NovelToon NovelToon

Experiment "Back To Zero"

Chapter 1 "Deja Vu"

Bus berwarna biru itu mulai merapat ke pinggir jalan, tampak seorang laki laki berbicara sebentar dengan sopir dan mulai menyuruh siswa-siswi untuk masuk ke dalam bus dengan tertib. Kami mengantri masuk, terlihat teman-teman yang lain bersorak riang ingin segera berangkat. Tapi tidak bagiku, saat ini adalah hari yang menyebalkan untukku. Ketika aku sudah merencanakan liburan seru menghabiskan waktu dengan bermain game PC bersama teman gamerku aku malah harus berlibur dengan teman-teman sekelasku yang ingin berlibur setelah ujian. Dibilang teman sekelas juga tidak sih, yang ikut hanya sepuluh siswa ditambah dua orang guru sebagai pembimbing. Katanya ke Puncak Mooi yang terkenalah, menginaplah, apalah. Tapi apapun itu, seseru apapun itu, karena ini sudah mengacaukan kegiatan gameku ini sangat menyebalkan.

Setelah berdiri lama menunggu bus ditambah mengantri untuk masuk akhirnya aku bisa duduk juga dengan cukup nyaman di kursi penumpang ini. Sebenarnya aku bisa saja menolak acara liburan ini tapi seseorang bernama Rizky memaksaku dengan mengancam akan memberitahukan hasil ujianku yang gagal kepada ibu, bisa-bisa semua game kesayanganku dibakarnya. Daripada berurusan dengan ibuku yang menyeramkan, alhasil dengan setengah hati aku pun ikut perkemahan ini. Kalau saja dia bukan sahabatku sudah aku tendang dia berani mengancamku seperti itu.

“Yo, bro mau makan camilan tidak?” Seseorang mengacaukan lamunanku.

“Mau apa kau Rizky tidak puas mengganggu liburan berhargaku hah?!” Sahutku bersungut marah.

“Apa sih aku hanya menawarimu makanan.” Balasnya terkikik.

“Lebih baik kau tawarkan pada Sasha, pacarmu. Pergi sana!” Usirku pada Rizky.

“Ayolah Dirga masa kau akan terus marah padaku lihatlah teman-teman lain, mereka asyik bernyanyi dan bermain gitar masa kau hanya akan berdiam diri dan marah.” Bujuknya meredam emosiku.

Aku pun menengok kebelakang, ada teman-temanku disana. Roy yang sedang menggoda Chika dan Amel, Bagas yang bermain gitar juga Sasha, Aisyah, Kevin, ditambah Rian yang sedang bernyanyi.

“Lihatlah mereka bersenang-senang, ayo ikut bersama mereka.” Bujuknya lagi padaku.

Iya juga sih daripada hanya berdua disini bersama Rizky yang menyebalkan, lebih baik bergabung bersama mereka walaupun rasanya sungguh malas. Kemudian dengan setengah hati aku mengiyakan ajakan Rizky.

Aku pun menghampiri teman-temanku di kursi belakang bersama Rizky dan kami bergabung bersama teman yang lain. Aku duduk didekat Aisyah, dia tersenyum lembut padaku. Aku pun membalas senyumnya. Ah, dia sungguh manis. Tiba tiba saja Kevin menarik tanganku dan duduk dekat Aisyah.

“Ada apa denganmu?!” Protesku pada Kevin. Teman-teman yang lain asyik dengan aktivitasnya masing-masing, sudah biasa dengan sikap Kevin yang overprotective pada Aisyah.

“Aku tidak akan membiarkan penjahat mendekati Aisyah.” Jawabnya datar.

“Siapa yang penjahat Mr. overprotective.” Balasku sinis.

“Apa kau bilang..”

Kalimat Kevin terputus dengan tepukan Aisyah pada bahunya. Terlihat Aisyah menggerakan tangannya dan menggeleng pada Kevin. Seolah mengerti dengan bahasa isyarat itu, Kevin kemudian menurut dan diam.

“Awas kau ya jangan dekati Aisyah.” Ancamnya padaku.

Kulayangkan tatapan tajam padanya dan pindah ke tempat dudukku semula. Kevin membuat suasana hatiku semakin buruk saja. Apalagi dengan sikap berlebihannya itu, ah bagaimana Aisyah yang lembut dan penyayang bisa tahan dengan manusia macam dia. Aisyah itu memang punya kekurangan, dia tidak bisa berbicara. Ya dia bisu, tapi tak seharusnya Kevin menjaga Aisyah dengan berlebihan seperti itu. Di sekolah, di jalan raya, bahkan di bus Kevin sungguh menyebalkan.

Kapan juga Aisyah sadar Kevin itu menyukainya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Kevin menyukai Aisyah, sayang Aisyah tidak peka bahkan dengan sikap Kevin yang sangat berlebihan itu.

“…ga, Dirga!”

Terdengar samar-samar suara yang memanggil namaku.

“Dirga…! Tolong….!”

“Bangunlah Dirga…! Bangun…! Buka matamu!”

Suara itu terdengar seperti suara Chika. Dengan berat perlahan kubuka mataku, hal pertama yang kulihat adalah sekeliling ruangan yang dipenuhi oleh cat putih. Kenapa aku ada di sini? Apa aku pingsan? Setelah itu aku seperti terkena serangan jantung ketika melihat keadaan di sekelilingku. Apa yang terjadi? Kenapa bisa jadi seperti ini? Ada di mana ini? Berbagai pertanyaan muncul secara bersamaan membuatku panik dan tak dapat berpikir logis.

Ada banyak perkakas dan senjata tajam di sini, ruangan apa ini? Apakah ini ruangan penyiksaan seperti yang ada di film-film psikopat? Apa-apaan semua ini? Oh, apakah ini hanya sebuah prank dari kawan-kawanku saja? Kalau memang benar prank, aku berjanji akan menghajar mereka.

“Dirga tolong aku.”

Kulihat seseorang memanggil namaku di pojok ruangan. Aku memicingkan mata, apa itu Chika? Ah, benar. Itu Chika! Ada apa dengannya? Kenapa lengannya berdarah? Mengapa tubuhnya diikat? Perasaanku makin tidak enak saja.

Aku berusaha bangun dan ingin menghampirinya. Tunggu, mengapa tubuhku tak bisa digerakkan? Mengapa tubuhku seperti mati rasa? Aku berusaha sekuat tenaga untuk bangun tetap saja tubuhku tak bergerak sedikit pun.

“Apa yang terjadi  di sini? Chika! Chika! Apa yang terjadi?” Aku mencoba meneriakkan hal itu tapi sia-sia mulutku seperti terkunci rapat.

Ceklek.

Tiba-tiba seseorang datang dengan membawa sebuah pisau. Aku tidak bisa menebak dia siapa, karena dia menggunakan topeng. Tapi satu hal yang kutahu, dia berniat jahat. Chika mulai ketakutan dan mengangis. Dia mulai bersiul dan mendekati Chika.

“Chika! Lari! Ayo banguun!” Sekuat tenaga aku berusaha berteriak, tapi tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutku. Orang itu menoleh padaku sebentar dan terus berjalan mendekati Chika.

“Oh, Tuhan, jika ini adalah mimpi, tolong segera akhiri mimpi buruk ini.” Teriakku dalam hati.

Orang itu berhenti di hadapan Chika yang sedang mengangis, dia tertawa kecil sambil mengusap pipi Chika dengan pelan. Kemudian dia mengangkat pisaunya setinggi mungkin dan menancapkannya di leher Chika.

“Kyaaaahh…!” Terdengar teriakan yang sangat keras dari Chika.

Orang itu tertawa kecil lalu mengulangi hal yang sama berulang kali kepada Chika. Terlihat genangan darah yang membanjiri tubuhnya, dia sudah tidak bergerak sedikitpun. Sementara orang itu terus tertawa puas atas apa yang telah dilakukannya. Kemudian menendang dan meginjak Chika seolah Chika adalah mahluk yang hina.

Perlahan orang bertopeng itu pun melirik ke arahku. Aku bisa merasakan betapa mengerikannya orang ini. Keringat mulai bercucuran dari pelipisku, jantungku berdetak dengan cepat. Aku hanya bisa pasrah layaknya tikus yang dimangsa ular.

Orang itu pun mendekat, lalu berbisik ke telingaku “Kaulah selanjutnya Dirgatha Wijaya”. Pandanganku pun perlahan buram, dan akupun kehilangan kesadaranku. Namun aku masih bisa mendengar seseorang berbisik padaku.

“Takdir besar akan datang kepadamu.”

Kubuka mataku dengan cepat, keringat dingin mengalir deras dari pelipisku. Aku terhenyak, barusan itu apa? Mimpi? Tapi rasanya aku pernah mengalami hal itu, seperti deja vu. Ah lupakan soal itu, Chika apa dia baik-baik saja. Cepat-cepat kucari Chika, dia terlihat sedang berbicara dengan Amel. Aku menghela nafas lega, syukurlah dia baik-baik saja. Kulihat teman-teman berlalu lalang ribut berdesakan keluar dari bus.

“Dirga akhirnya kau bangun. Apa kau tidak apa-apa?” Tanya Bagas khawatir mengahampiriku sambil menenteng gitarnya.

“Bagas sejak kapan aku tertidur?”

“Kau lupa? Kau tertidur sejak berselisih dengan Kevin tadi, kukira kau ingin menenangkan diri jadi kau memilih tidur.” Jelas Bagas padaku.

Aku berselisih dengan Kevin? Ah benar juga. Aku membatin.

“Dirga keringatmu banyak sekali, ada apa?”

“Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Ngomong-ngomong kenapa teman-teman berdesakan turun dari bus, apa kita sudah sampai?”

“Oh iya, aku lupa. Ayo Dirga segera kemasi barangmu kita pun harus turun tiba-tiba ban busnya kempes.” Ajak Bagas.

