Sepanjang perjalanan, Gita hanya terdiam seribu bahasa. Adiknya yang sedari tadi mengajaknya mengobrol pun tak dihiraukannya. Hatinya berkelana entah kemana, otaknya penuh dengan berbagai pertanyaan.
Motor berhenti mendadak sampai helm Gita bertabrakan dengan helm adiknya, duuukkk!!
"Kok berhenti, ada apa?" tanya Gita terkaget.
"Kucing lewat kak, hampir saja tertabrak!" sahut Bima, adiknya. Kemudian, Bima melanjutkan kembali perjalanannnya.
Tiba dirumah, Gita segera berjalan ke kamar ibunya. Melihat kondisi ibunya yang terbaring lemas di atas ranjang, sungguh membuat hatinya sedih. Mirna, ibu Gita dan Bima kini terbaring lemah. sebab terjatuh di teras samping rumah.
Mereka hanya tinggal bertiga, Ayahnya sudah meninggal sejak Bima berusia lima tahun dan kini Mirna sebagai tulang punggung keluarga, hanya memiliki toko bunga tepat disamping rumah mereka.
Setiap hari Mirna selalu sibuk memilah dan memilih berbagai macam bentuk dan jenis bunga segar untuk di pasarkan. Karyawannya hanya dua, jika sedang libur Gita maupun Bima selalu hadir membantunya.
"Ibu kenapa bisa jatuh?" tanya Gita saat mirna membuka mata.
"Tadi ibu pusing," Mirna yang masih lemas memaksakan untuk duduk. Dengan sigap, Gita membantu mirna, mendudukkannya dengan perlahan.
"Kita kedokter ya bu?" ajak Gita, ia begitu menghawatirkan Ibunya.
"Tidak usah sayang, ibu baik-baik saja kok, mungkin karena kelelahan, minum vitamin saja sudah cukup."
"Kakak, aku ke toko dulu yaa, kasian Mbak Ida dan Mas Cipto, tidak ada yang membantu!" Bima meminta izin ketoko bunga milik mereka.
Gita hanya menganggukkan kepalanya. Tak berselang lama, gadis itu pun pamit kekamarnya, membiarkan Mirna sendirian untuk beristirahat.
Gita merebahkan tubuhnya ke ranjang kesayangannya, sambil mengecek ponselnya yang dari tadi dalam mode silent.
Begitu banyak pesan masuk yang belum sempat ia baca. Gita membuka pesan satu persatu, ada satu pesan yang paling menarik perhatiannya, yaitu dari tantenya yang sudah lama tidak dijumpainya.
Tante Fika
"Git, gimana keadaan kalian? tante rindu sama ibumu."
Gita sedikit termenung, Tante Fika memang sangat dekat dengan Ibunya. Hanya saja, kesibukan menjadi alasan utama mereka jarang bertemu.
Gita
"Aku dan Bima baik Tante. Hanya saja, saat ini Ibu yang sedang kurang sehat."
Tante Fika
"Mbak Mirna sakit apa? sejak kapan?"
Gita
"Ibu hanya kelelahan Tan, sekarang sedang istirahat. Tante jangan khawatir, Gita dan Bima akan menjaga Ibu,"
Tante Fika
"Kalau ada apa apa, segera hubungi Tante yaa... biar Tante dan Om segera kesana."
Gita
"Iya tante.. terima kasih."
Pesan pun berakhir, setelah membaca dan membalas pesan satu persatu, Gita duduk di tepi ranjangnya. Ekor matanya segera mengarah ke laci penyimpanan di dekat meja riasnya. Ia membukanya dan meraih selembar kertas dan beberapa potret.
Benarkah dia orangnya? tapi wajahnya sangat mirip. Apakah ini hanya kebetulan?
Gita menggigit bibir bawahnya, meremas sedikit kertas di tangannya. Membaca setiap detile rincian biodata yang tertulis di dalamnya.
Sejenak ia tertegun, memastikan fikirannya yang membuncah. Gadis itu mengingat kembali pertemuan dua keluarga malam itu, yang membahas tentang rencara perjodohan anak-anak mereka. Yang tak lain adalah Gita dengan seseorang.
Gita tidak menolak, karena ia pun tak punya alasan untuk menolak. lagi pula rencana pernikahan akan dilangsungkan setelah gita wisuda, berarti masih sekitar tiga tahun lagi. Dalam pertemuan itu, pria yang digadang menjadi calon suaminya, tak turut hadir, karena sedang keluar kota. Orang tuanya memberikan sedikit data dan foto pemuda itu kepada Gita, supaya Gita tau wajah calon suaminya kelak. Sebab si pemuda, sedikit sulit untuk diajak berkumpul oleh keluarganya.
Tampan dan atletis, mungkin kata itu yang bisa untuk mendefinisikan sekelibat bayang dan mencocokkannya dengan potret ditangannya.
Gita tak habis fikir, akan bertemu secara tidak langsung dengan pria itu. Ia pun bingung harus bersikap seperti apa jika bertemu lagi.
Entah apa yang dirasakannya, dia belum bisa memastikannya, yang dia tahu pria itu juga sedang menimba ilmu di tempat yang sama dengannya. Senyum gita pun terbit.
