Experiment "Back To Zero"

Experiment "Back To Zero"

Chapter 1 "Deja Vu"

Bus berwarna biru itu mulai merapat ke pinggir jalan, tampak seorang laki laki berbicara sebentar dengan sopir dan mulai menyuruh siswa-siswi untuk masuk ke dalam bus dengan tertib. Kami mengantri masuk, terlihat teman-teman yang lain bersorak riang ingin segera berangkat. Tapi tidak bagiku, saat ini adalah hari yang menyebalkan untukku. Ketika aku sudah merencanakan liburan seru menghabiskan waktu dengan bermain game PC bersama teman gamerku aku malah harus berlibur dengan teman-teman sekelasku yang ingin berlibur setelah ujian. Dibilang teman sekelas juga tidak sih, yang ikut hanya sepuluh siswa ditambah dua orang guru sebagai pembimbing. Katanya ke Puncak Mooi yang terkenalah, menginaplah, apalah. Tapi apapun itu, seseru apapun itu, karena ini sudah mengacaukan kegiatan gameku ini sangat menyebalkan.

Setelah berdiri lama menunggu bus ditambah mengantri untuk masuk akhirnya aku bisa duduk juga dengan cukup nyaman di kursi penumpang ini. Sebenarnya aku bisa saja menolak acara liburan ini tapi seseorang bernama Rizky memaksaku dengan mengancam akan memberitahukan hasil ujianku yang gagal kepada ibu, bisa-bisa semua game kesayanganku dibakarnya. Daripada berurusan dengan ibuku yang menyeramkan, alhasil dengan setengah hati aku pun ikut perkemahan ini. Kalau saja dia bukan sahabatku sudah aku tendang dia berani mengancamku seperti itu.

“Yo, bro mau makan camilan tidak?” Seseorang mengacaukan lamunanku.

“Mau apa kau Rizky tidak puas mengganggu liburan berhargaku hah?!” Sahutku bersungut marah.

“Apa sih aku hanya menawarimu makanan.” Balasnya terkikik.

“Lebih baik kau tawarkan pada Sasha, pacarmu. Pergi sana!” Usirku pada Rizky.

“Ayolah Dirga masa kau akan terus marah padaku lihatlah teman-teman lain, mereka asyik bernyanyi dan bermain gitar masa kau hanya akan berdiam diri dan marah.” Bujuknya meredam emosiku.

Aku pun menengok kebelakang, ada teman-temanku disana. Roy yang sedang menggoda Chika dan Amel, Bagas yang bermain gitar juga Sasha, Aisyah, Kevin, ditambah Rian yang sedang bernyanyi.

“Lihatlah mereka bersenang-senang, ayo ikut bersama mereka.” Bujuknya lagi padaku.

Iya juga sih daripada hanya berdua disini bersama Rizky yang menyebalkan, lebih baik bergabung bersama mereka walaupun rasanya sungguh malas. Kemudian dengan setengah hati aku mengiyakan ajakan Rizky.

Aku pun menghampiri teman-temanku di kursi belakang bersama Rizky dan kami bergabung bersama teman yang lain. Aku duduk didekat Aisyah, dia tersenyum lembut padaku. Aku pun membalas senyumnya. Ah, dia sungguh manis. Tiba tiba saja Kevin menarik tanganku dan duduk dekat Aisyah.

“Ada apa denganmu?!” Protesku pada Kevin. Teman-teman yang lain asyik dengan aktivitasnya masing-masing, sudah biasa dengan sikap Kevin yang overprotective pada Aisyah.

“Aku tidak akan membiarkan penjahat mendekati Aisyah.” Jawabnya datar.

“Siapa yang penjahat Mr. overprotective.” Balasku sinis.

“Apa kau bilang..”

Kalimat Kevin terputus dengan tepukan Aisyah pada bahunya. Terlihat Aisyah menggerakan tangannya dan menggeleng pada Kevin. Seolah mengerti dengan bahasa isyarat itu, Kevin kemudian menurut dan diam.

“Awas kau ya jangan dekati Aisyah.” Ancamnya padaku.

