Mulut Reza ternganga, ia berdecak tak percaya dengan jawaban gamplang tanpa beban dari Jones. Dan jangan lupakan tatapannya itu, datar tanpa ekspresi.
"Kau, benar-benar luar biasa." Meletakkan kembali peluru tersebut ketempatnya semula. Jones menutup koper tersebut dan menurunkan dari atas meja.
"Duduk," titah Reza, yang langsung di turuti oleh Jones.
Sesaat keduanya terdiam, Reza melamun menatap jendela kaca besar di sebelah kiri. Hembusan napas yang terdengar begitu berat, terhembus darinya. Jones menyakini jika saat ini tuannya sedang mengalami stres akut.
"Apa ada masalah, sir?" tanya Jones pelan.
Kepala Reza mengangguk samar. Alam bawah sadar dan logikanya kembali bertabrakan. Moodnya hancur, terlebih-lebih hati dan perasaannya. Seperti sudah menjadi serpihan yang mungkin tak terbentuk.
"Ibuku sakit keras," katanya lirih. Matanya memancarkan cahaya kesungguhan dan Jones dapat melihat itu. "Dia ingin aku mengajarkan Judika sebagai seorang pemimpin, sebelum tuhan menyabut nyawanya."
"Apa tuan bersedia?"
Reza tersenyum masam. "Judika bukan anak yang mau di atur dan taat dengan peraturan yang telah di buat. Dia lelaki bebas yang berjalan mengikuti kata hatinya. Mana mau dia ku ajari, lebih-lebih tentang dunia bisnis."
Jones menganggukan kepala paham. Dia mengerti bagaimana sikap adik kandung Reza satunya itu. Dia lelaki langkah, yang mungkin sebentar lagi akan punah. Dia lelaki yang begitu mencintai kebebasan dibandingkan uang. Judika, bahkan lebih memilih menjadi seorang aktivis ketimbang menjadi CEO. Katanya, bekerja seperti itu bagaikan seorang pekerja rodi. Judika lebih menyukai menulis dan menjadi seorang aktivis kemanusiaan, meskipun nyatanya ia sering terlunta-lunta tak karuan dijalan karena kehabisan uang.
"Saya pikir anda akan bisa mengubahnya. Bukan kah, anda idola terbaiknya? Pasti dia akan mengikuti kemauan anda."
"Tidak sesimpel itu, Jones." Reza menaikan satu kakinya ke atas sofa dengan tatapan terus fokus menatap kaca jendela. "Dia lelaki keras yang teguh akan pendiriannya. Uang bukanlah segalanya untuk Judika. Bahkan aku tau, jika dia harus kehilangan cinta karena lebih memilih hidupnya dibandingkan dengan wanitanya."
"Apa yang di lakukan tuan Judika itu bagus, sir." Sela Jones, yang membuat Reza menoleh menatapnya nanar. "Jika ia sudah bahagia akan kehidupannya yang sederhana, untuk apa yang harus berkorban hanya untuk mengejar dunia yang tak abadi? Karena tidak selamanya kebahagiaan diukur dengan materi."
Tak dapat di pungkiri olehnya, jika ucapan Jones mampu mengelitik hatinya. Ada sebuah getaran hebat yang mampu membuatnya terpaksa mengamini perkataan Jones. Reza tersadar akan hal itu. Materi tak selama selalu dapat memberikan kebahagiaan, seperti halnya dirinya. Ia memiliki begitu banyak harta, semua ia dapat beli dengan harta dan materi tapi tidak untuk kebahagiaan. Ia sepi, dan sendiri. Tak bahagia, meskipun harta dan materi mengelilingi kehidupannya.
"Sir, apa yang anda pikirkan?" Suara lembut Jones dari sebrang sofa menarik Reza dari alam bawah sadarnya. Reza tersadar akan lamunannya, dan segera berdiri mendekati kaca jendela sambil mengusap wajah dengan kasar.
Sejenak ia kembali terdiam, bayangan-bayangan sang adik sedarah kembali berputar di dalam benaknya. Dia memang begitu amat membenci, Liliana karena telah meninggalkannya sewaktu kecil. Namun untuk Judika, dia tidak sampai hati membenci adik kesayangannya itu. Reza sangat menyayangi Judika, dan tak ingin masa depan Judika tak karuan hanya dengan menuruti kemauan kata hatinya. Jones memang benar, tak selamanya kebahagiaan di ukur oleh materi. Namun, jika kedua-duanya bisa di dapat mengapa tidak?
Dering ponsel milik Jones, mengangetkan Reza. Dia menoleh dan matanya mengekori kemana langkah Jones pergi. Dia menuju area dapur, duduk di bangku bar sambil berkacak pinggang menerima telpon.
"Baik... Nusakambangan?... Biar ku tanyakan lagi... Iya! Iya, tentu kau harus mengawasinya juga termasuk anak buahnya... Ok... Baik... Terimakasih."
