Malam menjemput alam, salju lebat turun menghujami kota Manchester saat Jones menutup telpon Leo dengan sedikit mengumpat kesal. Bagaimana tidak, Leo lelaki yang ia kenal playboy itu mengatakan akan menjahit bibir Jones jika bertemu nanti di sana, atau meminta Reza untuk menugaskan Jones ke gurun Sahara untuk menghitung butiran pasir, atau kutub utara bertemu dengan para manusia Eskimo. Mereka cocok dengan sikap Jones yang dingin. Begitu kata Leo.
Jones bangkit, memasukkan kembali ponselnya, dan mencoba untuk memulihkan apa yang tersisa pada keseimbangannya. Ia mengangkat kembali kedua koper besar dan tentunya berat itu, merasakan lekukan gagang koper dan kembali berjalan menelusuri lorong abu-abu yang terbungkus jendela kaca tinggi besar.
Lorong panjang seperti tak berujung, terlihat begitu bersih. Beberapa pegawai yang berpapasan dengan Jones, sesekali membungkuk memberi hormat kepada orang nomer dua terpandang itu. Namun, Jones tidak menggubris tetap berjalan tenang tanpa ekspresi.
Hingga, ia tiba di lobi gedung nampak beberapa lelaki berbaju loreng berbaris rapih lengkap dengan senjata di pelukan mereka. Jones mendesis, sudah seperti biasanya saat ia harus membawa produk baru ciptaan Mr.Oxley, selalu di antar dengan banyaknya prajurit. Saat pintu ganda kaca otomatis terbuka menampilkan sosok Jones, para prajurit itu mengangkat senjata mereka setengah dada menyambut kedatangan Jones.
Jones terkesiap, kaget bukan main hingga hampir menjatuhkan koper yang ia bawa, karena gerakan tiba-tiba para prajurit yang seakan ingin menembak mati dirinya. Seorang paruhbaya muncul dari barisan prajurit tersebut. Menjulurkan tangan panjang-panjang, namun di tampik Jones karena alasan tangannya penuh karena memegang koper.
Paruhbaya berpangkat bintang lima itu berjalan, di ikutin Jones mendekati mobil besar berlapis baja anti peluru. Mata Jones sesaat melirik kebelakang, kearah para prajurit yang masih berbaris rapih dengan sorot mata tajam tak berkedip.
"Silahkan masuk, Mr.Anderson." Pintu mobil lapis baja terbuka, memperlihatkan betapa pengapnya ketika seseorang berada di dalam sana. Tak ada Ac seperti Audi SUV yang sering ia bawa.
Kepala Jones mengangguk patuh, ia masuk ke dalam sana dengan berhati-hati. Meletakan satu koper di kursi sebelahnya, dan satunya di pangkuannya. Tak lama pintu mobil tertutup, diikutin dengan tiga orang masuk ke dalam mobil yang sama dengan Jones. Satu di kursi pengemudi, satunya di sebelah supir, juga satunya menemani Jones di kursi penumpang.
Suara sirene berbunyi, sesaat paruhbaya berpangkat tadi mengijinkan semua mobil berangkat. Mobil lapis baja pertama berjalan berlahan meninggalkan gedung Oxley General, di susul dengan mobil yang membawa Jones, yang mana di sebelah kanan dan kirinya terdapat mobil lapis baja lainnya. Di susul pula mobil lapis baja lainnya di belakang jumlahnya dua buah mobil. Semuanya berjalan berlahan, memecah jalanan kota Manchester yang semakin gelap.
Mobil iring-iringan yang membawa Jones, melesat meninggalkan Corparation st menuju Oldham Rd. Di dalam mobil, semua terlihat hening tak ada yang berani memulai pembicaraan, atau berniat mengobrol. Ketiga prajurit itu pun nampak begitu serius, fokus menatap jalanan di depan. Hingga suara deheman Jones membuat ketiganya menoleh sesaat, dan merubah posisi duduk mereka.