“Kempes?”

“Iya, Pak guru bilang sebaiknya kita jalan kaki saja karena lokasinya pun sudah dekat.”

Tanpa banyak bicara aku pun mengemasi barangku dan ikut turun bersama yang lain. Kami berjalan membentuk barisan yang panjang. Teman-teman masih gaduh membicarakan bus yang kempes dan mengeluh karena harus jalan kaki. Aku berjalan dalam diam, aku masih memikirkan arti mimpiku tadi. Apa karena sebelumnya aku berselisih dengan Kevin makanya aku memimpikan hal buruk itu. Atau apakah ada hal lain. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.

Sekitar tiga puluh menit kami berjalan di pinggir jalan raya, kami kemudian memasuki hutan dengan jalan setapak kecil sebagai akses kedalamnya. Aku yakin pada malam hari hutan ini akan tampak menyeramkan apalagi dengan kesan suram yang tampak dari pohon-pohon besar nan rimbun ini. Padahal mereka tahu akan ada jurit malam, tapi sepertinya mereka tak perduli dengan keadaan hutan yang seram ini.

Keluar dari hutan  kami berjalan beberapa meter dan menyebrangi sebuah sungai deras. Untuk menyebrangi sungai ini kami melewati sebuah jembatan tua. Jembatan ini cukup tinggi dan rapuh, membuat Rian yang takut ketinggian berjalan takut dan bergetar. Padahal Rian anak yang sangar tapi sekarang berteriak ketakutan bersama anak perempuan. Haha, pemandangan yang sungguh menggelikan dan menghibur. Seasaat aku lupa akan rasa khawatir dan takut akan mimpiku tadi.

Sesampainya di lokasi kami langsung mendirikan beberapa tenda di sini. Tenda laki-laki dan perempuan tentu saja dipisah. Ada tiga tenda untuk laki-laki dan dua tenda untuk perempuan yang masing-masing jaraknya cukup berdekatan. Dengan udara yang sejuk dan lingkungan yang begitu asri, tempat ini cocok sekali untuk melepas lelah.

Aku berjalan menjauhi teman-teman dan berkeliling di sekitar tenda. Sebenarnya tidak buruk juga berlibur sesekali seperti ini, walaupun sebagian besar teman-teman tidak ikut. Saat itu jika saja Sasha mengusulkan jauh-jauh hari pasti banyak teman yang akan ikut. Kami berlibur dihari ke empat liburan, tentu saja teman-teman yang lain sudah pergi berlibur jalan-jalan dengan keluarga atau menginap. Jadi sebagian besar teman-teman tidak tertarik. Tinggalah kami yang aslinya memang hanya berlibur dirumah. Untung saja wali kelas kami, Pak Koko mau diajak berkemah. Kemudian Pak Koko mengajak rekannya, Bu Nina. Jadi kami punya dua orang pembimbing. Kami akan berkemah selama tiga hari jadi sepulang dari perkemahan besoknya kami pun langsung masuk sekolah lagi.

Malam pun tiba, kami menyalakan api unggun dan makan malam ditemani nyanyian Bagas yang sumbang. Walaupun suara Bagas sumbang, tapi tingkat kepercayaan diri Bagas sangat tinggi. Ya, itu bisa dimaklumi karena latar belakang keluarganya yang berasal dari keluarga berada. Ayahnya, Pak Riki, adalah seorang polisi yang sangat berpengaruh di kota ini. Tapi, diluar hal itu, dia benar-benar membuat kami tertawa terpingkal-pingkal dengan berbagai macam guyonan yang dia lontarkan lewat nyanyiannya. Kami seolah menonton acara komedi sekarang. Tiba-tiba Pak Koko dan Bu Nina menyuruh kami duduk berputar mengitari api unggun, mereka menjelaskan bahwa malam ini kami akan mengikuti kegiatan jurit malam yang memang diadakan di puncak Mooi ini. Kami pun pergi ke garis start yang terletak tak jauh dari tenda.

Teman-teman terlihat menantikan hal ini. Mereka tampak antusias, bersemangat, dan ada juga yang tampak ketakutan membuatku terkekeh pelan. Oleh Bu Nina kami dibagi kedalam beberapa kelompok dan diberi satu peta perkelompoknya.  Setiap orang diberi sebuah pisau lipat untuk perlindungan diri dan masing-masing kelompok diberi satu senter sebagai penerangan untuk jalan. Walaupun begitu, tetap saja berjalan di tengah hutan pada malam hari pasti akan terasa sangat menakutkan. Bahkan Rian sudah bergidik ketakutan berpelukan bersama Amel. Kelompok pertama yang terdiri dari Sasha, Chika, Amel berangkat terlebih dahulu. Kemudian disusul kelompokku sepuluh menit kemudian. Aku sekelompok bersama Bagas, dan Rizky. Bisa ditebak kelompok terakhir yang akan menyusul sepuluh menit lagi adalah sisanya yaitu Rian, Kevin, Aisyah, dan Roy.

Kami berjalan dalam hening, pohon-pohon menjulang tinggi, daun-daun rimbun menghalangi jalan. Suara jangkrik menambah suramnya kesan hutan ini. Diantara kami tak ada yang bersuara, Bagas yang biasanya selalu berisik kini ikut diam juga. Mungkin dia mulai merasa takut akan hutan yang seram ini.

Srek srek.

Terdengar sesuatu sepertinya itu suara dibalik semak-semak. Suasana yang memang hening ini semakin hening saja. Kami pun berusaha mengintip sesuatu dibalik semak-semak itu, kami berjalan dengan sangat hati-hati mendekati semak belukar itu berusaha agar tidak menimbulkan suara. Malam terasa semakin sunyi apalagi suara jangkrik terdengar begitu jelas. Rizky yang berjalan paling depan, dia sudah menyentuh semak-semak dan akan membukanya. Kemudian..

Kyaaa!!!

Gyaaaaa!!!!

Terdengar teriakan yang sangat keras membuat kami semua sangat terkejut dan ikut berteriak kaget. Deru napas kami terdengar tidak beraturan dengan degup jantung yang berdetak dua kali lebih cepat. Aku mulai merasa takut sekarang. Setelah teriakan itu berhenti, suasana terasa semakin sunyi bahkan terasa mencekam saat aku teringat kata-kata Bu Nina sebelum kami semua berangkat tadi.

“Konon menurut rumor, di hutan ini pernah ada kasus pembunuhan berantai loh. Pembunuhnya masih belum ditemukan sampai sekarang, dan mungkin masih tinggal di hutan ini.”

Kalimatnya diakhiri tawa keras yang seperti tawa iblis. Ah aku tau itu hanya guyonan Bu Nina, tapi berkat itu aku merasa ketakutan sekarang. Sepertinya bukan hanya aku saja yang merasa ketakutan Bagas dan Rizky pun sepertinya merasakan hal yang sama. Tapi satu hal yang pasti, aku yakin teman-teman dikelompok lain pasti merasa ketakutan juga. Aku mulai merasakan sesuatu yang buruk telah terjadi. Kami semua bertatapan bingung dan segera lari mendekati arah suara itu.

Malam semakin larut, hanya derap langkah kami yang terdengar semakin cepat. Kami tiba ditepi jurang dengan pagar pendek yang menjadi pembatas. Di sini tidak ada apapun tapi aku yakin asal suara itu berasal dari sini.

“Teman-teman, lihat. Bukankah itu tas milik Chika?” Ucap Rizky sambil menunjuk tas yang menggantung di pagar jurang.

Kami melihat ke arah yang ditunjuk Rizky dan benar di sana memang ada tas milik Chika. Bagas mengambil tas itu dan melihat-lihat sekitar. Betapa terkejutnya ia saat melihat ke arah jurang. Di sana tampak tergeletak tubuh tiga orang perempuan.

“Apa itu Sasha, Chika dan Amel?” Tanya Bagas terkejut.

Aku dan Rizky mendekat ke dekat pagar, kami ikut terkejut dan hampir tak percaya dengan apa yang kami lihat. Aku ingat baju yang mereka pakai apalagi dengan tas Chika yang tergantung ini. Tak salah lagi itu memang mereka.

“Sasha! Chika! Amel!” Bagas berteriak ke bawah berharap mereka menjawab teriakan itu.

Berulang kali Bagas berteriak memanggil mereka, tapi sama sekali tak ada respon.

“Apa mereka sudah mati?” Tubuh Rizky mulai bergetar saking syoknya.

“Jangan berkata hal yang tidak-tidak bodoh.” Bagas mulai panik dan membentak Rizky.

Sementara itu Rizky hanya diam mematung melihat ke bawah. Tampak air mata keluar membasahi pipinya. Melihat hal itu Bagas semakin panik dan menggoyang-goyangkan bahuku bertanya apa yang harus dilakukan.

Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku sendiri sangat bingung. Apa yang terjadi sebenarnya? Beberapa puluh menit yang lalu mereka baik-baik saja tapi sekarang mereka tergeletak tak bernyawa di bawah sana.

“Rizky tolong katakan sesuatu jangan mematung seperti ini.” Bagas menepuk bahu Rizky.

“S-Sasha..” Rizky berbicara dengan tatapan kosong melihat ke bawah.

Aku menarik napas dalam dan berusaha mengusai situasi.

“Teman-teman tolong jangan panik, kita harus tenang untuk berpikir jernih.”

“Tenang katamu. Bagaimana kita bisa tenang jika di bawah sana tergeletak mayat teman-teman kita.” Ucap Bagas mulai emosi.

“Apa yang terjadi disini?”

Tiba-tiba terdengar sebuah suara. Aku dan Bagas menoleh dan tampak Kevin beserta teman-teman yang lain datang ke sini.

“Kevin syukurlah kau segera datang.”

“Bagas apa yang terjadi?” Kevin mengulang pertanyaannya.

