On Being Therapist (Four)

            Joey melangkah masuk ke dalam rumahnya yang mewah di kawasan Gangnam. Sambil menenteng jas dan juga tasnya, Joey berjalan dengan langkah berat ke dalam rumahnya yang sepi. Setiap hari ia selalu merasakan hal yang sama ketika masuk ke dalam rumahnya yang besar.  Ia merasakan kehampaan dan kekosongan. Di rumah yang sangat luas  itu tidak ada sedikitpun kesan hangat yang dipancarkan, rumah itu justru terlihat seperti bangunan besar kokoh yang membuatnya merasa terpenjara setiap kali memasukinya.

            “Selamat malam tuan.” sapa asisten rumah tangganya hangat. Bibi Jang menyambut Joey dengan senyum keibuannya yang hangat dan juga menenangkan khas seorang ibu.

            “Selamat malam. Jihyun sudah pulang?”

            “Nyonya Jihyun belum pulang tuan.”

            Joey menghembuskan napasnya berat lalu tersenyum getir kearah bibi Jang. Setiap hari ia selalu mendapati hal yang sama di rumah. Hampir setiap hari Jihyun pulang larut malam. Sangat jarang menemukan Jihyun pulang sebelum dirinya pulang. Jika hal itu terjadi, pasti karena wanita itu kehabisan uang dan ingin memintanya lagi darinya.

            “Kalau begitu tolong siapkan makan malam untuk empat orang, hari ini Spencer dan keluarganya akan makan malam di sini.”

            Bibi Jang mengangguk mengerti dan langsung berjalan pergi meninggalkan Joey menuju dapur. Sementara itu, Joey masih setia berdiri di tempat sambil menatap nanar seluruh sudut rumahnya yang bersih dan rapi. Sesekali ia ingin rumahnya menjadi berantakan. Berantakan karena mainan anak-anak atau lumpur dan jejak kaki kecil yang mengotori lantai-lantai rumahnya. Ia merindukan kehadiran seorang anak-anak. Sayangnya Jihyun tidak mau mengabulkan keinginannya. Pernah ia berpikir untuk menyewa rahim seseorang untuk mewujudkan keinginannya, tapi hal itu selalu dibuangnya jauh-jauh dari kepalanya karena ia tidak mau menyakiti Jihyun. Sejauh ini ia masih menghormati Jihyun sebagai isterinya dan ia akan terus bersabar hingga suatu saat Jihyun bersedia melahirkan anak-anaknya.

            Joey melangkah perlahan menuju pigura besar berisi foto pernikahannya dan Jihyun empat tahun yang lalu. Di sana ia terlihat begitu bahagia sambil menggenggam tangan Jihyun erat di sampingnya. Tapi kini, ia sepertinya sudah lama tidak menggenggam tangan Jihyun seperti itu. Terakhir mungkin satu tahun yang lalu saat mereka merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke tiga. Saat itu ia memberikan kejutan pada Jihyun dengan mengajaknya berkeliling laut Mediterania menggunakan kapal pesiar selama tujuh hari. Ia sungguh merindukan saat-saat itu, dimana Jihyun masih bersikap hangat padanya dan tidak mengabaikannya dengan urusan pekerjaan sialannya.

Ting tong!

            Joey berbalik, tersenyum cerah kearah pintu utama yang baru saja dibuka oleh salah satu pelayan di rumahnya.

            “Aku sudah menunggumu.”

            Spencer masuk ke dalam mansion mewah milik Joey sambil menggendong si kecil Mark yang tampak nyaman di dalam dekapan sang ayah. Di sampingnya, Alice sedang tersenyum manis kearah Joey sambil menenteng sebuah paper bag yang kemungkinan berisi oleh-oleh.

            “Aku sebenarnya cukup terkejut dengan undanganmu yang mendadak ini, tapi terimakasih karena telah mengundangku datang untuk makan malam. Kebetulan Alice hari ini tidak memasak di rumah.” kekeh Spencer yang langsung mendapat sikutan dari Alice. Wanita itu berjalan mendekati Joey, lalu mengangsurkan bungkusan paper bag yang dibawanya pada Joey.

