“Stop minum pil KB mulai hari ini. Mari kita berjuang lagi, Bell,” ucap Bara, tersenyum menggoda.
“Ya, Mas.”
Bella memandang suaminya dengan pertanyaan bergelayutan memenuhi otak. Bibir sudah ingin melempar tanya tetapi masih terselip ragu. Ia tidak mau dianggap sebagai istri yang selalu menaruh curiga pada suaminya. Tidak mau dianggap terlalu ikut campur masalah perusahaan. Apalagi kalau Bara merasa ini perlu diketahuinya, pasti suaminya itu akan bercerita sendiri tanpa diminta.
Menghempas jauh berbagai dugaan buruk yang menari sejak semalam, Bella berusaha berpikiran positif. Banyak cerita yang mereka lewati selama ini bermula dari kesalahpahaman dan sikap kekanak-kanakannya. Padahal, suaminya sudah sangat setia. Baik kisah Brenda maupun Rissa, semuanya berawal dari kesalahpahaman. Ia tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, yang bisa saja menghancurkan rumah tangganya.
“Aku akan mencoba memberinya kepercayaan penuh. Mungkin ini hanya ketakutanku saja saat melihat kecantikan Donita.”
“Mas, aku menemukan bukti transfer di kantong celanamu. Semalam terjatuh saat aku mengganti pakaianmu. Aku letakan di laci nakas,” cerita Bella, sembari memancing dengan cara paling halus. Tidak mau menunjukan kecurigaannya sedikit pun.
“Oh, ingatkan aku untuk membawanya ke kantor, aku harus menyerahkannya pada Dion.” Bara berkata santai. Tidak ada raut ketakutan atau kecurangan di sorot mata teduh pria itu. Sebaliknya Bara merengkuh tubuh istrinya dan mendekap erat.
“Dari mana kamu mendapatkan lingerie merah itu?” tanya Bara, tersenyum.
“Hah! Bagaimana kamu tahu, Mas?” tanya Bella bersemu malu.
“Tuh!” Bara menunjuk ke atas sofa. Lingerie merah istrinya tergeletak berantakan.
Bella menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Terlanjur kesal dengan semua rencananya yang berantakan, ia melempar benda aneh itu sembarangan. Ketika bangun tidur, ia malah melupakannya.
“Kailla ... dia menghadiahkannya untukku, Mas.” Bella menjelaskan
“Anak nakal itu banyak sekali akalnya. Untuk apa dia menghadiahkannya untukmu?” tanya Bara, penasaran.
“Untuk menggodamu, Mas.” Bella berkata jujur, pipinya bersemu merah.
“Hahahaha. Aku akui memang otak anak nakal itu selangkah di depanmu untuk hal-hal seperti ini.” Bara terbahak.
“Pantas saja Pram tergila-gila padanya. Ternyata dibalik nakalnya ada kenakalan lain yang menguntungkan Pram. Ckckck. Kamu harus sering-sering berguru padanya masalah ini, Bell. Kailla lebih paham cara membuat tempat tidur tetap hangat,” ucap Bara.
“Jadi itu hadiah darinya?” tanya Bara. Ia yakin sekali, istrinya tidak akan paham hal-hal begini. Kalau bukan Kailla otak dibalik semuanya.
“Ya, Mas. Kamu suka?”
“Ya, aku suka, Bell.” Tersenyum menatap wajah polos Bella.
Sebenarnya Bella bukan tipe yang polos sekali. Ia masih suka dengan fashion, suka dengan bedak dan make-up. Hanya saja, sejak menikah, Bella dituntut menjadi ibu dari Issabell, ditambah kehadiran Rania dan Real. Semua kesempatan untuk dirinya sendiri sudah terpangkas.
Bahkan Bella tidak bisa melanjutkan kuliahnya, tidak bisa seperti gadis-gadis seumurannya yang bebas menikmati masa-masa belum terikat. Pacaran, makan, nonton, nongkrong di mall, dan jalan dengan teman-temannya. Hanya saja Bella memiliki sifat pemalu, entah sifat itu hanya ditujukan padanya atau pada semua orang. Mengingat awal hubungan mereka yang seorang majikan dan pembantu.
“Nanti malam kenakan lagi, Bell. Aku minta maaf sudah melewatkan pertunjukan penting semalam. Aku yakin Kailla sudah menurunkan sebagian ilmunya padamu,” ucap Bara, memberi kecupan hangat di bibir istrinya sekilas.
Ciuman hangat itu saling bersambut, Bella ikut larut dan hanyut di dalamnya. Kedua tangan Bella baru saja melingkar di leher suaminya, saat pintu kamar tidur terbuka. Muncul putra kesayangan, berlari masuk sambil berteriak.
“Daddy!” pekiknya.
“Tak boleh ... kiss Mommy!” Real berdiri dengan mata melotot khas anak kecil. Cemberut dengan bertolak pinggang menatap penuh kemarahan pada Bara yang sedang mendekap erat mommy-nya.
“Hahaha, suami keduamu, Bell.” Bara segera melepas pelukannya.
“Real, tidak boleh marah-marah sama Daddy.” Bella menuntun putranya dan membawanya pada Bara.
“Mas, aku titip Real sebentar. Aku mau menyiapkan air hangat dan pakaianmu. Mas berangkat ke kantor, kan?” tanya Bella.
“Ya, agak siang baru ke kantor. Daddy mau menghabiskan waktu dengan putra kesayangan daddy ini.” Bara menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari Real. Putra yang sudah duduk manja di pangkuannya.
“Bos, apa kabarmu hari ini? Daddy membelikanmu lego, ada di mobil.” Tampak Bara mengecup kedua pipi Real.