Bagas mulai menceritakan apa yang terjadi kepada Kevin dengan panik. Sambil mendengarkan penjelasan Bagas, Kevin mendekati tepi jurang diikuti Roy, Rian, dan Aisyah. Saat mereka melihat kebawah, seperti dugaanku mata mereka membulat kaget. Aisyah menutup mulutnya yang terbuka, dia tampak gemetaran yang dengan segera dipeluknya Aisyah oleh Kevin. Rian mematung seperti Rizky yang masih saja terdiam tapi yang lebih parah adalah Roy, dia bahkan sampai muntah.

“Teman-teman, jika memang kronologinya seperti apa yang diceritakan Bagas barusan, bisa jadi ada yang sengaja mencelakai kita. Kita harus kembali ke perkemahan dan segera melaporkan semuanya ke Pak Koko dan Bu Nina.” Kevin mulai mengendalikan situasi.

“Rizky jangan menangis seperti anak perempuan. Ayo bergegas.” Perintah Kevin yang tegas menyadarkan Rizky.

Diledek seperti itu membuat Rizky mulai menguasai dirinya. Kami mulai bergegas dan berangkat ke perkemahan, menyisakan tempat yang hening di tepi jurang.

Kami berjalan cukup cepat bahkan setengah berlari. Keadaan Aisyah yang sempat ketakutan tadi kini mulai membaik begitupun denga Rizky yang sangat syok. Tapi lain halnya dengan Roy yang sepertinya terlihat lemas. Walaupun dia masih kuat berjalan dengan cepat seperti ini, kentara sekali wajahnya begitu pucat.

Malam semakin larut dan kami sudah dekat ke perkemahan. Wajah-wajah kami yang tegang mulai sedikit cerah. Kami langsung mencari Pak Koko dan Bu Nina begitu sampai disini. Tapi terdengar sebuah suara. Kevin menyuruh kami agar tidak berpencar dan kami perlahan mendekati suara itu.

Crat.

Darah mengalir deras membanjiri tanah, tubuh itu sudah tak terbentuk bermandikan darah. Sebuah pisau terus menerus ditusukkannya ke tubuh yang tergolek tak bernyawa. Apa yang terjadi? Pak Koko adalah seorang pembunuh?

Kami melihat hal mengerikan di depan mata kami, pembimbing kami, Pak Koko membunuh dengan sangat keji. Tangannya yang berlumuran darah terus menerus menusukan pisau ke tubuh Bu Nina tanpa henti. Di wajahnya terdapat tetesan darah yang terciprat dari tubuh Bu Nina. Kami semua yang melihat kejadian itu begitu ketakutan. Sesaat, kami terpaku bagai patung, terlihat Aisyah mulai menangis tanpa suara dan Roy yang menutup mulutnya akan muntah.

“Teman-teman jangan panik, hitungan ke-tiga kita akan lari secepatnya.” Kevin berbisik.

Kevin mulai menghitung mundur dengan suara pelan, dan kami mundur perlahan selangkah demi selangkah menjauhi perkemahan.

Krek.

Saat hitungan ke tiga, tak sengaja Rian menginjak ranting dan menimbulkan suara. Pak Koko langsung melihat ke arah kami dengan tatapan bengis. dia kemudian melemparkan kayu api unggun yang berada tak jauh disebelahnya kepada kami dengan brutal.

Serentak kami semua menghindar dan berlari sekuat tenaga menyebrangi jembatan dengan panik. Beberapa meter di belakang sana Pak Koko mengejar kami dengan pisau yang ada di tangannya. Rian yang takut ketinggian dan ketakutan saat menyebrangi jembatan ini tadi siang kini berlari paling depan. Sepertinya rasa takut akan ketinggian yang dia miliki terkalahkan dengan rasa takut akan kematian seperti Bu Nina yang malang. Setelah menyebrangi jembatan, kami mulai memasuki hutan yang gelap. Liburan yang awalnya menyenangkan ini, bagaimana bisa berubah menjadi tragedi yang sangat mengerikan?

“Teman-teman kita harus keluar dari sini dan menuju jalan raya.” Kevin berteriak.

“Jangan harap kalian bisa lepas dariku.” Suara Pak Koko terdengar menggema di hutan yang menyeramkan ini.

Kami berlari semakin cepat ke arah jalan raya tempat bus tumpangan kami mogok tadi. Aisyah yang berada paling belakang terjatuh dengan segera Kevin berlari untuk menolong Aisyah. Namun terlambat, Pak Koko sudah lebih dulu menarik Aisyah dan menusuk perutnya dengan pisau. Melihat hal itu mataku terbelalak kaget. Kevin memukul Pak Koko dan menahan pergerakannya. Aku, Roy, dan Rian pun bergegas menolong mereka.

“Aisyah lari. Teman-teman tolong bawa Aisyah pergi selagi aku masih bisa menahan Pak Koko.” Teriak Kevin sambil menahan pergerakan Pak Koko.

Aisyah bangun dengan susah payah dan berjalan pincang. Sepertinya kakinya terkilir. Aku membantu Aisyah berlari dengan membopongnya.  Keadaannya sangat menghawatirkan, pisau tertancap di perutnya dan darah yang keluar begitu banyak, semoga Aisyah tidak pingsan sebelum kami sampai ke jalan raya.

Buuk!

Sesuatu yang tumpul mengenai kepalaku dengan keras. Darahku mengalir dan perlahan kesadaranku pun hilang.

Chapter 2 "Force Majeure

Perlahan kubuka mataku dan melihat keadaan sekitar. “Bus sekolah.” Gumamku pelan.

Nyuut.

Kepalaku berdenyut sangat sakit, mataku seperti berkunang-kunang. Eh, bus? Bukankah aku seharusnya berada di perkemahan? Kenapa aku ada di sini? Apa aku bermimpi? Tapi mengapa terasa sangat nyata, bahkan aku bisa merasakan fisikku terasa sangat lelah saat ini. Apalagi saat sesuatu membentur kepalaku, sakitnya masih terasa begitu hebat.

“Dirga, akhirnya kau bangun. Kau tidak apa-apa?” Tanya Bagas khawatir dan mengahampiriku sambil menenteng gitarnya.

Pertanyaan itu sama persis seperti yang ada di mimpi. Apakah ban busnya kempes juga ya? Gumamku berbicara dalam hati.

“Dirga, keringatmu banyak sekali. Ada apa?”

“Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Ngomong-ngomong apa ban busnya kempes?”

“Ah iya, ban busnya kempes. Ayo Dirga, segera kemasi barangmu kita harus turun dan berjalan ke perkemahan. Pak Guru bilang lokasinya sudah dekat.” Ajak Bagas.

Aku mengeryitkan dahi heran, semua kejadian ini sama dengan kejadian dalam mimpiku. Apa benar kejadian yang kualami saat itu adalah mimpi? Apa yang sebenarnya telah terjadi?

Aku mengemasi barangku dan ikut turun bersama yang lain. Rasa sakit kepalaku sudah berangsur-angsur pulih. Kami berjalan membentuk barisan yang panjang. Sesuai dengan mimpi itu, teman-teman mulai gaduh membicarakan ban bus yang kempes dan mengeluh karena harus berjalan kaki menuju perkemahan. Aku berjalan dalam diam sambil memikirkan kejadian aneh yang kualami. Ah, di kejadian itu pun, tepat saat ini aku sedang memikirkan mimpi aneh.

Tiga puluh menit berlalu, akhirnya kami memasuki sebuah hutan kejadian buruk terjadi dalam mimpi anehku. Kuharap kejadian itu tak akan terulang lagi. Keluar dari hutan kami menyebrangi jembatan rapuh. Sama seperti dalam mimpi, Rian berjalan sangat pelan dan gemetar ketakutan melewati jembatan ini. Benar-benar deh, hancur sudah imagenya yang sangar. Aku menggelengkan kepala tak percaya.

Kami akhirnya sampai di tempat perkemahan. Kami mendirikan tenda dengan segera. Tenda laki-laki dan perempuan dipisah. Aku menghampiri Rizky yang sedang sibuk membangun tenda.

“Hei Rizky, bolehkah kita berbicara sebentar?” Ucapku sambil menepuk bahu Rizky.

“Tentu saja boleh Dirga. Apa ada masalah, kau terlihat aneh semenjak di bus. Apa kau marah padaku  karena memaksamu ikut ke perkemahan ini?”

“Kau memang membuatku kesal karena sudah memaksaku ikut kesini, tapi bukan itu yang ingin kubicarakan.”

Rizky menatapku sebentar, kemudian mengajakku berbicara di bawah pohon rimbun agak jauh dari teman-teman yang sibuk mendirikan tenda.

“Jadi apa yang ingin kau bicarakan kawan?” Tanya Rizky sambil bersandar di batang pohon.

“Rizky kau percaya padaku bukan?”

“Tentu saja kawan, kita ini sudah bersahabat sejak awal masuk SMA, apa alasanku untuk tidak percaya padamu.”

“Aku bermimpi, mimpi yang sangat nyata. Kita akan mengalami hal yang sangat buruk malam ini Rizky. Akan ada pembunuhan masal.”

“Hah, apa katamu?” Rizky menoleh padaku dan tertawa begitu keras.

“Hei, Dirga Si anak mamih, kau tak perlu khawatir hal buruk akan terjadi. Kita aman di sini, tempat ini sering digunakan berkemah oleh banyak orang dan belum pernah ada insiden sedikitpun di sini. Lagipula, di sini kita didampingi oleh dua orang dewasa.”

Aku tersenyum hambar. Sudah kuduga Rizky tidak akan percaya cerita tidak masuk akal ini. Lagipula siapa yang akan percaya dengan hal aneh seperti ini. Bodohnya aku.

“Kau hanya terlalu cemas Dirga, percayalah  semua akan baik-baik saja. Itu hanya mimpi buruk, hanya sebuah bunga tidur. Lupakan itu dan bersenang-senanglah.” Ucap Rizky menepuk bahuku dan tersenyum tulus.