            “Apa ini?”

            “Hasil eksperimenku hari ini. Maaf, aku tidak sempat membuat apapun untuk dibawa sebagai oleh-oleh.”

            “Ah, tidak masalah. Ini sudah lebih dari cukup. Spencer selalu mengatakan padaku jika kue buatan isterinya sangat lezat. Aku jadi tidak sabar untuk mencicipinya. Ayo kita ke meja makan, kita lanjutkan obrolan kita di sana sambil menyantap kue buatanmu dan menu makan malam buatan bibi Jang.”

            Joey menggiring tamu-tamunya menuju meja makan sambil sesekali menimpali celotehan Spencer.

Sore ini ia sengaja mengundang keluarga Spencer untuk datang ke rumahnya, karena ia yakin jika Jihyun tidak ada di rumah dan ia akan merasa kesepian. Setidaknya jika Spencer datang bersama keluarganya, ia bisa melupakan sedikit masalahnya dan kehampaan hatinya yang sangat mengganggu.

            “Oooya, dimana Jihyun? Aku tidak melihatnya sejak tadi?” tanya Spencer dengan ekor mata yang sibuk mengitari sudut-sudut rumah Joey yang tampak sepi.

            “Ia masih sibuk dengan pekerjaannya. Ia baru akan pulang pukul sepuluh nanti.” jawab Joey apa adanya, namun terselip nada getir disetiap kalimatnya.

            “Sepertinya Mark bosan kau gendong, kau bisa menurunkannya. Biarkan ia berlari-lari dengan bebas.”

            “Jangan, ia bisa mengotori rumahmu. Nah, Mark!” Marah Alice tiba-tiba ketika bocah laki-laki itu melemparkan snack coklat yang sudah penuh dengan air liurnya ke lantai. Kini lantai marmer putih milik Joey sudah terlihat kotor dengan bercak coklat yang nodanya mungkin akan sulit untuk dihilangkan.

            “Biarkan saja, bibi Jang akan membersihkannya nanti. Mark-ah, bermainlah sepuasmu.”

            Joey mengelus puncak kepala Mark lembut dan membuat Alice melotot sebal pada putranya yang sedang tertawa mengejek kearahnya karena baru saja mendapatkan dukungan dari Joey.

            “Ck, semakin hari ia semakin merepotkan. Minggu lalu neneknya memberikannya spidol dan krayon, setelah itu ia menjadi semakin sering menghiasi tembok rumah kami dengan gambar-gambar abstraknya yang... arghh.. aku tidak bisa menjelaskannya. Bahkan ia juga menggambari speri kamar kami dengan spidol pemberian neneknya.” cerita Alice pening. Menjadi seorang ibu rumah tangga memang sangat melelahkan. Ada saja kelakuan Mark yang membuatnya harus berteriak-teriak marah.

            “Itu berarti Mark mewarisi sikap nakal ayahnya.” lirik Joey pada Spencer. Alice langsung mengangguk setuju dan membenarkan apa yang Joey katakan. Sikap Mark yang menjengkelkan adalah warisan dari Lee Spencer yang sangat nakal dan juga menyebalkan di masa lalu.

            “Aku hanya berharap semoga Mark tidak mewarisi sikap player ayahnya. Tapi kemarin ia baru saja menggoda seorang pelayan toko di mini market ketika aku mengajaknya membeli buah. Ck, entah apa lagi yang akan ditunjukan Mark setelah ini. Aku sudah pusing melihat tingkahnya yang sangat mirip dengan Spencer.”

            “Hey, bahkan Mark selalu bersamamu di rumah. Aku tidak pernah mengajarkan hal-hal buruk padanya.” Sangkal Spencer tak terima karena sejak tadi menjadi bahan pembicaraan isteri dan juga sahabatnya.

            “Akui saja jika kau memang seperti itu Spenc. Bahkan setiap minggu kau selalu datang ke rumahku sambil memohon-mohon untuk kupinjami mobil dan uang. Ia dulu sangat player, kekasihnya banyak di luar sana.” beritahu Joey pada Alice. Pria itu tersenyum penuh kemenangan kearah Hyujae yang berhasil ia pojokan malam ini. Ia

baru saja membuka salah satu kartu hitam Spencer yang sangat sensitif untuk dibicarakan di depan Alice.

