Happy reading.....
***
Yang datang sejatinya akan segera pergi
Seperti kabut yang menghilang bersama dengan datangnya mentari
Berjuang rasanya bukan sebuah pilihan
Adalah menjadikannya sebuah keharusan
Merakit kisah sebuah hal yang ridak mudah
Layaknya mengukir tinta diatas kertas
Menyusun kata dan menjadikannya sebuah bait
***
Pukul tiga sore kelas berakhir, panasnya sinar mentari sudah tidak lagi menyengat kulit telanjang yang diterpanya.
Harap harap cemas Ainun menanti kehadiran Sang Ayah. Tidak ingin ia mengikuti Gita yang mengajaknya pergi mengobrol dengan dalih berbelanja kado untuk sahabarnya Nara.
Bukan karena itu sebagai penyebab keengganannya, tetapi rasa waswas kekecewaan semakin menjadi tak ingin nya mendengarkan penjelasan yang mungkin sudah diketahuinya.
Dengan langkah pasti dan senyum merekah, Gita menghampiri Ainun yang semakin kalut pada keadaan hatinya.
"Ayahmu belum juga datang?" tanyanya sembari kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan kehadiran Ayah Ainun.
"Belum, mungkin sebentar lagi." Ucap Ainun tanpa semangat.
Keduanya terduduk di sebuah halte tempat biasa para mahasiswi atau mahasiswa yang menunggu ojol. Memainkan ponsel masing-masing dan bercakap seadanya.
drrrt drrrtt
Getaran ponsel Ainun mengalihkan pemiliknya yang semula berseluncur di media sosial miliknya. Menggeser tanda hijau kemudian menempelkan pada telinga kiri nya.
"Assalamu'alaikum ayah-- Iya yah-- Ainun di halte depan kampus-- iya yah,"
Panggilan berakhir, menyisakan tanda waktu panggilan berlangsung.
tiiiin tiiin
Tak membutuhkan waktu lama untuk Ayah mememukan putri sulungnya. Ainun bangkit disusul Gita yang disebelah nya.
"Ayo naik, ayah harus segera sampai kerumah, sudah ada tamu yang menunggu." Ayahnya berkata sembari mengangkat dagunya mengisyaratkan untuk segera masuk.
Ainun masih diam termangu, melirik ke arah Gita yang juga nampak sedang memikirkan hal yang sama dengannya.
Tapi bukan Gita namanya jika dia tidak berani meminta izin kepada Ayah Ainun.
Langkahnya maju mendekatkan wajah pada kaca samping kemudi, Gita meminta izin langsung dengan alasan yang memudahkan nya mendapatkan izin. Apalagi jika bukan alasan mencari buku panduan tugas sekalian membeli kado ulang tahun sahabat mereka.
Bahkan Gita berjanji untuk mengantarkannya langsung sampai rumah.
Awalnya Ayah Ainun tidak memberikan izin, tapi Gita terus saja membujuk dan akhirnya izinpun diraih.
Gita begitu antusias mendapat kan izin, karena selama bertahun tahun bersahabat dengan Ainun, barulah kali ini membawa Ainun pergi tanpa diikuti oleh Ayahnya.
Bukan tanpa alasan, Gita sudah mengerti dan faham alasan Ayah Ainun bersikap seperti itu.
Semua itu disebabkan adanya beberapa tragedi penculikan yang hampir saja merenggut nyawa Ainun. Bahkan Ainun pernah mengalami mati suri karena tenggelam saat masih duduk di bangku SD.
Sungguh rasa Syukur yang berlipat dan teramat sangat bahagia, mengharukan rasanya mendapati Putri kecilnya yang sudah dinyatakan meninggal sejak setengah jam lalu, bergerak dan membuka matanya.
Hanya ke empat sahabatnya lah yang memahami kondisi ini. Selainnya mereka hanya bisa mencemoohnya dengan sebutan 'Anak manja'.
Ainun yang masih tak percaya hanya bisa termangu menatap kepergian Ayah nya.
Gerak tubuhnya mengisyaratkan rasa bahagia sekaligus kesal.
