"Udah puas ngejeknya?" tanya Arya pada Arista yang tertawa bengek sambil memegang perutnya setelah bercerita masa lalu mereka saat sekolah dulu.
"Ya abisnya lucu, apalagi pas kita baru ketemu lagi di kafe waktu itu. Kamu ingat kan ketika kamu jadi detective, gue panggil nama Arya tapi kamu ga nengok, giliran di panggil Arya si anak kayu putih baru nengok, wkwkwk," ledek Arista lagi.
Arya nyengir sambil geleng-geleng kepala. "Seneng banget sih kamu mengulik masa lalu, mentang-mentang aku dulu masih polos, imut, dan lucu."
"Hoekkk, imut dari mananya!" bantah Arista asal, pura-pura muntah.
"Yaa seenggaknya banyak yang bilang aku ganteng kaann.." ujar Arya memuji diri sendiri.
Arista mengangkat bahu. Tak ingin berkomentar, pantang baginya untuk membohongi diri sendiri kalau Arya memang ganteng, tapi tak mungkin juga dia ucapkan langsung di depan muka Arya.
"Jadi kamu ga marah kan karena kejadian semalam?" tanya Arya hati-hati.
"Mmm.. Tadinya aku ada niat santet km sih. Tapi kasian kan."
Arya bingung, "Kasian kenapa?"
"Kasian lah, beban hidup kamu keliatannya udah berat. Di selingkuhi pacar, nikahin pelakor, sekarang harus akting sana sini untuk lindungi istri yang suka bikin sensasi. Kasian banget pokoknya," kata Arista entah maksudnya apa. Apakah dia benar-benar merasa kasihan atau sengaja menyindir Arya.
Arya tersenyum kecut. Benar kata Arista, beban yang dia pikul sekarang terasa berat. Padahal hanya kawin kontrak tapi dia harus pontang-panting menutupi aib Marissa karena dia pikir akan menyeret namanya jika dia tidak melakukan apa-apa, tapi kenyataannya malah dia yang menyeret dirinya sendiri untuk masuk dalam kehidupan Marissa setelah berani tampil di publik sebagai suami gagah untuk Marissa. Seketika Arya juga teringat saat mengetahui harus berpisah dengan Raya, dia bahkan menangis tersedu dengan begitu menyakitkan, tapi air matanya itu seolah berubah menjadi padang gersang saat mengetahui kenyataan lain bahwa Raya selingkuh darinya, saking sakit hatinya ia bahkan tak mampu mengeluarkan air mata. Sungguh tak ada lagi kata yang mampu menjelaskan bagaimana sakitnya hati Arya kala itu. Sakit yang bukan main.
Karena terlalu larut dalam masalah yang dihadapinya saat ini, dia jadi lupa untuk mengasihi dirinya sendiri.
"Omong-omong, istri kamu tau kalau kamu ada disini sama gue?" tanya Arista.
"Tau kok."
"Ga marah?"
"Kenapa nanyanya kayak orang lagi mepet-mepet 'miliknya' orang lain, ya? Kayak anak ABG yang lagi pedekate terus nanya udah makan belum? Lalu sok-sok'an bilang kalau aku tanya gini ada yang marah ngga?" goda Arya bercandain Arista.
"Yeee, maksud gue kan baik, daripada kalian bertengkar lagi gara-gara dia ga tau kamu lagi ketemu sama cewek cantik kayak gue. Tar di kira selingkuh lagi, kan bahaya untuk perikehidupan manusia rupawan ini," kata Arista sambil menunjuk dirinya sendiri. "gue juga ga mau kalau pertemuan kita ini bakal jadi masalah untuk hidup gue kelak. Hidup gue udah cukup rumit dengan masalah yang ada, jadi kalau bisa jangan di tambah-tambahin lagi, bro!"
"Ahahha, slow bro, kalem aja. Lagian dia ga akan peduli ini. Kita udah ada perjanjian kalau ga akan ganggu urusan masing-masing," jawab Arya.
"Ga ganggu urusan masing-masing gimana, kemarin malam aja kamu urusin urusan istri kamu itu. Pake ancam ajak tuh para bocil ke pengadilan segala," ucap Arista kesal seolah Arya menjilat ludahnya sendiri kalau mengingat adegan siram-siraman semalam.
"Kok ngomongnya gitu sih, kamu jeles ya aku urusin Marissa? Jangan gitu woy, dosa cemburuin istri orang!" goda Arya lagi makin menyebalkan.
