Jakarta, Indonesia
Pasar tanah abang, menjadi tempat sakral bagi hampir seluruh masyarakat Jabodetabek, setiap menjelang hari raya semua agama. Tak ada sehari pun pasar itu, tak di penuhi jejal. Ramai dan bising, bak dua sahabat yang tak mungkin berpisah mengisi pasar tersebut. Suara klakson mobil saling bersautan memadati jalanan yang berdekatan dengan stasiun. Orang-orang berlalu-lalang melintas. Bergegas membawa belanjaan mereka, atau sekedar ingin numpang lewat. Pedagang minuman tertatih menawarkan dagangannya; softdrink, air mineral, hingga minuman berkarbohidrat. Keringat mengucur tubuh. Peluh turun begitu deras tak kenal tempat, membuat make-up yang dikenakan menjadi luntur berantakan. Debu mengepul. Asap menggulung, bak udara segar yang mengiurkan. Beredar luas menyesakkan dada. Bentak membentak, penjuru parkir dengan supir oplat seperti alunan lagu yang lazim di dengar setiap hari. Stella merindukan itu. Sangat merindukan.
Kini, ia berdiri tepat di tengah-tengah jalan tempat biasa supir oplat memarahin penjuru parkir. Ia menatap kearah kanan, tempat biasa para preman yang sering memalakinya tiap malam berkumpul. Mereka tak ada. Tak terlihat di manapun. Entah, kemana perginya. Semua seperti butiran debu yang tiba-tiba menghilang disapu oleh angin kencang. Stella merenung. Berjalan tertatih menujuh stasiun Tanah Abang.
Jejal biasanya juga memadati stasiun. Di siang bolong seperti ini, biasanya takkan ada harapan bagi Stella mendapatkan tempat duduk. Namun, semenjak pandemi melanda PT kAI membatasi. Hanya lima puluh persen yang boleh naik kereta. Selebihnya, harus menunggu kereta selanjutnya atau mencari angkutan kota lainnya. Bukannya dengan adanya pandemi manusia harusnya lebih banyak bersyukur? Setidaknya itu bisa mengurangi rasa letih yang tubuh rasakan. Stella kembali termenung. Menatap jalur kereta panjang yang terlihat tak berujung.
Ditangannya terselip satu buah roti isi, yang tadi ia beli di dekat kantor penerbit. Biasa, jaga-jaga untuk mengganjal perutnya jika terasa lapar dijalan. Ada juga sebuah tempat air minum terbuat dari aluminium tebal atau biasa orang jaman sekarang bilang Tumblr.
Dia tak suka jajan, lebih memilih membawa sesuatu dari rumah. Itu berhasil membuatnya irit, dan dapat menabung. Setidaknya ia memiliki cita-cita menjadi Anastasia Steele setelah lulus kuliah dari hasil menabungnya.
Terik masih menggelantung di cakrawala ibukota. Tak ada hujan hari ini, nampaknya. Sia-sia Stella membawa payung yang selama kurang lebih dua minggu menyesakan tas jinjingnya. Ia mendesah, mengelap keringat yang membasahi pelupuk dahi dengan kasar. Meminum air yang tinggal setengah, sambil terus berdiri setia menunggu datangnya kereta yang akan membawanya pulang ke kota patriot, Bekasi.
Hari ini, adalah hari keempatnya mencoba peruntungan melamar di penerbit kota. Berharap ada yang mau menerimanya kembali menjadi seorang jurnalis. Tak masalah jika hanya bekerja sebagai jurnalis lepas, tanpa kontrak kerja yang jelas. Asal ada cuan, Stella tak masalah.
Namun, sayangnya hari keempat dan enam perusahaan penerbit kembali menolaknya. Alasannya masih sama, dianggap menjadi pengkhianat negara karena artikel-artikel yang ia buat. Ia tak pantang menyerah. Masih ada harapan. Masih ada dua penerbit yang belum memanggilnya untuk interview. Pikirannya di penuhi energi yang begitu positif. Ia yakin jika di terima di salah satu penerbit itu.
Robot panjang yang di kendalikan oleh pedal akhirnya tiba. Stella bersiap, melangkah satu kakinya mendekat kearah rel kereta. Robot panjang itu berhenti, berlahan pintu otomatis terbuka. Stella bergegas masuk ke dalam dan menempatkan diri di kursi busa empuk segera.
"Huft..." Ia menghela napas panjang. Merasakan hawa sejuk yang masuk dari rongga-rongga hidungnya, saat pertama memasuki KRL itu.
Matanya terpejam, berlahan alam mimpi berganti. Namun, tak lama suara pekikan anak kecil berteriak menyadarkannya. Stella terbangun dan mendapati seorang anak kecil yang menangis dipangkuan seorang paruhbaya yang dengan penuh kasih mengusap lembut rambut ikal anak itu. Menciumnya di balik masker dan terus menimang-nimang agar berhenti menangis.
