Hening.
Semenjak kepulangan Celine dan Pandu dari pantai Kelingking, mereka belum pernah mengucap sepatah kata pun. Pandu sedang duduk di ruang tamu kamar mereka sembari mengerjakan beberapa pekerjaan di laptop yang tergeletak di atas pangkuannya. Sementara Celine sedang sibuk bergejolak dengan batinnya di atas tempat tidur. Apakah ia harus tidur di sofa malam ini atau seranjang dengan Pandu.
"Gue mau keluar. Kalau mau tidur, tidur duluan aja." Pandu tiba-tiba masuk ke kamar dan mengagetkan Celine. Lelaki itu dengan santainya berjalan menuju lemari lalu membuka kemeja hitam yang ia kenakan dengan santai sebelum melemparnya ke sembarang arah. Di tariknya satu kemeja berwarna putih dari dalam lemari tersebut lalu mengenakannya sambil menatap Celine yang sedang menyembunyikan wajahnya di balik bantal.
"Kenapa di tutupin? Malu liat badan gue?" tanya Pandu dengan tawa meledek.
Celine bungkam. Kedua pipinya bersemu merah menahan malu. Meski sudah tidur sekali dengan Pandu dan bahkan melakukan hubungan suami istri dengan pria itu, Celine masih tidak terbiasa menyaksikan pemandangan seperti yang ia lihat kini. Walau bagaimana pun, Celine tetaplah perempuan polos yang belum pernah melihat seorang lelaki muda bertelanjang dada dalam jarak sedekat ini sebelum ia bertemu Pandu. Di tambah lagi, posisi celana jeans lelaki tersebut tepat berada di bawah panggul. Sedikit lagi melorot ke bawah, maka Celine pasti sudah bisa melihat pusaka keramat milik Pandu.
Aish! Pikiran polos Celine kini terkena racun mesum akibat ulah pria dengan lesung Pipit menawan ini.
"Lebih dari ini udah pernah Lo liat. Jadi, kenapa harus malu?" Pandu mendekat. Menatap wajah Celine yang semakin memerah bak kepiting rebus.
"Kalau Lo emang segini polosnya, ngapain Lo ngejebak gue tidur sama Lo malam itu?"
Perempuan yang masih tertunduk itu semakin membenamkan wajahnya di bantal yang ia peluk. Jawaban untuk setiap pertanyaan Pandu sebenarnya ada. Namun, Celine enggan untuk menjawabnya karena tak ingin segalanya bertambah rumit jika Pandu tahu apa tujuan Celine yang sebenarnya.
"Masih nggak mau jawab?" Pandu yang selesai mengancing seluruh kemeja putihnya menarik paksa bantal yang Celine pakai untuk menutupi wajahnya. Ia meraih dagu perempuan itu. Memaksanya untuk mendongak menatap ke dalam netranya yang di penuhi kemarahan.
Akan tetapi, sesuatu dalam diri Pandu tiba-tiba melemah ketika melihat sepasang netra milik Celine yang berlinang air mata nampak begitu ketakutan. Celine yang saat ini menatapnya seolah sedang menatap monster yang sangat menakutkan. Apa Pandu sudah berubah menjadi terlalu buruk untuk wanita ini?
Menyadari cengkeramannya menyakiti dagu Celine, Pandu segera melepasnya. Ia sebenarnya sangat ingin melampiaskan amarahnya pada Celine seperti biasa. Namun, segalanya tiba-tiba menguap ketika Celine terlihat begitu pasrah meski tahu Pandu berniat menyakitinya.
"Gue mau jalan sekarang!" pamit Pandu tanpa menatap wajah Celine.
"Mau kemana?" Pertanyaan itu sukses membuat langkah Pandu tertahan.
"Kenapa?" tanya Pandu tanpa berbalik.
"Aku takut sendirian di sini," jawab Celine dengan harapan besar agar Pandu bisa menaruh iba padanya dan bersedia menemaninya di sini.
Pandu menghela napas panjang. Kedua tangannya ia letakkan di kedua sisi pinggangnya sambil mendongakkan kepala menatap langit-langit kamar .
"Kalau ada apa-apa, tinggal hubungi petugas hotel lewat telepon. Gampang kan?"
"Tapi, aku takut, Pandu!" ringis Celine dengan suara ketakutan.
Alis Pandu mengernyit heran. Terbesit rasa penasaran dalam dirinya mengenai Celine. Sebenarnya, apa yang begitu perempuan ini takutkan? Meski Pandu saat ini tengah membelakangi Celine, namun Pandu cukup yakin bahwa Celine pasti sekarang sedang gemetaran.
"Lo udah dewasa, Celine. Urus diri Lo sendiri. Jangan libatin gue apalagi ngerepotin gue. Ngerti?"
Tangan Celine yang terulur hendak mencegah Pandu mengambang hampa di udara. Pandu sudah terlanjur pergi. Meninggalkan Celine sendirian di dalam kamar hotel yang luas itu tanpa pengamanan apa-apa.
Celine bergidik ngeri. Ia yakin bahwa anak buah Madam Chu pasti akan mendatanginya malam ini jika tahu Pandu sedang keluar. Apalagi, Celine sadar bahwa seseorang sudah membuntutinya semenjak pulang dari Pantai Kelingking sore tadi.
