Sepanjang pagi, Celine di suguhkan dengan tatapan curiga dari Pandu yang tak kunjung juga berkurang. Bahkan, setelah selesai sarapan dan makan siang, Pandu masih tetap bersikap dingin dengan raut wajah yang tak enak di pandang.
"Memangnya ada apa dengan pesan itu? Kok kayaknya aku nggak boleh banget buat baca?" tanya Celine yang muak akan perubahan Pandu yang seperti cuaca. Sebentar hangat. Sebentar dingin.
"Bukan apa-apa," Pandu melemparkan pandangannya ke laut lepas.
Celine mengangguk dengan senyum tipis. Kedua lututnya ia tekuk kemudian ikut memandang laut biru yang terhampar indah di depan sana.
"Apa aku boleh minta sesuatu ke kamu, Pandu?" tanya Celine tanpa melepaskan pandangan pada laut biru Pantai Kelingking yang indah.
"Apa kamu bisa beri aku sedikit aja kepercayaan?" tanyanya lagi sebelum Pandu sempat menjawab pertanyaan yang pertama.
Hening. Tak ada jawaban. Yang di dapatkan Celine hanya tatapan tak lekang dari lelaki dengan lesung di pipinya itu.
"Mungkin aku memang nggak sebaik yang kamu kira." Celine menghirup udara sebanyak mungkin untuk memenuhi rongga dadanya yang terasa sesak. "Tapi, aku bisa jamin kalau aku nggak punya niat jahat sama sekali ke kamu, Pak Bima, Nona Ellena bahkan ke Arkan dan Azkia..." Celine tersenyum kecut.
"Apa jaminannya?" tanya Pandu dingin.
Celine menoleh. Tangan kanannya memegang sebuah kulit kerang yang cukup tajam dan meletakkannya tepat di lehernya sendiri.
"Kalau kamu nyuruh aku untuk mati sekarang, akan aku lakuin!" kata Celine penuh kesungguhan. Tak ada sedikitpun keraguan di kedua bola mata wanita itu.
Pandu meneguk ludahnya kasar. Apa yang sebenarnya Celine inginkan? Bukankah pertaruhan ini terlalu beresiko untuk sebuah tujuan yang ingin wanita itu capai?
"Jangan bercanda, Celine! Aku tahu kamu nggak akan mungkin berani!" sergah Pandu dengan tawa meremehkan.
"Aku serius!" ucap Celine yang semakin menekan kulit kerang itu pada lehernya.
Setitik darah timbul di leher Celine. Pandu mulai merasa bahwa permainan ini terlalu berat untuk mereka lakukan. Namun, Pandu juga tak ingin mundur begitu saja meski sadar bahwa pertaruhan yang mereka mainkan bukanlah jumlah yang kecil.
"Kalau begitu, Lakukan! Matilah sekarang!" perintah Pandu dengan raut wajah serius.
Tanpa ada rasa ragu apalagi sempat memikirkan apa-apa, Celine mengambil ancang-ancang untuk menusuk lehernya sendiri. Mata Pandu seketika membulat. Tangan kanannya dengan cepat menahan lengan Celine tepat ketika kulit kerang itu hanya berjarak kurang dari satu inci dari leher wanita itu.
"Kamu gila?" teriak Pandu marah. Matanya nyalang menatap wajah datar wanita di hadapannya.
Pandu lantas berdiri. Kulit kerang itu segera Pandu rebut lalu membuang nya ke arah laut. Dengan sekali sentakan, ia menarik tangan Celine agar wanita itu ikut berdiri dan mendekat ke arahnya. Leher Celine kemudian ia cengkram dengan tangan kirinya.
"Kalau kamu mau mati, jangan dengan cara bunuh diri, Celine! Biarkan aku yang membunuh kamu dengan tanganku sendiri! Kamu mengerti?" Pandu mendorong mundur tubuh Celine hingga wanita itu kembali jatuh terduduk di atas pasir putih.
Pandu yang kepalang emosi menggeram marah. Beberapa kali, ia mengusap wajahnya kasar dengan kedua telapak tangannya. Ingin sekali rasanya Pandu melampiaskan amarahnya pada Celine. Namun, ketika ia menatap kedua bola mata Celine, luka yang tersirat di sana membuat Pandu urung meneruskan niatnya.
"Entah apa yang udah kamu laluin sebelum ketemu aku, Celine! Tapi, sesulit apapun jalan itu, bunuh diri bukan solusi yang baik. Itu keputusan terbodoh di antara pilihan bodoh yang lainnya."
"Aku hanya ingin kamu percaya sama aku, Pandu!" Celine meringis menahan tangis.
Pandu mendesah samar. Ia hampir putus asa menghadapi Celine yang selalu melakukan hal di luar dugaan.
"Demi kepercayaan dari aku, kamu rela nuker dengan nyawa kamu?" Pandu tertawa. "Kamu benar-benar wanita tertolol yang pernah aku temui, Celine. Benar-benar sangat bodoh!"
Celine menunduk dengan kedua tangan yang saling menggenggam erat.