Bahagia yang pada akhirnya mendapatkan izin pergi tanpa Ayahnya untuk pertama kalinya. Sekaligus kesal karena harus mengikuti Gita dan mendengarkan lanjutan curhatannya yang tertunda.
Mereka memilih sebuah Alun alun kota untuk tempat mengobrol santai mereka.
.
Di tempat lain, nampak seorang pria memasuki gedung perkantoran dengan menggunakan hoodie dan menutup kepalanya, memakai masker dan kacamata hitam berjalan santai menelusuri setiap lorong dan kubikel kantor.
Langkahnya terhenti sesampainya di meja Dina, Sekretaris Rezi. Menanyakan perihal waktu kerja Rezi dan meminta izin untuk masuk.
"Maaf dengan siapa,?" Dina merasa sedikit gugup, tepatnya takut melihat penampilan pria didepan meja nya.
"Aku saudaranya," jawab si pria.
Dengan pakaian yang serba tertutup yang hannya menampilkan pangkal hidung dan telapak tangan saja. Pria itu berhasil membuat Dina takut.
"Silahkan anda duduk dulu, dan tunggu sebentar saya akan kembali." Dina menunjuk sopan sebuah sofa yang memang diperuntukkan klien atau tamu untuk menunggu.
Pria itu tidak menjawab ataupun tidak duduk seperti yang dianjurkan Dina.
Seharusnya Dina sudah menelpon Rezi menggunakan interkom, tapi kebetulan sekali saat ini sedang ada perbaikan pada interkom milik Rezi.
Memaksanya menuju ruang Reza dan memberitahukannya keberadaan pria asing tadi.
Tanpa sepengetahuan Dina, diam diam pria misterius itu mengikutinya dan ikut masuk kedalam tanpa disadari oleh Rezi dan Dina.
Ia mendengar Dina menyakan kesediaan waktu atas kedatangan tamunya.
Dengan gayanya yang santai Ia berjalan mendekat, "Tidak perlu meminta izin darinya, aku sudah disini," Ucap pria itu sembari membuka kacamata dan maskernya.
Rezi dan Dina serempak menoleh ke arah nya, Rezi hanya bisa menatap kesal pada pria ini, berbeda dengan Dina yang baru pertama kali melihatnya, terkaget sekaligus terkagum.
Bukan hanya sekedar mengagumi ketampanannya tapi juga maha karya Tuhan yang Maha Agung yang telah menciptakan dua manusia dengan tingkat ketampanan yang serupa.
Siapa lagi jika bukan Reza yang datang dengan tiba tiba dan penampilan seperti perampok.
Reza melepaskan Hoodie nya dan melemparkan ke sofa, menyisakan kemeja ketat hitam berlengan pendek yang menjiplak roti sobek miliknya.
Dina dibuat terperangah oleh nya. "Ekhemm... kamu boleh kembali Dina," perintah Rezi yang mendapati Sekretarisnya itu sedang mengagumi adik kembarnya dengan mulut ternganga.
"Sa-saya permisi pak," Pamitnya yang masih sesekali melirik Reza dan Rezi bergantian.
"Pppfffftt.. hahahha!" gelak tawa pecah memenuhi ruang kebesaran Rezi.
"Lo setua itukah udah dipanggil bapak? hahaha" ejeknya tanpa menghentikan tawa renyahnya.
Reza mendesis kesal mendapati ejekan adik kembarnya itu yang mengatainya tua, padahal umur mereka sama persis seperti wajah mereka
Dina berjalan keluar dan menutup pintu ruangan Rezi, lalu menuju meja kerjanya menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Mimpi apa aku semalam, mereka sangat mirip! apakah pak Rezi memiliki kembaran? kenapa aku baru tahu ya?"
"ini kan masih jam kuliah, lo bolos lagi?" selidik Rezi.
"Wiiiih enak aja, dosen gue lagi cuti dan ga ada asisten dosen yang menggantikan, jadi yaa kosong," jawabnya santai.
"Alasan lo kuno banget," Ucap Rezi
"Ya kali gue bolos, bentar lagi juga wisuda mana bisa bolos, bisa-bisa batal wisuda gue, " Sergah nya membela diri.