"Ni anak dari tadi omongannya gitu mulu ya. Gue pites juga kamu ya! Seolah-olah gue ngarepin kamu aja! Emang nanya dan berhati-hati itu ga boleh ya?!" jawab Arista kesal.
Arya tertawa, lucu sekali kalau udah isengin Arista, saat dia hendak menjawab celotehan perempuan tersebut, ponselnya berbunyi.
Arya terkejut melihat siapa nama yang tertera di layarnya. Bu Aga. Mertuanya.
Dengan canggung Arya mengangkat teleponnya setelah memberi isyarat tangan pada Arista agar tidak bicara dulu.
"Ya. Halo, Bu?"
Wajah Arya tampak terkejut. Samar-samar Arista dapat mendengar bentakan dari si penelepon. Arya bahkan menjauhkan ponsel dari telinganya sambil memasang muka ngeri.
"Baik, Bu. Saya akan jemput Marissa sekarang," jawab Arya lalu memastikan bahwa sambungan telponnya sudah terputus oleh Bu Aga.
"Kenapa?" tanya Arista kepo.
"Mamanya Marissa. Dia pergi ke rumah orang tuanya tanpa bilang dulu sama aku. Mamanya marah karena dia pikir kita lagi berantem," jawab Arya.
Arista bangkit dari duduknya. "Ya udah, kita sekarang cabut. Kamu langsung pergi aja ke sana. Aku bisa pulang sendiri."
"Lagian siapa juga yang mau anter kamu." Sempat-sempatnya Arya membuat Arista kesal lagi di situasi seperti ini.
"Kurang-kurangin geer nya," kata Arya lagi sambil nyengir.
Arista mengulum bibir dan menyipitkan matanya. Padahal Arista tidak ada kepikiran untuk di antar pulang oleh Arya, tapi karena dia sudah berkata seperti itu rasanya Arista ingin meladeninya "Perasaan, kamu deh yang bawa gue ke sini. Seenggaknya kalau ga bisa anter ke rumah, ya anter lagi ke tempat tadi kamu jemput gue. Gini ya kalau kebaikan di balas sama kejahatan."
"Astaga, serem banget kata-katanya. Iya maaf. Tapi mau gimana lagi kan, penjahat ganteng ini ga bisa anter kamu pulang atau kembali ke tempat tadi, tapi aku janji nanti lain kali aku traktir lagi ya," kata Arya sambil membayar bubur mereka dan segera masuk mobil setelah berpamitan dengan Arista. Pertemuan itu pun usai, Arista lalu mencari angkutan umum untuk pulang ke rumahnya setelah Arya pergi lebih dulu.
Di dalam mobil yang melaju, Arya mencoba menghubungi Marissa.
Nada dering berbunyi beberapa detik sebelum di angkat si pemilik telepon.
"Halo, kenapa?" tanya Marissa setelah mengangkat teleponnya.
"Kok nanya kenapa, sih? Harusnya aku yang nanya kenapa! Kok kamu pergi ke rumah orang tuamu tapi ga bilang sama aku?" tanya Arya.
"Emangnya kenapa? Ga boleh gue pergi ke rumah nyokap gue sendiri?" tanya Marissa ketus.
"Bukannya ga boleh, tapi seenggaknya kamu bilang dulu lah biar enak. Tadi mamamu telepon aku loh, dia marah karena kamu ke sana seorang diri, tanpa ngomong apa-apa katanya kamu langsung masuk kamar. Mamamu pikir kita habis bertengkar, malah lebih parahnya lagi dia sampai berpikir kalau kamu di usir dari rumahku!" terang Arya.
"Whatt?! Seriusan?! Okelah, gini aja, lu tenang, nanti gue bilang sama nyokap kalau kita itu ga bertengkar dan gue ngga di usir. Tenang aja, oke, bye!" jawab Marissa enteng sambil hendak memutuskan sambungan.
"Eh, eh tunggu jangan di tutup dulu! Mana bisa aku tenang lah, orang mamamu suruh aku ke sana buat jemput kamu."
"Apaan sih! Udah lu ga usah ke sini nanti biar gue sendiri yang bilang sama nyokap, oke?!"
"Seriusan nih?"
"Iyee bawel, tar gue bilang."
"Aku ga ke sana? Aku jadinya putar balik nih?" tanya Arya lagi memastikan.
"Iya ah sana putar balik, ngelamain lu bikin bete aja! Ga usah ke sini, ya, oke! Tenang aja."
