“Mas, makan siangmu sudah siap?” Bella memilih mengabaikan pertanyaan besar yang bergelayut di pikirannya. Sejak awal melihat Donita, ia terlalu menanamkan hal-hal buruk di dalam otaknya sehingga semua hal yang berkaitan dengan Donita selalu membuatnya berprasangka buruk.
“Kamu masak, Bell?” tanya Bara, sembari menyerahkan Real yang masih saja bergelayut manja padanya.
“Mommy tidak bisa memasak, Dad!” Issabell menjawab.
“Mommy hanya bisa mengoles roti dan mengisi piring dengan masakan mbak,” lanjut Issabell, mengingat apa yang dilakukan Bella setiap pagi, hanya menyiapkan sarapan di atas piring kosong para penghuni rumah. Bagian memasak sudah ada asisten yang melakukannya.
Bara baru saja menjatuhkan tubuh di kursi kebesarannya saat Issabell meloncat naik ke pangkuannya.
“Caca, turun Sayang. Daddy mau makan siang,” pinta Bella saat melihat Issabell dengan santainya duduk nyaman di pangkuan Bara, meraih ponsel daddy-nya yang tergeletak di atas meja.
“Biarkan saja, Bell. Anak-anak akan bertumbuh. Suatu saat ... dengan sendirinya mereka akan menolak. Sementara mereka masih bersedia menempel padaku, aku akan menikmatinya,” ulas Bara, tersenyum sambil menepuk lembut pucuk kepala Issabell.
“Dad, aku mau main game. Kenapa ponselmu tidak seperti ponsel Mommy,” keluh Issabell sesaat setelah Bara memasukan kode untuk membuka kunci layar gawainya.
“Ponsel Daddy untuk cari uang, ponsel Mommy isinya rumpian ibu-ibu yang bahas sekolah anaknya. Terkadang out of topic. Bahas bubur ayam terenak sambil menunggu anaknya pulang sekolah sampai minyak goreng diskonan.” Bara terbahak, mengingat beberapa hari yang lalu sempat membaca isi pembahasan di percakapan group whattapp di ponsel Bella yang bukan hanya satu atau dua group saja. Bahkan sebentar lagi akan bertambah saat Real masuk sekolah.
“Kamu membongkar isi ponselku, Mas?” todong Bella. Ibu muda itu sedang duduk di sofa, menemani Real bermain monster truck yang dibawanya dari rumah.
“Tidak sengaja, Bell. Karena berdenting terus, aku pikir ada hal penting. Ternyata seorang ibu sedang membuka lapak jualannya. Pantas saja dentingannya tidak berhenti,” cerita Bara, sembari menyuapkan sesendok penuh isi kotak bekal ke dalam mulutnya.
Setelah pembahasan isi chat, Bella memilih diam. Menemani putranya bermain dengan pikiran berkeliaran ke mana-mana. Sedangkan Bara, sibuk menghabiskan makan siangnya, sesekali mengobrol dengan Issabell.
“Mas, Donita tinggal di mana?” tanya Bella, tiba-tiba.
“Aku tidak tahu, Bell. Dion yang lebih paham. Mereka berangkat dan pulang bersama-sama,” sahut Bara, tanpa mengalihkan pandangannya dari kotak makanan. Kedua tangannya sibuk dengan sendok dan garpu. Memainkannya dengan lincah.
“Papanya sakit apa?” tanya Bella lagi.
“Aku tidak jelas, Bell. Aku tidak memperhatikan salinan biaya rumah sakit yang diberikan Dion. Mereka sempat menceritakannya tetapi aku tidak terlalu memasukannya ke dalam ingatan. Sakit lumayan parah sepertinya.”
“Tidak penting juga untukku,” lanjut Bara santai.
Bella terhenyak dengan kata mereka. Penasarannya semakin menjadi. Yang tadinya hanya sekedar coba-coba bertanya sekarang semakin memancing keingintahuannya.
“Mas ....” Bella memberanikan diri berterus terang akan penasaran yang selama ini mengisi hatinya. Prasangka yang mengganggu pikiran dan tidur malamnya.
“Mas memberi uang lima puluh juta pada Donita?” tanya Bella.
“Tidak,” sahut Bara. Pria itu terlihat santai, tidak terpengaruh. Menganggap penasaran Bella adalah hal biasa.
“Lalu ... bukti transfer itu apa?” tanya Bella lagi.
“Oh itu ... Dion meminjam uang untuk membantu biaya rumah sakit papa Donita,” sahut Bara, kembali menyuapkan nasi dengan potongan ayam suwir dan sayur brokoli ke dalam mulutnya.
“Maksudnya bagaimana, Mas?” tanya Bella, bingung.
“Dion meminjam uang padaku lima puluh juta, dikirim ke rekening Donita untuk biaya rumah sakit,” jelas Bara, melepas sendok dan garpu dari tangannya, beralih menatap Bella.