Mungkin Rizky benar, aku hanya terlalu cemas karena jarang melakukan kegiatan outdoor seperti ini. Ah, betapa kurang bergaulnya diriku. Setelah pembicaraan ini selesai Rizky pun beranjak pergi ke tenda, diikuti aku yang mengekor di belakangnya.

Nyuut.

Argh. Tiba-tiba kepalaku terasa sangat sakit. Refleks aku memegang kepalaku dan berjalan sempoyongan. Apa yang terjadi padaku?

“Dirga, kau kenapa?” Rizky berlari dengan cepat ke arahku dan merangkul tubuhku.

“Kalau sakit jangan memaksakan ikut dong.” Ucap Rizky dengan nada kesal.

Bukankah kau yang memaksaku ikut, dasar bodoh. Aku menggerutu dalam hati.

Rasa sakit ini rasanya semakin menjadi-jadi, kepalaku seperti ingin pecah. Suara Rizky mulai samar terdengar. Aku mengerjapkan mata, sepertinya mataku mulai berkunang-kunang juga. Tampak sesuatu yang indah lewat di hadapanku. Sesuatu yang dapat menghilangkan rasa sakitku dan membuat hatiku terasa begitu tentram.

“Kupu-kupu?...”

Kubuka mataku perlahan, tubuhku terasa sangat lemas. Oh, dimana ini? Apa yang terjadi?

“Santai Dirga, kau ada di dalam tenda perkemahan sekarang.” Seolah bisa membaca pikiranku, seseorang menjawab pertanyaan di benakku dengan tepat.

Kulirik ke arah kananku, terlihat Kevin sedang membaca buku.

“Kevin apa yang terjadi?”

“Kau tadi pingsan setelah mengobrol dengan Rizky. Kalau sakit, jangan memaksakan diri untuk ikut serta dong. Merepotkan saja.” Omel Kevin padaku sambil terus membaca buku.

Aku pingsan? Sudah berapa lama? Dengan segera aku mengecek jam di ponselku. Sekarang pukul 17.40, berarti sudah dua jam lebih aku pingsan. Astaga apa yang terjadi padaku sebenarnya, hari ini benar-benar aneh.

“Dirga, saat pingsan tadi kau terus mengigau hal yang aneh. Apa sesuatu yang buruk terjadi padamu?” Tanya Kevin serius.

“Kau terus mengatakan 3301 berulang kali secara terus menerus.”

Seingatku aku tidak bermimpi apa-apa. Apakah tanpa kusadari aku telah bermimpi hal buruk lagi? Aku bertanya pada diriku sendiri. Sepertinya tak apa-apa jika kuceritakan pada Kevin.

“Sebenarnya aku bermimpi hal yang aneh Kevin. Tidak, ini sepertinya bukan mimpi. Ini terlalu nyata untuk disebut mimpi. Hal ini tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat.”

“Force Majeure.” Ucap Kevin singkat sambil menutup bukunya.

“Force Majeure?” Tanyaku tak mengerti.

“Jika kau mengalami hal yang sama, segera bicaralah padaku jangan bicara pada orang lain.”

“Apa maksudmu?”

Kevin tidak menjawab pertanyaanku dan pergi keluar tenda dengan membawa bukunya. Ah, maksudnya apa sih. Ambigu sekali, membuatku semakin kebingungan saja. Baiklah lupakan itu, sebaiknya aku istirahat saja, aku terlalu lelah untuk berpikir. Ah, atau aku pulang saja ya. Aku bisa memanggil sopir pribadiku untuk menjemputku.

“Nomer yang anda tuju sedang berada di luar servis area. Cobalah beberapa saat lagi.”

Sial, tidak ada signal di sini, terpaksa aku harus menginap. Aku sudah bisa membayangkan betapa banyaknya nyamuk yang bersiap mencuri darahku seperti vampire di film horror yang kemarin malam kulihat.

Aku bangun dan berjalan keluar tenda, aku butuh udara segar untuk menyegarkan pikiranku. Aku meregangkan tubuhku dan menghirup udara segar dalam-dalam. Ah, rasanya sedikit lebih baik. Udara disini benar-benar segar dan belum tercemar karbon monoksida kendaraan bermotor.

Puk.

Seseorang menepuk bahuku. Aku pun menoleh dan ternyata Aisyah sedang tersenyum padaku. Seperti biasa dia mulai menggerakan tangannya menggunakan bahasa isyarat. Aku tak mengerti bahasa isyarat, tapi mungkin dia bertanya kabarku. Aku tersenyum dan berkata baik-baik saja.

Dia merupakan satu-satunya siswa yang memiliki disabilitas di sekolah kami, walaupun begitu dia sangat pintar. Aku sebenarnya tidak terlalu suka berada dekat Aisyah. Bukan karena dia bisu, sama sekali tidak. Aku tak mempermasalahkan hal itu sama sekali. Tapi,

“Hei Dirga! Kau apakan Aisyah!”

Ya, hal seperti inilah yang membuatku tak terlalu suka berada di dekat Aisyah. Selalu ada Kevin Si Mr. protective, dan aku selalu dituduh berbuat macam-macam pada Aisyah.

“Aku tidak melakukan apa-apa Kevin. Lagipula Aisyah yang menghampiriku ke sini, dasar Mr. Protective. Apa yang membuatmu betah dengan orang ini Aisyah?”

“Aku sangat menyesal menunggu dan merawatmu saat kau pingsan tadi Dirga, kau jadi tak tahu diri. Padahal kubiarkan saja kau mati.”

Aisyah menarik baju Kevin dan mulai menggerakan tangannya, berbicara pada Kevin dalam bahasa isyarat. Dilihat dari keadaannya, sepertinya Aisyah sedang menjelaskan situasi tadi pada Kevin. Ah entahlah, aku tak mengerti, diantara teman-teman sekelas kami hanya Kevin yang mengerti dan bisa berkomunikasi pada Aisyah dengan lancar.

“Kau serius tidak diapa-apakan oleh anak ini?” Tanya Kevin pada Aisyah sambil menujuk ke arahku.

Aisyah mengangguk-anggukan kepala.

“Tuh kan! Aku tidak salah apa-apa di sini. Cih, kau membuat kepalaku pusing saja. Padahal baru saja aku menenangkan pikiranku.” Ucapku kesal sambil menggaruk-garuk kepala frustasi.

Tanpa mengindahkan ucapanku, Kevin menggenggam tangan Aisyah dan pergi. Bahkan dia tidak meminta maaf sama sekali padaku. Dasar menyebalkan! Dengan kesal aku berjalan ke arah kerumunan teman-teman yang sedang menyalakan api unggun. Huft, sudahlah lebih baik aku bergabung bersama teman yang lain. Aku menepuk bahu Rizky yang sedang menyalakan api unggun.

“Halo Rizky, apa sulit menyalakan api unggunnya?” Aku menyapanya sambil ikut duduk di sampingnya.

“Yo Dirga. Tenang saja aku tinggal menggunakan korek api saja, kayunya sudah kuberi bensin. Ngomong-ngomong  bagaimana keadaanmu?” Tanya Rizky sambil menaruh korek api ditumpukan kayu.

Ketika api mulai berkobar membesar, aku jadi ingat saat pertama kali aku berkemah bersama ayahku. Tapi kini ayah selalu sibuk dengan urusan kantor yang tiada hentinya.

“Aku sudah baikan, tadinya aku ingin pulang saja dan menelepon sopir pribadiku, Mas Rohmat.  Tapi, di sini tidak ada sinyal.”

“Kau benar, tadinya aku juga ingin memposting fotoku dengan Sasha di media sosial tapi tak ada sinyal disini.”

“Hari ini kau dengan Sasha anniversary ya, jangan lupa pajakmu kawan. Kau harus mentraktirku makan di warung mie ayam favoritku sepulang dari sini.”

“Baiklah-baiklah kita akan makan bertiga disana bersama Sasha. Aku harap ini segera selesai.” Ucapnya sambil memandang langit.

“Padahal kau yang memaksaku kesini tapi malah kau yang ingin cepat pulang. Dasar bodoh.” Aku terkekeh pelan.

Aku ikut memandang langit malam bersama Rizky . Langit malam begitu disini indah dipenuhi bintang-bintang dengan sinar rembulan yang begitu terang . Aku melirik Rizky yang sedang memejamkan mata menikmati semilir angin. Kami belum lama bersahabat, tapi entah mengapa kami sudah seperti kenal dan dekat sejak lahir. Aku berharap persahabatan ini akan terus berjalan sampai kita tua nanti.

“Makan malam sudah siap.”

Tiba-tiba Sasha berteriak memecah lamunanku. Kami dan teman-teman akhirnya makan malam dengan sup hangat yang disajikan dalam panci yang masih terletak diatas kompor portable. Sama seperti di mimpiku kami makan malam ditemani nyanyian bagas yang sumbang dan gelak tawa teman-teman atas ulahnya itu. Sementara teman-teman tertawa bahagia, aku malah makan dalam diam dan khawatir. Aku harus memastikan kejadian yang sama setelah makan malam tidak akan terulang lagi karena jurit malam yang mengerikan ini akan segera dimulai.

Kami berjalan di tengah gelapnya hutan Mooi ini dengan sebuah senter yang sama sekali tidak cukup untuk menerangi perjalanan kami. Yang benar saja, kukira Pak Koko dan Bu Nina akan memberikan lebih dari satu senter setelah aku protes tadi. Tapi ternyata sama saja dengan yang di mimpi. Satu senter perkelompok, dan satu pisau lipat perorang. Pasti mereka kekurangan biaya sampai membeli sedikit begini. Padahal kami bisa saja tersandung karena kurangnya sumber cahaya. Aku menggerutu kesal dalam hati.

