Menyelesaikan sisa waktu sarapan pagi dengan tenang setelah Real berhenti membuat kekacauan, anggota keluarga Barata Wirayudha disibukan dengan menu makanan di atas piring mereka masing-masing. Rania terlihat memotong telur dadarnya dengan sendok dan menusuknya bersama dengan potongan kentang.
Issabell, gadis kecil itu menggenggam sandwich dengan daging asap dan keju lembaran terjepit di dalamnya. Melahap sandwich racikan sang mommy dengan begitu antusias. Real, putra mahkota Bara itu terlihat sibuk menarik masuk cairan kental yang memenuhi rongga hidungnya, imbas mengamuk tak berkesudahan.
“Sudah Real, ayo Mommy suapi serealnya.” Bella meraih putranya. Membawa batita itu duduk di pangkuan setelah menyingkirkan sepiring nasi goreng miliknya yang baru akan disentuh. Mengalah demi memastikan Real menghabiskan sarapannya. Menyuapi dengan telaten, sesekali mengusap noda susu memutih di sudut bibir mungil Real.
Dan sang kepala keluarga yang terasing, terlihat menyelesaikan sarapannya dengan buru-buru. Tidak tega saat melihat Bella harus menahan laparnya demi mengurusi Real.
Apa boleh buat, putra mereka satu ini sedikit spesial. Sejak lahir tidak mau dipegang pengasuhnya. Alhasil, Bara hanya mempekerjakan babysitter beberapa bulan saja, seterusnya Bella mengurus sendiri dibantu dengan Ibu Rosma dan Opa Oma Rania yang saat ini sedang liburan ke Bali.
Tampak Bara menghampiri Bella yang sedang memangku Real, setelah merapikan sendok dan garpunya di atas piring yang sudah bersih bersinar.
“Sayang, habiskan sarapanmu. Biarkan aku menemani Real bermain sebentar di halaman depan,” ucap Bara, meraih tubuh Real yang baru saja menghabiskan semangkok sereal.
“Ca, kamu hari ini tidak sekolah, kan?” tanya Bara, menatap putri keduanya yang juga baru selesai menghabiskan sandwich-nya
“Ya, Dad.”
“Ayo ikut Daddy ke depan,” ajak Bara.
“Mas tidak ke kantor?” tanya Bella, mengerutkan dahi.
“Hanya sebentar, Bell. Ini masih pagi. Sambil menunggumu menghabiskan sarapan, aku mau bermain dengan mereka,” jelas Bara. Tanpa menunggu jawaban, pria dengan setelan kerja itu sudah menggendong Real sembari menggandeng Issabell menuju halaman rumah mereka.
Setahun belakangan, perusahaan Bara berkembang pesat. Membuka beberapa cabang di luar kota, membuat Bara harus memangkas waktu berkumpul dengan keluarganya. Tidak jarang pria yang tahun ini akan menginjak usia 41 tahun itu harus mengorbankan kebersamaannya bersama ketiga putra-putrinya.
Mencuri momen singkat di pagi hari seperti inilah yang bisa dilakukan Bara untuk saat ini. Karena ia tahu, setiap pulang kantor hanya akan ada Bella yang menyambutnya. Anak-anak mereka sudah terlelap di peraduan malam, berlayar di alam mimpi.
***
“Mas ....” sapa Bella. Setelah hampir lima belas menit, Bella menyusul Bara. Ikut menikmati pemandangan menenangkan di pagi ini. Terlihat Issabell sedang menemani Real bermain di halaman berumput. Berlarian kecil sesekali berguling di rerumputan hijau.
“Sudah selesai sarapan? Mana Kakak?” tanya Bara, menatap wanita berkaos hitam yang tampak cantik menyegarkan. Wanita yang mengisi hidupnya lima tahun terakhir ini.
“Sebentar lagi Kakak keluar.”
“Bell, tolong awasi anak itu. Aku tidak mau Kakak pacaran dulu, sebelum menyelesaikan sekolahnya.”
“Namanya anak-anak, Mas. Biarkan saja.” Bella menjawab dengan santai. Pandangannya masih tertuju pada Real, putra kecilnya sedang tertawa bersama Issabell.
“Bell, kamu tahu sendiri, kan? Anak-anak seumur Rania itu bagaimana pergaulannya. Pokoknya kakak tidak boleh pacaran dulu sampai menamatkan SMA-nya!” tegas Bara.
“Aku khawatir, Bell. Aku tidak mau Kakak ....”
“Mas, biarkan saja. Namanya juga anak remaja, yang penting diawasi. Jangan terlalu keras, Mas. Kasihan Kakak,” ucap Bella, memberi alasan.
“Bell ....”
