Kubuka mataku perlahan terlihat teman-teman berlalu-lalang membawa barang bawaan mereka ke luar bus. Sepertinya aku berhasil rewind, aku menarik napas lega. Cepat-cepat aku bangun dari dudukku dan berlari mencari Kevin. Kali ini aku harus bisa meyakinkannya.
“Kevin tunggu sebentar!” Teriakku saat kulihat Kevin akan keluar bus bersama Aisyah.
“Hah.. hah.. tunggu, aku ingin bicara.” Ucapku sambil terengah-engah.
Aisyah menatapku heran dan Kevin mengangkat sebelah alisnya. Aku cepat-cepat menarik lengan Kevin ke dalam bus, Aisyah ikut tertarik juga karena sepertinya mereka sedang berpegangan tangan. Dasar pasangan mesra mereka tidak tahu saja apa yang akan terjadi beberapa jam ke depan.
“Kau ini apa-apaan sih, main tarik begitu saja. Kau kira aku bonekamu?” Protes Kevin sambil melepaskan tanganku dengan kasar.
“Aku minta maaf Kevin, tapi ini penting sekali kau harus menolongku.”
“Tidak mau. Lakukan saja sendiri.”
Ah, belum apa-apa sudah ditolak. Kevin yang biasa memang sulit untuk diajak kompromi. Aku berusaha menjelaskan peristiwa pembunuhan yang akan terjadi beberapa jam ke depan pada Kevin. menjelaskan banyak hal yang terjadi padanya termasuk semua teman-teman yang terbunuh. Tapi kevin menolak mentah-mentah apa yang kukatakan padanya.
“Kau habis bermimpi jadi pemeran superhero ya. Jangan mengada-ada. Aku tak ada waktu untuk membicarakan omong kosongmu. Ayo Aisyah kita harus bergegas, teman-teman sudah berbaris di luar.”
Aisyah tampak menarik baju Kevin dan menggeleng pelan. Kurasa Aisyah ingin mengatakan jangan terlalu kasar padaku. Seketika Kevin membuang napas dan cemberut. Benar juga. Aisyah! Kevin pasti percaya jika kukatakan hal itu.
“Kevin kau harus percaya padaku. Kita harus menyelamatkan teman-teman. Kau sendiri yang bilang aku harus menggunakan force majeureku. Kita harus selamatkan Jeanne yang sangat kau sayangi!”
Kevin tertegun dengan apa yang di dengarnya. Ia tampak kebingungan sekaligus tak percaya.
“Kau tau Jeanne?”
“Ya, aku tahu. Dia adalah..hmph.” Dengan cepat Kevin menutup mulutku dengan tangannya.
“Jangan katakan itu di sini.” Ucapnya berbisik di telingaku.
Aku mengangguk paham dan Kevin pun melepaskan bekapannya sementara Aisyah terlihat kebingungan tak mengerti apa yang terjadi. Dia tampak menggerakan tangannya pada Kevin sontak wajah Kevin memerah, kurasa Aisyah menanyakan siapa itu Jeanne. Kevin lucu sekali membuatku tak bisa menahan tawa dan terkikik geli. Tiba-tiba Kevin melayangkan tatapan tajamnya padaku seolah ingin mengatakan “Jangan bicara pada siapapun atau kau mati.” Aku pun menganggukan kepala dengan kaku. Kevin ternyata memang hebat membuat orang merasa gentar. Pantas saja waktu itu Pak Koko dan Bu Nina langsung menuruti apa yang dikatakannya.
“Aisyah, aku ada urusan dengan Dirga sebentar. Kau duluan saja pergi berbaris di luar ya.”
Seperti biasa Aisyah menurut tanpa banyak tanya. Aisyah keluar bersama anak-anak lain yang masih sibuk keluar masuk membawa barang bawaan mereka. Setelah Aisyah keluar Kevin segera menarikku ke kursi belakang bus.
“Jadi kau benar-benar datang dari masa depan?” Tanya Kevin langsung ke inti.
“Ya.”
“Bagaimana kau bisa tahu tentang Jeanne?”
“Kau di masa depan bilang. Katakan padaku kita akan menyelamatkan Jeanne. Jeanne D`Arc ku, pahlawanku.”
“A-aku bilang begitu?” Tanya Kevin tak percaya.
“Kau juga bilang jika kau masih tak percaya aku bisa menamparmu sekerasnya. Apakah perlu aku tampar sekarang juga?”
“Baiklah-baiklah aku akan membantu. Tolong ceritakan padaku apa yang akan terjadi nanti dengan detail.”
Aku tersenyum senang dengan kesediaan Kevin yang akan membantu. Ini lebih mudah dari yang kukira. Aku menceritakan semua yang terjadi pada Kevin dengan lengkap. Urutan kejadian yang terus berulang, teman-teman yang dibunuh, bahkan soal Aisyah, dan semua yang kualami.
“Kita harus membatalkan acara jurit malam Kevin. Disanalah semua kejadian buruk berawal. Dan jika hal buruk terjadi kita harus segera mencari signal untuk menelepon polisi, kita tidak bisa menggunakan bus, entah bagaimana orang miterius tersebut bisa mengambil accu bus kita.”