Malam terasa begitu hening, berdasarkan mimpi itu beberapa menit lagi akan terdengar teriakan dan itu berarti sesuatu yang buruk telah terjadi.

“Teman-teman tunggu sebentar ya aku ingin kencing.” Ucap Rizky sambil memegang celananya.

Eh, hal ini berbeda. Di mimpi itu Rizky sama sekali tak ingin kencing.

“Oh ayolah Rizky, kau bisa kencing setelah sampai di perkemahan.” Keluh Bagas.

“Uh aku tidak kuat lagi.” Ucap Rizky sambil berlari ke semak-semak.

“Ck, dasar.” Decak Bagas kesal.

Kami menunggu Rizky kencing sekarang. Ini benar-benar berbeda dengan mimpi itu, seharusnya sekarang kami mendengar teriakan kelompok Sasha dan segera berlari ke arah suara itu. Tapi sekarang tidak ada teriakan dan Rizky malah ingin buang air kecil. Kuharap tak ada lagi hal buruk yang terjadi.

Arggh!

Tiba-tiba Rizky ditarik seseorang masuk kedalam semak-semak.

“Rizky!!” Aku berteriak sambil berlari kearah semak-semak.

“Apa yang terjadi pada Rizky?!” Ucap Bagas panik.

“Aku melihat dengan jelas Rizky ditarik oleh seseorang.” Jelasku tak kalah paniknya.

Bagas menelan ludah dan perlahan mendekati semak-semak untuk mencari Rizky.

“Rizky keluarlah! Jangan bercanda seperti ini dong!” Teriak Bagas diantara semak-semak.

Ohok.

Tiba-tiba Bagas terdiam dan menoleh ke arahku. Oh tidak, tampak sebuah pisau tertancap dilehernya. Aku mematung melihat darah yang mengucur deras dari lehernya, kemudian Bagas pun jatuh. Aku refleks berlari kearahnya, tak sengaja aku melihat seseorang di gelapnya malam. Dia tampak menggunakan topeng gas dan jubah hitam dan berjalan mendekat padaku.

“Repleti sunt ira et dolore.” Ucapnya tak kumengerti.

Aku langsung mengeluarkan pisau lipatku dan mengacungkan pisau itu di depannya. Bukannya menghindar atau menjauh dia bahkan tidak bergeming sama sekali dan terus berjalan medekatiku sambil melafalkan bahasa latin yang sama sekali tak bisa kumengerti.

“Jangan mendekat!” Ucapku ketakutan sambil berjalan mundur dengan tanganku yang bergetar memegang pisau ke arahnya.

“Hm, kau mengancamku?” Ucapnya dingin melirik pisau yang kuacungkan di hadapannya.

“Kau hanya bisa menakuti anak kecil dengan ancaman seperti itu.” Sambungnya sambil menangkis pisauku jatuh.

Dia semakin mendekat dan mengeluarkan sebuah pistol yang sudah dilengkapi peredam suara. Aku bergetar semakin ketakutan, apa yang harus kulakukan?!

“Tenanglah Dirga, aku akan mengakhiri ini dengan cepat.”

Aku semakin ketakutan saat dia mulai menodongkan pistolnya ke arahku.

“Selamat tinggal.”

Dor!

Kubuka mataku dengan cepat, keringat dingin bercucuran dengan deras dari pelipisku.

“Ini bus sekolah.” Ucapku dalam hati.

Teman-teman terlihat berlalu-lalang membawa barang bawaan mereka, seketika aku tahu bus sudah berhenti karena bannya kempes. Aku segera bangun dan berlari, mengacuhkan Rizky yang tertabrak olehku.

“Keviin!!” Teriakku pada Kevin.

“Apa sih, berteriak seperti orang gila saja. Dari jauh juga sudah terde-“

“Kevin Force Majeure! jelaskan apa itu Force Majeure!”

Chapter 3 "Butterfly Effect"

“Kevin jelaskan padaku, apa itu force majeure?” Tanyaku serius.

Teman-teman saling berdesakkan keluar dari bus mengacuhkan teriakanku. Kevin yang awalnya memasang wajah kesal langsung membulatkan mata terkejut dan memasang ekspresi serius. Kevin kemudian menarik tanganku menuju kursi belakang untuk berbicara di sana.

“Mengapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu?”

“Kau sendiri yang bilang kepadaku. Jika hal yang sama terulang kembali kepadaku, segeralah berbicara kepadamu seorang.”

“Aku bersumpah, aku sama sekali belum pernah berbicara padamu tentang hal itu Dirga. Apa kau berhalusinasi atau berdelusi?”

“Memang benar kau belum pernah membicarakan hal itu kepadaku Kevin. Tapi, dalam beberapa jam ke depan jika aku tidak membuat perubahan pada alur cerita ini. Kau akan berbicara hal itu padaku.”

Kevin menghela napas, sorot matanya yang tajam mengintimidasiku. Sepertinya dia tak percaya akan kata-kataku.

“Sudahlah aku tak ada waktu untuk membicarakan omong kosongmu. Kita harus bergegas Dirga, teman-teman sudah mulai berbaris di luar.”

“Hanya sebentar saja, tolong jawab pertanyaanku.” Aku memaksanya, dia tampak menghela napas lagi kemudian mulai menjelaskan apa yang kutanyakan.

“Force majeure berasal dari bahasa Prancis yang berarti ‘kekuatan yang lebih besar’. Force majeure merupakan suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilakukan sebagaimana mestinya. Jika ada seseorang yang mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan dan mengatakan sudah mengalami kejadian yang sama mungkin dia adalah time travel atau hanya seorang yang pintar membual. Semua yang kukatakan tak lebih dari sekedar teori Dirga. Walaupun ada banyak hal yang bisa dijadikan bukti, tak  ada bukti konkret yang bisa menjelaskan teori tersebut. Dan sekarang di hadapanku ada seseorang yang mengaku mengetahui hal-hal yang akan terjadi beberapa jam ke depan? Apa kau sudah gila Dirga?”

“Dengar Kevin, aku tidak gila. Ini benar-benar terjadi. Awalnya aku juga hanya menganggap semua ini mimpi dan tidak nyata. Tapi saat aku bangun kembali hal itu terus berulang dan membuatku yakin semuanya benar-benar terjadi. Aku sangat yakin semuanya nyata, bukan sekedar khayalan atau delusi seperti yang kau katakan.”

“Aku tetap tak percaya padamu Dirga.” Kevin bersikeras dengan keyakinannya.

“Kevin, tolonglah, aku berkata benar. Jika kau tak membantuku, dalam beberapa jam ke depan akan terjadi hal yang sangat mengerikan. Akan terjadi pembunuhan masal yang aku tidak tahu siapa dalang dibalik semua ini. Setiap aku terbunuh, aku pasti kembali ke waktu dimana aku tidur di dalam bus.”

Raut wajah Kevin yang tegas berubah sesaat ketika kukatakan tentang pembunuhan. Namun perubahan itu hanya sebentar digantikan wajah yang tegas dan tak ingin dibantah.

“Buktikan sesuatu padaku.”

Aku tersenyum cerah, dia mulai sedikit luluh.

Puk.

Aisyah datang dan menepuk pundak Kevin. Wajahnya tampak khawatir, mungkin dia berpikir kami sedang bertengkar lagi seperti biasanya. Serperti biasa Aisyah mulai menggerakan tangannya dan hanya Kevin yang bisa mengerti dengan baik apa yang ingin Aisyah sampaikan.

“Tenang saja Aisyah kami tidak bertengkar.” Aku menyela Aisyah yang berbicara dalam bahasa isyarat.

Aisyah tampak menggerakan tangannya lagi kepada Kevin.

“Dirga benar, kami tidak bertengkar. Kami hanya sedang mengobrol saja. Jangan khawatir.” Ucap Kevin sambil mengusap lembut kepala Aisyah.

Entah bagaimana Kevin selalu ada di dekat Aisyah. Dimana pun dan kapan pun mereka selalu bersama, tak terpisahkan. Mereka berdua ini pasangan yang paling populer di sekolah kami, bahkan beberapa orang menganggap mereka berpacaran walaupun pada kenyataannya mereka hanya berteman. Ah, sepertinya lebih cocok disebut cinta bertepuk sebelah tangan sih.

“Kevin, tolong tunggu sebentar, aku punya beberapa hal yang harus kuperiksa sebelum berangkat ke perkemahan.” Aku pun berlari ke arah supir bus.

“Permisi Pak, apa perbaikan bus ini masih lama?”

“Sebenarnya tidak lama, tapi Bapak lupa membawa perkakasnya. Teman Bapak sedang menuju ke sini membawa perkakas. Kalian duluan saja pergi ke perkemahan, nanti bapak akan menyusul.”

Dengan beberapa kalimat terakhir aku pun segera pamit. Sudah dapat dipastikan bus sekolah ini adalah jalan keluar yang paling ampuh. Tujuan kami hanya harus berlari ke bus ini dan pulang dengan selamat.

“Hei, kenapa kau tiba-tiba lari dan meninggalkanku dengan Aisyah?” Ucap Kevin yang tiba-tiba datang bersama Aisyah.

”Aku sudah dapat buktinya, kau tahu sendiri aku sangat jarang pergi berkemah atau bermain seperti ini, dan ini pertama kalinya aku pergi ke Puncak Mooi. Tapi karena aku sudah pernah mengulangi kejadian ini aku tau persis jalan-jalan yang akan kita lewati. Kita akan melewati sebuah jembatan tua. Itu bukti yang pertama. Kemudian Rian Si anak sangar dia akan ketakutan saat menyebrangi jembatan. Tanpa kita tahu ternyata dia takut ketinggian. Selanjutnya tenda yang akan kita dirikan nanti di perkemahan akan melingkar mengitari api unggun dan masing-masing berjarak kurang lebih dua meter. Kurasa tiga hal kecil itu cukup untuk jadi bukti untukmu.”