“Aku tidak mungkin menggunakan uang perusahaan, Bell. Baik Donita maupun Dion itu belum lama bekerja. Aku tidak mau menimbulkan kericuhan karena uang lima puluh juta yang dikeluarkan bagian keuangan. Pasti karyawan yang lain akan menganggap Dion ini spesial. Baru bekerja sudah mendapat pinjaman sebesar itu. Jadi aku menggunakan uang pribadi,” jelas Bara. Pria itu masih terlihat santai.
Bella hanya mengangguk, sampai di sini Bella mulai mengerti apa yang dimaksud Bara. Ia hanya bingung dengan hubungan Dion dan Donita sejauh mana.
“Dion seorang pekerja keras. Aku akui Dion memiliki potensi. Proyek di Kalimantan, ia mengurusnya dengan baik. Aku berencana memberinya bonus setelah proyek itu rampung. Makanya aku tidak mempermasalahkan saat ia meminjam uang,” jelas Bara lagi,
“Apa lagi Dion bukan orang lain, ia keponakan Pak Rudi. Aku bukan hanya melihatnya, tetapi melihat Pak Rudi juga. Ia sudah mengabdi pada keluarga Wirayudha sejak PW Grup masih di tangan papaku.” Bara menjelaskan.
Bella tersenyum. Buru-buru menghampiri Bara dan menarik kursi di hadapan suaminya. Membiarkan Real sendirian di sofa, sibuk dengan mobil-mobilannya.
“Mas, apa Dion dan Donita memiliki hubungan? Bagaimana bisa Dion meminjam uang untuk Donita?” tanya Bella, setengah berbisik.
“Aku tidak tahu, Bell. Bukan kapasitasku mengurusi hubungan asmara para bawahanku. Selagi pekerjaan mereka bagus dan masih bisa bersikap profesional di kantor, aku tidak akan membahasnya.” Bara menatap lekat istrinya. Ia sudah tahu jelas apa isi otak Bella.
“Maafkan aku, Bell. Aku bukannya tidak mau bercerita padamu. Aku tidak mau membawa masalah pekerjaan di dalam kehidupan rumah tangga kita. Andai Donita bukan pekerjaku, tentu saja aku akan bercerita padamu. Dengan catatan kamu bisa mengurangi isi kepalamu dengan kecurigaan.”
“Selama ini ... tidak pernah sekali pun aku membahas masalah perusahaan padamu. Karena aku berpikir ketika di rumah ... aku benar-benar ingin menikmati waktu bersama istri dan anak-anakku.” Bara menjelaskan.
Bella tertunduk.
“Maafkan aku, Mas. Aku ... aku sudah berpikiran yang tidak-tidak padamu.”
“Aku tahu, isi otakmu selalu mencurigaiku terus.” Bara tergelak, menyentil dahi Bella yang tertutup poni panjangnya.
“Maafkan aku, Mas,” bisik Bella. Kedua tangannya saling meremas di atas meja. Rasa bersalah menghantamnya.
“Aku tahu kamu sudah berpikiran buruk sejak awal menemukan bukti transfer. Bahkan aku bisa melihat sorot mata cemburumu saat pertama kali kamu melihat Donita,” sahut Bara, menggenggam tangan Bella.
“Masalahmu ada di kepercayaan. Kamu belum sepenuhnya percaya padaku. Aku ingin kamu belajar, Bell. Seberapa penting kepercayaan di dalam rumah tangga. Saat kamu tidak memiliki kepercayaan padaku, semua hal akan terlihat salah di otakmu.”
“Maafkan aku, Mas.”
“Selama menikah, aku banyak berbuat kesalahan. Aku berusaha memahamimu dibalik sikap kerasku. Namun sampai hari ini, kamu belum sepenuhnya memahami suamimu, Bell.”
Bella semakin merasa bersalah. Kalau dipikir-pikir, memang semuanya berawal dari kecemburuannya saat melihat Donita yang begitu cantik. Duduk di sebelah Bara saat makan siang di puncak.
“Dikhianati itu menyakitkan sekali, Bell, Aku tahu rasanya dikhianati dan aku tidak mau membagi sakitnya pada orang lain, terlebih pada istri dan anak-anakku.”
Bara berdiri mendekati wajahnya pada Bella yang tertunduk dan merasa bersalah.
“Dion dan Donita sepertinya pacaran. Jangan berpikiran yang aneh-aneh lagi,” bisik Bara.
Bella tersenyum bahagia saat mengetahui hubungan Donita dan Dion. Itu terlihat jelas dari sorot matanya yang berbinar.
“Ada apa denganmu, Bella Cantika? Mereka yang pacaran, kenapa kamu yang bahagia,” ucap Bara tergelak.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Jeissi
kalau pake uang pribadi berarti harusnya istri juga tau biar ga salah paham. bara aja yang menyepelekan hal itu. masih sama seperti bara yang dulu, menganggap hal yang penting seolah tidak penting.
2024-11-07
1
Sarah Harona
Bara setiap hari di keliligi 3 bidadari cantik sm jagoan jadi kalau ada cewk yg coba" deketin Daddy siap tonjok siemangat bikin adek bt Real
2023-06-30
0
andi hastutty
nah gi2 dong biar ngga ada salah paham
2022-11-10
0