“Tanpa kau beritahu pun aku sudah tahu. Menurut ceritamu- Ah, Dirga hidungmu berdarah!”
Refleks aku menyentuh hidungku, cairan kental berwarna merah terlihat membasahi jariku. Apa setelah jadi time traveler aku terjangkit suatu penyakit ya. Rasanya kepalaku jadi pusing sekali dan tubuhku mendadak kehilangan tenaga.
Bruuk.
…
…
…
Desiran angin malam menerpa wajahku. Kubuka mataku perlahan, terlihat pepohonan dan daun-daun yang jatuh. Dimana ini? Rasanya aku seperti terbang.
“Kau sudah bangun Dirga?”
Terdengar sebuah suara pria membangunkanku. Ah, ternyata aku sedang digendong oleh Pak Koko. Terlihat Kevin, Bagas, Rizky, Aisyah, Sasha dan Roy yang juga sedang berlari.
“Maaf ya, kamu malah terbangun di tengah hutan seperti ini.”
Pak Koko menurunkanku dari gendongannya Saat kakiku menapak tanah, aku merasa begitu pusing dan hampir kehilangan keseimbangan. Kevin dengan segera merangkulku. Wajahnya terlihat begitu cemas. Apa dia menghawatirkanku? Eh, tunggu, yang lain pun memasang raut wajah yang sama. Cemas dan sedih. Ada apa ini?
Aku melirik ke arah Kevin dan bertanya.
“Kevin, apa yang terjadi di sini?”
“Seperti yang kau bilang, kita harus menggagalkan jurit malam. Itu berhasil kulakukan. Begitu kau pingsan aku langsung meyakinkan Pak Koko bahwa jurit malam itu berbahya. Kami berdebat cukup lama soal ini. Pada akhirnya Pak Koko mengalah dan membatalkan jurit malam. Tapi kejadian yang buruk juga terjadi diluar apa yang kau katakan padaku.”
Aku mengeryitkan alis tak mengerti.
“Bapak dan Bu Nina mengatakan jurit malam tidak jadi diadakan karena tidak diizinkan oleh panitia.” Pak Koko mulai menjelaskan situasinya padaku.
“Jadi kami pun mengganti acara jurit malam dengan acara makan-makan bersama. Meski banyak protes dari anak-anak, namun kami tetap melaksanakan acara makan-makan ini. Anak-anak lain kemudian mulai bersiap untuk memasak, kami membagi tugas dan memasak dengan tenang. Namun tak lama kemudian terdengar jeritan yang berasal dari sekumpulan anak-anak yang sedang membuat bumbu masakan. Chika dan Amel menjadi tak terkendali. Mereka menggila seperti sedang kerasukan. Mereka menyerang siapapun dengan brutal dan saat itu karena kebetulan Bu Nina yang sedang mengawasi mereka tertusuk pisau.”
Aku memegang kepalaku dengan lemas. Wajah Pak Koko terlihat sangat pucat, teman-teman yang lain memasang raut wajah sedih. Aku tak mengerti mengapa setelah jurit malam digagalkan, kejadian buruk lain malah terjadi. Dan mengapa Bu Nina tetap tewas tertusuk pisau.
“La-Lalu bagaimana dengan teman-teman yang lain?” Tanyaku pada Kevin.
“Karena kejadiannya sangat tiba-tiba kami semua lari tak tentu arah untuk menyelamatkan diri. Rian yang ingin menolong Bu Nina menjadi target penyerangan brutal tiga gadis sinting itu. Dia dikejar ke dalam hutan. Pak Koko kemudian mengambil alih situasi dan kami segera meninggalkan perkemahan berlawanan arah dengan perginya ketiga gadis tadi. Sisanya hanya ada aku, Pak Koko, Aisyah, Rizky, Roy, Sasha dan juga kau.” Jelas Kevin.
“Kami terpaksa meninggalkan Rian, jika kami menolongnya sangat mungkin kami ikut mati.” Tolong maafkan Bapak yang tidak becus menjaga kalian ini.”
Aku menghela napas gusar. Kejadian ini sama sekali berbeda dari rewind sebelumnya. Pak Koko tampak menitikkan air mata dengan wajah yang sungguh sedih. Pasti sangat berat baginya menerima kenyataan ini. Apalagi tanggung jawabnya sebagai wali kelas dan pembimbing kami telah gagal. Aku menundukkan kepala merasa ikut sedih. Suasana hutan malam yang hening menambah kesedihan kami. Keadaan kali ini cukup kacau. Meskipun hanya tiga orang yang terbunuh, aku tetap gagal melindungi teman-temanku. Aku merasa tak berguna, mengapa aku harus pingsan sih.
Tiba-tiba kulihat siluet seseorang di antara rimbunnya pepohonan dan gelapnya malam. Tampaknya bukan hanya aku yang melihat siluet seseorang itu, teman teman pun melihat ke arah yang sama.
Srek.
Terdengar sebuah suara di antara semak-semak. Kami semua refleks menolehkan kepala ke arah suara barusan. Dapat kulihat seseorang berdiri di sana memakai baju hitam dengan topeng gas. Aku membulatkan mata kaget.
“Itu pembunuhnya!” Teriakku sambil menunjuk manusia bertopeng itu.