Kulayangkan tatapan tajam padanya dan pindah ke tempat dudukku semula. Kevin membuat suasana hatiku semakin buruk saja. Apalagi dengan sikap berlebihannya itu, ah bagaimana Aisyah yang lembut dan penyayang bisa tahan dengan manusia macam dia. Aisyah itu memang punya kekurangan, dia tidak bisa berbicara. Ya dia bisu, tapi tak seharusnya Kevin menjaga Aisyah dengan berlebihan seperti itu. Di sekolah, di jalan raya, bahkan di bus Kevin sungguh menyebalkan.

Kapan juga Aisyah sadar Kevin itu menyukainya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Kevin menyukai Aisyah, sayang Aisyah tidak peka bahkan dengan sikap Kevin yang sangat berlebihan itu.

“…ga, Dirga!”

Terdengar samar-samar suara yang memanggil namaku.

“Dirga…! Tolong….!”

“Bangunlah Dirga…! Bangun…! Buka matamu!”

Suara itu terdengar seperti suara Chika. Dengan berat perlahan kubuka mataku, hal pertama yang kulihat adalah sekeliling ruangan yang dipenuhi oleh cat putih. Kenapa aku ada di sini? Apa aku pingsan? Setelah itu aku seperti terkena serangan jantung ketika melihat keadaan di sekelilingku. Apa yang terjadi? Kenapa bisa jadi seperti ini? Ada di mana ini? Berbagai pertanyaan muncul secara bersamaan membuatku panik dan tak dapat berpikir logis.

Ada banyak perkakas dan senjata tajam di sini, ruangan apa ini? Apakah ini ruangan penyiksaan seperti yang ada di film-film psikopat? Apa-apaan semua ini? Oh, apakah ini hanya sebuah prank dari kawan-kawanku saja? Kalau memang benar prank, aku berjanji akan menghajar mereka.

“Dirga tolong aku.”

Kulihat seseorang memanggil namaku di pojok ruangan. Aku memicingkan mata, apa itu Chika? Ah, benar. Itu Chika! Ada apa dengannya? Kenapa lengannya berdarah? Mengapa tubuhnya diikat? Perasaanku makin tidak enak saja.

Aku berusaha bangun dan ingin menghampirinya. Tunggu, mengapa tubuhku tak bisa digerakkan? Mengapa tubuhku seperti mati rasa? Aku berusaha sekuat tenaga untuk bangun tetap saja tubuhku tak bergerak sedikit pun.

“Apa yang terjadi  di sini? Chika! Chika! Apa yang terjadi?” Aku mencoba meneriakkan hal itu tapi sia-sia mulutku seperti terkunci rapat.

Ceklek.

Tiba-tiba seseorang datang dengan membawa sebuah pisau. Aku tidak bisa menebak dia siapa, karena dia menggunakan topeng. Tapi satu hal yang kutahu, dia berniat jahat. Chika mulai ketakutan dan mengangis. Dia mulai bersiul dan mendekati Chika.

“Chika! Lari! Ayo banguun!” Sekuat tenaga aku berusaha berteriak, tapi tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutku. Orang itu menoleh padaku sebentar dan terus berjalan mendekati Chika.

“Oh, Tuhan, jika ini adalah mimpi, tolong segera akhiri mimpi buruk ini.” Teriakku dalam hati.

Orang itu berhenti di hadapan Chika yang sedang mengangis, dia tertawa kecil sambil mengusap pipi Chika dengan pelan. Kemudian dia mengangkat pisaunya setinggi mungkin dan menancapkannya di leher Chika.

“Kyaaaahh…!” Terdengar teriakan yang sangat keras dari Chika.

Orang itu tertawa kecil lalu mengulangi hal yang sama berulang kali kepada Chika. Terlihat genangan darah yang membanjiri tubuhnya, dia sudah tidak bergerak sedikitpun. Sementara orang itu terus tertawa puas atas apa yang telah dilakukannya. Kemudian menendang dan meginjak Chika seolah Chika adalah mahluk yang hina.

Perlahan orang bertopeng itu pun melirik ke arahku. Aku bisa merasakan betapa mengerikannya orang ini. Keringat mulai bercucuran dari pelipisku, jantungku berdetak dengan cepat. Aku hanya bisa pasrah layaknya tikus yang dimangsa ular.