“Cukup Mas, aku tidak mau berdebat!” Bella mengangkat tangannya, meminta Bara berhenti berbicara.
“Kita juga pernah ada di posisi Kakak. Apa dulu Mas juga tidak pacaran sewaktu SMA? Bukankah dulu Mas pacaran dengan Mbak Brenda sejak duduk di kelas 10 SMA.” Bella mengingatkan.
Deg—
Bara merapatkan bibirnya, tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi. Ucapan istrinya seperti menampar wajahnya sendiri.
“Mas khawatir Kakak akan bersikap aneh-aneh. Itu sebenarnya hanya ketakutan Mas saja ... atau jangan-jangan dulu sewaktu SMA, pergaulan dan gaya pacaran Mas mengkhawatirkan. Jadi Mas tidak mau Kakak mengikuti jejakmu, Mas,” serang Bella.
“Sudah Bell, kita selesaikan perdebatan sampai di sini saja. Intinya, tolong kamu awasi anak itu. Aku mengkhawatirkannya,” ucap Bara, menelan ludahnya.
Sejak hamil, melahirkan sampai sekarang dia selalu kalah setiap berdebat dengan Bella. Ada-ada saja kalimat Bella yang sanggup mematahkan pendapatnya. Bara sampai heran sendiri, sejak kapan istrinya menjadi begini cerdas dan pintar membantah kata-katanya.
Kalau tahu Bella sepintar ini, harusnya ia mengirim istrinya ke fakultas hukum dulunya. Setidaknya kepintaran Bella bisa disalurkan di ruang sidang dan tidak perlu berdebat dengannya yang hanya seorang arsitek.
Dari dalam rumah, muncul Rania dengan tas menggantung membelah tubuhnya. Tersenyum, sembari menatap layar ponsel, sehingga nyaris tersandung pijakan anak tangga,
“Tuh, Mom. Apa tidak lihat?” Bara sudah memulai kembali.
“Biasa saja Mas. Aku akan mengawasinya, Mas tidak perlu khawatir.” Bella menenangkan.
Memilih tidak mau berdebat lagi, Bara meneriaki Real dan Issabell sebelum berangkat ke kantor.
“Sayang, Daddy mau berangkat ke kantor sekarang. Ayo!” teriak Bara, menarik celana kainnya dan berjongkok menyambut putra dan putrinya. Dalam hitungan detik, Issabell dan Real menghambur naik ke gendongan Bara. Satu di sisi kiri, satu di sisi kanan.
“Daddy mau ke kantor, hari ini daddy pulang malam lagi.” Bara berpamitan, mengecup pipi Issabell dan Real bergantian.
“Dad, mau mobil emot,” pinta Real.
“Ya, minggu kita beli mobil-mobilan.” Bara tersenyum menatap putranya. Miniatur dirinya, sama kerasnya, sama emosiannya.
Menurunkan keduanya, beralih memeluk Rania. “Kakak berangkat dengan Pak Rudi, ya. Daddy harus ke puncak hari ini.” Bara mengecup kening putrinya, menepuk pelan pipi gadisnya yang semakin hari semakin cantik. Kecantikan Rania yang pad akhirnya membuat Bara khawatir. Takut dengan kumbang jantan yang akan datang memetik madu.
“Ya, Dad.” Rania menjawab singkat.
Setelah melepaskan pelukannya pada Rania, Bara beralih menatap Bella. “Mom, aku harus keluar kota lagi. Pulang malam dan ...”
“Ya, Mas,” potong Bella, tersenyum. Ibu muda itu mulai terbiasa dengan kesibukan Bara, tidak pernah protes, tidak pernah mengeluh.
“Love you, Sweetheart.” Kecupan tipis di bibir Bella, sebelum masuk ke dalam mobil. Diiringi lambaian ketiga anaknya.
***
“Mom, Daddy tidak punya istri lagi, kan?” celetuk Rania tiba-tiba. Keduanya masih menatap mobil Bara yang menghilang di balik pagar rumah mewah mereka.
“Apaan sih, Kak!” ucap Bella, menatap tajam ke arah Rania.
“Kakak itu bukan anak kecil lagi. Daddy itu pulang malam hampir setiap hari. Keluar kota hampir setiap minggu. Memang Mommy tidak curiga?” tanya Rania.
Deg—
“Masuk ke mobil sekarang, Kak. Pak Rudi sudah menunggu,” usir Bella, berusaha menghempas pikiran buruk yang ditanamkan Rania padanya.
***
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Aisyah Septiyasa
Wah jangan2 benar bara ada sesuatu yg di sembunyikan dr bella
2022-12-03
0
Nur Lizza
semoga dugaan rania tdk benar
2022-10-22
0
M.azril maulana
harus nya memang begitu,patut di curigai
2022-10-17
0