Arista menendang kerikil dengan ujung sepatu flatnya. Ia tampak berpikir keras.
"3tahun lamanya mereka pacaran tapi ceweknya sudah berkhianat selama 2 tahun? Wah gila!" seru Arista berbicara pada dirinya sendiri.
Dia teringat beberapa jam yang lalu saat Arya melepas tangan dari kepalanya ketika Raya dan Kelvin sudah pergi menjauh bersama mobil yang mereka tumpangi.
"Haaahhh? Ahahahaha," Arista tertawa mengira Arya sedang bercanda "kamu sekarang lagi jadi detektif perselingkuhan?" tanya dia sambil memegang perutnya dirasa saking lucunya.
Nguntitin pelakor? Wkwkwk nih bocah kesambet setan apa? Dia kurang kerjaan atau apa? Haduuhh, pikir Arista geli.
Tapi, Arista jadi malu sendiri. Wajah Arya terlihat datar tidak menanggapi kegeliannya.
Suasana jadi tampak canggung. Arista mengamati wajah Arya. "Kamu serius?"
"Heemh," jawab Arya mengangguk.
"Serius nguntitin pelakor?"
"Iya."
"Beneran?"
Arya mengangguk.
"Waw! Kenapa?"
"Bukan urusan kamu."
Idih. Jutek amat, ga ada perubahan banget jadi orang. Pikir Arista.
"Jadi sekarang kamu lagi nguntitin cewek yang naik mobil sama cowok tadi?" tanya Arista penasaran.
"Nanya mulu. Udah aku mau pulang," kata Arya dingin.
Lengan Arista membentang, melarang Arya untuk masuk kedalam mobilnya. "Kita udah ga ketemu lama banget loh. Kamu yakin mau pergi gitu aja seperti ini?" tanya Arista.
"Sebenarnya, aku lagi dalam situasi kurang baik. Jadi pertemuan ini tidak pas untuk dijadikan momen reuni atau semacamnya. Aku harus pulang. Ada hal yang harus aku bereskan," kata Arya lagi tapi Arista tetap kekeh tidak melepas Arya begitu saja.
"Tapi, gue mau kita bicara. Setelah sekian lama, kita akhirnya bertemu lagi. Kalau kamu pergi, kita ga tau kapan bisa bertemu lagi," kata Arista.
Arya mengambil ponselnya dan memberikannya pada Arista. "Masukan nomor kamu di ponselku. Nanti aku hubungi."
Arista mendorong tangan Arya. "Aku menolak."
"Keras kepala. Tidak pernah berubah," ucap Arya.
"Memang. Dan satu lagi yang tidak berubah. Aku masih tetap jadi manusia kepoan."
Arya menatap Arista lelah.
"Jadi, ayo kita minum kopi bersama. Gue ingin kamu cerita," pinta Arista sambil mengedip-ngedipkan matanya.
"Untuk apa?"
"Ga untuk apa-apa. Aku kan kepo," kata Arista masih berlagak merayu.
"Ga usah. Ga ada urusannya juga kan sama kamu."
"Yah, ga asik kamu yah jadi orang. Yaudah kalo ga mau cerita..harus tetep cerita donggg," mohon Arista lagi.
Arya melirik Arista dingin.
"Apa mau gue ceritain sejarah tentang asal usul kayu putih?" tanya Arista sambil menempelkan jempol dan telunjuk di dagunya.
Arya terbelalak.
"Bagaimana dengan penawaran ini Arya si anak kayu putih?" tanya Arista lagi.
Bukannya menjawab Arya malah menjewer telinga Arista. "Udah dibilang kan jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi!"
"Adaw adaw adaw.." jerit Arista kesakitan.
"Apaan sih kamu main jewer jewer aja sok kenal banget," kata Arista saat Arya melepas jewerannya. "apa begini maksud Tuhan mentakdirkan pertemuan tidak sengaja ini hanya supaya gue dijewer sama cowok tidak berperikemanusiaan ini? Apakah setelah sekian purnama, hanya ini yang ingin kamu lakukan saat kita bertemu? Dasar cowok sialan!" umpat Arista sambil mengelus telinganya.
Arya melirik Arista tanpa ekspresi.
"Oke, gue tau kamu mau bilang apa. Kamu mau minta maaf kan? Oke, kamu ga perlu memberikan uang pengobatan atas tidak kekerasan ini.."