Semua orang tampak terkejut dengan apa yang kukatakan. Kevin dan Roy mendekat padaku sementara Bagas bersama Pak Koko melindungi anak perempuan.
“Mau apa kau ke sini?” Tanyaku langsung pada manusia bertopeng itu.
Tanpa menjawab apapun orang itu hanya terkekeh kecil padaku.
“Kau tidak akan bisa lari dari kematian.”
Aku terdiam, apa maksudnya mengatakan itu. Tiba-tiba saja Bagas berlari ke depan dan berniat menyerang manusia bertopeng itu. Apa yang dilakukan si bodoh itu?
“Mati kau orang jahat.” Teriak Bagas sambil melayangkan tinjunya. Tentu saja orang itu menghindar, akhirnya kami membantu Bagas dan bersiap maju ke depan. Orang itu kemudian berlari kabur dan menghilang. Apa yang terjadi?
“Kemana perginya manusia bertopeng itu?” Bagas bertanya dengan terkejut.
Aku sama terkejutnya dengan Bagas, orang itu berlari dengan sangat cepat. Tentu saja yang lain pun tercengang dengan kejadian barusan.
“Kevin, apa rencana kita selanjutnya?”
“Kita akan menuju bukit dan menelepon polisi. Semoga saja sinyal di sana bagus dan kita bisa meminta bantuan. Sementara itu kita harus saling menjaga satu sama lainnya.”
Aku mengangguk tanpa bertanya lagi. Kami akhirnya berjalan menuju bukit. Terlihat wajah cemas bercampur sedih dari teman-teman. Rizky dan Bagas terlihat cukup baik walaupun mereka terlihat sangat sedih. Roy seperti sebelumnya selalu pucat. Aku yakin dia muntah melihat Bu Nina yang tertusuk. Aisyah dan Sasha saling merangkul, mata mereka sembab. Sementara aku Kevin dan Pak Koko terdiam seribu bahasa.
Aku berjalan bersisian dengan Kevin di belakang yang lainnya. Untung saja sebelumnya Aisyah bersama Sasha jadi aku bisa dengan leluasa berbicara pada Kevin.
“Kevin, apa kau bisa menebak siapa pelaku pembunuhan ini?” Tanyaku singkat.
Kevin menghela napas dan mulai memasang wajah serius.
“Pembunuhnya salah satu diantara kita.”
Aku terkejut mendengar ucapan Kevin. Bagaimana bisa pembunuhnya salah satu dari kita? Perlahan satu persatu diantara kita mati di sini.
“Aku tidak sembarang mengambil teori ini Dirga.” Ucapnya seolah bisa membaca pikiranku.
“Aku menyimpulkan teori ini berdasarkan informasi penting yang secara tidak sengaja kau berikan kepadaku.”
Aku terdiam sejenak, berusaha mencerna apa yang Kevin katakan.
“Informasi? Aku hanya menceritakan kejadian sebelumnya kepadamu dengan beberapa petunjuk yang kurang penting menurutku.”
Kevin menggelengkan kepala.
“Tidak, cerita dan petunjuk yang kau berikan cukup berguna untukku. Ada beberapa hal yang janggal di sini. Pertama, sesuai dengan ceritamu, di pengulangan waktu sebelumnya kita ditangkap bukan? Disana kita juga melakukan sebuah game. Ah, tidak, lebih cocok disebut disiksa sih.”
Aku mengangguk.
“Ya, dan disitu kau bilang kepadaku tentang Jean-“
Bugg!!
Kevin memotong kalimatku dan memukul kepalaku dengan keras.
“Tolong jangan bahas hal itu lagi disini.” Ucapnya berbisik, wajah Kevin terlihat bersemu merah.
Aku mengusap-usap kepalaku. Sialan, pukulannya tadi benar-benar keras. Untung saja aku tidak kembali pingsan. Tapi Kevin manis juga saat malu-malu begini. Aku cengengesan.
“Ehem, aku lanjutkan.” Kevin berdehem pelan untuk menghilangkan rasa malunya. Aku ikut memperhatikan dan mulai serius.
“Disitu Si pembunuh menyebutku Mr. overprotective, dan yang mengetahui julukan tersebut hanya kawan-kawan sekelas saja.”
Saat mengatakan kawan sekelas Kevin memelankan suaranya, sepertinya dia khawatir pembicaraan kami di dengar oleh teman-teman di depan sana. Dia pintar sekali bisa menarik kesimpulan seperti itu. Kenapa tidak terpikirkan olehku sebelumnya ya?
“Disitu juga, Si pembunuh menyebut kita teman-teman. Seolah dia memang sudah sangat dekat dengan kita.” Ucap Kevin melanjutkan hipotesisnya.
“Kevin, kalau pembunuhnya ada diantara kita, bisakah kau menebak siapa pelakunya?”
Kevin menggeleng.
“Tidak, terlalu banyak orang yang bisa dicurigai disini termasuk kau Dirga”
Aku terkejut.
“Heeh aku?!”
Seketika semua orang yang berada di depan berbalik melihat ke arah kami dengan tatapan bingung. Aku cengengesan menatap mereka semua, mereka mengendikkan bahu dan kemudian melanjutkan perjalanan lagi.
Bugh.