"Terus, lo ngapain kesini? keabisan duit lo?" tuduh Rezi berkacak pinggang
"Ih kakak gue yang ganteng, yang berarti gue juga ganteng, gue kesini cuma mw kasih tau kalo lo diajak Gita ke pesta ulang tahun temennya," jelas Reza dengan narsis.
"Kok Gita gak ngabarin gue?" Rezi bertanya keheranan.
"Tadi dikampus dia bilang, udah kirim WA cuma lo aja sok sibuk gak bales Chat dia," Reza memberungsutkan tubuhnya diatas sofa berbaring disana.
"Cuma karena itu lo kesini? unfaedah banget lo jadi orang!" Rezi duduk kbali ke kursi panas miliknya.
"Gue juga mau minta tolong sama lo, tapi gue mau merem dulu bentaran. Lo lanjut kerja aja dulu!"
Dibalas dengan desisan Rezi yang bersungut kesal.
.
"Nun kamu mau makan apa? biar kupesankan" tanya Gita.
"Ayam geprek sambel level sadisss dan lemon tea," ujar Ainun dengan Ekspresi yang menunjukkan cita rasa makanan yang oa inginkan.
"Oke deh, tunggu ya" Gita beranjak dan memesan pesanan Ainun tadi.
Selesai bersantap ria dan bergumul dengan pedas nya sambal level sadis pesanannya Ainun memesan milk shake yang ke dua untuk meredakan rasa panas terbakar dilidahnya.
"Kamu sih, pesennya yang sadis.. itu level up nya tau," Gerutu Gita yang sedari tadi sudah menasehatinya untuk tidak melahap habis si sambal.
"Sudah baikan kok" cengiran Ainun menampilkan deretan gigi putihnya.
"Aku lanjutin ceritanya ya..." Gita memulai obrolan seriusnya.
Ainun tampak berubah raut wajahnya, rasa pedas yang masih terasa seolah sirna sekejap mata.
Gita bingung memulainya dari mana, tapi Ia tetap bercerita. Dari awal perjodohan, pertemuan dengan calon suami, yang ternyata Reza, dan Pertemuan dengan Rezi di kafe beberapa waktu lalu, semua ia diceritakan.
Hanya satu yang tidak diceritakan, tentang perasaan Reza terhadap Ainun. Ia tidak mau ikut andil terlalu larut untuk masalah perasaan mereka. Membiarkan Reza berbicara langsung dihadapan Ainun.
Inilah ekspresi Ainun, yang mencoba mendengarkan Gita yang sedang curhat.
Speechless
Hatinya berdesir lebih tenang, mendapati semua prasangkanya selama ini tidak lah benar.
Hanya saja, Ainun tidak tahu apakah Reza memiliki rasa yang sama dengan apa yang dirasakannya.
Tidak mau terlalu senang dengan kebenaran ini yang mungkin saja akan menjatuhkannya ke jurang kecewa yang lebih dalam.
***
Kuterjebak ruang sepi berimajinasi
Yang tiada sesuai dengan kenyataan diri
Hati yang penuh dengan tanya
Merenung pun tiada makna
Akankah ini menjadi adil untukku
Yang sepenuhnya terkumpul banyaknya rindu
Memendam sebuah asa yang terajut semu
yang Inginku peluk erat selalu rasa ini ber**sama dirimu
***
To be continue....
🌹🌹🌹
Bagaimana kisah selanjutnya, tetap pantengin cerita Ainun and the genks yaa
Terima kasih banyak untuk para sahabat readers yang Olive sayangi, yang masih setia mantengin cerita kehaluan Olive. Semoga kalian tambah suka yaa...
Terima kasih juga yang sudah Like Dan komen, serta rate bintang 5 untuk novel ini. jadi tambah semangat up nya...
yang mau vote juga boleh sekali kakak...
salam sayang luuvvvv
Olive Sparkly
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
👑
semangat
2020-11-26
1
Silvia Zulfaharitsah
syalala
2020-10-29
2
ARSY ALFAZZA
🐾🌾🌾🌷
2020-10-25
1