"Kau tau, berapa lama Mr.Oxley menciptakan senapan di tanganmu?" tanya Jones sambil menunjuk senapan yang di genggam oleh prajurit di sebelahnya.
Prajurit bernametag J.L Hawk itu melirik senapan yang ia pegang. Nama Oxley General tertera jelas di senjata yang ia genggam. Prajurit itu tersenyum masam, tak perduli dengan pertanyaan tiba-tiba Jones yang berusaha memecahkan keheningan di dalam sana.
"Jika Mr.Oxley tau bahwa senapannya sudah di modifikasi ulang, saya dapat memastikan jika kepala orang yang memodifikasi itu akan putus di tangannya." Kini gantian, Jones tersenyum kearah Hawk namun dengan senyuman sarkasme.
Hawk berusaha menyembunyikan senapan dibalik tangan kekar berbalut baju loreng. Wajah tertunduk dalam, membayangkan kepalanya benar-benar di pegal oleh Reza. Di menelan ludahnya, melirik teman di depannya yang terlihat senyum-senyum menahan tawa di balik kaca spion mobil. Sial, padahal aku hanya menaruh pita saja. Umpatnya dalam hati.
Sementara Jones, setelah berkata demikian lelaki itu kembali diam, duduk tenang menatap lurus ke jalanan Manchester yang di tutupi salju dengan raut wajah tak berekspresi. Seperti tidak terpengaruh apapun, dengan ucapan yang baru saja ia katakan.
Setelah menempuh perjalanan cukup mencengangkan bagi Hawk tentunya. Mereka akhirnya sampai di sebuah gedung mewah bergaya Victoria abad pertengahan. Jones turun dari sana, di ikutin para prajurit yang bersiap mengawalinya hingga sampai pintu masuk gedung.
Langkah Jones terhenti, saat tiba di depan lift. Tubuhnya memutar ke belakang, lalu tersenyum kaku kepada para prajurit yang sudah mengantarnya.
"Terimakasih atas iring-iringan bagaikan Prince William. Sangat menyenangkan, setidaknya aku bisa merasakan menjadi orang penting di kota ini walaupun hanya lima belas menit. Selebihnya kalian boleh pergi, aku akan naik keatas menyerahkan koper ini. Kalian tidak perlu khawatir, karena aku tidak akan mencuri mantan mertua."
Semua prajurit melirik dan saling memandangi dengan tatapan binggung. Jones tergelak, ia tau apa yang sedang di pikirkan para prajurit gagah itu.
"Ini." Mengangkat satu kopernya. "Adalah mantan mertua."
Kepala semua prajurit mengangguk paham. Ternyata itu adalah nama untuk produk baru Oxley General. Terdengar aneh, dan lucu, bukan? Tapi begitulah Jones. Saat di suruh menentukan nama untuk produk baru keluaran Oxley. Jones bahkan pernah memberikan nama sebuah senapan paling mematikan di dunia buatan Oxley General dengan nama Herr Oxley, yang berarti mulut tuan Oxley dalam bahasa jerman.
"Baiklah Mr.Anderson."
Jones masuk ke dalam lift, saat lift itu terbuka. Ia menganggukkan kepala sebagai tanda berterimakasih untuk terakhir kalinya kepada para prajurit, sebelum akhirnya lift tertutup dan membawanya masuk ke rumah milik majikannya.
Beberapa saat kemudian, Jones tiba di sebuah ruangan besar serba coklat. Di tengah ada sebuah sofa dan meja kaca berbalut karpet bulu halus. Di dinding begitu banyak lukisan tergantung. Ada tangga juga tepat berada di sebelah lift. Ini adalah ruang tamu utama, tinggi sekali juga begitu luas. Dindingnya adalah kaca besar dan tinggi, tanpa sebuah gorden yang langsung memperlihatkan penampakan kota Manchester.