Haah.. apaan sih ini orang, tindak kekerasan apanya? Batin Arya.
".. jadi sebagai ganti rugi tolong anda traktir saya kopi di kafe itu.." tunjuk Arista pada kafe yang Arya masuki tadi. "..sambil menceritakan tentang penguntitan yang sedang anda lakukan," ujar Arista berlagak formal.
Arya memicingkan matanya. "Kamu jadi semakin gila ya semenjak pulang dari Singapura?" selidik Arya.
Arista mengangguk-angguk cepat wajahnya sumringah seolah berkata 'Aku memang bahagia dan sangat menikmati kegilaan ini' lalu menarik lengan Arya tanpa persetujuan untuk masuk ke dalam kafe tersebut.
Bukan tanpa sebab Arista keras kepala dan tidak tahu malu memaksa Arya untuk duduk bersama dan bercerita.
Arista bukan bermaksud sok jadi pahlawan juga, tapi rasanya dia akan merasa bersalah jika membiarkan Arya pergi dengan perasaan tidak karuan.
Saat dia mengejar Arya untuk mengembalikan uang kembaliannya, Arya tampak tergesa, ia bahkan hampir tertabrak sebuah mobil salah seorang pengunjung kafe. Saat pengemudinya berteriak, Arya bahkan tak mengacuhkannya. Seolah sudah tuli dan buta pada keadaan sekitar.
Awalnya Arista berpikir mungkin Arya tampak tergesa akan pekerjaanya. Tapi setelah melihat kelakuan dan perkataan Arya. Dia semakin yakin untuk tidak melepas Arya begitu saja. Jika Arya pergi dan mengendarai mobil dengan kondisi emosi yang tak terkendali, entah apa yang akan terjadi nanti.
Di tambah Arista melihat seorang wanita menaiki mobil dengan seorang pria dan Arya waspada akan hal itu membuat Arista semakin yakin jika dia memiliki masalah pelik yang berhubungan dengan asmara.
Seorang pelayan menghampiri mereka, ternyata orang yang sama dengan yang melayani Arya tadi. Dia tampak heran melihat Arya pergi meninggalkan minumannya tanpa tersentuh sedikit pun. Dan kini kembali untuk memesan lagi.
"Karena kamu yang traktir jadi aku bebas ya makan apa aja," kata Arista ceria.
"Hmmh," jawab Arya malas.
"Loh ko bebas? Tadi kan cuma minta traktir kopi aja!" protes Arya saat tersadar.
"Ssstt.. udah kamu diam saja duduk manis disitu, biar kakak pilihkan makanan untukmu," kata Arista menyebalkan tapi membuat Arya tersenyum saat mendengar ucapannya.
Dengan semangat Arista membolak-balikkan buku menu.
"Sejak kapan kamu kembali dari Singapura?" tanya Arya membuka percakapan sedangkan Arista masih sibuk memilih makanan.
"Seminggu yang lalu," jawab Arista. Matanya masih sibuk mencari makanan mana yang akan ia pilih.
"Kuliahmu udah selesai dong?"
Arista tersentak, lalu menatap Arya, ragu-ragu ia menjawab. "E.. ya udah lah. Makanya pulang kesini, gue harap saat pulang menemukan kedamaian eh malah ketemu kamu," kata dia ngaco.
Arya menatap Arista tajam. "Emang kenapa kalau ketemu aku? Ketemu aku sama dengan menghancurkan kedamaian kamu?" tanya Arya serius lalu ditanggapi tawa Arista yang kencang, hampir semua pasang mata di kafe itu melihat dia.
"Kamu masih aja nanggepin sesuatu dengan serius, yah. Makanya jomblo mulu." ledek Arista, sambil menyelam minum air, ia sengaja memancing Arya untuk bercerita dengan ledekannya.
Arya bete lalu wajahnya tampak berpikir dan berubah menjadi sedih.
Apa aku orang yang sangat serius sampai Raya tidak betah bersama denganku? Pikir Arya frustasi.
Tapi pancingan Arista tidak digapai Arya. Bukannya bercerita dia malah sibuk dengan lamunannya.
"Jadi tadi kamu ngapain?" tanya Arista to the point saja setelah selesai memesan makanan.
Arya masih diam, seakan malas menjawab.
