Bara duduk sembari menjungkir balikkan pena mahalnya yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya. Pria dengan lengan kemeja tergulung sebatas siku itu sedang menyimak semua informasi yang dibagi Dion, asistennya.
Di sebelah Dion, Donita tampak duduk sembari mencatat instruksi yang keluar dari bibir atasannya. Tidak ada satu pun yang lolos, Donita sangat terampil bekerja. Itu juga poin yang membuat Bara menyukainya sebagai sekretaris.
“Bagaimana proyek di Kalimantan? Sudah sampai tahap mana?” Bara bertanya, menatap seksama Donita yang sibuk dengan pena dan buku catatan. Mengalihkan pandangan pada Dion, anak muda itu begitu bersemangat menggeser layar tabletnya. Bersiap menunjukan bukti nyata hasil kerja keras para pekerja di lapangan.
“Ini, Pak.”
Dion menyodorkan proyek pembangunan perumahan dengan konsep kota mandiri yang sudah rampung tujuh puluh persen. Menggandeng PW Group, ini adalah proyek pertama perusahaan Bara yang sebelumnya lebih fokus pada desain interior. Melebarkan sayapnya di bidang property developer dan real estate, Bara mengincar daerah berkembang di luar pulau Jawa.
Bara mengganguk. Menatap foto-foto yang bergantian di layar. Senyum penuh kepuasan dengan hasil kerja bawahannya termasuk Dion yang sudah sangat bekerja keras dalam hal ini.
“Tolong koordinasikan dengan Kevin. Beberapa hari yang lalu, Wira menghubungiku ... kalau proyek di Kalimantan untuk selanjutnya akan diambil alih Kevin. Wira sedang panen proyek kelas kakap, dia tidak akan tertarik mengurusi proyek receh seperti ini,” ungka Bara, tersenyum.
“Baik, Pak.”
Tatapan Bara beralih pada Donita, meneliti wajah gadis cantik itu dengan seksama. Seperti ada yang berbeda dengan sorot mata yang meredup dengan kulit wajah sedikit pucat.
“Are you okay, Nita?” tanya Bara, melepaskan pena dari tangannya. Berganti dengan menautkan jemarinya di atas meja.
“Ya, Pak,” sahut Donita pelan.
“Oke, ini sudah lewat jam makan siang. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing,” ujar Bara, menatap jam di pergelangan tangannya. Pria tampan itu menghela napas, menyemburkan penat dan lelahnya bekerja dari pagi hingga tengah hari.
Kedua bawahan Bara mengangguk. Segera membereskan barang-barang milik mereka dan bersiap keluar dari ruangan. Dion yang melangkah lebih dulu, diikuti Donita menenteng buku agenda dengan pena terselip di dalamnya.
Tepat saat Dion menggenggam gagang pintu, Donita yang berdiri di belakangnya tumbang. Seperti kehilangan kekuatan, tubuhnya luruh di lantai dingin ruang kerja Bara. Kesadarannya pun lenyap seiring tubuh yang melemah, tergolek di lantai setelah sebelumnya sempat menghantam ubin.
“NITA!” pekik Bara, menghambur ke arah Donita. Gadis muda itu pingsan di depan matanya.
Dion yang tidak kalah terkejut, juga melakukan hal yang sama. Buru-buru menggosokan tangannya pada telapak tangan rekannya, berusaha menyadarkan. Lain Dion, lain pula Bara. Pria matang itu meraih kepala Donita, meletakan di pahanya. Menepuk pipi kanan gadis itu dengan tangannya.
“Nita ....”
“Nita ....”
“Nita ....”
Panggilan itu keluar dari bibir keduanya, bersahutan dan panik. Bara yang masih menepuk pipi sekretarisnya kembali terkejut saat pintu ruangannya terbuka. Belum sempat berbicara, putri kecilnya muncul dengan wajah penuh amarah.
“DADDY! teriak Issabell dengan kencang, menghambur masuk mendahului Bella yang mematung di tempat. Gadis kecil itu menahan amarah yang siap diluapkannya sebentar lagi.
“Sayang, kalian datang,” ucap Bara, memandang istri dan anak-anaknya. Bella terkejut di depan pintu masih dengan Real di dalam gendongan.
“Daddy, kenapa memukul tante. Itu sakit. Tante bisa mati kalau dipukul seperti itu!” pekik Issabell menarik tangan Bara. Tidak terima melihat daddy-nya memukul kencang pipi Donita.
Tidak sampai di situ saja, gadis kecil itu juga menarik lengan Bara supaya berdiri. Tentu saja, kepala Donita yang tadinya diletakan di paha Bara, seketika menghantam lantai.
