkah ibu juga menginginkan segera dapat cucu dariku ?
"Kenapa pada diem ? gak lucu ya ? emang aku lagi serius. Aku juga pengen cepet punya anak. Usiaku sudah 35 tahun, secepatnya harus punya Doni junior."
Sejujur itu suamiku mengungkapkan keinginannya tanpa malu di depan mertuanya sendiri. Malah aku yang jadi malu.
Makanan pun sudah kami habiskan tanpa sisa. Makan bersama itu memang membuat kita sangat lahap dari biasanya.
Syarif kini tengah bersiap untuk berangkat ke Majalengka. Ada raut kesedihan pada wajah ibu karena akan berjauhan lagi dengan si bungsu. Aku pun sama.
"Syarif pamit ya Bu. Jaga kesehatan dan jangan banyak memikirkan hal-hal yang tidak penting." Adikku mencium tangan ibu.
"Kamu hati-hati di jalan ya nak. Ibu selalu mendoakan kebahagiaan kamu." Ibu mengusap lembut kepala Syarif.
"Mbak, aku berangkat ya. Titip ibu." Adikku juga mencium tanganku.
"Ya. Salam buat istri dan keluargamu di sana. Salam juga buat Indah, bilang sama dia kalo mbak kangen." Semakin sedih saat mengingat adik pertamaku Indah, sudah lama aku tak bertemu dengannya.
Jangankan untuk melihat wajahnya dan mendengar suaranya, sekedar melihat isi chat nya saja aku tidak bisa, karena suami Indah memblokir nomerku. Dia sangat membenciku.
"Mas, saya titip mbak Suci dan ibu." Giliran Syarif sungkem pada mas Doni.
"Kamu jangan khawatir, mas pasti akan jaga mereka. Ini buat beli bensin." Mas Doni memberi dua lembar uang seratus ribuan pada Syarif.
"Gak usah mas, saya masih ada uang kok." Syarif mengembalikan lagi uang itu namun mas Doni menolak.
"Kalo nolak, berarti kamu gak hargain mas. Ambil aja, mas ikhlas. Jumlahnya memang gak seberapa tapi lumayan buat bensin atau beli air minum."
"Makasih banyak mas. Saya berangkat sekarang. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam." Kami menjawab salam hampir bersamaan.
Syarif pun berlalu dengan motor matic nya. Ibu dan aku masih terpaku menatap kepergian si bungsu.
Mas Doni yang mengerti dengan perasaan kami pun segera mengajak ke dalam untuk mengepak pakaian ibu yang akan dibawa ke rumah mas Doni.
Selesai membereskan barang bawaan, kami pun masuk ke mobil. Sebelum itu mas Doni mengunci dulu pintunya lalu menyusul kami.
Sebelum pergi aku dan ibu menatap lekat rumah itu. Meski kecil dan tidak bagus, namun rumah itu adalah harta kami satu-satunya yang tersisa.
Sekitar setengah jam perjalanan akhirnya kami pun sampai di rumah mas Doni. Dengan sigap suamiku membawa semua barang ibu ke dalam.
"Rumah suamimu bagus dan besar." Mata ibu berbinar.
Aku pun tersenyum dan mengajak ibu ke dalam mengikuti suamiku yang sudah duluan melangkah.
Kami menuju lantai atas.
"Ibu mau kamar yang mana ?" tanya mas Doni.
"Yang mana saja boleh."
"Kamar ini aja ya Bu, biar bisa berdekatan dengan kamar kami. Jadi kalo butuh apa-apa ibu gak repot." Tawar mas Doni.
"Makasih nak. Kamu udah mengijinkan ibu tinggal dengan kalian."
"Ibu sudah ku anggap seperti ibu kandungku sendiri. Gak usah sungkan." Mas Doni menebar senyum pada ibu.
Aku sangat bahagia karena suamiku bukan hanya mencintaiku, namun juga mencintai ibu.
Saat malam menyapa.
Tadi mas Doni pamit ke mini market untuk membeli sesuatu. Sambil menunggu ku manfaatkan waktu untuk mandi dan berdandan.
Kini aku telah siap menyambut kedatangan suamiku.
Tak lama berselang mas Doni membuka pintu kamar dan.....dia menatapku tanpa berkedip.
Dia kembali menutup dan mengunci pintu itu. Mas Doni ikut duduk di sebelahku.
Tanpa berkata-kata dan berbasa-basi lagi, mas Doni memeluk dan mencumbuku.
Saat itu juga kami kembali bercinta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
Hasna Fatimah
doni sungguh laki2 yang baik gak egois
2021-06-30
1
Rokhmi Nh
lanjut.....
2021-05-05
1
🍾⃝ ͩSᷞɪͧᴠᷡɪ ͣ
suami idaman🤩😍
2021-04-08
4