"Wah gue ga di anggap. Kamu tadi bilang nguntitin pelakor itu apa, ceritain dong," tanya Arista tanpa sadar suara kencangnya membuat beberapa orang melirik padanya seolah kata pelakor itu kata yang sangat sensitif untuk didengar.
"Udah ga usah tau, masalah ini kan ga ada hubungannya sama kamu," kata Arya.
"Iya sih tapi seenggaknya kamu kan bisa merasa sedikit lega kalau mau berbagi cerita sama gue biar kamu ngerasa enakan, kalaupun nanti.."
"Aku tuh salah apa sebenernya? Kenapa dia tega sama aku. Aku kurang apa buat dia?" tiba-tiba Arya memotong omongan Arista dan mulai bercerita mencurahkan isi hatinya membuat Arista terkejut. Padahal sebelumnya dia sendiri yang enggan bercerita karena dirasa itu bukan urusan Arista.
Saat makanan tiba pun tanpa terasa Arya masih nyaman bercerita bahkan ia sanggup makan sampai habis dengan tenang dan bertukar tanggapan dengan Arista. Akhirnya ia bisa makan dengan baik karena akhir-akhir ini dia bahkan tidak bisa makan sama sekali.
Wajah Arya tampak tirus dan lelah. Matanya juga sembab terlihat sedang menampung kekecewaan yang dalam.
Malang sekali anak ini, batin Arista setelah mendengar seluruh cerita Arya.
"Aku udah selesai cerita. Sekarang gantian kamu yang cerita. Mengapa kamu memilih pulang dan tidak mencari kerja di Singapura?"
Pertanyaan Arya membuat Arista tersedak. Orange jus di mulutnya hampir tersembur keluar.
"Uhukk..uhukk.."
"Santai saja Arista, kalau masih kurang kamu bisa memesan lagi. Tidak perlu terburu-buru sampai tersedak seperti itu," ujar Arya sambil memberikan tissue pada Arista.
Arista mengelap mulutnya. "Kayaknya gue nelen biji jeruk deh. Mungkin ga halus ngeblendernya," dalih Arista.
"Ah masa? Tapi jus jeruk milikku ga ada bijinya sama sekali," kata Arya mematahkan alasan Arista.
"Ya mungkin masuknya pas ke gelas gue kan, siapa yang tau?" ucap Arista tidak mau kalah.
Arya heran tapi tak mau lagi mendebat Arista. Karena ia tahu tidak akan ada habisnya jika harus berdebat dengan cewek satu ini.
"Mungkin ini azab kali ya, dari yang hanya minta traktir kopi jadi makan besar gini," kata Arista cengengesan. Arya tertawa mendengar ocehan Arista.
"Kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Kenapa kamu tidak sekalian saja kerja di Singapura?" tanya Arya mengingatkan.
"Mmmhh..Ya ga apa-apa, dong. Emang harus ya kuliah di Singapura dan kerja juga harus disana?" tanya Arista sambil merapikan bekas makanannya agar nanti mudah dibereskan oleh pelayan. Arya memperhatikan perempuan itu dengan seksama.
"Memang ga apa-apa, sih. Cuma penasaran aja. Aku masih ingat dulu kamu kekeh sekali ingin pergi keluar negeri karena di negeri sendiri kamu berasa seperti orang asing. Selalu merasa diremehkan dan dikucilkan oleh sekitarmu."
Arista menelan ludah. Sebenarnya ada hal yang tidak bisa ia ungkapkan pada Arya, tapi rasanya berat sekali jika harus menceritakannya.
Memang sangat curang, dia memaksa Arya bercerita tentang diri dan masalahnya tetapi dia sendiri ingin menutup rapat hidupnya.
"Gue kangen aja sama suasana disini. Kangen kamu juga, hihihi," goda Arista ngasal.
Arya meringis. "Serius kangen aku? Bukannya tadi kamu anggap aku perusak kedamaian gara-gara bertemu denganmu?" sindirnya.
Arista cekikikan. "Masih ingat rupanya. Pendendam sekali kau anak muda," canda Arista.
Tiba-tiba ponsel Arya berdering. Ia pergi meninggalkan Arista untuk mengangkat telpon itu.
"Sebentar ya, aku angkat dulu."
Arista melihat punggung Arya yang tegap dan gagah berjalan ke pojok ruangan.