“Pelankan suaramu dasar bodoh.” Kevin memukul kepalaku untuk kedua kalinya.
“M-maaf. Aku kaget sekali. Tapi kenapa aku?” Ucapku sambil memelankan suara.
“Ya, kau patut dicurigai Dirga! Bisa saja kau mengarang semua cerita ini agar kawan-kawan percaya dan menganggapmu good guy disini” Kevin mengacungkan jari telunjuknya tepat ke arahku dengan tatapan yang sangat serius, dia terlihat memyeramkan.
“T-Tidak mungkin! Aku di sini bersama kalian! Bagaimana aku bisa membunuh? Dan juga daritadi aku pingsan!”
Kevin terdiam sejenak. Sepertinya dia sedang berpikir keras.
“Kau bisa saja menyuruh seseorang untuk melakukan semua ini. Lalu, disini kau berperan sebagai planner yang berusaha mengecoh kami dan memasukan kami kedalam perangkapmu!”
Glek!
Aku menelan ludahku secara paksa. Sialan, Kevin memang sangat pintar! Dengan petunjuk yang sesederhana ini saja dia bisa menyusun teori. Tapi tetap saja bukan aku pelakunya!
Kevin menurunkan acungan telunjuknya dan tersenyum tipis.
“Walaupun kau sangat berpotensi menjadi tersangka disini. Tapi rasanya itu tidak mungkin, aku sangat percaya padamu.”
Aku tertegun mendengar ucapannya.
“Kenapa? Kenapa kau sangat percaya padaku? Pedahal awalnya kau seperti yang membenciku.”
“Jeanne D’Arc, yang mengetahui hal itu hanya aku sendiri dan aku tidak pernah memberitahukan hal itu kepada siapapun.” Ucap Kevin sambil melihat kearah Aisyah di depan sana dengan tatapan yang sangat lembut. Kevin kemudian menoleh ke arahku dengan wajah bersemu.
“Kemudian kau secara tiba-tiba mengetahui hal itu dan ya itu membuatku syok sekaligus malu setengah mati hahaha.” Kevin tertawa kecil.
Aku terkejut melihat sisi lain Kevin yang tidak terduga ini.
“Sepertinya kau tidak seburuk yang kubayangkan ya.” Ucapku sambil tersenyum simpul.
Akhirnya kami sampai di bukit. Dengan segera Pak Koko menelepon polisi. Aku membuka lockscreen handphone dan melihat bar signal. Semoga setelah ini kami bisa pulang dengan selamat.
“Halo! Kami membutuhkan bantuan! A-Ada pembunuhan di sini! Ya! Ya! Di Bukit Mooi!”
Pak Koko berhasil menelepon polisi. Ah, akhirnya setelah melewati rintangan yang sulit aku bisa selamat. Aku harap kawan-kawan yang menjadi korban tidak marah kepadaku, terutama Rian yang mengorbankan dirinya demi kita semua.
Aku merebahkan diriku dibawah pohon bersama Kevin. Badanku letih sekali, rasanya tulang-tulangku remuk. Benar-benar hari terburuk didalam hidupku. Teman-teman yang lain pun ikut mengistirahatkan dirinya di bawah pohon yang berbeda. Hari yang melelahkan.
“Dirga, Aku merasa sangat takut” Ucap Kevin tanpa ekspresi.
Aku menatapnya penuh heran. Baru saja dia menunjukkan ekspresi manisnya padaku, sekarang sudah berubah lagi dengan drastis.
“Kau kenapa?”
“Aku takut, jika ingatan dari beberapa timeline ke belakang tiba-tiba teringat olehku. Aku tidak ingin melihat memori dimana aku kehilangan Aisyah.”
Oh, Aisyah ternyata, hebat sekali Aisyah bisa menjungkir balikkan perasaan dan emosi Kevin seperti ini.
“Sepertinya, Aisyah sangat berharga untukmu Kev, melebihi apapun yang kau miliki.”
Kevin mengangguk sambil tersenyum.
“Ya, dia sangat berharga bagiku, dia pahlawanku. Mau dengar kisahnya menyelamatkan diriku?”
“Yes please Mr. overprotective hahaha.”
“Semuanya berawal saat ayahku dipecat dari pekerjaannya. Saat itu aku masih SMP dan masih jadi bocah cengeng yang penakut..”
…
…
…
BRAK! Suara keributan yang berasal dari dapur terdengar.
“Rin, aku janji aku akan mendapat pekerjaan baru dan tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi. Aku janji kita akan bahagia.”
“Omong kosong! Kau selalu mengatakan hal itu. Bagaimana mungkin sekarang aku akan percaya?! Kau sudah sangat mengecewakanku.”
“Tidak, aku- aku tak sengaja melakukan hal itu.”
“Tak sengaja katamu?! Kau korupsi sambil tertidur hah?! Kau mempermalukan keluarga kita. Seluruh tetangga membicarakan keburukanmu, kau mengambil uang orang lain dan memberi makan istri dan anakmu uang haram!”
“Baiklah, aku memang melakukannya. Aku minta maaf. Kembalilah padaku Rin..”
“Terlambat! Aku tak ingin hidup bersamamu lagi.”
