Tak terasa aku dan Naya terlelap cukup lama. Hingga akhirnya lantunan adzan zuhur membangunkan kami. Segera kutatap wajah Nayaku yang seakan telah menjadi candu untukku ingin selalu menatap dan menciumnya.
"Yandaa, apa ini sudah siang?" Dan akhirnya Nayaku terbangun setelah sebelumnya terus kuciumi wajahnya.
"Iya, baru saja azan Zuhur, Sayang," ucapku dengan pandangan yang masih tetap tak bergeming dari wajah polos Nayaku. Hingga sebuah suara ...
"Bum, Bumi ... bangun Nak sudah siang ini, ayo sholat zuhur di masjid sana!" Suara tampak jelas di balik pintu kamarku. Hal yang selalu dilakukannnya sejak kami kecil, ketika azan berkumandang dan kami anak-anaknya tak kunjung bergerak.
"Bumi sholat di rumah saja, Bu," jawabku saat ini.
"Laki-laki itu sunnah ibadah di masjid, Nak. Ayo sana berangkat sebelum iqomat!" Dan ibu masih tetap sama, dengan nasihatnya kukuh memanggil hingga anaknya melaksanakannya.
"Iya baik, Bu." Dan akhirnya aku tak bisa menolak ibu, karena memang ia mengingatkan hal yang benar.
Dan beberapa saat setelah sholat Zuhur ...
Ibu tampak mendekatiku yang sedang santai duduk di teras rumah, ia tampak bersama mbok Darmi dibelakangnya membawa nampan berisi teh hangat.
"Lagi santai, Nak? Ceritakan tentang pekerjaanmu di Bandung, semua lancar, bukan?" ujar ibu yang sudah duduk di sisiku.
"Alhamdulillah, Bu," jawabku.
"Bagus Ibu tenang."
"Bum, mumpung kamu lagi disini nanti malem jangan keluar, ya!" ucap ibu tampak serius diwajahnya.
"Ada apa Bu?" ujarku heran sebetulnya aku sangat ingin mengajak Naya main ke alun-alun, tapi memang aku orang yang sulit menolak apalagi terhadap ibuku.
"Kamu masih inget gak sama Bulik Indri, dia memiliki seorang anak perempan yang cantik, calon dokter muda. Namanya Anindya, nanti malem mereka mau kesini."
"Apakah Ibu akan menjodoh-jodohkan bumi?" Akupun berprasangka.
"Ya, mungkin saja kalian berdua cocok. Kalian berdua sama-sama berpendidikan. Dia cantik dan kamu ganteng, pas banget," ucap ibu masih berusaha meyakinkanku.
"Ibu sudah menceritakan tantang Naya pada keluarga mereka?" tanyaku.
"Masalah Naya ya difikir belakangan, yang penting kalian bertemu dulu, kalau sudah cocok baru membahas tentang Naya," tukas ibu seraya merapihkan hijabnya.
Dan ibu menjawab dengan sesuatu yang mengagetkanku, pembahasan Naya nanti? Sungguh aku tidak sependapat.
"Aku tidak sependapat, Bu. Sebaiknya pembahasan Naya dilakukan di awal. Jangan sampai kami terlanjur cocok, tapi orangnya pergi karena tidak siap jadi Ibu untuk Naya."
"Sudahlah Bum! Kali ini kamu dengarkan ibu!" lirih ibu kini.
"Tapi Bu-----"
Dan ibu lagi-lagi tak bisa disanggah.
•
•
•
Pukul 19:10 saat ini saat sebuah Avanza berhenti dimuka rumahku. Ibu sudah tampil cantik dengan gamis satin variasi brokat di tubuhnya, dan aku memakai pakaian yang dipilihkan Ibu saat ini, kemeja batik berwarna senada dengan gamis Ibu. Mbak Sekar dan Mas Satya suaminya juga diminta datang malam ini menyambut kedatangan Anindya. Kedua anaknya Bagas dan Cahya tampak sedang menonton TV di dalam.
Oalah, baru bertemu kenalan kok rasanya resmi sekali ya, batinku.
"Assalamu'alaikum," suara salam yang terdengar jelas dari luar segera kami balas seraya menghampiri tamu yang di tunggu.
"Wa'alaikum salam, Silahkan!! Silahkan!!"
Kamipun saling bersalaman, kutatap untuk pertama kalinya, gadis bermata bening dihadapanku, Anindya. Cantik rupawan seperti gambaran ibu. Ia tampak menunduk dan tersipu malu saat ujung jari kami bersentuhan sebagai salam perkenalan.
Ibu segera berpeluk dan bercengkrama dengan ibu Anindya seraya beriringan masuk kedalam, Ayah Anindya tampak memperhatikanku dengan seksama dari atas ke bawah, hingga akhirnya mas Satya suami mbak Sekar kakakku mengambil peran Bapak yang sudah meninggal dengan bercengkrama dengan Ayah Anindya.
Dan dimana aku?
Aku tertinggal di belakang bersama Anindya, kamipun berjalan lirih mengikuti langkah yang lain untuk masuk, sesekali Anindya melirikku dan akupun membalas hal yang sama padanya. Dalam hatiku berbisik, akankah gadis ini kelak akan bisa menjadi ibu untuk Naya?
Hingga kami sudah di ruang tamu saat ini. Mbok Darmi tampak berkali-kali keluar masuk meletakkan sajian di meja, teh hangat tak terlupa sudah berdiri cantik di atas meja.
Kata-kata sapa pembuka telah dituturkan masku. Suara tawa tampak berkali mengiringi pertemuan ini. Candaan mas Satya memang selalu bisa menancap pas bagi kami yang mendengar.
Hingga ayah Anindya berujar kini. "Kami sangat suka dengan Nak Bumi, bagaimana jika malam ini kita langsungkan saja pertunangan untuk putra putri kita."
Hahh ... mengapa ayah Anindya berujar demikian? Bahkan aku belum tau pendapat mereka tentang Naya putriku?
🐣🐣🐣
🐢Monggo di tunggu episode selanjutnya ...
🐢Happy reading❤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
mba_yulibae
lahhh...kok langsung tunangan..
2022-11-02
0
@@@@3
lahhh...
2021-09-08
0
L i l y ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈💦
Lebih semangat lagi Yanda💪💪💪
2021-08-21
0