Kenapa ya ada cewek yang tega khianatin cowok macam Arya. Walau kepribadiannya kaku dan introvert, tapi sebenarnya dia baik dan lucu. Dia juga tipe cowok yang perhatian. Ganteng iya, keren iya. Pikir Arista.
Setelah menutup telepon, Arya tergesa-gesa menghampiri Arista. Wajahnya tampak pucat.
"Kita akhiri pertemuan kita hari ini, tidak apa-apa?" tanya Arya, dari nada bicaranya ia tampak panik.
Sepertinya dia ada urusan yang amat genting.
Arista mengangguk-angguk sambil membereskan barangnya. "Ga apa-apa. Sepertinya kamu harus segera pergi?"
"Iya, ada urusan mendadak," jawab Arya.
"Perempuan gila itu buat masalah lagi," bisik Arya mengumpat.
"Ya?"
"Ngga. Bukan apa-apa," ucap Arya. Tidak seperti sebelumnya, sekarang Arya membayar lewat bill dari pelayan.
Tanpa lama pelayan tadi datang membawa jumlah yang harus ia bayar. Yang masih sama adalah dia tidak menunggu kembaliannya dan langsung bergegas pergi setelah meyakinkan Arista sudah selesai berbenah merapikan barangnya.
"Kamu tidak apa-apa pulang sendiri? Maaf aku tak bisa mengantarmu," kata Arya saat hendak masuk ke mobilnya.
Kali ini Arista tidak bisa membentangkan tangannya lagi. Tapi dia juga merasa Arya sudah lebih baik dari sebelumnya, matanya sudah tidak kosong seperti sebelumnya.
"Ga apa-apa. Gue bisa naik taxi. Kamu pergi aja, hati-hati dijalan dan ingat jangan terlalu banyak pikiran," pesan Arista sedikit khawatir dan diiyakan oleh Arya.
Lalu ia bergegas masuk kedalam mobilnya.
Arista menatap punggung mobil Arya yang semakin menjauh meninggalkannya, dan seperti nostalgia, Arya melihat Arista di kaca spion mengingatkannya pada Raya.
Setelah dirasa mobil Arya sudah menghilang dari pandangannya, ia berbalik arah, berjalan mencari angkot untuk pulang kerumahnya sembari menendang-nendang kecil kerikil dengan sepatu flatnya. Sambil masih memikirkan malangnya nasib Arya.
"Kalau gue jadi dia, mungkin sudah bunuh diri," katanya pelan membayangkan dirinya di posisi Arya yang suram.
Arista merasa kasihan pada Arya.
Tapi perasaan iba kepada orang lain itu dengan cepat berganti menjadi perasaan iba kepada dirinya sendiri.
Arista menepuk jidatnya.
"Astaga. Aku sampai lupa. Tujuanku kesini kan mau ngelamar kerjaaaaaaa!!" maki Arista pada dirinya sendiri sambil memukul-mukul kepalanya.
Ia lalu cepat-cepat berbalik arah lagi. Dengan sedikit berlari-lari kecil menuju kafe yang ia masuki tadi.
Sebelum masuk, ia ingin memastikan sesuatu. Selebaran kertas lowongan kerja untuk jaga malam masih terpampang di kaca tembus pandang kafe itu.
Arista tersenyum senang. Masih berdiri ditempat yang sama ia merapikan rambut dan pakaiannya. Dengan percaya diri ia mengambil amplop coklat yang terlipat didalam tas kecilnya lalu masuk dengan penuh semangat dan keyakinan.
Semua pelayan kafe terpaku, mereka pikir Arista akan datang lagi memesan sebagai orang aneh seperti Arya tadi atau mungkin ia ingin mengajukan komplain karena saat datang ia langsung mencari manajer kafe.
Tapi ketegangan itu tak berselang lama. Saat Arista berkata ingin melamar pekerjaan. Menjadi pelayan kafe yang berjaga dimalam hari.
Kafe ini buka 24 jam, walau di malam hari tempat ini tidak seramai siang, tetapi tetap saja masih ada orang yang mencari tempat seperti ini, terutama mahasiwa daerah sini yang mencari tempat wifi gratis untuk mengerjakan tugas.
Oleh karena itu kafe ini masih kekurangan karyawan dan membuka lowongan untuk pekerja malam.
Arista merasa tegang saat memasuki ruangan staff guna diwawancarai manajer kafe. AC diruangan itu sangat dingin, tangannya sampai terasa beku namun aneh keringat malah bercucuran di dahinya.