.
Pagi yang sejuk, di hari yang sangat cerah menambah kesyahduan di pedesaan ini. Tidak ada hiruk pikuk, tidak ada kebisingan apalagi polusi. Semua masih asri masih segar dan tentram. Semua orang beranjak untuk melaksanakan aktifitas masing-masing.
Ainun yang masih bergumul dengan selimutnya pun segera membuka matanya perlahan. Menyipitkan mata indahnya yang terkena sinar pagi menembus gorden yang tertiup angin semilir. Gadis itu menggeliatkan kedua tangannya, merenggangkan sedikit otot otot tangan kecilnya.
Sesegera mungkin berjalan ke kamar mandi, jika tidak ingin didahului para adik adiknya.
Setelah selesai dengan rutinitas paginya, Ainun pergi ke dapur untuk membantu ibunya membuat sarapan sederhana.
"Sayang, hari ini ada jam kuliah gak?" tanya ibu Sarah kepada putri sulungnya.
"Ada, tapi agak siang Bu, biar nanti Ross yang jemput aja bu, sekalian berangkat bareng, takutnya ayah masih di peternakan."
"Ya, kamu tinggal izin aja sama ayah, "
"Hemm, iya bu"
Ainun tidak yakin akan mendapatkan izin langsung dari ayahnya. Ia hanya mendengus kesal. Sebegitu protektifnya sang ayah kepada anak sulungnya itu. Entah kenapa selalu saja begitu, padahal usianya sudah sembilan belas tahun lebih.
Dan benar saja, ketika ia meminta izin, Ayahnya dengan cepat menolak. Dan dengan sigap dan siap akan selalu mengantar jemput nya. Ainun hanya bisa menghela napas pasrah. Sebenarnya, ingin membantah, tapi didalam keluarganya tidak ada kata bantahan. Apa yang menjadi keputusan ayah nya itulah keputusan akhir.
Dikampus, Ainun membuka buku-buku panduan mata kuliahnya hari ini. Membaca lembar demi lembar untuk mendapatkan informasi untuk segera ditransfer ke dalam otaknya.
Terlihat dari kejauhan Ross dan Mytha berlarian kearah tempat ainun duduk.
"Haii, Nun.. kok tadi gak jadi bareng aku siiih.." Ainun yang sedari tadi sedang sibuk mentransfer topik pelajaran, jadi terganggu dengan kedatangan duo makhluk luar biasa berisik ini.
"Hmm, biasalah..."
"Ya Ampuuun Nuun, mau sampai kapan kamu begini terus? kamu kapan mandirinya?" lagi lagi Ross nyerocos tanpa henti.
"Mungkin sampai wisuda, atau sampai aku nikah, mungkin." Ainun menjawab sekenanya, meskipun Ia pun sudah mulai risih.
Kedua temannya hanya mencebik dan memasang wajah kesal.
"Oiya, Nun. Kau tahu, Kak Reza dan Kak Vino ternyata mahasiswa sini juga lho, dan sudah semester akhir," celetuk Ross dengan antusias.
Ainun hanya mengangguk dan membulatkan bibirnya seraya berkata, "oh," tanpa memperdulikan ocehan temannya.
"Tu tu tuh... lihat, Kak Vino jalan ke arah sini lho..." Ross sangat bersemangat memandangi obyek yang sedang berjalan kearah mereka.
"Pagi girls, kalian liat Sita nggak, teman kelas kalian?"
"Sita, yang pakek kacamata itu kan?" dengan mata yang masih setia memandang wajah tampan Vino.
"Iya, yang mana lagi!"
"Oh,, kami belum ada yang liat pagi ini."
"Oke makasih yaa..."
"Haii Ainun, serius sekali. Sepertinya kau sibuk sekali yaa.." Pandangan Vino beralih ke sosok yang sejak tadi menundukkan wajah, membaca buku.
"Eh i-iya Kak.. maaf," Ainun yang tidak menyimak percakapan teman-temannya dengan Vino pun gelagapan.
"Ya sudah, kalian semangat belajarnya yaa..." Vino sambil mengangkat tangan memberi semangat dan berjalan kearah lain.
"Iya kak," mereka serempak menjawab.
Jam pun menunjukkan kelas akan segera dimulai. Ketiganya bergegas memasuki kelas yang ada di lantai dua. Dengan sedikit berlari, Ainun berjalan mengikuti kedua teman nya itu. Tetapi, untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. tiba-tiba saja ia bertabrakan dengan seseorang yang berjalan berlawanan arah dengannya, menyebabkan buku yang dibawa Ainun berjatuhan. Tak ayal Ainun pun dibuat limbung.
"Aduuuuh...."
To be continue...
jangan lupa untuk tetap stay tune yaa dengan cerita recehan Olive.
salam hangat
OLIVE
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
@ Ela Sukma Thea*
apa yg di jodohkan dgn gita itu reza??
2020-12-15
0
yoemi noor
❤️❤️❤️
2020-12-14
0
R⃟•♀𝕽𝖆𝒚𝒚𝖆𝖓𝒛𝒛⚤
lanjut
2020-11-28
2