"Oke deh kalo gitu." Lalu Marissa menutup teleponnya dan Arya memutar balik mobilnya kembali ke rumah.
Baru beberapa menit, telpon Arya berdering kembali. Lagi-lagi dari Bu Aga.
"Apalagi ini?" tanya Arya lalu mengangkatnya.
"Halo.."
"Kamu tuh ya di suruh jemput istri kamu malah balik lagi, suami macam apaan sih kamu? Kok ga bertanggung jawab kayak begitu. Masa kamu tinggalin dia disini sendiri dalam keadaan hamil pula. Cepat ke sini jemput Marissa!" lalu telpon tertutup sepihak.
Arya mendadak menepikan mobilnya lalu mencoba mencerna omongan Bu Aga.
Kok gini? Kan itu kemauan putrinya sendiri uang mau datang ke rumah orang tuanya. Lagian Marissa hamil juga bukan anakku. Bukannya kita hanya kawin kontrak, kok aku yang di tuntut untuk bertanggung jawab, seperti suami aslinya saja! Pikir Arya heran.
Setelah sejenak menenangkan diri, Arya memutarkan kembali mobilnya menuju rumah orang tua Marissa. Daripada masalah merembet ke mana-mana dan Bu Aga ngadu ke Papa Mamanya, lebih baik Arya mengalah saja dan menjemput Marissa seperti kemauan ibu mertua rasa ibu negara ini.
"Kamu tuh ya, masa biarin istri kamu dateng ke sini sendiri. Mentang-mentang cuma kawin kontrak jadi seenaknya aja memperlakukan anak saya seperti ini!" caci Bu Aga setiba Arya di rumah mertuanya.
Arya menunduk "Maaf, Bu. Saya ga tau kalau Marissa pergi ke sini."
"Nah ini nih. Suami istri mana yang ga tau pasangannya pergi ke mana? Walaupun ke rumah orang tuanya sendiri, tapi kan harusnya kamu ikut dong atau minimalnya tau lah! Apalagi Marissa sedang hamil. Kalau dia kenapa-napa di jalan bagaimana?"
"Rissa ga apa-apa kok, Mah," kata Marissa yang sedang berjalan menuruni tangga dari kamarnya.
"Lagian Mama ngapain sih suruh Arya ke sini, kan tadi Rissa udah jelasin kalau kita tuh ga berantem. Rissa cuma pengen ke sini aja. Kalau anak kangen mamanya masa ga boleh?" ujar Marissa.
"Mana ada anak yang kangen mamanya tapi diemin mama berasa ga ada? Berasa hantu?" tanya Bu Aga mengingatkan Marissa atas sikapnya saat tadi datang ke rumah ini.
Marissa diam tak menjawab, ia sadar kalau tindakannya tadi itu memang salah.
Bu Aga mendekati Marissa lalu merangkul sambil mendorong Marissa pelan. "Udah sana kamu pulang ke rumah suamimu. Jangan pernah sekali-kali lagi kamu pergi tanpa izin suamimu. Gimana kata orang nanti kalau kalian hidup terpisah-pisah?"
"Kenapa sih mama takut banget sama omongan orang? Kan Rissa sama Arya cuma kawin kontrak doang. Bentar lagi juga cerai, ga ada bedanya kan Rissa mau tinggal dimana atau mau ke sini kapan aja. Ujung-ujungnya juga Rissa kembali lagi ke rumah ini dan tinggal lagi sama Mama dan Papa," jawab Marissa kesal.
"Udah, stop Rissa! Mama tau, kamu nanti bakal balik lagi ke rumah ini, kan. Tapi Mama hanya akan terima kamu kembali ke sini sampai waktu itu tiba, sesuai yang ada di perjanjian. Oke? Ga ada tawar menawar lagi. Sekarang kalian pulang. Jangan sering pergi-pergian juga, kasian anak dalam perut kamu. Istirahat yang cukup," kata Mama. Lalu setengah memaksa Bu Aga membawa anak dan mantu itu keluar dan mengantarkan mereka menuju mobil Arya.
"Ma, kenapa sih Mama ga ngertiin Rissa? Rissa ke sini juga pasti ada alasannya kan. Harusnya Mama tanya dulu, bukan malah ngusir Rissa kayak gini," kata Marissa ngambek.
"Mama ga ngusir kamu, Rissa. Mama.."