Setelah melakukan wawancara Arista meninggalkan ruangan. Ketika ia membuka pintu ruang staff beberapa karyawan kafe mencuri tanya padanya.
"Gimana? Keterima ngga?" tanya salah seorang dari mereka.
Arista manyun-manyun manja walau tak kenal. Lalu dia mengangguk pelan dan tersenyum senang.
Orang yang tadi bertanya menjabat tangannya. "Selamat ya, namaku Maya."
"Aku Rika," kata seorang lainnya yang tak lain adalah pelayan yang tadi melayani dia dan Arya.
"A-aku Arista," sapanya gugup.
"Oke, sekali lagi selamat ya, Arista. Senang deh ada teman baru. Kita tinggal kerja dulu ya, nanti waktu ganti sift kita pasti sering bertemu," ujar Maya diikuti anggukan Rika. Mereka tersenyum pada Arista.
Arista pun mengganguk dan tersenyum senang.
Entah berkah apa ini. Arista pikir dia sangat beruntung, bisa mendapat pekerjaan dan teman baru dalam waktu bersamaan.
Ia keluar dari pintu kafe dengan wajah berbinar.
Untuk kedua kalinya ia melewati jalan yang sama, mencari angkot menuju rumahnya.
Arista senang sekali keterima disana sampai ia lupa tadi baru saja bertemu kawan lamanya.
Bukan berarti dia tidak senang bertemu Arya, hanya saja perasaan senang yang ia rasakan ini adalah rasa dari memenangkan sebuah harapan.
Karena dia berhasil mendapat pekerjaan di Indonesia setelah ia berhenti kerja dan memutuskan pulang dari Singapura.
Ya, Arista memang pergi ke Singapura tapi bukan untuk kuliah. Dia berbohong saat itu demi harga diri remajanya.
Dulu sekali, saat baru lulus SMA ia sempat berkata kepada teman-temannya ia akan pergi kuliah ke Singapura dan membuat mereka yang pernah mengucilkannya merasa segan dan menyesal karena pernah menyepelekan Arista sedangkan mereka yang seperti itu tidak masuk universitas manapun.
Memang awalnya dia berencana untuk kuliah disana dan biaya kuliah pun akan ditanggung oleh tantenya dengan syarat Arista membantu usaha kedai milik tantenya di Singapura. Tapi ternyata Arista tertipu. Dia tidak benar-benar dikuliahkan melainkan hanya diperbudak oleh tantenya sendiri. Bahkan paspor miliknya disembunyikan entah dimana supaya Arista tidak bisa kembali ke Indonesia.
Setahun pertama Arista mengikuti kemauan tantenya untuk membantu usaha kedainya dengan syarat akan mengembalikan paspor Arista dan memulangkannya walaupun dia tidak jadi dikuliahkan.
Tapi hingga waktu yang telah ditentukan, tantenya malah ingkar janji dan hal itu membuat Arista muak lalu kabur pergi sejauh mungkin bersama seorang teman yang tau bagaimana cara mengurus KTP palsu disana dan dari situlah Arista memutuskan untuk bekerja di pabrik garment bersama dengan temannya tersebut.
Sudah berbagai usaha ia lakukan bahkan melapor pada orangtuanya. Tapi orangtuanya yang miskin dan tak mengerti apa-apa tidak bisa membantu Arista selain memohon pada tantenya yang kejam itu.
Bahkan Arista masih ingat jika ia rindu pada orangtuanya ia selalu menelpon mereka lewat telpon tetangga rumahnya sampai tetangganya itu muak juga risih kepada keluarga Arista. Dan semenjak itu pula Arista tak pernah menelepon lagi, hanya berpesan agar segera menghubunginya jika ada kabar darurat saja.
Hingga suatu hari, setelah 6 tahun lamanya ia mendapat kabar bahwa tantenya sedang sakit. Anak tantenya, sepupu Arista mencari keberadaan gadis itu dengan susah payah. Saat bertemu ia berkata sebelum tantenya menutup usia, tantenya ingin memulangkan Arista ke rumah orangtuanya. Betapa bahagianya Arista bukan main. Bayangkan saja ia bisa pulang bertemu keluarga yang dicintainya setelah sekian lamanya.
Walaupun setelah Arista pulang nanti, ia tau ada kehidupan baru yang harus ia jalani.