***
Siang itu, entah mendapatkan ilham dari mana. Ibu dari Rania, Issabell dan Real itu memutuskan membawakan suaminya makan siang. Terlihat sibuk menyiapkan kotak bekal, Bella tidak menyadari kedatangan putranya bersama Issabell yang baru saja pulang sekolah.
“Real, kenapa ke sini? Mommy sedang sibuk.” tanya Bella, terkejut tiba-tiba sepasang tangan mungil memeluk lututnya.
“Adek mengantuk, Mom. Mau tidur siang,” sahut Issabell. Gadis kecil itu masih membawa tas ransel di kedua pundaknya. Baru saja turun dari mobil, masih berseragam lengkap.
“Caca, ganti baju, Sayang. Mommy tidak sempat. Minta tolong, Mbak,” pinta Bella, sembari menggendong Real yang melemas di kakinya. Putranya nyaris tertidur.
“Ya, Mom. Itu apa, Mom?” tanya Issabell.
“Mommy mau ke kantor Daddy. Membawakan makan siang,” sahut Bella.
“Caca boleh ikut?” tanya Issabell, penuh harap. Mereka jarang bisa bepergian bersama.
Bara terlalu sibuk dengan pekerjaan dan keluar kota, sedangkan Bella sibuk mengurus anak-anak. Tidak ada waktu meskipun sekedar jalan-jalan. Walaupun Bara berusaha semaksimal mungkin membagi waktunya dengan keluarga, tetap saja hanya dihabiskan di rumah seharian.
“Boleh, tetapi ganti pakaian dan makan siang dulu.”
Issabell mengangguk, segera belari ke kamarnya. Tak lama ia pun turun dan menghabiskan makan siang yang sudah disiapkan asisten rumah untuknya.
Setelah semuanya siap, ketiganya bergegas menuju mobil. Pak Rudi sudah menunggu dan siap mengantar majikannya ke kantor.
Sepanjang perjalanan, Issabell tidak hentinya berbicara. Dari cerita sekolah sampai pertengkarannya dengan Rania.
“Mom, kakak punya pacar,” ceritanya. Issabell memang sejak dulu selalu dekat dengan Bella. Semua hal yang diketahuinya pasti disampaikan tanpa terkecuali. Termasuk rahasia Bara jika ada yang diketahuinya.
“Serius?” tanya Bella sempat terkejut. Masih memangku Real yang pulas di dalam dekapannya.
“Mmmm.” Issabell mengangguk.
“Pacarnya seperti Daddy,” adu Rania lagi.
Bella kian terbelalak. “Icca tahu dari mana?” tanya Bella. Teringat kembali pada pesan Bara yang memintanya lebih memerhatikan putri sulungnya.
“Kalau kakak pulang cepat, sama-sama Caca. Kita diminta menunggu. Kakak ketemu dulu sama pacarnya. Di depan sekolah. Pak Rudi tahu. Benar, kan?” Issabell menodong sopir keluarga mereka yang sedang serius dengan setirnya.
“Benar, Pak?” tanya Bella, memastikan.
“Aduh! Bagaimana ya ... aku juga tidak tahu jelas.” Pak Rudi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tidak tahu harus menjawab apa.
“Ya, Mom. Di ponsel kakak juga ada foto pacarnya.”
Ibu muda itu semakin terkejut. Kalau sampai yang diceritakan Issabell benar dan sampai ketahuan suaminya, Bella yakin kalau ia yang akan diomeli Bara lebih dulu.
“Aku harus memastikannya. Aku tidak mau Bara mengomeliku karena masalah Rania,” batin Bella.
***
Setengan jam perjalanan, mobil yang dikendarai Pak Rudi tiba di kantor Bara. Suasana siang itu lumayan ramai karena masuk waktu makan siang. Banyak karyawan yang memilih makan siang di luar kantor, ada juga memilih jasa go-food. Terlihat para driver berjaket hijau hilir mudik di area parkiran.
“Pak nanti jemput Kakak, bawa ke kantor, ya. Biar kumpul di sini saja.” Bella berpesan pada sopirnya. Ia sudah menyiapkan bekal makan siang untuk putri tertuanya bersama dengan kotak bekal milik Bara.
“Ya, Bu,”
“Ya sudah. Ayo Ca, kita masuk. Buruan! Di luar panas.” Bella bergegas masuk, masih menggendong Real yang melemas di pundaknya. Putranya sudah bangun sejak tadi, tetapi masih belum mau turun. Masih mengumpulkan mood-nya.
Dengan menggandeng Issabell, gadis kecil yang dimintanya menenteng tas bekal. Bella melangkah menuju lantai tertinggi gedung, tempat di mana ruangan suaminya berada. Sempat mengernyitkan dahi, keheranan saat meja sekretaris Bara kosong.
“Oh, jam makan siang,” gumam Bella, masih berpikiran positif.
Bella mendorong pelan pintu ruangan suaminya. Matanya terbelalak, lututnya melemas. Hampir saja Real jatuh dari gendongannya. Dia tidak sanggup melihat pemandangan di hadapannya.
“DADDY! teriak Issabell dengan kencang, menghambur masuk mendahului Bella yang mematung di tempat. Gadis kecil itu menahan amarah yang siap diluapkannya sebentar lagi.
***
To be continue
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Ninda Yulia
Thor buat cerita anak" bara yg sudah besar dong, pasti seru
2024-06-25
0
나의 햇살
kebanyakan orang yang cerai itu karena gak ada komunikasi/kalau penasaran bukannya ditanya malah dicurigain dan akhirnya jadi saling adu mulut/ada juga yg kdrt
2023-05-07
0
Nur Lizza
apakah bara selingkuh.jk benar lebih baik bella pergi sj dn rbh gy hdp
2023-01-01
0