Manusia batu pernah tersematkan pada nama Jones Anderson, saat dia masih menyandang gelar pelajar. Berlanjut manusia minim empati bergelar kehormatan di belakang namanya, saat menjabat sebagai manajer Oxley General. Terganti si mulut cabai, lima tahun silam saat ia resmi menjabat sebagai orang kepercayaan Reza mengantikan posisi Robert alias Joseph alias Ramdani.
Manusia kepala batu, yang lahir dari keluarga pejuang; ayah perfeksionis, dan ibu kritis dengan lingkungan sekitar. Menjadi seorang Jones, hidup dalam keluarga dominan yang selalu di tuntut menjadi sempurna. Di usianya yang ke delapan tahun, dirinya bahkan sudah menguasai perhitungan alzabar, dan dapat berbicara dalam tiga bahasa; Inggris, Prancis, dan Italia. Tak heran jika Emmanuel pernah menjadikannya asisten dia, saat mendiang itu masih sehat bugar. Lalu berganti mengabdikan kepada sang putra sulung, yang memiliki sifat aneh bin ajaib.
Kritik dan pendapat yang acap kali ia sampai tanpa berpikir, membuat Reza kadang geram bahkan marah. Namun, berlahan dia menjadi terbiasa dengan sikap nyablak tangan kanannya itu. Maka saat, Jones melemparkan jawaban savage, ia hanya mampu mengepal tangan kuat-kuat.
"Kemari." Reza menjentikkan tangannya, menyuruh Jones untuk mendekat.
Jones patuh, dan berjalan menghampiri Reza di kursi kebesarannya.
Bruk...
"Kau mau mati, ya?"
Jones meringis, manakala sel saraf kakinya memegang sakit. Satu tendangan telak mendarat tepat di dengkul kaki Jones dengan mulus.
"Maafkan saya, tuan. Saya hanya berpendapat," ucapnya sambil mengelus-ulus kakinya yang sakit.
"Lanjutkan laporan mu."
Tubuh Jones kembali menegak. Namun, rasa-rasanya kepalanya agak limbung, mungkin akibat tendangan keras sang majikan, atau entahlah karena memang itu tak ada kaitannya yang jelas ia merasa sekelilingnya berputar-putar sejenak.
"Uhmm..." Menggelengkan kepalanya pelan. "Dia menjadikan rumah sakit milik tuan Leo sebagai markasnya untuk menjual berbagai jenis ornamen dari hasil karya seninya."
Alis Reza mengerut binggung, "karya seni?"
"Memutilasi manusia, mengambil organ tubuhnya untuk di jual, dan menjadikan beberapa bagian tubuh manusia sebagai barang antik atau semacam jimat keberuntungan. Saya menyebut itu seperti ornamen, yang bersifat khusus dan juga luar biasa."
Reza berdecak, selain savage saat berkomentar ternyata Jones nampaknya berbakat sekali merangkai kata-kata seperti seorang penulis yang begitu puitis.
"Sir, apa anda merasa ada sesuatu yang janggal tentang Joseph?"
Reza mengamati wajah Jones dengan was-was. Mencoba menelisik, tentang hal yang juga sedaritadi ia pikirkan.
"Kau tau, sir jika Joseph gaptek akan teknologi? Dia bahkan harus membayar tiga juga dollar hanya untuk menyewa seorang jenius komputer."
"Lalu?" Reza masih mencoba menerka, tentangnya kecurigaan yang bukan hanya Jones yang menyadari tetapi juga dengannya.
"Aku hanya berpikir jika serangan Rootkit malam tadi bukan ulahnya..."
"Mungkin saja orang suruhannya." Reza memotong ucapan Jones, yang di jawab dengan gelengan kepala oleh Jones.