            “Jadi ini tujuanmu sebenarnya mengundangku makan malam di rumahmu? Kau hanya ingin mengolok-olokku di depan isteri dan anakku?”

            “Yahh.. anggap saja seperti itu.” Kekeh Joey puas sambil mengambil makanan yang baru saja diletakan bibi Jang di atas meja. Terlihat beberapa hidangan yang sangat menggiurkan telah tersaji di depan mereka, siap untuk dipindahkan kedalam perut mereka.

            “Ngomong-ngomong kau sudah mempertimbangkan saranku untuk datang ke konselor?”

Uhukk uhukk

            Joey langsung terbatuk-batuk ketika Spencer menyinggung masalah konselor. Ia tidak mungkin mengatakan pada Spencer jika ia baru saja melakukan sesi konseling dengan seorang konselor yang sikapnya sangat berbanding terbalik dengan apa yang disebutkan di dalam kertas brosur.

            “Apa kau pikir aku benar-benar akan mendatangi konselor itu?”

            “Mungkin saja. Tapi sebenarnya aku tidak yakin karena kau langsung menolaknya ketika aku merekomendasikannya padamu.” Jawab Spencer acuh sambil mengedikan bahunya tak peduli.

            Tiba-tiba dari arah ruang tamu, Jihyun muncul dengan suara heelsnya yang menggema disetiap penjuru mansion milik Joey. Wanita itu tersenyum kikuk ketika melewati ruang makan dan hanya memberikan sapaan seadanya sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju kamarnya di lantai dua.

            “Hai semua.”

            “Jihyun, bergabunglah bersama kami.” ucap Joey. Namun Jihyun langsung menolaknya dengan mimik wajah yang cukup disadari oleh seluruh orang dewasa yang berada di sana.

            “Maaf, aku tidak bisa bergabung bersama kalian. Aduhh!”

            Tiba-tiba Jihyun mengaduh dan semua orang langsung menatap Jihyun yang sedang mengomel

tidak jelas pada sepatu sepuluh sentinya yang baru saja menginjak bekas coklat milik Mark. Wanita itu dengan gusar menghentak-hentakan heelsnya dengan keras dan membuat suara yang cukup gaduh di tengah-tengah ruang makan yang menjadi hening setelah kedatangannya. Alice yang merasa cukup bersalah pada Jihyun lantas berdiri sambil mengulurkan tisu untuk membersihkan sepatu mahal Jihyun dari sisa coklat milik Mark, namun niat baik itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Jihyun yang memilih untuk langsung pergi menuju kamarnya di lantai dua.

            “Maaf, aku membuat sepatu Jihyun kotor karena sisa snack Mark.”

            “Santai saja, itu bisa dibersihkan. Jihyun memang berlebihan.”

            “Kyaaa!!”

            Sontak ketiga orang dewasa itu langsung menoleh kearah tangga dimana Jihyun baru saja berteriak sambil memandang syok pada tembok dan lantai rumahnya.

            “Siapa yang berani mengotori rumahku dengan spidol!” teriak Jihyun meraung-raung histeris. Alice dan Spencer spontan saling berpandang-pandangan, dan mereka berdua dengan sigap segera mencari dimana keberadaan Mark yang malam ini menjadi penyebab kekacaun di rumah Joey.

            “Joey, maafkan Mark.” Ucap Alice merasa bersalah. Ibu muda itu langsung membawa Mark ke meja makan dan memenjarakannya dengan seluruh tubuhnya. Spencer yang berada di sebelah Alice juga melakukan hal yang sama dengan memegangi tangan Mark yang sibuk meronta-ronta di dalam dekapan ibunya.

            “Tidak masalah, lanjutkan saja makan malam kalian.”

            Joey kemudian pamit pergi sebentar untuk melihat keadaan Jihyun di lantai dua. Ia sendiri sebenarnya merasa tidak habis pikir dengan sikap Jihyun hari ini yang sangat kekanakan. Seharusnya wanita itu bisa memaklumi sikap anak-anak seperti Mark yang sangat aktif bermain hingga menimbulkan kekacauan kecil seperti tadi.