Orang itu pun mendekat, lalu berbisik ke telingaku “Kaulah selanjutnya Dirgatha Wijaya”. Pandanganku pun perlahan buram, dan akupun kehilangan kesadaranku. Namun aku masih bisa mendengar seseorang berbisik padaku.

“Takdir besar akan datang kepadamu.”

Kubuka mataku dengan cepat, keringat dingin mengalir deras dari pelipisku. Aku terhenyak, barusan itu apa? Mimpi? Tapi rasanya aku pernah mengalami hal itu, seperti deja vu. Ah lupakan soal itu, Chika apa dia baik-baik saja. Cepat-cepat kucari Chika, dia terlihat sedang berbicara dengan Amel. Aku menghela nafas lega, syukurlah dia baik-baik saja. Kulihat teman-teman berlalu lalang ribut berdesakan keluar dari bus.

“Dirga akhirnya kau bangun. Apa kau tidak apa-apa?” Tanya Bagas khawatir mengahampiriku sambil menenteng gitarnya.

“Bagas sejak kapan aku tertidur?”

“Kau lupa? Kau tertidur sejak berselisih dengan Kevin tadi, kukira kau ingin menenangkan diri jadi kau memilih tidur.” Jelas Bagas padaku.

Aku berselisih dengan Kevin? Ah benar juga. Aku membatin.

“Dirga keringatmu banyak sekali, ada apa?”

“Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Ngomong-ngomong kenapa teman-teman berdesakan turun dari bus, apa kita sudah sampai?”

“Oh iya, aku lupa. Ayo Dirga segera kemasi barangmu kita pun harus turun tiba-tiba ban busnya kempes.” Ajak Bagas.

“Kempes?”

“Iya, Pak guru bilang sebaiknya kita jalan kaki saja karena lokasinya pun sudah dekat.”

Tanpa banyak bicara aku pun mengemasi barangku dan ikut turun bersama yang lain. Kami berjalan membentuk barisan yang panjang. Teman-teman masih gaduh membicarakan bus yang kempes dan mengeluh karena harus jalan kaki. Aku berjalan dalam diam, aku masih memikirkan arti mimpiku tadi. Apa karena sebelumnya aku berselisih dengan Kevin makanya aku memimpikan hal buruk itu. Atau apakah ada hal lain. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.

Sekitar tiga puluh menit kami berjalan di pinggir jalan raya, kami kemudian memasuki hutan dengan jalan setapak kecil sebagai akses kedalamnya. Aku yakin pada malam hari hutan ini akan tampak menyeramkan apalagi dengan kesan suram yang tampak dari pohon-pohon besar nan rimbun ini. Padahal mereka tahu akan ada jurit malam, tapi sepertinya mereka tak perduli dengan keadaan hutan yang seram ini.

Keluar dari hutan  kami berjalan beberapa meter dan menyebrangi sebuah sungai deras. Untuk menyebrangi sungai ini kami melewati sebuah jembatan tua. Jembatan ini cukup tinggi dan rapuh, membuat Rian yang takut ketinggian berjalan takut dan bergetar. Padahal Rian anak yang sangar tapi sekarang berteriak ketakutan bersama anak perempuan. Haha, pemandangan yang sungguh menggelikan dan menghibur. Seasaat aku lupa akan rasa khawatir dan takut akan mimpiku tadi.

Sesampainya di lokasi kami langsung mendirikan beberapa tenda di sini. Tenda laki-laki dan perempuan tentu saja dipisah. Ada tiga tenda untuk laki-laki dan dua tenda untuk perempuan yang masing-masing jaraknya cukup berdekatan. Dengan udara yang sejuk dan lingkungan yang begitu asri, tempat ini cocok sekali untuk melepas lelah.

Aku berjalan menjauhi teman-teman dan berkeliling di sekitar tenda. Sebenarnya tidak buruk juga berlibur sesekali seperti ini, walaupun sebagian besar teman-teman tidak ikut. Saat itu jika saja Sasha mengusulkan jauh-jauh hari pasti banyak teman yang akan ikut. Kami berlibur dihari ke empat liburan, tentu saja teman-teman yang lain sudah pergi berlibur jalan-jalan dengan keluarga atau menginap. Jadi sebagian besar teman-teman tidak tertarik. Tinggalah kami yang aslinya memang hanya berlibur dirumah. Untung saja wali kelas kami, Pak Koko mau diajak berkemah. Kemudian Pak Koko mengajak rekannya, Bu Nina. Jadi kami punya dua orang pembimbing. Kami akan berkemah selama tiga hari jadi sepulang dari perkemahan besoknya kami pun langsung masuk sekolah lagi.