"Sir, sepertinya akhir-akhir ini anda tidak memakai otak anda dengan baik. kau tau betapa licik, lihai, dan busuknya dia, bukan? Dan kau sendiri yang mengajarkan itu kepadanya. Apa kau tidak merasa ada sesuatu yang aneh dengan ini? Dia boleh saja pintar dan cerdas dalam urusan dunia hitam mafia, tapi tidak untuk komputer dan jaringan sistemnya. Jika itu memang perbuatan orang suruhan Jones, tidak mungkin orang itu menaruh alamat IP secara terang-terangan dan juga jangan lupakan tentang rekening beratas nama Robert. Dia bukan orang sebodoh itu, meskipun nyatanya di bodoh akan teknologi."
Mulut Reza terperangah, ia berdecak tak percaya dengan ucapan yang melesat dari mulut Jones bagaikan bola api yang berhasil menjatuhkan harga dirinya. Sungguh, ia sudah keterlaluan. Pikir Reza. Ini bukan lagi, kebebasan berpendapat seperti apa yang Jones selalu katakan jika Reza marah akan pendapat anti mainstreamnya. Ini sudah kelewat batas. Dia bahkan menyebut Reza tidak memakai otaknya. Jangan lupakan nada bicaranya, seakan menyalahkan jika sifat Jones selama ini karena didikannya.
Namun, ucapan bagaikan petir di siang bolong yang sudah berhasil memporak-porandakan harga dirinya itu masih ia tahan, karena memang ada benarnya juga dengan ucapan Jones. Reza hanya tersenyum kecut, sejurus mata elang menatap kearah Jones yang tertunduk di depannya dengan wajah datar tanpa dosa.
"Seperti kau juga terlalu banyak memakai mulut mu, Jones. Untuk berkomentar hal-hal yang tak penting."
"Maafkan saya, sir."
Reza bangkit dari sana, mengancingkan jas hitamnya hingga membuat lekukan tubuh bak seorang atlet itu terlihat. Kakinya melangkah, berjalan ke arah jendela kaca setengah terbuka yang menampakkan keindahan surga kota antik Manchester.
"Aku juga berpikir jika ada seseorang yang menjebak Jones. Ia seorang yang teliti memilih orang kepercayaan, terlebih untuk urusan bisnisnya. Jadi tidak mungkin jika orang yang ia percaya untuk menjalankan sistem jaringannya yang melakukan itu. Atau sampai menjebaknya."
Wajah ramping yang di tumbuhi kumis tipis itu terlihat gusar. Otaknya mulai berputar, menelisik ke dalam pikirannya. Jika Joseph bukan dalang dari serangan Rootkit tadi malam yang melumpuhkan sistem jaringannya, maka ada musuh lain dari pihak luar yang ingin menjatuhkan perusahaannya. Tapi siapa?
"Apa kau tau dimana Joseph tinggal selama di Indonesia?"
Jones membuka amplop yang sedaritadi ia genggam. Ada beberapa lembar kertas dan foto buram di dalam sana. Kertas itu ia sebar di meja kerja Reza. Reza berbalik dan memperhatikannya.
"Beberapa kota, Bali, Jakarta, Surabaya, dan Bekasi. Dia juga sering berpergian ke luar kota. Tapi tak ada sekalipun ia pernah ke luar negeri."
"Dan alamat IP itu berada juga di Bekasi?"
Kepala Jones mengangguk meng-iyakan.
"Jones, cepat kau selidiki orang-orang terakhir kali yang bertemu dan menghubunginya sebelum polisi menangkap dia. Juga cari tau bagaimana polisi menemukan bukti kejahatan dia."
Dua perintah yang terdengar rumit untuk orang normal di patuhi oleh Jones. Lelaki itu menganggukan kepala dalam, dan kemudian membereskan lembaran kertas yang berserakan di atas meja kerja Reza.
Namun, saat Jones hendak berjalan meninggalkan ruangan. Reza kembali memanggil, membuat Jones menghentikan langkah kakinya, sesaat kaki berbalut sepatu pantofel itu sudah mencapai ambang pintu kayu.
"Satu hal lagi, Jones." Jones berbalik dan pintu tertutup lagi. "Leo akan datang ke Inggris. Hubungi dia dan suruh anak buah mu mengawasi setiap pergerakan dia. Lelaki itu selalu membuat onar di manapun. Ah, satu lagi jangan biarkan dia menggoda wanita-wanita Inggris."
