Perdebatan Bara dan Bella terhenti saat pintu ruang kerja itu terbuka. Muncul Rania dengan tampang polosnya. Berpura-pura tidak terjadi apa-apa, walau dalam hati sudah berdebar menyembunyikan ketar-ketir. Takut dengan amarah Bara.
“Dad, Mom.” Rania menyapa kedua orang tuanya. Memamerkan gigi-gigi putih yang berderet rapi. Sebisa mungkin tidak ingin memancing kecurigaan, ia bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa.
“Kak, kamu ke mana saja? Kenapa pulang terlambat?” tanya Bella, berjalan mendekat ke arah putri tertuanya. Meraih tas dari tangan Rania.
“Ada pelajaran tambahan, Mom.” Rania beralasan.
Gadis itu tersenyum menatap Bella, tetapi kedua sudut bibirnya mendatar kembali saat melihat ke arah Bara. Daddy-nya sedang menelitinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tak ada sejengkal pun yang lolos dari pengamatan Bara.
“Mas, jangan kelewatan. Kakak baru saja pulang sekolah.”
“Cuci tangan, Kak. Mommy siapkan makan siangmu.” Bella berusaha mencairkan suasana. Berjalan menuju meja kerja Bara dan menyiapkan bekal yang memang disiapkannya untuk Rania.
Berkumpul seperti ini jarang mereka lakukan. Biasanya Bella dan putra-putrinya menghabiskan siang hari mereka dengan tidur, mengobrol dan bercanda. Baru bertemu dengan pemimpin keluarga itu saat hari menjelang malam atau bahkan melewatkan hari tanpa sang daddy karena pria itu lembur.
Rania terlihat ragu, melangkah mendekati meja Bara. Di sana sudah tersedia makan siang yang disiapkan di dalam kotak bekal. Ada ayam goreng tepung dan sayur sop kesukaan Rania.
“Makan, Kak. Ini sudah sore.” Bella merengkuh pundak Rania yang masih terbungkus seragam sekolah. Meminta gadis remajanya segera duduk dan menyantap bekal.
“Ehemm!” Bara berdeham sembari meraih kembali pena mahalnya. Meneruskan pekerjaan sambil melirik putri yang duduk di hadapannya.
“Dad ....” sapa Rania ragu-ragu.
“Ada apa?” tanya Bara dengan suara tegas.
“Kakak minta maaf ... terlambat pulang sekolah.” Rania mengumbar kata-kata manis seperti biasa untuk meredam emosi yang tercetak jelas di wajah sang Bara.
“Hemmm.”
“Dad ....” sapa Rania lagi, memecah keheningan.
“Habiskan makan siangmu, Kak. Daddy masih ada pekerjaan sekarang,” tegas Bara. Ia mengulum senyumnya saat mendapati permintaan maaf Rania. Setidaknya Rania sadar akan kesalahan yang telah dilakukan.
Pulang terlambat bukanlah masalah besar, apalagi kalau karena ada pelajaran tambahan. Namun, seharusnya Rania mengabari, jadi semua orang tidak khawatir.
“Bukan karena pacaran, kan?” todong Bara asal.
“Ti-tidak Dad.” Rania terbata menelan saliva buru-buru. Seperti tertangkap basah sudah berbohong. Tadi saja sudah bersusah payah mencari alasan untuk mengelabui Pak Rudi dan sekarang ia harus berdrama di depan Bara.
“Kakak itu baru boleh pacaran kalau sudah menyelesaikan S1,” tegas Bara mendongak sekilas. Kemudian melanjutkan pekerjaannya.
“Hah? Apa tidak salah, Dad?” tanya Rania mengangkat pandangannya. Tangan kanannya sedang menyuapkan sesendok besar nasi dan ayam.
Ia menatap Bara seakan ucapan pria itu begitu mengerikan. Membayangkan butuh waktu lama untuk memproklamirkan hubungannya dengan Matt, butuh bertahun-tahun lagi kalau harus menunggunya selesai kuliah. Tidak bisa membayangkan harus bermain petak umpet selama itu.
“Jangan mengikuti jejak mommy-mu.” Bara menjawab asal.
“Mas! Apa maksudmu bicara seperti itu?” Bella bertanya dengan ketus. Berjalan mendekat setelah tadi sempat duduk di sofa menemani Real dan Issabell.
“Aku hanya tidak ingin Kakak mengikuti jejakmu, Bell. Anak-anakku harus sarjana.” Bara menjelaskan dengan santai. Tanpa menyadari ucapannya bisa saja melukai hati sang istri.
“Itu karena ulahmu juga, Mas. Harusnya aku sudah menyelesaikan kuliahku sekarang.” Bella membela diri.