Meski begitu Arista masih tetap ingin menjaga harga dirinya. Dia masih harus memegang kebohongan jika ia terpaksa bertemu dengan orang yang ia kenal. Dia tidak ingin diperlakukan semena-mena lagi oleh orang lain hanya karena dia tidak punya apa-apa.
Arista sudah ketakutan duluan jika ada temannya yang tau dia tidak pernah kuliah dan hanya menjadi buruh selama di Singapura.
Dia pergi dalam kebohongan dan pulang dengan kebohongan. Di Singapura dia bahkan suka berfoto di depan sebuah universitas daerah tempat tinggalnya. Dan tak segan memajang di sosial media miliknya seolah benar dia sedang berkuliah disana.
Arista tau itu salah. Tapi dia benci jika kebohongan tentang dia pergi kuliah ke Singapura itu menyebar. Jadi dia berbuat kebohongan yang lain lagi untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
Dia hanya berjaga-jaga saja karena ia tahu ketika seseorang sudah memasuki angka usia 25 ke atas, teman-temannya pasti akan sibuk dengan urusan pribadi masing-masing, jadi dia yakin tak akan ada lagi yang mencarinya. Tak akan ada lagi yang menanyai kabarnya. Paling hanya basa-basi jika suatu saat kebetulan bertemu saja.
Tapi karena ia pulang tanpa rencana, maka dari itu setibanya ia di Indonesia ia mencari kerja dimalam hari. Dimana orang tidak terlalu banyak bertemu dengannya juga untuk meminimalisir bertemu dengan orang yang ia kenal. Pikirnya dia paling hanya akan bertemu bocah bocah kuliahan pemburu wifi gratis saja.
Arista berjalan sambil berjingkat-jingkat, dulu waktu kerjanya selama di Singapura sangat full time, dia menyesal tidak pernah kursus apapun selama disana.
Maka dari itu alasan dia mencari pekerjaan malam, selain meminimalisir pertemuan dengan orang yang dikenal, dia juga berencana mengambil kursus untuk menjadi sekretaris kantoran di siang harinya, tentu saja sebuah rencana untuk menunjang karir dia kelak. Karena ia tau tidak bisa selamanya terus sembunyi dan bekerja dimalam hari.
Arista rasanya seperti melihat harapan cerah didepannya. Kakinya yang berjingkat-jingkat selaras dengan tangannya yang mengayun-ayun. Tasnya yang ikut mengayun seperti ikut bergembira.
Dia segera menghentikan angkot dengan nomor daerah yang akan ditujunya.
Didalam angkot dia masih tersenyum riang, bahkan ia sengaja membuka kaca jendela agar dapat merasakan angin meniup wajahnya.
Tapi tiba-tiba dia kepikiran sesuatu. Arya!
Bagaimana jika dia datang lagi ke kafe itu dan tau Arista kerja disana?
Tapi, rasanya dia ga akan tau, deh. Kan gue kerja malam. Mana ada manusia sibuk kayak dia keluar malam-malam dan nongkrong di kafe? Pikir Arista kembali tenang.
Pertemuan tadi pun hanya kebetulan dan Arista tidak meminta nomor ponsel Arya begitupun sebaliknya.
Walau Arista sedikit merasa bersalah sudah memaksa Arya bercerita dan sekarang ingin kabur seolah meninggalkan dia bersama dengan masalahnya. Tapi tetap saja Arista berharap mereka tidak usah bertemu lagi.
Namun begitu, sepertinya masih ada satu hal yang mengganjal dihati Arista.
Oh, iya! Jam tangan itu!
Arya belum menjawab alasannya masih memakai jam tangan pemberian Arista.
Ah, Arista penasaran. Tapi dia juga tidak mau bertemu Arya lagi.
Entah akan seperti apa malunya dia nanti jika Arya tau kebenarannya bahwa Arista ke Singapura bukan untuk kuliah tapi untuk kerja.
Kalau dengan Arya, apa Arista harus jujur saja ya seperti Arya yang sudah jujur padanya?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Sadrianty Yanti
mungkinkah di kemudian hari aristalah dan arya berjodoh...
2021-07-23
0
Ayi Nabila
lanjutannya mana😍😍😍
2020-12-03
0
Ayi Nabila
wuihhh keren deh😍😍😍 gemes lihat arya.mana ada cowok lugu jmn sekarang😁
2020-11-29
1