Seiringan dengan mengatakan itu, ibu akhirnya pergi dan meninggalkan kami. Aku yang mengintip di balik pintu tak kuasa menahan ibu untuk tetap tinggal. Aku hanya menangis melihat kepergiannya. Ayah yang frustasi mengamuk dan melemparkan barang-barang. Dapur kami benar-benar berantakan.
Semakin hari kelakuan ayah semakin tidak terkendali. Kegiatannya hanya minum minuman keras dan mabuk. Ekonomi keluarga kami semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Ayahku sama sekali tidak bekerja, kesehariannya hanya berfoya-foya menghabiskan sisa uang yang ada di tabungan keluarga kami. Pada akhirnya, aku harus bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sekolah tidak mengetahui hal ini, aku tidak pernah membicarakan hal ini kepada siapa pun. Aku tidak pernah konsultasi ke guru BK, curhat kepada teman, bahkan sahabatku pun tidak kuberi tahu. Aku simpan semua ini sendirian. Toh, walaupun aku cerita atau curhat, pasti aku menjadi bahan gunjingan dan bahan bully di kelas.
Perlahan aku mulai berubah, dari yang ceria dan selalu ranking di kelas menjadi anak pendiam dan tidak memikirkan nilai sama sekali. Untuk apa memikirkan nilai? Toh hidupku sudah hancur. Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini.
…
Kriing~ Kriiing~
Bel masuk berbunyi, semua murid yang mendengarnya segera bergegas pergi ke kelas. Beberapa diantara mereka mengeluh karena jam istirahat terasa sebentar. Beberapa guru pun sama, mereka merasa jadwal istirahat sekolah ini sangat sebentar. Tapi tidak ada yang berani protes secara langsung kepada kepala sekolah, dia terkenal sangat galak dan sangat disiplin, dia tidak ingin sekolah favorit di kota kami ini turun reputasinya.
“Anak-anak silahkan duduk dengan tenang. Bapak ada pengumuman untuk kalian.”
Ah ya, guru berusia 25 tahun di depan kami bernama Suparjo atau biasa di panggil Pak Ajo. Dia wali kelas kami, orangnya baik dan mengasyikan walaupun mukanya terlihat sedikit garang. Dia baru menikah dua bulan yang lalu. Tidak disangka-sangka, istrinya ternyata Bu Riska, guru matematika di sekolah kami. Awalnya murid-murid hanya menjodoh-jodohkan mereka. Tapi mereka akhirnya jatuh cinta dan menikah. Sangat tidak di duga-duga.
“Kita kedatangan murid baru, dia berasal dari luar kota. Kalian jangan menggoda dia ya, Apalagi naksir dan menjadikannya sebagai gebetan.” Ucap Pak Ajo sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Bukannya Bapak ya, yang suka menggoda wanita? Salah satu korbannya Bu Riska, akhirnya jadi saling suka dan menikah deh~” Celetuk salah satu murid. Seketika seisi kelas tertawa.
Ehem!
Muka Pak Ajo memerah. Sepertinya dia malu dijadikan bahan candaan murid-muridnya sendiri.
“Ayo Nak, segera masuk dan perkenalkan dirimu.”
Murid baru itu masuk ke kelas. Rambutnya hitam panjang terurai dengan jepitan imut berkarakter panda tersemat di dekat telingannya. Bola matanya hitam indah dengan wajah bulat yang menggemaskan. Dia begitu manis, kurasa dia mungkin akan masuk kategori murid tercantik di sekolah ini sekarang.
“Nah, silakan perkenalkan dirimu.” Ucap Pak Ajo sambil menepuk pundak gadis manis itu.
Gadis itu mengganggukkan kepalanya dan mulai menggerakan tangannya membentuk sebuah gerakan yang aneh namun familiar.
Seketika Pak Ajo menepuk dahinya.
“Ah, maaf anak-anak, Bapak lupa kalau teman baru kalian ini memiliki cara berkomunikasi yang berbeda. Dia menggunakan bahasa isyarat.” Ucap Pak Ajo sambil menggaruk-garuk kepala.
Huuuu!!!
Seketika seisi kelas meyoraki Pak Ajo.
“Ehem! Teman baru kalian ini bernama Aisyah! Umm anu Bapak tidak tahu apa-apa lagi selain namanya. Jadi, silahkan duduk Nak Aisyah.” Pak Ajo menggaruk-garuk kepalanya lagi.
Gadis manis bernama Aisyah itu segera berjalan dan duduk di kursi yang kosong di depanku. Dia cantik dan cukup menarik meskipun dia bisu. Tapi aku tidak peduli. Aku tidak akan mengejar apapun lagi di dunia ini. Kehidupanku sudah berakhir total.
“Baiklah anak-anak! Konsentrasi semua! Kita akan mulai pembelajaran ini dengan cepat agar durasi waktu istirahat kita lebih lama!” Seru Pak Ajo.
…
Kring~
Bel istirahat berbunyi, aku melangkahkan kakiku keluar dari kelas. Aku seperti biasa akan menyendiri di ruang musik. Ah, semoga saja tidak ada yang menggunakan pianonya.
Aku membuka pintu ruang musik dan melihat sekeliling. Syukurlah tidak ada seorang pun di sini, aku bisa memainkan piano sekolah sampai jam istirahat berakhir. Hanya dengan memainkan piano aku bisa melepaskan semua beban pikiranku.