Malam pun tiba, kami menyalakan api unggun dan makan malam ditemani nyanyian Bagas yang sumbang. Walaupun suara Bagas sumbang, tapi tingkat kepercayaan diri Bagas sangat tinggi. Ya, itu bisa dimaklumi karena latar belakang keluarganya yang berasal dari keluarga berada. Ayahnya, Pak Riki, adalah seorang polisi yang sangat berpengaruh di kota ini. Tapi, diluar hal itu, dia benar-benar membuat kami tertawa terpingkal-pingkal dengan berbagai macam guyonan yang dia lontarkan lewat nyanyiannya. Kami seolah menonton acara komedi sekarang. Tiba-tiba Pak Koko dan Bu Nina menyuruh kami duduk berputar mengitari api unggun, mereka menjelaskan bahwa malam ini kami akan mengikuti kegiatan jurit malam yang memang diadakan di puncak Mooi ini. Kami pun pergi ke garis start yang terletak tak jauh dari tenda.

Teman-teman terlihat menantikan hal ini. Mereka tampak antusias, bersemangat, dan ada juga yang tampak ketakutan membuatku terkekeh pelan. Oleh Bu Nina kami dibagi kedalam beberapa kelompok dan diberi satu peta perkelompoknya.  Setiap orang diberi sebuah pisau lipat untuk perlindungan diri dan masing-masing kelompok diberi satu senter sebagai penerangan untuk jalan. Walaupun begitu, tetap saja berjalan di tengah hutan pada malam hari pasti akan terasa sangat menakutkan. Bahkan Rian sudah bergidik ketakutan berpelukan bersama Amel. Kelompok pertama yang terdiri dari Sasha, Chika, Amel berangkat terlebih dahulu. Kemudian disusul kelompokku sepuluh menit kemudian. Aku sekelompok bersama Bagas, dan Rizky. Bisa ditebak kelompok terakhir yang akan menyusul sepuluh menit lagi adalah sisanya yaitu Rian, Kevin, Aisyah, dan Roy.

Kami berjalan dalam hening, pohon-pohon menjulang tinggi, daun-daun rimbun menghalangi jalan. Suara jangkrik menambah suramnya kesan hutan ini. Diantara kami tak ada yang bersuara, Bagas yang biasanya selalu berisik kini ikut diam juga. Mungkin dia mulai merasa takut akan hutan yang seram ini.

Srek srek.

Terdengar sesuatu sepertinya itu suara dibalik semak-semak. Suasana yang memang hening ini semakin hening saja. Kami pun berusaha mengintip sesuatu dibalik semak-semak itu, kami berjalan dengan sangat hati-hati mendekati semak belukar itu berusaha agar tidak menimbulkan suara. Malam terasa semakin sunyi apalagi suara jangkrik terdengar begitu jelas. Rizky yang berjalan paling depan, dia sudah menyentuh semak-semak dan akan membukanya. Kemudian..

Kyaaa!!!

Gyaaaaa!!!!

Terdengar teriakan yang sangat keras membuat kami semua sangat terkejut dan ikut berteriak kaget. Deru napas kami terdengar tidak beraturan dengan degup jantung yang berdetak dua kali lebih cepat. Aku mulai merasa takut sekarang. Setelah teriakan itu berhenti, suasana terasa semakin sunyi bahkan terasa mencekam saat aku teringat kata-kata Bu Nina sebelum kami semua berangkat tadi.

“Konon menurut rumor, di hutan ini pernah ada kasus pembunuhan berantai loh. Pembunuhnya masih belum ditemukan sampai sekarang, dan mungkin masih tinggal di hutan ini.”

Kalimatnya diakhiri tawa keras yang seperti tawa iblis. Ah aku tau itu hanya guyonan Bu Nina, tapi berkat itu aku merasa ketakutan sekarang. Sepertinya bukan hanya aku saja yang merasa ketakutan Bagas dan Rizky pun sepertinya merasakan hal yang sama. Tapi satu hal yang pasti, aku yakin teman-teman dikelompok lain pasti merasa ketakutan juga. Aku mulai merasakan sesuatu yang buruk telah terjadi. Kami semua bertatapan bingung dan segera lari mendekati arah suara itu.