“Hmm itu menarik tapi tak sepenuhnya meyakinkanku. Jika apa yang katakan terbukti benar, aku akan mempercayaimu sepenuhnya.”

“Yang harus kita lakukan agar semua teman-teman kita selamat adalah dengan mencegah-“

Nyuut.

Kepalaku terasa sangat sakit, mataku mulai berkunang-kunang. Apa aku akan pingsan lagi? Samar samar kulihat sesuatu yang cantik terbang di hadapanku.

Kupu-Kupu..?

 

 

Aku membuka mataku dengan cepat dan segera melihat  sekelilingku. Tenda, ini di perkemahan dan terlihat Kevin yang sedang membaca buku. Dengan refleks aku memegang kepalaku, kepalaku masih terasa sedikit sakit. Mengapa aku selalu mengalami sakit kepala yang luar biasa kemudian pingsan? Jangan-jangan aku terkena penyakit aneh gara-gara menjadi time traveler?

“Kau tadi tiba-tiba pingsan saat berbicara denganku. Kalau sa-“

“Kalau sakit jangan memaksan diri untuk ikut berkemah dong. Merepotkan saja. Itu yang ingin kau katakan bukan?” Ucapku dengan sedikit kesal.

“Ah, merepotkan sekali punya teman yang bisa mengulang waktu. Kau seperti membaca pikiranku saja.” Ucap Kevin sambil terus membaca buku.

“Jadi apa kau percaya sepenuhnya terhadapku sekarang?” Tanyaku serius.

Kevin memejamkan matanya dan menutup bukunya. Dia mulai memasang wajah serius. Aku yakin dia akan menjelaskan panjang lebar tentang force majeure itu.

“Kau benar-benar melampaui kemampuan manusia Dirga. Seperti yang kau katakan tadi, kita melewati jembatan tua dan Rian ternyata takut ketinggian. Ditambah tata letak tenda sama seperti apa yang kau katakan. Aku benar-benar tidak percaya hal ini terjadi di dekatku. Hal ini benar-benar tidak masuk akal.” Kevin menggelengkan kepala heran.

“Aku berkata benar bukan. Sekarang apa yang harus kita lakukan Kevin? Aku takut sekali akan kekuatanku.”

“Seperti yang kau katakan sebelumnya, kita harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan teman-teman dan berusaha agar bencana kecil ini tak mengganggu tatanan masa depan. Hal ini benar-benar tidak bisa dihindari dan dunia mengutusmu untuk mencegah hal itu. Kau tahu, bencana kecil bisa berpengaruh sangat fatal. Kau harus bisa mengubah masa depan dengan Force Majeurmu, kekuatan time travelmu ”

“Mengapa bencana kecil bisa berakibat fatal pada masa depan dunia? Mengapa aku mendapatkan kekuatan ini?”

“Kau pernah mendengar Chaos Theory?”

Aku menggeleng.

“Chaos Theory adalah sebuah teori yang mengemukakan tentang bagaimana sebuah kekacauan yang terjadi baik sengaja maupun tidak sengaja ternyata bisa berpengaruh sangat besar di masa yang akan datang. Yang berarti, sekecil apapun bencana atau peristiwa yang terjadi bisa berdampak besar di masa depan.”

Aku terperangah akan penjelasan Kevin. Dia menatapku dengan matanya yang tajam kemudian melanjutkan kalimatnya.

“Sesuatu yang besar akan terjadi jika bencana ini atau bisa kita sebut pembunuhan masal ini dibiarkan. Chaos Theory ini memancing dirimu di masa lalu dengan force majeure, sesuatu yang melampaui kemampuan manusia dan tidak bisa dihindari agar dunia di masa depan tidak hancur.”

Aku membeku untuk beberapa saat, aku tidak menyangka akan menanggung beban yang sangat berat seperti ini. Bila benar dari pembunuhan masal ini menyebabkan masa depan hancur, lebih dari tujuh miliar nyawa dimasa depan menjadi tanggung jawabku. Ah, rasanya kepalaku akan pecah saat memikirkan hal ini.

“Kau harus mengepakan sayap kupu-kupu untuk mengubah masa depan.”

Eh, Kupu-kupu? Apakah yang dimaksud Kevin itu kupu-kupu yang selalu lewat ketika aku merasakan sakit kepala dan pingsan?

“Aku akan menjelaskan sedikit sejarah dan pengertian tentang butterfly effect ini.”

“Edward Norton Lorenz pada tahun 1961 mengemukakan sebuah teori, bahwa seluruh kejadian dalam kehidupan kita pada dasarnya adalah rangkaian dari kejadian acak atau random. Dengan simulasi program di komputer, ia berusaha memprediksi kondisi cuaca. Hingga akhirnya ia menemukan angka faktor 0,506. Semakin kecil ia masukkan bilangan desimal, makin presisi pula perkiraan yang didapatkan. Saat ia masukkan angka 0,506127, ia menemukan bahwa dampak dari desimal terkecil tersebut setara dengan efek kepakan sayap kupu-kupu. Lorenz terhenyak saat mendapatkan gambaran, satu kepakan sayap kupu-kupu bahkan bisa menghasilkan efek tornado yang dahsyat. Inilah yang disebut sebagai teori butterfly effect.”

“Kevin, aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau bicarakan, pikiranku benar-benar kacau saat ini.” Ucapku lemas sambil memegang kepala.

Kevin menghela napas dan berdecak kesal sambil memutar bola matanya.

“Begini saja deh, hal kecil apapun yang kau lakukan sekarang, berdampak besar di masa depan. Itulah butterfly effect. Sebagai contohnya, kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil secara teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian.”

“Kau harus mengubah masa depan Dirga, dengan force majeuremu, dengan hal sekecil apa pun.”

Astaga aku seperti berada di dalam film bergenre sci-fi. Hal yang tidak masuk akal dan di luar nalar terjadi padaku. Apa aku dikutuk atau bagaimana? Aku mulai panik sekarang. Ah, lupakan tentang itu, sekarang aku punya urusan yang benar-benar serius.

“Kevin, di luar sepi sekali. Dimana kawan-kawan?”

“Oh, mereka baru saja berangkat untuk jurit malam.”

Glek!

Aku menelan ludah, jantungku rasanya berdegup dengan sangat kencang.

“Kevin! Cepat cari senjata! Apa saja yang bisa digunakan!” Teriakku panik.

“Memang ada apa Dirga?” Tanya Kevin keheranan.

“Pembunuhan itu dimulai dari kelompok satu. Kelompok Sasha yang pertama kali dibunuh, Selanjutya di perkemahan ini Pak Koko menjadi gila dan membunuh Bu Nina!” Jelasku sangat panik.

“Pak Koko mejadi gila? Bagaimana bisa?”

“Sudahlah kita pikirkan itu nanti. Sekarang cepatlah cari senjata dan segera pergi ke rute jurit malam sebelum semua ini terlambat!” Ucapku memerintah.

Saat kami sedang mencari senjata di setiap tas teman-teman, tiba-tiba resleting tenda terbuka. Terlihat bayangan seseorang dari luar tenda. apakah itu Si pembunuh? Kami mematung beberapa saat. Kami berbicara terlalu keras pasti pembunuh itu mendengar dengan jelas apa yang kami bicarakan. Bagaimana ini? Apa yang yarus aku  lakukan? Aku menatap Kevin dengan perasaan cemas.

Sret.

Tenda terbuka dan seseorang itu masuk ke dalam.

“Aisyah!” Teriakku dan Kevin bersamaan.

Aisyah tampak kaget dan takut saat kami berteriak keras menyebut namanya. Astaga kami berdua seperti orang bodoh saja. Berpikir yang tidak-tidak padahal tidak ada apa-apa.

“Aisyah maafkan kami.” Ucap Kevin.

Aisyah menggerakan tangannya kemudian tersenyum. Kevin menjelaskan kepada Aisyah bahwa tempat ini tak aman jadi kita semua harus pergi. Untungnya Aisyah anak penurut dan tak banyak tanya jadi kami tak perlu repot menjelaskan banyak hal padanya. Walaupun aku tahu Aisyah sangat kebingungan sekarang.

Kami segera berlari keluar tenda, terlihat Pak Koko sedang asyik mengobrol dengan Bu Nina di dekat api unggun.

“Pak Koko! Ayo cepat kita pergi ke rute jurit malam!” Teriakku kepada Pak Koko.

“Eh, ada apa? Kau ingin ikutan jurit malam juga? San-“

Sebelum Pak Koko menyelesaikan kalimatnya, Kevin sudah lebih dulu memotong berbicara.

“Bukan. Ini hal yang sangat berbahaya! Akan terjadi pembunuhan masal di sini Pak!”

“Ah, kalian ini, terlalu banyak nonton film horror ya? Tenang saja tidak akan ada yang terjadi.” Ucap Bu Nina sambil mengibaskan tangannya.

“Bu Nina! Percayalah, kami tak bohong!” Ucapku yang semakin panik.

“Kepalamu sepertinya tidak beres Dirga hahaha, sepertinya efek bangun dari pingsan.” Bu Nina tertawa geli mendengar apa yang kami katakan.

Kevin nampaknya mulai jengkel atas perilaku Pak Koko dan Bu Nina. Dia pun mendekati mereka dan berbicara begitu intens dengan tatapan tajamnya.

“Ada seseorang yang sudah mengintai tempat ini dan menunggu saat yang tepat untuk membunuh kita semua. Silakan tinggal jika kalian ingin mati di sini.” Ucap Kevin pelan dengan penuh penekanan disetiap kalimatnya.

Mendengar apa yang dikatakan Kevin tersebut, Pak Koko dan Bu Nina menjadi gentar dan mulai ketakutan.

“Apa yang kau katakan Nak, di tempat seperti ini mana mungkin ada hal seperti itu.” Ucap Bu Nina ketakutan.

“Lebih baik kita segera pergi ke rute.” Ucap Kevin dingin.