            Sementara itu, Alice dan Spencer terlihat merasa bersalah sambil memakan makanan mereka dengan kaku. Mereka tahu bagaimana sikap Jihyun selama ini yang terlihat cukup sombong dan menyebalkan. Tapi mereka tidak mengira jika malam ini putra mereka akan menjadi sumber kemarahan dari Lee Jihyun.

            “Pantas jika Joey merasa frustrasi dengan kehidupannya, sikap isterinya sangat menjengkelkan seperti itu.”

            “Ssshhh.. pelankan suaramu. Mereka bisa mendengarnya.” Bisik Alice geram sambil menyikut pinggang Spencer di sebelahnya. Mereka kemudian melanjutkan acara makan mereka dalam diam dan juga terburu-buru karena karena suasana disekitar mereka yang berubah menjadi tidak nyaman.

-00-

            Di dalam kamar, Joey menghampiri Jihyun sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Hari ini ia sudah banyak dikecewakan oleh tingkah Jihyun yang sangat menjengkelkan. Bahkan hanya karena anak kecil seperti Mark, ia membuat suasana makan malam bersama sahabatnya menjadi tidak nyaman.

            “Kenapa kau di sini? Apa mereka sudah pulang?” tanya Jihyun tidak peduli. Wanita itu justru terlihat sibuk membersihkan wajahnya dari semua make-up yang menempel di kulit wajahnya sejak siang tadi. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun yang tercetak di wajahnya setelah apa yang ia lakukan beberapa menit yang lalu.

            “Kau tidak seharusnya bersikap seperti itu di depan mereka. Lagipula Mark hanya anak-anak, kita bisa mengecatnya lagi nanti.” tegur Joey gusar. Jihyun yang masih sibuk dengan alat-alat pembersih wajahnya hanya menatap Joey sekilas dan kembali menekuni kegiatannya tanpa sedikitpun menghargai keberadaan Joey di sana.

            “Aku tidak suka rumahku dikotori oleh anak kecil. Mereka jorok dan menjijikan.”

            “Apa kau pikir kau tidak menjijikan? Kau dulu juga seorang anak-anak sebelum berubah menjadi wanita dewasa. Kuharap kau bisa mengubah sikapmu yang angkuh itu Lee Jihyun.” perintah Joey tegas. Tapi lagi-lagi Jihyun hanya mengabaikan Joey dan menatap pria itu sekilas dari pantulan cermin.

            “Aku tidak akan pernah mengubah apapun karena aku tidak salah. Terserah apa yang ingin kau lakukan, yang jelas aku tidak suka melihat mereka di rumahku. Apalagi anaknya yang menjijikan itu.” Tutup Jihyun sebelum ia melenggang pergi menuju kamar mandi. Joey membuang wajahnya ke samping sambil menahan setiap emosinya yang hampir meledak. Ia tidak boleh menunjukan emosinya sekarang karena Spencer akan mendengar pertengkarannya dari bawah. Selain itu, ancaman yang diberikan Jihyun siang tadi jelas masih berlaku. Ia tidak mau mengambil resiko wanita itu menceraikannya atau pergi meninggalkannya, karena ia masih mencintai Jihyun.

Hanya Jihyun satu-satunya wanita yang mengisi hatinya. Ia tidak mencintai wania lain, dan hanya Jihyun yang ia inginkan tetap di sampingnya hingga nanti Tuhan mengambil nyawanya.

-00-

            “Sayang, apa yang sedang kau lakukan?”

            Aleyna menoleh cepat kearah sumber suara dan langsung tersenyum sumringah ketika Luciana datang dengan segelas susu coklat kesukaanya. Gadis berusa empat setengah tahun itu langsung berdiri dari posisi tengkurapnya dan meninggalkan kegiatan menggambarnya sejenak untuk menghampiri sang ibu di ujung pintu.

            “Eomma, Alyena sedang menggambar. Aaron appa yang memberikan Aleyna buku gambar dan pensil warna.” cerita Aleyna semangat. Luciana mengelus lembut puncak kepala Alyena dan tersenyum kecil pada putri cantiknya. Setelah ini ia harus menghubungi Aaron untuk berterimakasih karena pria itu telah memberikan hadiah yang sangat disukai Aleyna.

