Malam dingin mencekik tubuh menyambut Reza di apartemen senyapnya. Tak ada orang disana. Mrs.Wheels, seorang wanita paruhbaya yang di percaya Reza mengurus segala keperluan rumah juga telah pergi. Mungkin sedang menyiapkan keperluan natal, yang tinggal menghitung hari. Christopher juga urung pulang. Sudah lebih satu setengah bulan, lelaki itu pergi. Berkelana ke benua Afrika untuk menjadi dokter sukarela untuk anak-anak busung lapar di sana. Reza sering merasa was-was kepadanya, mengingat perang kepanjangan yang melanda benua itu, juga pademi yang masih bersemayam urung pergi meninggalkan dunia. Sering kali, Reza menyuruhnya kembali ke Inggris. Bekerja disana di salah satu rumah sakit elite di Inggris, tetapi tak di gubris oleh lelaki yang masih dikatakan belia itu. Katanya, ini jalan hidupnya. Ia tak ingin di ganggu apalagi di atur. Selayaknya Judika, yang tak mau menepati kursi Presdir Hartanto Grup. Lebih memilih menjadi penulis lepas, jurnalis, juga aktivis kemanusiaan. Mereka sama, meskipun beda ibu. Mungkin menurun dari sifat ayah mereka, Marco.
Malam dingin masih panjang, Reza duduk di depan perapian. Memegang buku bisnis di tangannya dan mulai membulak-balikan halaman demi halaman. Gurat wajahnya terlihat begitu tenang. Ia begitu tampan, dengan brewok yang menghiasi wajahnya. Malam ini, tak ada wanita yang menemaninya. Ia terlalu pusing memikirkan siapa yang berani meretas sistemnya. Begitu banyak teka-teki disini. Memang ini bukan kali pertamanya, perusahaan miliknya di retas. Namun, baru kali ini seseorang berhasil meretas sistemnya hingga mencuri data pribadinya. Reza meyakini ini bukan Joseph. Untuk apa dia mencuri data pribadinya, padahal dia sendiri tau bagaimana sepak terjang perjalanan hidup Reza. Mulai dari kehidupan pribadinya, hingga pekerjaan gandanya menjadi mafia terbesar Sisilia.
Pikirannya semakin kalut, saat sekelebat memori beberapa hari lalu terulang. Saat sang ibu, Liliana menelpon dalam keadaan terisak. Itu kali pertamanya mendengar sang ibu menangis, sejak perceraiannya dengan Marco. Hati Reza tergelitik, marah, tak suka, benci, dan tak rela saat ibunya yang ia benci menangis. Reza ingin memarahi Liliana, menghapus airmatanya dan memeluk tubuh senjanya. Namun, ego itu terlalu kuat menguasai dirinya. Hingga ia hanya mampu mematung diam, sambil mendengarkan ibunya berbicara.
"Saya sakit. Sakit keras. Dokter bilang saya mengidap kanker darah stadium akhir." Ucapan pertama yang keluar dari mulut Liliana, berhasil Reza dengar. Sontak tak dapat membendung lagi airmatanya.
Dalam diam, Reza menangis seorang diri di ujung kamar megahnya. Terisak. Menjengut-jengut rambutnya. Ibunya ingin, ia pulang. Berdamai dengan Judika, dan berada disampingnya sampai ia menutup mata. Anggap saja itu permintaan terakhir, kata Liliana.
"Kau jahat. Wanita yang paling jahat yang pernah ku kenal."
Liliana tertawa di sebrang sana. Ia menyadari itu, sedari dulu. Tak ada hari tanpa ia tidak merindukan anak sulungnya. Reza adalah pelita hidupnya, sama halnya dengan Judika. Kata maaf, penyesalan memang tak pernah habis dan lelah ia ucapkan. Namun, sayang hati Reza sudah tertutup. Tertutup rapat untuknya. Tak ada lagi kata maaf, apalagi kedamaian.
"Kau pergi meninggalkan aku, saat kau terluka oleh ayahku. Dan kau kembali juga dengan luka, yang sebentar lagi akan merenggut nyawamu. Apa aku hanya serendah itu di matamu? Hingga kau memohon agar aku mau menghujudkan kemauan mu? Egois. Wanita egois."
"Maafkan ibu Reza..."
Reza menghela napas panjang, mencoba merenda emosi yang mulai meluap pada dirinya. Sabar. Hatinya berkata. Rindu dan rasa benci itu kian mendera, terlebih mendengar fakta menyakitkan tentang ibunya. Membuat Reza, semakin amat membenci kehadiran wanita yang hanya bisa memporak-porandakan hatinya.
"Aku anakmu, Liliana. Aku masih anakmu. Tanpa kau meminta, aku akan berada di samping mu saat kau sekarat." Mungkin ucapan itu terlalu kasar, untuk di dengar dari seorang anak. Tapi tidak untuk Liliana. Itu malah, seperti sebuah mukjizat yang menghampiri kehidupannya disaat-saat ia sekarat.