Stella tak marah, atau berniat menegur sang bapak. Ia justru tersenyum geli melihat adegan itu. Dulu, sewaktu sang ayahnya masih ada bersamanya, Stella juga sering merajuk untuk mendapatkan perhatian dari sang ayah. Disaat anak lain lebih condong dekat dengan sang ibu, Stella justru berbeda. Ia lebih dekat dengan sang ayah, pergi kemana-mana maunya dengan sang ayah, bercerita keluh kesah menjalankan hidup bersama sang ayah, bahkan sampai makan pun minta di suapi oleh sang ayah. Tempat favoritnya sewaktu kecil, adalah tangan kekar dan ketek sang ayah. Stella ingat, sewaktu ia pergi menonton pertunjukan wayang kulit, dengan sabar sang ayah mengendongnya. Menimang-nimangnya bak bayi berusia lima bulan dengan penuh kasih sayang. Ia juga ingat, sewaktu sekolah TK dulu saat acara renang di kawasan TMII, disaat yang lain diantarkan oleh ibu mereka. Stella dengan bangga mengandeng tangan ayahnya dan memamerkan kepada dunia, ayahnya tak kalah hebat dari ibu-ibu mereka.
Tak terasa sudah dua puluh dua tahun ayahnya pergi, hilang entah kemana. Rindu yang teramat sangat melebihi apapun, selalu mengusik dan menemani setiap langkah hari-harinya. Stella merindukan ayahnya. Berharap suatu saat nanti tuhan mempertemukan dia lagi, di dunia nyata ini. Dengan kasar, Stella mengusap buliran airmata yang jatuh tanpa permisi di pelupuk matanya. Ia menyunggingkan senyum, saat sang anak yang berada di pelukan bapak paruhbaya itu menoleh ke arahnya. Lucu. Ingin rasanya Stella mencubit pipinya.
Saat tiba di stasiun akhir, Stasiun Bekasi dengan malas Stella melangkah. Menuruni satu persatu anak tangga dan keluar dari dalam stasiun. Senja sudah menyapa saat kakinya tiba di beranda stasiun, hiruk pikuk terlihat begitu jelas. Tak ada covid disana. Stella tersenyum geli, melihat orang-orang berlalu-lalang tanpa menggunakan masker dan melanggar sosial distancing. Lagu dari teriakan supir angkot, saling bersautan dengan tukang ojek online. Seperti halnya pasar tanah abang, itu sudah lazim terdengar setiap hari. Stella hapal betul apa yang mereka perebutkan. Apalagi kalau bukan penumpang.
Dengan malas, kakinya melangkah berjalan melewati parkiran motor dan mobil dan menghilang di antara kerumunan manusia-manusia yang sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing.
[Stella Sasmita: bagaimana caranya agar kita bisa bebas tanpa di perbudak uang tapi tetap hidup?]
[Judika Dwi Hartanto: Kenapa, tiba-tiba nanya kaya gitu? Di tolak lagi?]
[Stella Sasmita: Sudah jelas! Gak sudah ditanya lagi. Kepala gue panas banget rasanya pas mereka bilang, seharusnya gue di tanah di lapas Nusakambangan. Mereka pikir gue *******. Selama ini gue menjadi jurnalis jujur apa adanya. Menulis berita sesuai dengan apa yang gue liat di lapangan. Emang dasar pemerintah udah bobrok, tetap aja mau berdiri dan di anggap.]
Judika menyungingkan senyuman. Melemparkan handuk basahnya ke sembarang arah, dan beranjak berbaring diatas ranjang empuknya. Dia sudah terbiasa mendengar keluh kesah Stella setiap hari. Tak banyak yang Judika bisa lakukan, selain memberikannya semangat.
[Judika Dwi Hartanto: yaudah masih ada dua penerbit yang belum manggil lo. Mudah-mudahan aja salah satunya rezki lo.]
[Stella Sasmita: Uhh, rasanya kalau lo taro telor di atas kepala gue pasti mateng nih. Gue udah ga tahan Jud sama komentar nyinyir mereka yang interview gue.]
[Judika Dwi Hartanto: Daripada lo kesel ga karuan, mending lo pikirin pakaian apa yang lo pake buat seminggu lagi. Lo bakal gue ajak ke acara penyambutan kakak tertua gue.]
[Stella Sasmita: Hah! Lo bercanda, ya?]
TO BE COUNTINUE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
Rosnawati Hamid
bkin Reza jadian ma Stella dong
2020-12-25
1
Maulida Ma'rufatin
suka banget ceritanya....🥰🥰🥰🥰
2020-12-22
2