Pukul 10 malam, belum ada tanda-tanda Pandu telah kembali. Celine yang ketakutan meringkuk di dalam selimut sendirian. Matanya ia biarkan terjaga meski kantuk sudah menyerangnya sejak satu jam yang lalu. Celine tak mau ambil resiko. Ia tak boleh lengah karena anak buah Madam Chu bisa saja mendatanginya secara tiba-tiba.
Hingga pukul 11 malam, keberadaan pria dengan lesung Pipit itu belum juga nampak. Mata Celine sudah mulai membengkak karena menangis sejak tadi. Sebuah tempat lilin yang terbuat dari baja yang cukup berat ia peluk sebagai senjata pertahanan. Namun, pada akhirnya lelah membuat Celine menyerah juga. 15 menit kemudian, ia tak bisa lagi melawan rasa kantuknya. Celine terlelap pulas tanpa menyadari bahaya yang ia takutkan perlahan mulai mendekat.
CKLEK!
Pintu kamar milik Celine terbuka pelan. Seorang pria dengan jaket hitam dan topi hitam masuk sambil mengendap-endap menghampiri Celine yang terlelap. Pria itu menyeringai puas. Tanpa basa-basi, di singkapnya selimut yang membungkus kepala Celine dan menurunkannya secara perlahan. Lalu, ia dengan hati-hati meraih sapu tangan dari kantong jaketnya dan melumurinya dengan cairan obat bius.
"Madam Chu pasti akan sangat senang jika tahu aku berhasil mendapatkanmu, Celine!" gumam pria itu tersenyum.
Tak mau menunggu lama lagi, sapu tangan itu segera ia arahkan ke hidung Celine. Namun, tepat ketika tangannya hanya berjarak beberapa centi lagi dari wajah Celine, tiba-tiba seseorang muncul dan menahan lengannya.
Perkelahian tanpa suara terjadi di dalam kamar itu. Meski sempat tersudut, namun pria yang hendak menyerang Celine tersebut berhasil kabur dengan cepat ketika berhasil melukai tangan Pandu dengan pisau lipat miliknya.
"Sial!" umpat Pandu yang kehilangan si pria misterius tersebut. Meski sebenarnya ia bisa mengejar, namun meninggalkan Celine sendirian juga terlalu beresiko. Bisa jadi, pria tadi hanyalah umpan untuk membuat Pandu lengah dan anggota kelompoknya yang lain bisa dengan leluasa membawa Celine pergi di belakang Pandu.
Masih dengan emosi yang belum stabil, Pandu meraih ponsel dari kantong celananya. Mendial sebuah nomor sebelum menempelkan benda persegi panjang itu ke telinganya.
"Dia kabur!" lapor Pandu pada Sam.
"Jangan khawatir, dua orang kita sedang dalam perjalanan melacak pria itu. Bagaimana dengan Celine?"
Pandu menoleh menatap Celine yang tetap terlelap di atas tempat tidur. "Dia baik-baik saja."
Usai sambungan telepon terputus, Pandu mendorong sebuah kursi mendekat ke tepi ranjang. Dengan teliti, ia menyusuri wajah sembab yang saat ini sedang tertidur nyenyak itu. Celine sebenarnya cantik. Wajahnya terkesan polos dan penuh kesan kesederhanaan. Pribadinya bahkan tergolong sangat baik dan menyenangkan. Hanya saja, caranya untuk datang ke kehidupan Pandu-lah yang membuat lelaki itu sangat membencinya. Andai pertemuan mereka bukan dengan tipu muslihat seperti ini, mungkin hubungan mereka juga tidak akan separah ini.
"Siapa kamu sebenarnya, Celine?" tanya Pandu putus asa sebelum berdiri kembali mengambil kotak obat untuk mengobati luka di lengan kirinya.
"Tidak. Lorna! Aku tidak bisa pergi tanpa kalian! Aku mohon!" gumam Celine dalam tidurnya. Beberapa keringat dingin mulai bermunculan tepat di dahinya.
Pandu yang baru selesai mengikat perban pada lukanya bergegas mendekat. Menangkup wajah Celine dengan penuh kekhawatiran.
"Celine..." panggil Pandu lembut.
"Tidak!" Celine menggeleng. "Jangan mati... Jangan mati..." ucapnya dengan air mata yang mulai mengalir deras.
Pandu semakin bertambah khawatir. Saat ini, wajah gadis itu sudah pucat pasi. Bibirnya bahkan mulai terlihat menghitam seolah tak ada darah yang mengalir di area wajahnya sama sekali.
"Jangan mati... Aku mohon!" Isak Celine pilu.
Pandu tak punya pilihan lain. Dengan sekali sentakan kasar pada kedua bahu Celine, perempuan cantik itu akhirnya berhasil membuka mata dan tertarik dari mimpi menakutkan itu.
"Hei... Kamu nggak apa-apa?" tanya Pandu saat melihat mata Celine sudah terbuka lebar.
Celine tak menjawab. Tanpa aba-aba, ia menarik tubuh Pandu ke dalam pelukannya dengan sangat erat.
"Sekali ini saja, Pandu! Tolong jangan menolakku!" lirih Celine dalam tangis.
"Aku disini! Jangan takut!" bisik Pandu yang membalas pelukan itu tak kalah erat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Bambang Setyo
Nah beraksi kan tu anak buah.. Untung pandu dan lainnya juga punya rencana
2021-11-24
0
Wakhidah Dani
jangan benci bgt Ama Celine pandu tar d tinggalin baru tau rasa
2021-11-09
0
rustiy
kok aku yang dag d8g dug ya
2021-10-07
0