Jones menutup ponselnya dan kembali mendekati Reza yang sudah kembali duduk di sofa sambil bermain ponsel.
"Joseph?" tanya Reza.
"Ya, sir."
"Bagaimana hasilnya?"
Jones kembali duduk di sofa, mencengkeram ponselnya di satu tangannya. "Ada beberapa orang yang berhubungan dengannya, baik secara langsung maupun tidak satu minggu sebelum penangkapan Joseph. Termasuk tuan Leo. Di antara semua itu, Joseph menyuruh anak buahnya untuk mengikuti tiga orang yakni, tuan Leo sendiri, seorang pemasok narkotika dari spanyol dan uhm..." Jones menghentikan ucapannya, seperti tak yakin ingin berucap.
"Siapa?"
"Stella Sasmita. Mantan jurnalis politik Indonesia, yang di pecat tidak terhormat karena di anggap pengkhianat negara."
Mata biru Reza berbinar, nampak sekali ada rasa keterkejutan disana. Alam bawah sadarnya mulai di hinggapi pertanyaan-pertanyaan, tentang jurnalis itu; apa hubungannya dengan Joseph hingga ia di ikuti olehnya, apa jangan-jangan sebuah rahasia besar tentang Joseph ada di tangannya? Mengingat dia adalah seorang jurnalis. Manusia super kepo yang akan mencari tahu segala hal, hingga ke lubang semut sekalipun.
"Sir, Stella juga adalah sahabat karib tuan Judika." Jones melanjutkan perkataannya, sambil mengutak-atik ponsel androidnya. "Anak buah yang saya tugaskan untuk mengawasi Joseph di lapas, juga sudah mengindetifikasi siapa Stella. Dia adalah seorang anak yatim, yang kehilangan ayah saat masa orde baru. Ayahnya menghilang sebagai salah satu aktivis yang tumornya di culik, hingga sekarang tak ada yang tau dimana keberadaannya. Semenjak saat itu pula, Stella menekuni dunia jurnalis dan aktif menjadi seorang aktivis yang notabene dianggap anti pemerintah."
Jones memperlihatkan ponselnya yang berisikan data pribadi Stella. Reza meraihnya, dan membaca setiap detail isi di dalam sana. Sejenak, Reza berdecak kagum dengan prestasi akademik yang di peroleh oleh Stella, seperti; juara lomba matematika tingkat nasional di usianya ke lima belas tahun, juara fisika tingkat internasional di usianya ke tujuh belas tahun, ia juga mampu loncat kelas saat kelas satu SMP. Namun yang membuat Reza mengeryitkan dahi binggung, saat ada satu prestasi Stella yang mengganggu pikirannya.
"Dia pernah tiga kali juara dalam bidang komputer? Dan memenangkan penghargaan sebagai wanita pertama yang mampu membaca sistem komputer? Apa dia seorang hacker, Jones?" tanya Reza sambil memperlihatkan tulisan yang mengganggu pikirannya.
Jones meraih ponselnya kembali, dan membaca apa yang tuannya tanyakan. Sesaat Jones menoleh ke arah tuannya. Mereka saling mengunci pandangan beberapa detik sebelum akhirnya Reza berkata. "Caritahu lebih detail mengenai wanita itu. Dan hubungannya dengan Judika."
Sementara di Indonesia, setelah meninggalkan Inggit dengan ucapan yang melulu-lantakan hatinya, Judika menyambangi indekost Stella. Dia mengetuk pintu kamar gadis itu untuk waktu yang cukup lama. Tak ada jawaban apalagi tanda-tanda kehidupan, hingga Judika menyakini Stella tak ada di rumah.
Ia mendesah, kesal. Melirik jam yang melingkar indah di lengan kekar yang di tumbuhi rambut. Jam dua lewat, entah kemana perginya gadis itu. Padahal, saat-saat seperti ini Judika amat membutuhkan dirinya. Hanya Stella yang mampu mengusir kegelisahan hati Judi, saat lelaki itu habis berhadapan dengan cinta pertamanya. Namun, sayangnya gadis itu malah tak ada dan tak tau pergi kemana.
Disaat dia masih setia menunggu Stella di depan kamar indekostnya. Bu Mita, pemilik indekost tempat Stella tinggal datang menghampiri. Ia tersenyum menyapa Judika dan berkata
"Stella tadi pergi, pake baju serba hitam. Gak tau kemana, tapi kayanya buru-buru banget."
TO BE COUNTINUE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
Kikoaiko
stella seorng hacker, tpi data pribadinya bisa dg mudah d akses orng
2021-03-24
0
Berdo'a saja
apa jadinya nnt jika tau perusahaan itu milik kakak Judika gimana dg Stella
2021-01-27
1
Kanjeng Netizzen
Musuh terbesar gw rasa yg kontekan dg Stella BIG BOS tp siapa dibalik nm tersebut
2021-01-18
1