Malam semakin larut, hanya derap langkah kami yang terdengar semakin cepat. Kami tiba ditepi jurang dengan pagar pendek yang menjadi pembatas. Di sini tidak ada apapun tapi aku yakin asal suara itu berasal dari sini.

“Teman-teman, lihat. Bukankah itu tas milik Chika?” Ucap Rizky sambil menunjuk tas yang menggantung di pagar jurang.

Kami melihat ke arah yang ditunjuk Rizky dan benar di sana memang ada tas milik Chika. Bagas mengambil tas itu dan melihat-lihat sekitar. Betapa terkejutnya ia saat melihat ke arah jurang. Di sana tampak tergeletak tubuh tiga orang perempuan.

“Apa itu Sasha, Chika dan Amel?” Tanya Bagas terkejut.

Aku dan Rizky mendekat ke dekat pagar, kami ikut terkejut dan hampir tak percaya dengan apa yang kami lihat. Aku ingat baju yang mereka pakai apalagi dengan tas Chika yang tergantung ini. Tak salah lagi itu memang mereka.

“Sasha! Chika! Amel!” Bagas berteriak ke bawah berharap mereka menjawab teriakan itu.

Berulang kali Bagas berteriak memanggil mereka, tapi sama sekali tak ada respon.

“Apa mereka sudah mati?” Tubuh Rizky mulai bergetar saking syoknya.

“Jangan berkata hal yang tidak-tidak bodoh.” Bagas mulai panik dan membentak Rizky.

Sementara itu Rizky hanya diam mematung melihat ke bawah. Tampak air mata keluar membasahi pipinya. Melihat hal itu Bagas semakin panik dan menggoyang-goyangkan bahuku bertanya apa yang harus dilakukan.

Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku sendiri sangat bingung. Apa yang terjadi sebenarnya? Beberapa puluh menit yang lalu mereka baik-baik saja tapi sekarang mereka tergeletak tak bernyawa di bawah sana.

“Rizky tolong katakan sesuatu jangan mematung seperti ini.” Bagas menepuk bahu Rizky.

“S-Sasha..” Rizky berbicara dengan tatapan kosong melihat ke bawah.

Aku menarik napas dalam dan berusaha mengusai situasi.

“Teman-teman tolong jangan panik, kita harus tenang untuk berpikir jernih.”

“Tenang katamu. Bagaimana kita bisa tenang jika di bawah sana tergeletak mayat teman-teman kita.” Ucap Bagas mulai emosi.

“Apa yang terjadi disini?”

Tiba-tiba terdengar sebuah suara. Aku dan Bagas menoleh dan tampak Kevin beserta teman-teman yang lain datang ke sini.

“Kevin syukurlah kau segera datang.”

“Bagas apa yang terjadi?” Kevin mengulang pertanyaannya.

Bagas mulai menceritakan apa yang terjadi kepada Kevin dengan panik. Sambil mendengarkan penjelasan Bagas, Kevin mendekati tepi jurang diikuti Roy, Rian, dan Aisyah. Saat mereka melihat kebawah, seperti dugaanku mata mereka membulat kaget. Aisyah menutup mulutnya yang terbuka, dia tampak gemetaran yang dengan segera dipeluknya Aisyah oleh Kevin. Rian mematung seperti Rizky yang masih saja terdiam tapi yang lebih parah adalah Roy, dia bahkan sampai muntah.

“Teman-teman, jika memang kronologinya seperti apa yang diceritakan Bagas barusan, bisa jadi ada yang sengaja mencelakai kita. Kita harus kembali ke perkemahan dan segera melaporkan semuanya ke Pak Koko dan Bu Nina.” Kevin mulai mengendalikan situasi.

“Rizky jangan menangis seperti anak perempuan. Ayo bergegas.” Perintah Kevin yang tegas menyadarkan Rizky.

Diledek seperti itu membuat Rizky mulai menguasai dirinya. Kami mulai bergegas dan berangkat ke perkemahan, menyisakan tempat yang hening di tepi jurang.