Aku mulai duduk dan menekan tuts piano. Moonlight Sonata, ya ini lagu yang kumainkan sekarang. Jariku terus menari di atas tuts, membuat ruangan ini dipenuhi oleh suara piano yang merdu.
Tiba-tiba, terdengar sebuah alunan biola yang mengiringi permainan musikku. Gesekan antara bow dan senarnya menciptakan nada-nada yang indah sekali. Siapa orang yang mengiringi permainanku ini sekarang? Dia sangat terlatih dengan biolanya.
Aku memutuskan untuk tetap fokus dengan permainan pianoku. Seseorang ahli biola mengiringi permainan pianoku? Ini momen yang sangat langka di hidupku, aku tidak boleh meyia-nyiakan momen ini!
Akhirnya permainanku selesai, aku melemaskan jari-jari lenganku.
Puk~
Seseorang menepuk pundakku, aku pun berbalik ke arah tepukan itu.
“Ah, ternyata anak baru itu ya? Aku tidak menyangka dia ahli memainkan biola.” Ucapku dalam hati.
Dia tersenyum ke arahku dan mencoba berkomunikasi padaku menggunakan bahasa isyarat. Tapi sayangnya aku tidak mengerti sedikit pun apa yang ingin dia sampaikan.
“Maaf ya, aku tidak mengerti apa yang ingin kau katakan.” Ucapku merasa bersalah.
Dia cemberut, dia mengeluarkan buku dari tasnya dan mulai menuliskan sesuatu. Kemudian dia menunjukkan buku itu padaku.
“Aku belum berkomunikasi dengan satupun murid di sekolah ini. Aku sangat kesepian. Mereka menghindariku karena susah berkomunikasi denganku.”
Aku menatap matanya tanpa mengatakan apapun.
“Kasihan sekali dia, di hari pertamanya sekolah, tidak ada satupun murid yang ingin berkomunikasi dengannya” Ucapku dalam hati.
Dia berdiri dan mulai menggosokan bow biolanya kembali. Nada nada indah nan menenangkan keluar dari gesekan biolanya itu. Aku memejamkan mataku dan mendengarkannya dengan sepenuh hati. Lagu apa ini? Lagunya sangat menenangkan hati dan pikiran, rasa letih dan beban pikiranku seketika hilang! Apa lagu ini dibuat oleh dia?
“Aisyah, apa judul lagu ini?” Tanyaku kepada Aisyah.
Aisyah menaruh biolanya dan mengambil sesuatu di dalam tasnya. Dia tersenyum dan memberikan sesuatu yang dia ambil dari tasnya itu kepadaku.
“Buku…?”
Aisyah mengangguk. Dari ekspresinya aku bisa simpulkan dia mencoba mengatakan “Bacalah buku ini!”
“Sejarah Orleans….”
…
…
…
“Tunggu Kevin, biar kutebak. Setelah ini kau dekat dengan Aisyah kan? Kau belajar bahasa isyarat yang digunakan Aisyah dan perlahan kau jatuh cinta dengan Aisyah ya?” Ucapku menaikan sebelah alis dan menyikutnya.
Ekspresi Kevin berubah, kulit wajahnya memerah sampai ke telinga.
“Berisik. Kau mau mendengarkan lanjutan ceritanya atau tidak.” Ucap Kevin setengah merajuk.
“Ahaha, tentu saja. Ayo lanjutkan kembali. Menyenangkan sekali menggodamu ya.”
Dengan wajahnya yang memerah Kevin kemudian melanjutkan ceritanya.
…
…
…
Bel masuk sudah terlebih dahulu terdengar nyaring sebelum aku bertanya lebih lanjut tentang buku itu. Aku akhirnya meminjam buku itu untuk kubaca di rumah. Dengan ramah Aisyah menganggukan kepalanya sambil tersenyum. Ah, dia cantik sekali.
Hari ini aku tidak ada shift kerja jadi aku bisa langsung pulang ke rumah dan membaca buku dari Aisyah. Hari masih siang saat aku sampai di rumah. Pintu bercat coklat pudar itu tampak begitu suram. Aku mendesah pelan, seharusnya tadi aku mampir ke suatu tempat dan pulang saat malam tiba. Dia pasti ada di dalam dengan khayalan gilanya.
Dengan berat hati akhirnya aku masuk ke dalam rumah. Hening, tak ada suara. Kulihat dia sedang tertidur di atas sofa dengan berbotol-botol minuman keras tergeletak di lantai. Seluruh ruangan tampak gelap meski matahari masih bersinar hangat di luar. Tentu saja ruangan di rumah ini gelap, semua gorden tak ada yang di buka satu pun. Sepertinya dia tak ingin terusik apapun. Aku pun tak peduli padanya, terserah apa yang dia lakukan aku tak peduli. Cepat-cepat aku masuk ke dalam kamarku dan mengunci pintu.
Kulemparkan tas sekolahku ke atas kasur. Huft, kapan ini berakhir. Aku mengusap wajah gusar, kuharap dia tidur selamanya. Akhirnya aku membaca buku yang kupinjam dari Aisyah.