Reza tersenyum masam, saat memori konyol dan menggelikan itu terputar di otaknya. Ia melemparkan buku di genggamannya dan beringsut pergi dari perpustakaan menuju bengkel tempatnya menciptakan mahakarya agung menggemparkan dunia kemiliteran.
REZA EERSTE OXLEY
****
Sementara itu, lorong panjang hotel berbintang lima menyambut Jones, saat pintu lift terbuka di lantai paling atas gedung. Lampu terang benderang menyinari lorong, dinding bergaya khas Victoria dengan pajangan abad pertengahan mempercantik mata memandang. Semua berwarna emas, lantai marmer, dinding bahkan langit-langit. Pintu-pintu ganda kamar terbentang di bagian kanan Jones berjalan. Tak banyak. Hanya beberapa. Mengingat lantai ini, dikhususkan untuk para tamu VVIP kelas atas.
Mulutnya berkomat-kamit, melirik satu persatu nomer yang tertera di atas pintu. Hingga langkahnya terhenti, ia menghela napasnya sebelum kemudian menekan tombol bel kamar. Itu kamar Leo dan Shena. Jones meyakini itu. Karena sudah ia tulis nomer kamar itu di tangannya, menggunakan pulpen.
Cukup lama, ia menunggu seseorang membukakan pintu. Hingga akhirnya seorang pria dengan hanya mengenakan handuk putih melingkar di pinggangnya membukakan pintu.
Jones menaikkan alisnya. Bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apakah ini yang bernama Leo? Mengapa terlihat seperti anak berusia lima belas tahun? Yakin lelaki ini seorang playboy dan orang yang menghajar bedebah tadi?
"Siapa?" tanya pria bertubuh jenjang, dengan kulit tubuh putih mulus bak pangeran dongeng.
"Mr.Leopard?"
"Hmm... Pelayan hotel, ya? Apa Shena memesan sesuatu?"
Jones mendelikkan matanya menatap lekat-lekat pria yang memiliki wajah dan umur yang sangat berbeda. Dalam hati, ia mengumpat kesal. Bedebah sialan!
"Saya Jonas Anderson. Asisten tuan Reza."
"Ah, si manusia es kimo." Leo menyungingkan senyuman. Tersadar akan nama orang menyebalkan itu. "Bagaimana kau sudah menyelesaikan kekacauan itu? Apa mereka mau membayarnya?"
Tangan Jones merogoh sesuatu di kantong jas. Mengeluarkan selembar cek yang tadi di tulis oleh pria yang habis ia siksa. Ia menyerahkan kepada Leo, yang langsung di rampas dan di baca Leo.
"Tuan Reza ingin mengadakan acara makan malam bersama anda, besok di restoran di sekitar sini."
"Kau sudah memboking restoran itu? Mengingat pandemi pasti sulit." Leo berkata tanpa menatap Jones, dan terus fokus pada nominal yang tertulis di lembaran cek tersebut. Menghitung-hitung, sambil menerka berapa nominalnya dalam kursor rupiah.
"Restoran itu milik Oxley General."
"Ku pikir Reza hanya tau tentang senjata, tanpa tau tentang cipta rasa. Apalagi dia tidak pernah pacaran, seperti mu..." Leo menjeda ucapannya. Menatap Jones dari bawah kaki sampai atas kepala dengan tatapan lekat. Keningnya mengerut, matanya menyipit. Membuat Jones menatapnya binggung. "Atau jangan-jangan kalian..."
"Saya seorang duda beranak dua. Itu faktanya." Serga Jones menyela ucapan Leo.
Gelak terdengar dari mulut Leo. Membuat Jones semakin binggung. "Kau pikir aku mau bilang apa? Bilang kalau kalian berpacaran gitu?" Kembali Leo tertawa kencang. "Sudahlah jomblo aku ingin melanjutkan bermain dengan istriku. Jangan mengganggu. Kau boleh pulang ke Manchester."
Belum juga Jones menjawab perkataan Leo, pintu kamar sudah di tutup dengan dentuman yang cukup keras. Hingga hampir membuat kening Jones terbentur daunnya.
Jones mengepalkan tangannya di udara. Mengumpat kesal kepada Leo. Entah bagaimana Reza bertemu dengan Leo. Satu yang jelas, Jones tidak menyukainya.
TO BE COUNTINUE....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
𝖘𝖆𝖉🌷R⃟h𝕮𝖑°𝐍𝐍᭄
ka.otorrrr qo gantengan si Jones nya drpd Reza nya 😖
2021-04-08
0
Berdo'a saja
Ampun thorrr visual nya kalau yg ini pasti aku meleleh 😁😁😁 lebay amat plus alay aauuu🤗🤗🤗🤣🤣🤣🤣
2021-01-27
0
Diah Diah
Nih bener² manusia ga ada akhlak🤣🤣🤣🤣🤣. Mau dimana aja n ma siapa aja sifatnya ga akan pernah berubah sama sekali. Mungkin yg bisa merubah cuma anaknya yg akan lahir nanti.🤣🤣🤣🤣
2021-01-18
3