Pertama kalinya aku melihat Kevin yang seperti ini, ternyata dia lihai sekali memanipulasi orang dengan kata-katanya. Meskipun apa yang dikatakannya bukanlah suatu kebenaran, tapi bukan tidak mungkin jika ada yang mengintai kami di perkemahan ini. Tanpa membuang waktu kami pun berlari dengan cepat menuju rute jurit malam. Aku harap aku tidak terlambat untuk ini Tuhan. Aku tidak ingin lagi melihat teman-temanku terbunuh. Aku harus menyelamatkan mereka semua dan menghentikan rencana pembunuhan ini.

Aaaaaaa!!!

Kakiku bergetar dan semangatku pudar setelah mendengar suara teriakan barusan. Apa aku terlambat? Aku segera berlari ke tempat dimana kelompok satu jatuh di rewind sebelumnya diikuti yang lainnya. Sesampainya di sana aku segera memeriksa jurang di tempat itu.

“Oh, tidak, bagaimana kau tahu semua ini akan terjadi Nak?” Tanya Pak Koko dengan tubuh gemetar.

Aisyah yang melihat kebawah jurang mulai menangis, Kevin memeluknya dengan erat. Dia tampak mengernyitkan alisnya sesaat.

“Dirga, pembunuh ini memiliki pola.” Ucap Kevin sambil memeluk erat Aisyah.

“Pembunuh ini mulai membunuh dari objek yang paling lemah. Kelompok satu berisi tiga wanita manja dan penakut, target yang mudah untuk di eksekusi. Si pembunuh ini ingin membunuh dengan cepat dan efektif. Makanya dia tidak bisa melakukan ini sendiri. Dia mencari sekutu ah, tidak, dia membuat musuh menjadi anjing pribadinya.”

“Maksudmu?” Tanyaku singkat.

“Pak Koko menjadi gila dan membunuh Bu Nina di rewind sebelumnya bukan karena disengaja. Tapi ada sesuatu yang mempengaruhi otaknya. Bisa jadi hipnotis atau suatu bahan kimia yang membuatnya seperti itu.”

“Hipnotis tidak akan segila dan seagresif itu Kevin. Tidak akan sampai mengejar kami ke hutan sambil berteriak menakutkan.”

“Lupakan sejenak masalah ini. Ingat, pembunuh ini menggunakan pola dalam aksinya yaitu dari yang terlemah ke yang tersulit. Sama seperti mengerjakan soal ulangan bukan?”

“Apa yang kalian bicarakan anak-anak?” Bu Nina bertanya dengan khawatir.

“Bukan apa-apa Bu.” Jawab Kevin berbohong.

“Dari yang terlemah.. ke yang tersulit….” Ucapku sambil berpikir.

“Target selanjutnya adalah kelompok dua! Disana hanya ada dua orang laki-laki!” Ucapku setengah berteriak.

“Tepat sekali Dirga, ayo kita harus kesana sekarang!”

Kevin melepaskan pelukannya dan tersenyum  ke arah Aisyah.

“Aku akan kembali, tetaplah bersama Pak Koko dan Bu Nina di sini.”

Aisyah mengangguk dan kami pun segera berlari mencari kelompok dua.

“Tunggulah Rizky! Aku pasti akan menyelamatkanmu kawan!” Ucapku mantap dalam hati.

Malam semakin larut saat kami melihat sesuatu di dekat semak-semak tempat kelompok dua di rewind sebelumnya. Dengan segera kami berlari menuju semak-semak itu.

“Kita terlambat.”

Aku menatap sedih sesuatu atau lebih tepatnya sesosok tubuh yang sudah tidak bernyawa itu. Bagas yang malang, dia meninggal begitu mengenaskan. Aroma darah jelas tercium dari tubuhnya. Lehernya sobek oleh benda tajam hingga urat nadinya terputus. Rahangnya patah, membuat mulutnya menganga lebar begitu menyeramkan. Aku yakin seseorang telah menarik rahangnya dengan paksa dan brutal. Sejenak aku merasa mual dan ingin muntah, berbeda dengan Kevin yang begitu tenang menatap setiap jengkal tubuh berlumuran darah itu.

Aku memejamkan mataku dan menarik napas dalam-dalam, berusaha tenang dalam kondisi yang sangat kacau ini. Aku heran, kenapa Kevin bisa setenang ini, apa dia sering menonton film horor? Atau memang dia pernah mengalami hal yang seperti ini?

“Dirga, ada kemungkinan Rizky masih hidup. Si pembunuh sepertinya hanya berhasil membunuh Bagas saja. Dilihat dari luka Bagas, kurasa dia mengendap-endap lalu membungkam mulut Bagas dengan tangannya dan mulai menusukan pisau ke lehernya. Mungkin rahangnya patah karena Bagas berusaha melawan Si pembunuh. Bisa saja Bagas menggigit tangannya atau menginjak kakinya. Kemudian dengan refleks Si pembunuh melepaskan pisaunya dan tak sengaja mematahkan rahang Bagas.” Jelas Kevin panjang.

“Lalu bagaimana dengan Rizky?” Aku bertanya dengan khawatir.

“Aku yakin Rizky juga terkena serangan, tapi tidak parah dan berhasil melarikan diri. Lihat ini.”

Kevin menunjukan bercak darah tidak jauh dari mayat Bagas.

Aku tersentak kaget. Bercak darah ini samar sekali apalagi dengan gelapnya malam hampir tidak mungkin untuk menyadari ada bercak darah di sini. Kevin sungguh jeli. Jika dilihat baik-baik, bercak darah ini berceceran cukup banyak dan membuat jejak ke suatu tempat. Pasti Rizky belum pergi terlalu jauh.

“Bagaimana menurutmu, apa kita akan mengikuti jejak darah ini?’ Tanya Kevin padaku.

Seketika otakku berkecamuk. Terlalu berbahaya pergi tanpa persiapan sedikit pun. Tapi jika kami tak pergi, bagaimana dengan Rizky?

“Aku tidak tahu Kevin, terlalu berbahaya untuk mengikuti jejak itu. Apa sebaiknya kita menyuruh Pak Koko saja?” Tanyaku ragu-ragu.

“Tidak, Pak Koko tidak akan pergi ke sana. Dia tidak akan mengambil resiko.” Jawab Kevin dingin.

Tiba-tiba sebuah cahaya tersorot ke arahku membuat pupil mataku mengecil akan silaunya.

“Ga… Dirga..!!”

Aku memicingkan mata untuk melihat siapa seseorang di sebrang sana. Ternyata Roy dan teman-teman yang lain. Aku melambaikan tangan dan tersenyum senang melihat mereka baik-baik saja.

“Dirga di belakangmu!”

Bzzttt!

Sesuatu menyetrumku dari belakang. Kesadaranku pun perlahan menghilang.

 

 

Kubuka mataku perlahan, Dimana ini? Kulihat langit-langit ruangan yang berwarna putih. Eh, tunggu, ruangan ini. Sepertinya aku mengenali tempat ini. Ini ruangan yang kulihat dalam mimpiku!

Astaga apa yang terjadi? Jangan-jangan teman-teman sudah..

Clek.

“Selamat datang di Blank Room wahai teman-temanku.”

Terdengar sebuah suara misterius bersamaan dengan pintu yang di buka. Kulihat di ujung sana ada Kevin yang matanya ditutup dengan kain dan tubuhnya diikat di sebuah kursi.

“Kevin! Kevin!!” Aku berteriak memanggil Kevin. Aku berusaha menggerakan tubuhku, tapi sialnya tubuhku juga terikat kuat di sebuah kursi.

“Dirga? Apakah itu kau? Dimana kita?” Kevin menoleh ke kanan dan ke kiri dengan mata yang ditutup kain hitam dan berteriak begitu panik. Sepertinya dia merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi.

“Aku juga tidak tahu! Urgh!” Aku berusaha melepaskan tubuhku dari ikatan ini. Namun sia-sia, ikatan tali ini terlalu kuat.

“Repleti sunt ira et dolore.” Ucap misterius seseorang yang datang dari sebuah pintu.

Kurasa orang itu adalah orang yang mengatakan selamat datang tadi. Dilihat dari gerak-gerik dan hawa membunuhnya yang mengerikan, aku yakin orang itu adalah orang yang membunuhku di rewind sebelumnya. Orang itu masih memakai topeng yang sama, topeng gas yang membuat suaranya terdengar tak jelas dan tak bisa kukenali. Dia mendekati Kevin dengan pisau di tangannya. Apa yang harus kulakukan? Tak mungkin aku membiarkan Kevin mati dibunuh seperti apa yang kulihat di mimpiku.

Keringat mulai bercucuran di pelipisku, aku mulai ketakutan. Aku harus melakukan sesuatu sebelum hal yang buruk terjadi. Setidaknya aku harus menemukan suatu petunjuk atau apapun untuk menolong Kevin. Berpikir Dirga! Berpikir!

“Di Blank Room ini kalian akan-“

“Hey, manusia bertopeng! Sudah lama ya, kita tidak bertemu!” Kuberanikan diri untuk berteriak dan mengalihkan perhatiannya dari Kevin.

Aku menatap orang itu dengan tatapan penuh kebencian, walau harus kuakui aku sedikit gentar saat menatap matanya yang berkilat tajam. Orang itu melihat ke arahku dan mulai mendekatiku. “Diamlah anjing kecil, kau tidak berhak sama sekali memotong omonganku.” Ucapnya sambil mengelus pipiku.

Kulihat Kevin yang bergerak gelisah tak tau dengan pasti apa yang terjadi karena matanya yang ditutup. Tubuhku bergetar ketakutan, namun dengan nekat aku tetap menatapnya. Aku harus bisa mendapatkan banyak petunjuk di sini. Aku harus tetap tenang, jika aku mati aku masih bisa hidup dengan merewind waktu. Tak ada yang perlu ditakutkan. Aku mulai meyakinkan diriku.