“Bukannya setelah melahirkan Real kamu masih bisa melanjutkan kuliahmu, Bell. Hanya saja kamu terlalu terlena dengan kesibukanmu sebagai ibu muda, jadi mengabaikan pendidikanmu. Sejak awal aku tidak pernah menentangmu, jadi kamu tidak bisa menyalahkanku,” jelas Bara membela diri.
“Baiklah, mulai besok aku akan mulai mencari kampus. Aku akan kuliah lagi,” sahut Bella ketus.
“Eh ... eh kamu tidak bisa memutuskannya sepihak seperti ini, Bell. Bukannya kita sudah berencana menambah anak, kamu malah mau kuliah lagi.” Bara terkekeh setelah melontarkan alasan.
Perdebatan keduanya terhenti saat ponsel Rania berbunyi dari dalam tas. Buru-buru gadis itu berlari untuk memastikan siapa yang menghubunginya.
“Teo," gumamnya dalam hati sebelum menempelkan gawai dengan cover merah muda itu ke telinga.
“Ya, Teo.” Rania menelan ludah. Melempar pandangan pada Bara dan Bella bergantian.
“Ran, kamu sudah sampai ke kantor ayah Daddy?" tanya Matt.
Ya, nanti aku akan menghubungimu lagi, ya. Aku sedang makan siang,” putus Rania. Tidak ingin berbincang terlalu lama yang hanya akan membuat kecurigaan Bara semakin menjadi. Namun, kalau ia mengabaikan panggilan itu, Bara juga akan curiga padanya.
“Siapa Teo?” tanya Bara sesaat setelah Rania menjatuhkan bokongnya ke kursi.
"Em ...." Rania sudah bersiap melanjutkan makan siang, meskipun perutnya sudah kenyang terisi semangkok bakso traktiran Matt.
Tanpa menunggu jawaban, Bara segera menyambar ponsel putrinya yang diletakan di atas meja. Jemarinya dengan lincah berselancar di layar, mencari tahu apa dan siapa yang sudah menghubungi putri sulungnya.
“Teodora, Dad. Teman sebangku di sekolah. Hanya menanyakan tugas yang harus dikumpulkan besok,” jelas Rania. Lagi-lagi ia harus berbohong. Perkenalannya dengan Matt selama ini sering kali membuat ia berdusta pada kedua orang tuanya.
“Teodora? Perempuan atau laki-laki? Kenapa dipanggil Teo?” tanya Bara tersenyum membaca nama kontak yang baru saja menghubungi Rania.
“Teodora Mathilda,” ucap Bara penuh selidik.
“Aneh-aneh saja anak sekarang. Punya nama cantik, tetapi mau-maunya dipanggil Teo. Itu tidak ada manis-manisnya.” Bara berpendapat sambil menyerahkan kembali ponsel Rania.
“Katanya lebih keren dipanggil Teo dibanding Dora.”
“Bisa dipanggil Hilda, kan?” serang Bara, menggeleng kepala.
Katanya lebih keren dipanggil Matt, Dad,” jelas Rania.
“Sudah! Jangan berdebat lagi. Itu hanya teman sekolah kakak, Mas. Jangan berlebihan.” Bella menengahi.
“Habiskan makananmu sekarang, Kak.” Bara menyudahi perdebatannya. Kembali fokus dengan berkasnya.
***
Setelah menikmati kunjungan ke kantor suaminya, Bella memutuskan memboyong ketiga anaknya pulang ke rumah. Mobil yang dikendarai Pak Rudi itu lebih sesak dibandingkan saat berangkat.
Riuh rendah, canda tawa, bahkan tangisan Real pun mengisi perjalanan mereka. Anak-anak memang membuat hidup begitu berwarna.
Mobil Alphard hitam itu akhirnya masuk ke dalam pekarangan rumah. Begitu lajunya terhenti sempurna, tampak seorang security baru berlari mendekati mobil dan membuka pintu untuk Bella.
"Bu, ada tamu mencari ibu. Sedang menunggu di dalam," jelasnya sedikit membungkuk. Mengarahkan ujung ibu jarinya ke arah rumah.
"Siapa? tanya Bella heran.
"Katanya saudara ibu.”
"Kak Rissa ...." gumam Bella. Ia berlari masuk sambil menggendong Real. Sudah lama sekali tidak bertemu dengan kakaknya. Apalagi selama Rissa dipenjara, Bara tidak mengizinkannya dan ibu berkunjung di hotel prodeo. Bahkan Bara tidak mengizinkannya mencari tahu semua hal tentang Rissa.
"Sejak kapan Kak Rissa keluar? Kenapa Mas Bara tidak memberitahuku tentang kabar gembira ini."
***
To be continue
Love You all
Terima kasih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
andi hastutty
hahahha sembunyi trus 😂😂😂
2022-11-10
0
Sri Sunarti
lanjut
2022-05-28
1
Nila
😄😄💪💪💪👍👍❤️❤️
2022-02-21
1