"Biarin aja kamu menilai aku sebodoh apapun. Aku nggak apa-apa selama kamu mau percaya sedi..kit aja sama aku, Pandu!"
"Percaya?" Lagi-lagi Pandu tertawa. Kedua tangannya ia letakkan di kedua sisi pinggangnya. "Apa kamu lupa dengan cara apa kamu datang, Celine?"
Air mata yang sedari tadi Celine tahan akhirnya tumpah juga. Ia tahu kalimat apa yang akan Pandu katakan selanjutnya.
"Kamu datang dengan kebohongan, Celine! Dan, ketika kamu sadar betul dengan apa yang kamu perbuat, kamu malah minta kepercayaan yang sejak awal sudah kamu rusak? Jangan membuat lelucon yang cuma bakal bikin aku ketawa, Celine!"
"Aku hanya takut di usir lagi, Pandu!" Celine berteriak. Menumpahkan segala uneg-uneg yang selama ini bersarang di hati.
"Aku tahu siapa Pak Bima. Aku tahu siapa Sam dan siapa kamu! Aku tahu orang-orang seperti kalian sangat membenci pembohong. Tapi... Aku juga punya alasan untuk terpaksa melakukan semua ini." Air mata Celine semakin membanjiri wajah cantiknya.
Wanita itu kemudian memutuskan untuk berdiri kembali. Mendekat pada Pandu sembari memegang kedua sisi jaket pria berlesung pipi itu.
"Kalau kalian tahu alasan aku mendekati kalian..." Suara Celine mulai melemah. "Kalian pasti bakalan ngusir aku pergi." Wanita itu mendongak. Menatap penuh luka pada netra legam milik lelaki di hadapannya.
Pandu meraih kedua tangan Celine. Menggenggam jemari rapuh wanita itu dengan erat tanpa berniat melepaskan pandangan dari netra di hadapannya.
"Aku bisa pastiin hal itu nggak akan terjadi!" ujar Pandu meyakinkan.
Celine menggeleng. "Kamu nggak akan bisa melawan perintah dari atasan kamu, Pandu! Dan lagi, aku nggak mau ambil resiko dengan mengatakan semuanya. Jujur! Saat ini aku merasa sangat nyaman dengan kehidupanku sekarang. Dan, aku nggak akan mengorbankan segala hal yang aku miliki ini dengan kejujuran yang aku nggak tahu apa hasilnya nanti!"
"Egois!" Pandu melepaskan tangan Celine kemudian melangkah mundur. Amarah kembali terlihat di wajahnya.
"Kamu sebenarnya menganggap kami apa, hah? Inang tempat untuk kamu menempel sebagai parasit? Iya?"
"Terserah anggapan kamu seperti apa, Pandu!" sela Celine tak mau kalah. "Aku memang egois! Aku memang pembohong. Aku bahkan nggak tahu malu dengan menumpang hidup dengan kalian semua. Terus, sekarang kamu mau apa? Segalanya udah kejadian dan kamu nggak bisa mengubah semua itu kan?"
Pandu tak bisa berkata-kata lagi. Celine benar-benar tidak tahu malu. Entah dengan kalimat apa ia bisa menggambarkan betapa buruknya rubah licik di hadapannya ini.
"Dasar perempuan nggak tahu diri!" hina Pandu sebelum meninggalkan Celine sendirian di pantai itu.
Sepeninggal Pandu, Celine jatuh terduduk. Kedua tungkainya mendadak lemas akibat pertengkaran hebat yang baru saja ia lakukan dengan Pandu. Air matanya semakin deras mengalir. Untungnya, area tempatnya sekarang berdiam diri terbilang sangat sepi. Sehingga, berteriak kencang pun sepertinya juga tak akan ada yang peduli.
Celine menangis putus asa. Apa yang harus ia katakan pada Pandu? Haruskah ia mengatakan bahwa awalnya ia memanfaatkan Pandu dan Bima hanya demi keselamatan dirinya? Lantas, jika Bima tahu hal itu, maukah Bima mengampuni Celine? Apalagi, Celine tahu dari selentingan yang kerap kali ia dengar bahwa Bima sama sekali bukan orang yang toleran terhadap pengkhianatan dengan alasan apapun.
Dan demi segala hal yang hidup di atas muka bumi, Celine terlalu takut mengambil resiko. Bukan lagi karena ia takut mati. Namun, karena tak ingin kehilangan keluarga untuk ketiga kalinya. Ya, bagi Celine, Pandu dan keluarga besar Bima adalah keluarganya sekarang. Rasa sayang Celine sudah terlanjur besar karena kebaikan Bima, Ellena, Okta dan yang lainnya berikan. Saat ini, Celine berada di zona paling nyaman seumur hidupnya. Dan, demi menjaga kenyamanan itu, ia rela tetap melanjutkan kebohongan agar dirinya tetap bisa berada di sisi keluarga besar Pandu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Fhebrie
kenapa celine ga jujur aja sih
2022-02-25
0
Bambang Setyo
Jujur aja celine... Yakin lah mereka keluarga yg baik..
2021-11-24
0
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
sabar celine
2021-10-07
0