            “Jadi kau pergi kemana saja hari ini bersama Aaron appa?” Tanya Luciana penasaran.

            “Aleyna pergi ke toko buku dan makan es krim. Eomma, apa lain kali Aleyna boleh pergi bersama Aaron appa?”

            “Tentu sayang, kau boleh pergi bersama Aaron appa. Sekarang minum susumu, eomma akan menelpon Aaron appa dan mengucapkan terimakasih karena telah membelikanmu buku gambar.”

            Aleyna mengangguk mengerti dan segera menghabiskan susu coklatnya. Sedangkan Luciana terlihat berjalan menuju ranjang king size milik Aleyna dan segera memposisikan diri dengan nyaman untuk menghubungi Aaron.

            “Halo, Aaron?”

            Luciana menyapa Aaron pelan ketika pria itu akhirnya menjawab panggilan teleponnya di dering ke lima. Samar-samar Luciana mendengar suara berisik khas pria yang sedang tertawa terbahak-bahak di ujung telepon. Sambil mengernyit, Luciana mencoba memfokuskan pendengarannya pada suara Aaron yang hampir tertelan oleh suara berisik di seberang sana.

            “Luciana? Sebentar, di sini terlalu berisik.”

            Luciana menunggu sekitar satu menit sebelum akhirnya ia dapat mendengar suara Aaron dengan lebih jelas.

            “Aku sedang merayakan ulangtahun salah satu rekanku di bar, ada apa kau menghubungiku?”

            “Oh, apa aku mengganggumu? Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih karena hari ini kau telah mengajak Aleyna jalan-jalan. Ia sangat senang dengan hadiah buku gambar dan juga pensil warna yang kau berikan.” ucap Luciana tersenyum cerah. Wanita muda itu lantas berdiri, berjalan menghampiri Aleyna yang sibuk menggambar lalu duduk di sebelah gadis kecil itu di atas karpet.

            “Tidak masalah, aku senang mengajak Aleyna jalan-jalan. Aku sudah lama tidak mengajaknya pergi sejak aku memiliki proyek baru di Busan dua minggu lalu. Bagaimana kabarmu sekarang? Sepertinya kau semakin sibuk.”

            “Aku baik, tapi memang ya.. aku semakin sibuk dengan berbagai permasalahan pelik klien-klienku.” ucap Luciana diiringi kekehan. Aaron ikut terkekeh di seberang sana sambil menimpali ucapan Luciana.

            “Menjadi tong sampah lagi untuk masalah-masalah klienmu? Kadang aku tak mengerti dengan jalan pikiran seorang konselor sepertimu, disaat orang-orang merasa pening dengan masalah yang mereka hadapi, kau justru semakin menambah masalah dengan masalah orang lain. Kau tidak lelah, atau bosan mungkin?” tanya Aaron masih dengan kekehannya. Luciana mengerucutkan bibirnya lucu di sebelah Aleyna sambil memainkan ujung kausnya yang terlihat kusut. Pria itu jelas-jelas sedang mengoloknya dengan kalimatnya yang menyebalkan.

            “Aku baik-baik saja dengan masalahku. Bukankah aku ini hebat, disaat aku sendiri memiliki masalah, aku masih bisa menampung masalah orang lain. Kau harus mengakui itu, jika aku ini memang hebat.”

            “Yayaya.. aku tahu kau hebat. Jadi adakah diantara klienmu yang cukup menarik untuk dijadikan kekasih?”

            Luciana mengernyit heran. Ia bingung mengapa tiba-tiba Aaron mengangkat topik seputar kekasih padanya seperti ini.

            “Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu? Kau aneh. Lagipula seorang konselor tidak boleh memiliki perasaan lebih pada kliennya, itu menyalahi aturan.”

            “Aku mengkhawatirkanmu Luci. Aku ingin kau bahagia. Segeralah mencari pria yang bisa menjagamu setiap saat.”

