AUTHOR POV
Akhirnya bel pulang pun berdering, membuyarkan kegiatan belajar mengajar di SMA Sinar Pagi. Para siswa siswi berhamburan dengan tertib, meski ada yang masih di area sekolah bersama sahabat, teman bahkan sama pasangannya. Di SMA Sinar Pagi tempat favorit Vanya dan duo R adalah taman baca, sembari menunggu sekolah sepi dari para siswa siswi yang berebut keluar dari dalam sekolah. Mereka bertiga duduk di meja dengan payung yang berada di tengah. Vanya, Rara, serta Ruly membaca buku, sesekali mengerjakan tugas yang tadi di berikan oleh guru. Mereka asyik dengan dunia mereka sendiri, bahkan mereka tak sadar jika ada sepasang mata yang sedang melihat mereka bertiga.
Vanya yang sebenarnya ramah pada siapapun, menjaga dirinya dengan bersikap cuek dengan orang yang baru dikenalnya atau mau berteman dengannya. Vanya ingat pesan Kakeknya waktu kecil, harus waspada dengan orang baru yang dekat dengannya, dengan cara dingin dan cuek dengan keadaan sekitar.
Sepasang mata yang mengamati Vanya dari jauh tersebut hanya tersenyum, dengan senyum yang menyeringai dan penuh tanda tanya. Pasalnya orang tersebut tidak tahu, siapa yang akan disakitinya nanti, dan penyesalan yang teramat sangat menyakitkan menunggunya di masa depan nanti.
AUTHOR POV END
***
"Duh, panas banget nih cuacanya, tumben banget nih hatiku ikut kebakar," celoteh Rara.
"Kompor kali Ra, bisa ngebakar hati, apalagi hati ayam, enak Ra," ucap Ruly sambil membayangkan makan hati ayam.
"Maklumlah Rul, Rara kan tadi gak jadi makan siang di kantin," sahutku asal.
"Benar Van, makanya nih kabel Rara agak sedikit konslet," sahut Ruly menunjuk kepala Rara dengan jari telunjuknya.
"Jangan pegang-pegang, aset berharga ini," ucap Rara dengan nada kesal.
"B-buahahahaha," tawa Ruly lantang.
"Aku gak lagi minta di sembur Rul, ini malah dikasih kuah," keluh Rara yang terkena semburan Ruly.
"Biar otak mu encer lagi Ra," sahut Ruly menggoda Rara.
"Dikira air kali! Encer," imbuhku membela Rara.
Dan kami pun tertawa di area taman baca.
"Eh, sudah sepi nih, ayo kita ke perpustakaan, nanti keburu ditutup dikira tidak digunakan lagi!" seruku pada duo R.
"Yuk, sekarang saja, dari pada kamu nanti telat bimbingan, ya kan Ra."
"Yaps, bener tuh yang Ruly bilang."
"Tapi, kalian bagaimana?"
"Tenang kita nungguin kamu kok sampai selesai bimbingan nanti."
"Uh, so sweet."
"Kan kita best plend."
"Yaudah aku masuk ke perpustakaan dulu ya."
"Daaa Vanya."
Sampai di dalam perpustakaan aku menunggu guru pembimbing yang akan membimbingku dalam olimpiade matematika.
"Ok Van, semangat kamu pasti bisa, buat orangtuamu bangga," gumamku di dalam perpustakaan seorang diri.
"Lah ini pembimbing sama si idola sekolah mana, sudah siang juga belum pada kesini, mana sepi lagi, kan serem kalo ada tikus lewat tanpa permisi, hiyyyy," gerutuku sambil memandang sekitar perpustakaan dengan raut wajah takut.
"Sampai kapan ini aku bakalan nunggu! Lama sekali mereka datang, apa mereka sedang mandi dulu, kalau sudah selesai baru datang kemari!" monologku di depan buku tebal yang tadi aku pinjam di perpustakaan setelah Pak Guru Dito menawari ikut olimpiade matematika.
"Sambil baca dan dengerin lagu saja kali ya biar gak sepi kayak gini," gumamku lirih.
Tanpa sadar aku pun ikut mendendangkan sebuah lagu.
Senja di sore itu
Menemani kepergianmu
Saat kau ucap kata, kau tak lagi bersamaku
hoo... oo.. huo oooo
Perih yang kurasa mungkin tak kan pernah kau duga
Cinta yang dulu ada kini telah kau bawa
Tanpa sadar ada suara tepuk tangan yang berasal dari daun pintu perpustakaan.
"Lah kamu sejak kapan sih berdiri di situ kayak patung peraga organ tubuh, ngagetin aku saja," gerutuku kesal setengah malu.
"Sudah dari tadi lah, waktu kamu sendiri lagi nyanyi-nyanyi sendiri, mana suaranya terdengar merusak gendang telinga lagi," canda Putra, padahal dalam hatinya dia memuji gadis cantik di depannya dengan suaranya yang sangat merdu.
"Dengar gadis ini bernyanyi jadi ingat si kecil, yang cantik dan baik hati," batin Putra yang memikirkan sahabat kecilnya.
"Kalau, gak mau dengar, gak usah pula di dengerin, tutup telinga mu pakai tutup panci sana," ucapku sewot.
"Bodoh mana ada di sekolah ada tutup panci. Mungkin di rumahmu ada!" ucap Putra dengan mendekatkan wajahnya kepada padaku, tepat di depanku. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang sangat teratur.
"Gak begitu cantik, cuman kelebihanmu otaknya berjalan dengan baik," ucap Putra dengan nada meremehkan.
"Terserah." Aku sudah mulai bosan mendengar cowok songong ini mengejek ku dengan sangat menyebalkan.
"Dih! Dasar sudah besar masih saja suka ngambekan kayak anak kecil saja," celetuk cowok songong ini dengan sorot mata merendahkan.
Deg
Aku menundukkan kepala di atas meja sedangkan tangan ku masih memegang dada ku yang seakan mau keluar.
"Yah, ini anak malah tidur, woy belajar buat lomba, apa kamu amnesia."
"Berisik." Suara ku tertahan karena terhalang meja.
"Jangan sampai deh aku sakit, bisa-bisa bakal jadi bahan ledekannya karena melihatku lemah dan sakit di depan cowok songong ini," gumamku dalam hati.
Dengan memaksa diri, aku berniat untuk duduk tegak agar tidak terlihat seperti cewek penyakitan. Aku menahan rasa sakit di bagian ulu hati, perih juga.
"Semoga saja sakit ini segera pergi," gumamku lirih.
...
Ada apa dengan masalalu Vanya dan Putra?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
kakak😊
asisten dadakan hadir lagi😉
mampir lagi yuk kak😊
2020-12-09
1
pera
mantap udah bca semua thor
2020-10-17
1