Jeanne d'Arc lahir di Domremy, Perancis, pada 1412. Dia merupakan putri dari buruh tani yang miskin. Dia tidak pernah menjelajah jauh dari rumah, tapi dia begitu terampil merawat hewan dan menjahit. Jeanne tumbuh ketika Perancis dilanda perang berkepanjangan dengan Inggris yang kemudian dikenal sebagai Perang Seratus Tahun.
Sebelumnya, Raja Inggris Henry V menyerbu Perancis utara pada 1415. Raja Henry V mendapat takhta atas Raja Perancis Charles VI. Kematian keduanya pada 1422 mengantarkan putra Henry sebagai pewaris kerajaan Perancis. Namun, para pendukung putra raja Charles VI, Charles VII, ingin mengembalikan mahkota kepada raja Perancis yang sesungguhnya. Namun, para pendukung putra raja Charles VI, Charles VII, ingin mengembalikan mahkota kepada raja Perancis yang sesungguhnya.
Pada usia 13 tahun, Jeanne mendengar suara-suara yang dia yakini dikirim oleh Tuhan. Suara itu memberinya misi sangat penting, yaitu menyelamatkan Perancis dan mengusir musuh. Dituntun oleh visi dan tekad yang kuat akhirnya Jeanne memutuskan untuk pergi ke Baudicourt, salah satu pendukung Charles. Awalnya Baudicourt menolak Jeanne dan membuat Jeanne pulang kembali ke kampung halamannya. Namun Jeanne yang bertekad kuat kembali ke Baudicourt dengan membawa beberapa penduduk desanya yang disebut sang Dara yang ditakdirkan menyelamatkan Prancis. Akhirnya Baudicourt menyerah dan Charles memberikannya pasukan untuk memimpin pertempuran di Orleans.
Jeanne berhasil memenangkan pertempuran dan reputasinya meningkat. Lalu, raja memerintahkan Joan untuk menghadapi serangan Burgundi di Compiegne. Dalam usahanya membela kota dan penduduknya, dia terlempar dari kudanya, dan ditinggalkan di luar gerbang kota. Jeanne ditangkap dan di intrograsi berpuluh-puluh kali namun dia tetap memiliki tekad yang kuat dan mengaku tidak bersalah walaupun dia dituding melakukan ilmu sihir, bidah, dan tuduhan lainnya. Disisi lain, raja Prancis sama sekali tidak peduli, dia sama seklai tidak melakukan perundingan untuk membebaskan Jeanne.
Pada akhirnya, Jeanne dibawa ke pasar lama Rouen dan di eksekusi mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Jeanne mati dengan tehormat sebagai pahlawan Prancis.
Aku tersenyum tipis, buku ini cukup bagus. Jeanne yang sangat pemberani. Tapi apa maksudnya memainkan lagu itu dan mengaitkannya dengan buku ini? Rasanya tidak nyambung sekali.
…
Sore hari yang cerah dan hangat, aku menghapus papan tulis dengan senyum tipis mengembang di wajahku. Ya, saat ini aku sedang piket bersama teman yang lain di kelas. Aku ingin piketku segera selesai dan segera jalan-jalan bersama Aisyah. Saat mengingat kami akan jalan-jalan ke taman kota nanti seketika senyumku mengembang lebih lebar. Ah, seperti orang gila saja tersenyum sendiri, untung saja aku membelakangi teman-teman yang lain karena sedang menghapus papan tulis. Jadi senyum anehku ini tidak terlihat. Tunggu, tejak kapan ya aku jadi seceria ini. Aku menerawang ke luar jendela menatap langit.
Hidupku perlahan berubah, aku merasakan lagi apa itu bahagia. Meski kelakuan ayahku semakin hari semakin buruk namun aku sangat bersyukur dengan kehadirannya di sisiku dapat mengobati rasa sedihku selama ini. Hari demi hari kami habiskan bersama, aku diam-diam belajar tentang bahasa isyarat agar komunikasiku dengan Aisyah bisa lebih lancar. Setiap hari kami menghabiskan jam makan siang di ruang musik dan memainkan lagu bersama-sama.
Aku sangat menikmati waktuku bersamanya. Bila esok datang, yang kutunggu dan kuharapkan bukanlah bagaimana agar waktu cepat berlalu, bukanlah bagaimana aku bisa melepaskan diri dari ayahku, bukan juga mencari pelarian dari rumah yang tidak nyaman bagai neraka. Tapi dirinya dengan senyum manis merekah dengan rona merah di pipinya. Meski aktivitas yang kami lakukan berulang-ulang, aku tak pernah bosan. Setiap hari bagai euforia jika bersamanya.
Lihatlah, gadis cantik itu kini tengah berdiri menungguku piket bahkan menawarkan diri untuk membantuku dengan senyum manisnya. Aku menggerakan tangan tanpa mengucapkan kata-kata, berbicara padanya untuk menunggu di luar kelas saja. Aisyah mengangguk dan menunggu di luar kelas. Beberapa waktu terakhir aku memutuskan untuk belajar menggunakan bahasa isyarat agar komunikasiku dengan Aisyah bisa lebih lancar. Hasilnya tentu saja baik, ditambah aku bisa berbicara apapun pada Aisyah tanpa diketahui orang lain karena di kelas ini hanya aku yang mengerti bahasa isyarat.