            “Aku baik-baik saja.” desah Luciana pelan. Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba Aaron mengganti topik pembicaraan mereka kearah pasangan hidup. Ia tahu Aaron adalah pria yang baik yang akan selalu mengkhawatirkannya karena secara tidak langsung pria itu yang menyebabkan dirinya menjadi seorang single parent seperti ini.

            “Aku merasa hidupmu terlalu berisiko hingga kau memiliki seseorang untuk menjagamu. Lagipula Aleyna juga membutuhkan sosok ayah. Jangan sia-siakan masa mudamu Luc, carilah kekasih secepatnya dan lupakan semua kenangan buruk di masa lalu.”

            “Jadi sekarang kau seolah-olah bertindak sebagai konselorku? Baiklah, aku akan segera mencari kekasih. Tapi aku tidak yakin apakah aku akan mendapatkannya, kau tahu sendiri jika aku sudah mengalami kegagalan sebanyak dua kali.”

            “Maafkan aku.”

            “Bukan bukan. Bukan begitu maksudku. Aku tidak menyalahkanmu, hanya saja akan lebih sulit untuk mencarinya sekarang. Lagipula aku lebih menikmati hari-hariku yang bebas ini. Aku tidak perlu repot-repot memikirkan suami yang akan mengkhawatirkanku di rumah dan repot-repot meminta ijin jika aku ingin menginap di rumah Karen.”

            “Dasar. Tapi jika kau membutuhkan bantuanku, jangan ragu untuk menghubungiku. Aku pasti akan selalu datang untukmu.”

            “Terimakasih, aku tahu kau pria yang baik.” ucap Luciana tulus sambil membayangkan wajah Aaron yang selalu membuatnya tenang setiap kali mengingat senyuman manis pria itu.

            “Kalau begitu sampai jumpa, aku harus segera kembali ke dalam bersama teman-temanku. Semoga kau selalu bahagia Luci, aku menyayangimu.”

            “Hmm, aku juga menyayangimu Aaron.”

            Luciana menutup sambungan teleponnya dengan senyum cerah yang terpatri di wajahnya. Andai ia bisa memilih, ia tidak ingin melepaskan Aaron. Aaron adalah pria yang terlalu sempurna untuk dilewatkan. Ia baik, perhatian, dan sangat peduli pada hidupnya. Sayang, pria itu tidak bisa memberikan apa yang ia inginkan selama ini. Anak. Pria itu tidak bisa memberinya anak yang akan membuat hidupnya menjadi lebih sempurna. Meskipun ia memiliki Aleyna, tapi rasanya akan tetap berbeda jika ia bisa mengandung sendiri dan melahirkan sendiri anaknya, dan tentunya dari pria yang ia cintai. Ia berharap suatu saat ia bisa menemukan sosok pengganti Aaron yang benar-benar bisa menerimanya apa adanya dan tidak terlalu memikirkan soal status rumah tangganya di masa lalu. Dan ia harap Tuhan benar-benar akan mengabulkan doanya.