Belum selesai Bu Aga bicara, Marissa keburu masuk ke dalam mobil tanpa peduli pada ucapan mamanya. Dia bahkan membanting pintu mobil dengan kasar
"Aduhhh ya anak ini, ampunnnn!" umpat Bu Aga menahan sabar.
Arya yang menyaksikan itu jadi salah tingkah karena dihadapkan dengan kondisi seperti ini.
"Udah, ga apa-apa. Kalian pulang aja. Hati-hati ya Nak Arya bawa mobilnya," pesan Bu Aga pada si menantu.
Arya pun berpamitan pada Mama mertuanya. Lalu setelah masuk mobil dia lihat Marissa sedang duduk bersandar sambil cemberut. Mobil itu pun melaju. Marissa yang kesal bahkan tidak membalas lambaian tangan mamanya dari luar.
"Kamu kenapa sih ga bilang kalau mau pergi ke sana?" tanya Arya saat mobil itu sudah laju menjauh.
"Ya ga apa-apa. Habisnya..." Marissa menahan omongannya.
"Habisnya?" tanya Arya penasaran.
"Ya udah sih terserah gue. Ga ada urusannya juga kan sama elu, gue mau ke mana pun," jawab Marissa tiba-tiba marah.
"Yee, ditanya malah gitu. Tinggal jawab aja apa susahnya sih. Coba kalau awalnya kamu bilang, kan bisa aku anter. Kalau aku anter kamu mau disana berapa lama pun juga Bu Aga gak akan marah kayak tadi."
"Bu Aganya aja yang rese. Bukannya senang anaknya ke sana malah di usir," celetuk Marissa.
"Hussh! Masa orang tua sendiri di katain rese! Mama kamu itu khawatir aja. Makanya kalau mau apa-apa tuh bilang dulu biar ga menimbulkan kesalahan pahaman kayak gini. Kamu datang-datang ke sana malah diem-dieman. Jelaslah dia jadinya mikir macam-macam kalau kamunya seperti itu! Ujungnya aku juga kan yang disalahin."
"Kamu marah ya karena Mama teriakin kamu tadi?" tanya Marissa tiba-tiba.
Arya enggan menjawab walau sebenarnya dia cukup kesal atas perlakuan mertua kontrak yang gelagatnya menyerupai mertua sungguhan itu.
"Gue hanya ingin menenangkan pikiran aja disana. Karena gue ga tau harus bicara dengan siapa lagi. Gue pikir, gue bisa cerita ke Mama tentang masalah gue. Tapi nyatanya waktu gue sampe sana, berat banget mau ngomong sepatah katapun juga." Kata Marissa menceritakan alasannya.
"Makanya kamu langsung masuk kamar, cuekin Mama kamu dan ga menjawab omongannya? Ya iyalah wajar aja kalau jadinya Mama kamu telpon dan salahin aku. Ck!" ungkap Arya sebal.
"Ko lu nyewot sih?" tanya Marissa tak suka.
"Ya gimana ga sewot? Awalnya aku emang ga suka Mama kamu marah-marah kayak gitu. Tapi saat tau perlakuan anaknya seperti ini, jadinya aku tau kalau kamu itu memang salah! Kalau aku jadi dia pasti akan marah juga. Dia mungkin berkata ini itu, tapi sebenarnya dia khawatir sama kamu."
"Iya tau. Gue tau gue salah. Udah cukup ngomongnya!" pinta Marissa tak mengacuhkan Arya.
"Lain kali apa-apa di bicarakan dulu. Jangan suka melakukan tindakan seenaknya sendiri. Apalagi kamu datang-datang malah diemin orang tua kamu. Masuk kamar ga tau ngapain. Wajar kalau Mama kamu marah, pasti pikirannya udah buruk takut sesuatu yang ga baik terjadi sama kamu," kata Arya lagi menasehati.
Tapi bagi Marissa itu bukanlah sebuah nasihat, ia menganggap itu sebuah makian dari Arya "Iya, cukup! Gue bilang cukup!" jerit Marissa membuat kaget Arya. Tanpa di duga dia malah nangis bahkan sesenggukan.
"Gue bilang cukup, lu bisa kan? Gue ga suka di marahin. Gue ga mau di salahin terus.." ucapnya pelan lalu tangisnya kembali pecah. Meraung-raung penuh kesedihan.
Arya menarik nafas berat. Dia bingung harus gimana kalau wanita disebelahnya sudah seperti ini.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
sarinah najwa
moga arya sama Arista... gs rela thor nanti sama Marissa... Arya pantas mendapatkan yang terbaik
2021-05-01
0