Kami berjalan cukup cepat bahkan setengah berlari. Keadaan Aisyah yang sempat ketakutan tadi kini mulai membaik begitupun denga Rizky yang sangat syok. Tapi lain halnya dengan Roy yang sepertinya terlihat lemas. Walaupun dia masih kuat berjalan dengan cepat seperti ini, kentara sekali wajahnya begitu pucat.

Malam semakin larut dan kami sudah dekat ke perkemahan. Wajah-wajah kami yang tegang mulai sedikit cerah. Kami langsung mencari Pak Koko dan Bu Nina begitu sampai disini. Tapi terdengar sebuah suara. Kevin menyuruh kami agar tidak berpencar dan kami perlahan mendekati suara itu.

Crat.

Darah mengalir deras membanjiri tanah, tubuh itu sudah tak terbentuk bermandikan darah. Sebuah pisau terus menerus ditusukkannya ke tubuh yang tergolek tak bernyawa. Apa yang terjadi? Pak Koko adalah seorang pembunuh?

Kami melihat hal mengerikan di depan mata kami, pembimbing kami, Pak Koko membunuh dengan sangat keji. Tangannya yang berlumuran darah terus menerus menusukan pisau ke tubuh Bu Nina tanpa henti. Di wajahnya terdapat tetesan darah yang terciprat dari tubuh Bu Nina. Kami semua yang melihat kejadian itu begitu ketakutan. Sesaat, kami terpaku bagai patung, terlihat Aisyah mulai menangis tanpa suara dan Roy yang menutup mulutnya akan muntah.

“Teman-teman jangan panik, hitungan ke-tiga kita akan lari secepatnya.” Kevin berbisik.

Kevin mulai menghitung mundur dengan suara pelan, dan kami mundur perlahan selangkah demi selangkah menjauhi perkemahan.

Krek.

Saat hitungan ke tiga, tak sengaja Rian menginjak ranting dan menimbulkan suara. Pak Koko langsung melihat ke arah kami dengan tatapan bengis. dia kemudian melemparkan kayu api unggun yang berada tak jauh disebelahnya kepada kami dengan brutal.

Serentak kami semua menghindar dan berlari sekuat tenaga menyebrangi jembatan dengan panik. Beberapa meter di belakang sana Pak Koko mengejar kami dengan pisau yang ada di tangannya. Rian yang takut ketinggian dan ketakutan saat menyebrangi jembatan ini tadi siang kini berlari paling depan. Sepertinya rasa takut akan ketinggian yang dia miliki terkalahkan dengan rasa takut akan kematian seperti Bu Nina yang malang. Setelah menyebrangi jembatan, kami mulai memasuki hutan yang gelap. Liburan yang awalnya menyenangkan ini, bagaimana bisa berubah menjadi tragedi yang sangat mengerikan?

“Teman-teman kita harus keluar dari sini dan menuju jalan raya.” Kevin berteriak.

“Jangan harap kalian bisa lepas dariku.” Suara Pak Koko terdengar menggema di hutan yang menyeramkan ini.

Kami berlari semakin cepat ke arah jalan raya tempat bus tumpangan kami mogok tadi. Aisyah yang berada paling belakang terjatuh dengan segera Kevin berlari untuk menolong Aisyah. Namun terlambat, Pak Koko sudah lebih dulu menarik Aisyah dan menusuk perutnya dengan pisau. Melihat hal itu mataku terbelalak kaget. Kevin memukul Pak Koko dan menahan pergerakannya. Aku, Roy, dan Rian pun bergegas menolong mereka.

“Aisyah lari. Teman-teman tolong bawa Aisyah pergi selagi aku masih bisa menahan Pak Koko.” Teriak Kevin sambil menahan pergerakan Pak Koko.

Aisyah bangun dengan susah payah dan berjalan pincang. Sepertinya kakinya terkilir. Aku membantu Aisyah berlari dengan membopongnya.  Keadaannya sangat menghawatirkan, pisau tertancap di perutnya dan darah yang keluar begitu banyak, semoga Aisyah tidak pingsan sebelum kami sampai ke jalan raya.

Buuk!

Sesuatu yang tumpul mengenai kepalaku dengan keras. Darahku mengalir dan perlahan kesadaranku pun hilang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!