Episodes
1 Becoming A Helper (One)
2 Becoming A Helper (Two)
3 On Being Therapist (Three)
4 On Being Therapist (Four)
5 On Being Therapist (Five)
6 Crazy Guy (Six)
7 Crazy Guy (Seven)
8 Crazy Guy (Eight)
9 Crazy Guy (Nine)
10 Imperfect Therapist (Ten)
11 Imperfect Therapist (Eleven)
12 Imperfect Therapist (Twelve)
13 Imperfect Therapist (Thirteen)
14 Imperfect Therapist (Fourteen)
15 Imperfect Therapist (Fifteen)
16 Scared To Be Lonely (Sixteen)
17 Scared To Be Lonely (Seventeen)
18 Scared To Be Lonely (Eighteen)
19 Scared To Be Lonely (Nineteen)
20 Scared To Be Lonely (Twenty)
21 Episode 21
22 Rely On You (Twenty Two)
23 Rely On You (Twenty Three)
24 His Misstres (Twenty Four)
25 His Misstres (Twenty Five)
26 His Mistress (Twenty Six)
27 Extinction (Twenty Seven)
28 Extinction (Twenty Eight)
29 Extinction (Twenty Nine)
30 Forcing Comformity (Thirty)
31 Forcing Comformity (Thirty One)
32 I Never knew I had a Choice (Therty Two)
33 I Never Kner I Had a Choice (Thirty Three)
34 I Never Knew I Had a Choice
35 I Never Knew I Had a Choice (Thirty Five)
36 I Never Knew I Had a Choice (Thirty Six)
37 I Never Knew I Had a Choice (Thirty Seven)
38 Sequel Kontratransferensi: There Are Too Many Problem Between Us
39 There Are Too Many Problems Between Us (Thirty Nine)
40 There Are Too Many Problems Between Us (Fourty)
41 Luciana Side Story (Fourty One)
42 Kontratransferensi Case One: The Whispers (Fourty Two)
43 Kontratransferensi Case One: The Whispers (Fourty Three)
44 Kontratransferensi Case One: The Whispers (Fourty Four)
45 Kontratransferensi Case One: The Whispers (Fourty Five)
46 Kontratransferensi Case One: The Whispers (Fourty Six)
47 Kontratransferensi Case One: The Whispers (Fourty Seven)
48 Kontratransferensi Case Two: Body Lips and Eyes (Fourty Eight)
49 Case Two: Body Lips and Eyes (Fourty Nine)
50 Case Two: Body Lips and Eyes (Fifty)
51 Case Two: Body Lips and Eyes (Fifty One)
52 Case Two: Body Lips and Eyes (Fifty Two)
53 Case Two: Body Lips and Eyes (Fifty Three)
54 Body Lips and Eyes (Fifty Four)
55 Case Two: If Our Love Is Wrong (Fifty Five)
56 Case Two: If Our Love Is Wrong (Fifty Six)
57 Case Two: Body Lips and Eyes (Fifty Seven)
58 Case Two: Body Lips and Eyes (Fifty Eight)
59 Case Two: Body Lips and Eyes (Fifty Nine)
60 Case Two: Body Lips and Eyes (Sixty)
61 Case Two: Body Lips and Eyes (Sixty One)
62 Case Three: Stockholm Syndrome (Sixty Two)
63 Case Three: Stockholm Syndrome (Sixty Three)
64 Case Three: Stockholm Syndrome (Sixty Four)
65 Case Three: Stockholm Syndrome (Sixty Five)
66 Case Three: Stockholm Syndrome (Sixty Six)
67 Case Three: Stockholm Syndrome (Sixty Seven)
68 Case Three: Stockholm Syndrome (Sixty Eight)
69 Case Three: Stockholm Syndrome (Sixty Nine)
70 Case Three: Stockholm Syndrome (Seventy)
71 Case Four: Obsessed (Seventy One)
72 Case Four: Obsessed (Seventy Two)
73 Case Four: Obsessed (Sebenty Three)
74 Case Four: Obsessed (Seventy Four)
75 Case Four: Obsessed (Seventy Five)
76 Case Four: Obsessed (Seventy Six)
77 Case Four: Obsessed (Seventy Seven)
78 Case Four: Obsessed (Seventy Eight)
79 Fine (Seventy Nine)
80 Fine (Eighty)
81 Fine (Eighty One)
82 Fine (Eigthy Two)
83 Fine (Eighty Three)
84 Fine (Eighty Four)
85 Fine (Eighty Five)
86 I Got Love (Eighty Six)
87 I Got Love (Eighty Seven)
88 I Got Love (Eighty Eight)
89 I Got a Love (Eighty Nine)
90 I Got A Love (Ninety)
91 I Got A Love (Ninety One)
Episodes