Kening Jones mengerut binggung. Alam bawah sadarnya berkata; bukankah, tuan Leo sudah menikah?
"Sir, yang saya tau, tuan Leo itu sudah meni..."
"Aku tau. Tapi buaya tetaplah buaya. Kau mengerti?"
"Ya, sir."
****
Lorong gedung Oxley General sore itu terlihat sepi tak seperti biasa. Maklum, semasa pademi pemerintah Inggris mengeluarkan instruksi untuk jaga jarak dan tetap di rumah untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Hanya beberapa pekerjaan saja, yang masih bersiaga di gedung utama persenjataan itu, seperti; resepsionis, security, team IT, dan karyawan-karyawan di beberapa bagian devisi penting.
Saat senja mulai bersemayam di langit kota Manchester, Jones baru saja keluar dari dalam kantor Reza dengan membawa sebuah koper lumayan besar di kedua tangannya. Langkahnya terhenti manakala sebuah panggilan masuk di ponselnya. Ia meletakkan koper besar berwarna putih dengan tulisan Oxley General diatas sana. Merogoh kantong celana bahan dan mengambil ponselnya untuk mengangkat panggilan yang ternyata dari Leo.
"Good afternoon, sir."
"Disini masih pagi."
"Saya menyapa dari waktu bagian Manchester, karena saya tidak tau jam berapa di Indonesia."
"Terserah." Leo terdengar mendesah kesal di sebrang sana. "Aku mau bilang, kalau aku akan berangkat ke Inggris sekarang."
"Ah... Seharusnya saya menelpon Anda untuk mengkonfirmasi itu. Tetapi Ternyata anda sudah memiliki inisiatif sendiri untuk menelpon saya." Jones menghimpit ponselnya dan meraih kedua koper lalu berjalan mendekati kursi di lorong abu-abu itu dan duduk di sana.
"Bagaimana dengan Ramdani?" tanya Leo dengan suara khasnya.
"Dia ada di Indonesia, di dalam lapas."
"Kau gila, ya?" Bentak Leo kesal. "Untuk apa aku ke Inggris jika si kunyuk sialan itu ada di Indonesia?"
"Jika saya gila, saya tidak mungkin bekerja di Oxley General dan menjadi tangan kanan Mr.Oxley."
"Maksudku bos mu, Reza!"
Mata Jones berputar, sedikit jengkel menghadapi orang aneh kedua seperti Leo dan Reza. "Sir, jika tuan Reza gila dia tidak mungkin dapat mendirikan perusahaan persenjataan sebesar ini. Dia tidak mungkin juga dibilang miliader jeni..."
"Terserah." Nada bicara Leo sudah mulai terdengar kesal. Seperti ingin rasanya Leo menjahit mulut Jones jika bertemu. "Aku butuh Ramdani. Reza bilang dia ada bersamanya."
"Tuan Reza tidak bersama Joseph. Karena jika dia bersama tuan Reza, maka mungkin sekarang Joseph sudah tinggal nama." Jones menjeda ucapannya sejenak. Meletakan jari-jari panjangnya di atas paha berbalut celana bahan berwarna denim. "Anda tidak perlu khawatir, Ramdani alias Robert alias Joseph sudah berada di bawah pengawasan Oxley General. Tuan Reza akan membantu anda bertemu dengan lelaki itu. Sekarang lebih baik anda menikmati perjalanan anda, jangan sampai anda tergoda dengan wanita cantik di Inggris. Atau anda akan merasakan yang namanya genjatan senjata dari nona Shena."
"Apa maksudmu bicara seperti itu?" tanya Leo binggung.
"Karena kata tuan Reza, buaya tetaplah buaya."
TO BE COUNTINUE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
Mom Dee 🥰
jones kau pintar sangat lah... asal kau tak seperti namamu saja "jomblo ngenes" 🤭🤭🤭
2021-05-07
0
INA
🤣🤣🤣 Jonas sangat polos
2021-04-15
0
Kikoaiko
jones trlalu polos😂😂
2021-03-24
0