“Baru pertama kali aku bertemu seseorang seberani kau. Itu hebat sekali tapi kau juga harus tau bagaimana posisimu.” Ucapnya sambil mengayunkan pisau.

Eh, apa yang barusan dikatakannya? Bukankah di rewind sebelumnya kita pernah bertemu. Apa dia lupa?

Cleb!

Arrrghh!

Pisau orang bertopeng itu menancap di kakiku. Aku mulai menangis dan meringis kesakitan. Darah mulai bercucuran dari kakiku.

“Dirga! Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?!” Teriak Kevin begitu cemas.

“Lepaskan aku psikopat sialan!!”

Kevin berteriak tak karuan sampai kursi yang di dudukinya bergerak. Sementara aku diam meringis menahan nyeri yang perlahan menjalar ke seluruh tubuhku.

“Tenang saja, kau dan Dirga tidak akan kubunuh secepat itu. Kalian itu spesial, bisa mengetahui rencanaku bahkan pola membunuhku. Sebagai rasa hormatku, kalian akan bermain game yang sangat seru bersamaku.” Ucapnya dingin tapi dengan wajah yang terlihat begitu senang.

“Dimana yang lain?” Tanyaku sambil menahan sakit.

“Oh, yang lain? Mereka sudah berkumpul di alam sana. Ah, mungkin kalian juga akan bertemu dengan mereka setelah gamenya selesai hihihi.”

Aku terpaku mendengar ucapan orang itu. Dia sudah sinting mengatakan hal seperti itu bagai angin lalu. Tawanya yang menyeramkan berdengung di telingaku. Kevin yang matanya tertutup pun berhenti bergerak dan termangu diam.

“Kau… bohong bukan?” Kevin bertanya dengan datar, emosi seperti hilang dari nada suaranya.

“Untuk apa aku berbohong? Apa kau ingin bukti? Aku bisa memberikannya padamu. Haha“

Orang misterius itu berjalan menghampiri Kevin dan membuka menutup mata yang terpasang di kepalanya. Kevin masih tak bergerak sedikit pun, tatapan matanya terlihat kosong. Kemudian dia bertanya sekali lagi dengan dingin.

“Dimana Aisyah?”

“Kau sepertinya suka sekali pada gadis bisu itu-“

“Dimana Aisyah?!!”

Kevin berteriak penuh emosi. Suaranya yang datar dan dingin seakan lenyap digantikan emosi yang begitu meluap sampai tubuhnya bergetar begitu hebat. Kevin terlihat mengerikan dengan tatapan tajam yang berkali kali lebih menakutkan dari sebelumnya. Karena Aisyah Kevin sampai hilang kendali seperti ini. Aku tidak mengerti mengapa Aisyah sangat berharga untuk Kevin.

“Dimana Aisyah?!” Bentak Kevin.

Tanpa mengindahkan pertanyaan Kevin, orang itu berjalan kearah pintu dan keluar sambil terkikik geli.

“Kev, Jangan lakukan hal yang bodoh, tenanglah jangan terlalu emosional seperti itu..” Ucapku sambil menahan sakit.

“Aku tidak bisa tenang Dirga! Aisyah! Aisyah lebih berharga dari apa pun di dunia ini! Aisyah adalah Jeanne D`Arc, pahlawanku.”

Aku terpaku mendengar semua ucapan Kevin. Tak pernah kulihat sebelumnya dia dalam keadaan seburuk itu.

“Semua ini salahku, jika saja aku mempercayaimu dari awal. Mungkin kita bisa membuat rencana yang lebih matang dan bisa mencegah semua ini terjadi.” Ucapnya penuh sesal.

“Sudahlah Kevin, ini bukan salahmu.“

“Jika… Jika kita mati di sini dan kita kembali bertemu di time line sebelumnya. Tolong buat aku percaya denganmu. Bilang kepadaku ‘Kita akan menyelamatkan Jeanne’. Jika diriku yang bodoh itu tetap tidak percaya, silakan tampar aku sekerasnya.” Kevin tersenyum dengan berlinang air mata.

Aku menganggukan kepala dengan kaku. Melihat Kevin menangis dan tersenyum secara bersamaan merupakan hal yang sangat langka. Ah, mungkin aku tidak akan melihatnya lagi walaupun aku kembali ke time line awal.

“Maaf membuat kalian menunggu lama.”

Tiba-tiba pintu kembali terbuka dan orang misterius itu masuk sambil mendorong Aisyah yang berada di kursi roda. Dipangkuannya terdapat sebuah kotak yang entah apa isinya. Kevin yang melihat Aisyah duduk diam tak sadarkan diri berteriak memanggil Aisyah, namun entah mengapa Aisyah tak kunjung membuka matanya.

“Kevin… Kevin…”  Orang misterius itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Aku sudah memasukan Botulinum Troxin ke tubuhnya, sekarang dia sedang mengalami botulisme. Zat ini mengakibatkan kelumpuhan otot, maka dari itu Aisyah tertidur pulas saat ini. Jika kau ingin menyelamatkannya, kau harus bisa membuka kotak yang terkunci ini. Di dalamnya ada penawar untuk Aisyah”

Orang misterius itu membawa sebuah aquarium berisi air dan diletakan di meja yang ada di dekat Kevin. Di dasar aquarium itu terdapat banyak jarum suntik. Apa yang akan dia lakukan?

“Di dasar aquarium ini terdapat kunci yang bisa membuka kotak yang berisi penawar di pangkuan Aisyah. Tapi tidak semudah itu Kevin, air di dalam aquarium ini bukan air biasa. Air ini sebenarnya air accu yang sudah kuambil dari bus sekolah. Air ini bisa melepuhkan kulitmu kapan saja. Hahahaha..!”

Sungguh, orang ini benar-benar sudah sinting. Dia tertawa seolah akan melihat hal yang sangat menyenangkan dan menghibur. Dia mulai membuka ikatan tangan Kevin, tanpa berbicara apapun Kevin menatap kunci di dalam aquarium itu. Aku mulai menangis panik. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ingin melihat teman-temanku meninggal lagi. Aku tidak ingin terjebak dalam lingkaran kematian ini.

“Orang itu sudah gila!  jangan lakukan itu Kevin, tanganmu akan terluka sangat parah!” Aku berteriak panik.

“Orang ini memang gila. Tapi aku tak bisa membiarkan Aisyah terluka. Dirga, jika kau kembali ke kejadian sebelumnya, kau harus terus mengepakan sayap kupu-kupumu Dirga. Terbanglah dari lingkaran kematian ini dan ubahlah masa depan.” Kevin mulai memasukan tangannya ke aquarium.

“Tidak.. Keviin!“

Arrgghh!

Sudah terlambat. Aku tak bisa mencegah Kevin. Rasa sakit saat tangannya mulai memerah dan melepuh akibat air accu tak dihiraukannya. Kevin terus mencari kunci itu walaupun dia mengerang kesakitan dan menangis penuh penderitaan.

Aku memejamkan mataku dan mengambil napas dalam-dalam. Aku harus tenang. Ini akan sangat merepotkan dan menyakitkan tapi apa boleh buat, harus kulakukan.

“Repleti sunt ira et dolore.” Aku menggumamkan kalimat yang dikatakan orang sinting itu sebelumnya. Ah, bahkan aku tak tau apa artinya tapi malah kuucapkan. Bodoh sekali.

Tak kusangka orang bertopeng itu menoleh begitu aku mengucapkan kalimat tadi. Ini kesempatanku, aku harus memanfaatkan ini.

“Hey, orang sinting! Apa kau percaya aku tidak takut akan kematian?!” Aku berteriak menatap orang itu tanpa ragu.

Orang itu mulai berjalan mendekatiku sambil mengeluarkan sebilah pisau. Setelah membunuh Bagas dengan pisau, melukai Rizky ditambah menusuk kakiku dia ternyata masih punya pisau untuk melukaiku. Ah, sebenarnya dia punya berapa pisau sih?

“Bisakah kau diam sebentar? Aku sedang asyik melihat gameku yang seru.“ Ucapnya datar dengan tatapan mata yang tajam.

Glek.

Aku menelan ludah, dia menyeramkan sekali. Tenang Dirga, jangan terlihat panik apalagi ketakutan. Aku menyemangati diriku sendiri.

“Blah…blah…blah…..”

“Kau ini memang sangat sensitif dan cerewet ya! Aku tidak menyangka kau aslinya seperti ini. Padahal saat kau membunuhku dan Bagas kau terlihat sangat menyeramkan.”

“Aku belum membunuhmu sialan.”

Craatt.

Arrgh.

Orang itu mencabut pisau di kakiku dengan paksa. Aku menggigit bibirku, rasanya sakit sekali. Sepertinya ini tidak akan berakhir dengan cepat dan aku pun akan merasakan rasa sakit yang luar biasa untuk beberapa menit ke depan. Aku meringis namun tetap mempertahankan sikap datarku.

“Kau memang benar-benar tidak bisa gentle ya. Menarik pisau saja menggunakan tenaga dan emosi.”

“Diamlah Dirga, aku pastikan kau akan mati dengan cara yang mengenaskan!” Orang itu mulai menodongkan pisau kearahku.

“Apa kau tidak ingat? Aku sama sekali tidak takut akan kematian. Kupastikan aku akan menghajarmu saat kita bertemu lagi.” Aku menatap tajam orang itu.

“Hahahaha….!! Sepertinya kau sendiri  yang sinting mengatakan tidak takut akan kematian. Aku tidak menyangka kau ini memang anak yang sangat unik Dirga. Sayang sekali aku harus membunuhmu sekarang.”

Aku menarik napas dalam-dalam. Ini akan menjadi bagian terburuk dari semua kejadian ini. Haaah ini waktunya untuk mengulang waktu.

Cleebb!

Clebb!

Clebb!

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!