Updated 91 Episodes

1
Becoming A Helper (One)
2
Becoming A Helper (Two)
3
On Being Therapist (Three)
4
On Being Therapist (Four)
5
On Being Therapist (Five)
6
Crazy Guy (Six)
7
Crazy Guy (Seven)
8
Crazy Guy (Eight)
9
Crazy Guy (Nine)
10
Imperfect Therapist (Ten)
11
Imperfect Therapist (Eleven)
12
Imperfect Therapist (Twelve)
13
Imperfect Therapist (Thirteen)
14
Imperfect Therapist (Fourteen)
15
Imperfect Therapist (Fifteen)
16
Scared To Be Lonely (Sixteen)
17
Scared To Be Lonely (Seventeen)
18
Scared To Be Lonely (Eighteen)
19
Scared To Be Lonely (Nineteen)
20
Scared To Be Lonely (Twenty)
21
Episode 21
22
Rely On You (Twenty Two)
23
Rely On You (Twenty Three)
24
His Misstres (Twenty Four)
25
His Misstres (Twenty Five)
26
His Mistress (Twenty Six)
27
Extinction (Twenty Seven)
28
Extinction (Twenty Eight)
29
Extinction (Twenty Nine)
30
Forcing Comformity (Thirty)
31
Forcing Comformity (Thirty One)
32
I Never knew I had a Choice (Therty Two)
33
I Never Kner I Had a Choice (Thirty Three)
34
I Never Knew I Had a Choice
35
I Never Knew I Had a Choice (Thirty Five)
36
I Never Knew I Had a Choice (Thirty Six)
37
I Never Knew I Had a Choice (Thirty Seven)
38
Sequel Kontratransferensi: There Are Too Many Problem Between Us
39
There Are Too Many Problems Between Us (Thirty Nine)
40
There Are Too Many Problems Between Us (Fourty)
41
Luciana Side Story (Fourty One)
42
Kontratransferensi Case One: The Whispers (Fourty Two)
43
Kontratransferensi Case One: The Whispers (Fourty Three)
44
Kontratransferensi Case One: The Whispers (Fourty Four)
45
Kontratransferensi Case One: The Whispers (Fourty Five)
46
Kontratransferensi Case One: The Whispers (Fourty Six)
47
Kontratransferensi Case One: The Whispers (Fourty Seven)
48
Kontratransferensi Case Two: Body Lips and Eyes (Fourty Eight)
49
Case Two: Body Lips and Eyes (Fourty Nine)
50
Case Two: Body Lips and Eyes (Fifty)
51
Case Two: Body Lips and Eyes (Fifty One)
52
Case Two: Body Lips and Eyes (Fifty Two)
53
Case Two: Body Lips and Eyes (Fifty Three)
54
Body Lips and Eyes (Fifty Four)
55
Case Two: If Our Love Is Wrong (Fifty Five)
56
Case Two: If Our Love Is Wrong (Fifty Six)
57
Case Two: Body Lips and Eyes (Fifty Seven)
58
Case Two: Body Lips and Eyes (Fifty Eight)
59
Case Two: Body Lips and Eyes (Fifty Nine)
60
Case Two: Body Lips and Eyes (Sixty)
61
Case Two: Body Lips and Eyes (Sixty One)
62
Case Three: Stockholm Syndrome (Sixty Two)
63
Case Three: Stockholm Syndrome (Sixty Three)
64
Case Three: Stockholm Syndrome (Sixty Four)
65
Case Three: Stockholm Syndrome (Sixty Five)
66
Case Three: Stockholm Syndrome (Sixty Six)
67
Case Three: Stockholm Syndrome (Sixty Seven)
68
Case Three: Stockholm Syndrome (Sixty Eight)
69
Case Three: Stockholm Syndrome (Sixty Nine)
70
Case Three: Stockholm Syndrome (Seventy)
71
Case Four: Obsessed (Seventy One)
72
Case Four: Obsessed (Seventy Two)
73
Case Four: Obsessed (Sebenty Three)
74
Case Four: Obsessed (Seventy Four)
75
Case Four: Obsessed (Seventy Five)
76
Case Four: Obsessed (Seventy Six)
77
Case Four: Obsessed (Seventy Seven)
78
Case Four: Obsessed (Seventy Eight)
79
Fine (Seventy Nine)
80
Fine (Eighty)
81
Fine (Eighty One)
82
Fine (Eigthy Two)
83
Fine (Eighty Three)
84
Fine (Eighty Four)
85
Fine (Eighty Five)
86
I Got Love (Eighty Six)
87
I Got Love (Eighty Seven)
88
I Got Love (Eighty Eight)
89
I Got a Love (Eighty Nine)
90
I Got A Love (Ninety)
91
I Got A Love (Ninety One)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!