Jones berjalan lebih dalam, di sebelah kanan terdapat sebuah meja besar bervas berisikan bunga cantik. Hidup. Tak jauh dari tangga melengkung terdapat perpustakaan yang diisi banyak buku berbagai genre. Di tengah perpustakaan itu terdapat sebuah perapian modern yang terbuat dari baja atau platinum, yang berhadapan dengan sofa berbentuk U, yang terlihat begitu empuk untuk di duduki.
Api menyalah menghangatkan ruangan itu. Sementara di sebelah kiri perapian terdapat pohon natal yang telah di hias sedemikian rupa. Alis jones mengerut; sejak kapan tuannya merayakan natal? Atau apakah adik tiri tuannya datang?
Jones melewati begitu saja perpustakaan terbuka itu, jalan lurus menuju bar dapur yang terdengar begitu berisik. Semua berwarna hitam dan coklat, meja bar dapur itu, perabot juga kursi bar.
"Kau mau minum, Jones?"
Reza muncul dari sebelah kiri area dapur, dengan membawa segelas minuman beralkohol di tangannya. Jones menundukkan kepala dan meletakan kedua koper di lantai kayu coklat kokoh.
"Tidak, terimakasih, sir."
Di bagian kiri area dapur terdapat sebuah ruangan santai tak kalah besar. Dengan sofa di tengahnya berbentuk U yang letaknya berhadapan langsung dengan sebuah piano besar disisi kanan ruangan. Reza menjatuhkan dirinya di sana. Kembali menegak minuman beralkohol hingga habis. Tubuhnya terlihat basah, seperti seseorang habis melakukan aktivitas berat. Dengan hanya memakai celana training dan kemeja putih, di bagian kancing atas terbuka menampilkan tubuhnya yang terlihat begitu macho dan seksi.
"Kemari." Reza menjentikkan tangannya, mengintruksikan Jones untuk mendekat.
Jones patuh. Kembali, ia mengangkat kedua koper itu dan berjalan mendekati Reza. Dengan berhati-hati, Jones meletakan kedua koper yang di bawa dengan seluruh nyawanya di atas meja kaca. Membuka kedua koper tersebut dan menampakkannya kepada Reza.
Reza menenggakkan duduknya, meletakan gelas yang telah habis diatas meja tepat di sebelah kedua koper itu di letakkan. Ia menyeringai, ciptaan yang kesekian kali akhirnya berhasil dan siap di pertunjukan besok. Syukurnya, serangan Rootkit kemarin malam tak berhasil mengambil komponen rahasia pembuatan senjata itu. Ini akan menjadi mahakarya terbesarnya tahun ini. Pandemi yang sedang menyerang negaranya bahkan dunia, tak menyulutkan Reza untuk mundur menciptakan amunisi dan alat perang lainnya.
Namun, sesaat seringai bahagia Reza terganti oleh tatapan binggung melihat salah satu nama dari amunisi dan senjata yang ia ciptakan. Alisnya bertaut keningnya mengerut. Reza meraih peluru untuk senjata laras panjang, dan membaca secara teliti nama dari peluru tersebut. Sedetik kemudian, matanya mengadang, menatap Jones yang berdiri di depannya dengan menundukkan kepala dalam. Tangan Reza mengetuk meja kaca, membuat Jones menegakkan kepalanya dan menatap binggung bosnya.
"Mantan mertua?" tanyanya binggung sambil menunjukkan peluru di tangannya.
"Nama itu cocok, sir. Karena peluru buatan mu seperti mulut mantan mertuaku, yang sekali ucap dapat memborbardir semua orang."
"Astaga, Jones."
TO BE COUNTINUE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
hannina
hadooooh...bener bener ni jones bikin ngakak
si mulut pedas to bikin ngakak😂😂😂
2021-08-24
0
𝖘𝖆𝖉🌷R⃟h𝕮𝖑°𝐍𝐍᭄
karya mu membom bardir k.IRIS
2021-04-06
0
Kikoaiko
thor adek tirinya reza kmn
2021-03-24
0