“Caca, tidak boleh kasar, Sayang.” Bella yang mulai bisa menguasai keadaan, melangkah masuk ke dalam.
“Dion, tolong bawa ke klinik,” perintah Bara. Ia masih terkejut dengan kejadian yang begitu cepat dan tiba-tiba.
“Baik Pak.”
Tak lama, Donita di bawa keluar oleh Dion dan beberapa rekannya. Bella menatap gadis itu digotong keluar dari pintu. Terselip tanya di dalam hati, entah apa yang terjadi sampai Donita ambruk seperti itu.
“Apa yang terjadi, Mas? Kenapa dengan Donita?” tanya Bella, beralih menatap suaminya.
“Tidak tahu, tiba-tiba Donita jatuh di depan mataku,” sahut Bara, mengatur napasnya, berusaha menenangkan jantungnya yang berdetak kencang. Setelah berhasil menguasai keadaan, pria itu meraih putranya Real dari gendongan Bella.
“Jagoan Daddy datang,” ucap Bara, mengecup pipi Real. Anak laki-laki itu masih lemas karena belum lama terbangun. Menelungkup manja di pundak Bara.
“Ca, kamu tidak menyapa Daddy?” tanya Bara, melihat gadis kecilnya sedang berdiri menatap dengan kedua tangan terlipat di dada.
“Apa yang Daddy lakukan tadi. Daddy memukul tante sampai jatuh.” Issabell berkata dengan pipi cemberut.
“Bukan Sayang, tante sedang sakit. Bukan Daddy yang memukul tante, Sayang.” Bella menjelaskan.
“Benarkah?” tanya Issabell, masih tidak percaya. Terlalu sering melihat Bara marah-marah, bahkan ia sudah hafal bagaimana cara sang mommy menenangkan daddy-nya setiap naik darah. Emosi dan sikap Bara sudah tertanam di dalam otak Issabell.
“Caca tidak boleh seperti itu. Daddy tadi bukan marah. Tante sedang sakit, jadi Daddy membangunkannya,” jelas Bella, menahan tawa. Sejak kecil memang Issabell lebih kritis dibanding Rania. Kalau terjadi selisih paham di antara ia dan Bara, Issabell akan mendukung dan membelanya tanap mencari tahu apa yang terjadi.
Tatapan ibu muda itu beralih menatap Bara. Kebahagiaan merayap ke relung hatinya saat melihat suaminya begitu bahagia menyambut kedatangan mereka.
“Mas, aku bawakan makan siang untukmu. Aku siapkan, ya,” ucap Bella, meraih kotak makanan yang diletakan Issabell di atas kursi. Putri keduanya terlihat sudah mulai bersahabat, ikut naik ke gendongan Bara.
“Ya, Sayang.” Bara menjawab tanpa menoleh pada istrinya. Ia sedang sibuk membawa Real dan Issabell ke jendela besar di kiri ruangannya. Menunjukan pemandangan gedung-gedung pencakar langit.
Menggeser pelan tumpukan berkas di atas meja kerja Bara, Bella tertegun saat melihat salinan biaya rumah sakit terselip di antara kertas-kertas penting perusahaan.
“Mas .... ini apa?” Reflek Bella bertanya, menunjukannya pada sang suami.
“Oh ... itu milik Donita,” sahut Bara, melirik sekilas.
Deg —
“Maksudnya bagaimana, Mas?” tanya Bella, masih saja belum puas dengan jawaban Bara.
“Itu biaya rumah sakit papa Donita.”
Bella terperanjat. Seperti apa sebenarnya hubungan Bara dengan Donita sampai salinan biaya rumah sakit orang tuanya pun sampai ke tangan Bara. Ada banyak prasangka menyerang pikiran saat ini.
“Donita lagi! Sebenarnya ada apa antara suamiku dengan Donita. Sampai-sampai masalah keluarganya pun Mas Bara ikut campur. Apa jangan-jangan uang yang ditransfer itu untuk ini.”
Bella mengamati jumlah biaya yang tertera di kertas yang masih dipengangnya. Mulutnya terngaga saat melihat angka seratus juta sekian. Itu bukan angka yang sedikit, bahkan rekening tabungannya pun tidak pernah menyentuh angka sebanyak itu.
***
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Ninda Yulia
Thor buat cerita issabell sudah besar dong
2024-06-25
0
Nur Lizza
kdng lht bara menjengkelkn.kok bs bella diam aj.klu jd aku uda uda berontak
2023-01-01
0
ria aja
pisah sja suami yg suka nolong org tnpa ksih tau k istri
2022-12-31
0