Aku bersyukur Tuhan telah memberikan salah satu malaikatnya untukku disaat aku berpikir aku sudah tidak memiliki siapa pun lagi. Beberapa waktu lalu aku memberanikan diri untuk menceritakan masalahku pada Aisyah. Aku merasa ragu dan takut ia akan meninggalkanku. Namun yang terjadi sungguh tak pernah terpikirkan, dia memelukku dan mengusap lembut kepalaku sambil menangis.
“Pasti sangat berat menjalani semuanya sendirian.”
Hari itu pertama kalinya aku mendengar Aisyah berbicara meskipun terdengar tak jelas. Mengingat hal itu membuatku tersenyum menatapnya. Aku segera mempercepat pekerjaanku, aku ingin segera pergi jalan-jalan dengan Aisyah.
…
Burung-burung berterbangan di bawah langit senja, aku menghabiskan soreku di taman kota ini bersama Aisyah. Seharusnya hari ini jadwalku untuk kerja paruh waktu. Tapi tak apalah, sehari ini saja bolos tidak akan berdampak buruk bagiku. Kecuali jika ayahku tahu. Bisa tamat hidupku jika dia tahu aku malah kencan berdua dengan Aisyah di sini.
Slurp….Slurp….
Aisyah terus menjilati es krimnya. Es krim di taman kota ini memang sangat enak dan murah. Hanya dengan lima ribu rupiah saja kau bisa menikmati satu cone es krim dengan topping yang bisa bebas dipilih.
Biasanya jika aku lelah setelah bekerja paruh waktu aku selalu datang ke sini untuk menikmati es krim karena jaraknya yang dekat dengan rumahku dan tentu saja harganya murah meriah. Tapi hari ini, rasa es krim ini jauh lebih enak. Apakah ini karena aku memakannya dengan seseorang yang spesial?
Tunggu….spesial?
Sejak kapan diriku yang sudah putus harapan ini menganggap Aisyah spesial? Apa aku yang beranjak pubertas ini merasakan cinta? Tanpa sadar aku tersenyum sendiri.
Aisyah melirik kepadaku dan menggerakan tangannya. Aku yang sudah khatam belajar bahasa isyarat dengan mudah bisa menerjemahkannya.
“Kenapa kau tersenyum sendiri Kevin?”
Aku tersenyum dan membalas.
“Tidak, tidak apa-apa. Omong-omong terimakasih ya sudah mau ikut ke sini.” Ucapku tersenyum lembut.
Aisyah mengangguk dan membalas senyumanku. Lihatlah, dia begitu cantik ketika tersenyum seperti ini. Artis-artis dan model-model yang sering kulihat di televisi dan website-website internet seperti tidak ada bandigannya dengan dia. Dia sudah seperti bidadari. Aku sangat bahagia. Aku harap sore ini tidak akan pernah berakhir. Namun sayang sekali, keinginanku ini hanyalah angan-angan. Kebahagian ini hanya sebentar.
Kami pulang saat hari hampir malam. Jalan-jalan di taman kota ini sungguh membuatku lupa waktu. Matahari sudah sempurna tenggelam saat aku mengantarkan Aisyah pulang. Ternyata rumah Aisyah tidak jauh dari rumahku, hanya terpisah sekitar lima ratus meter. Aku merasa menyesal karena tidak tahu. Kalau saja aku tahu sejak awal rumah kita berdekatan kita bisa berangkat bersama ke sekolah.
Saat itu bulan bersinar sangat cantik dan tinggal beberapa puluh meter lagi menuju rumah Aisyah. Kami mengobrol ringan sepanjang jalan, aku sangat bahagia. Namun tiba-tiba kulihat seorang pria paruh baya yang berjalan sempoyongan ke arah kami. Tampaknya dia sedang mabuk. Usianya mungkin sekitar lima puluhan dan dia tinggi. Eh, bukankah dia ayahku?!
Kenapa dia bisa ada di sini?! Aku harus harus lari. Astaga, bibirku kelu, kakiku mulai lemas, bagaimana ini?! Laki-laki itu tampaknya melihatku bersama Aisyah. Aku segera membalikkan badan dan memegang erat tangan Aisyah untuk lari.
“Keviin!!”
Tepat sebelum aku melangkahkan kaki dia sudah berteriak memanggilku dan segera berlari ke arahku. Seketika tubuhku kaku dan lemas. Dia sedang mabuk berat, bisa gawat karena ada Aisyah di sini. Ayah akan jadi orang gila jika sudah sangat mabuk.
“Kenapa kau bisa ada di sini? Kenapa kau bolos kerja hah!”
Dengan nada tinggi ayah membentakku, wajahnya yang marah terlihat menakutkan tersoroti lampu jalanan. Dapat kulihat Aisyah mulai ketakutan, tapi aku tak tau apa yang harus aku lakukan, aku sendiri pun merasa takut. Terakhir kali ayah tau aku bolos kerja sampingan aku dipukuli habis-habisan.
“Siapa kau?!” Ayah melirik Aisyah yang berada di sebelahku.
Tentu saja Aisyah tidak dapat berkata-kata, aku sendiri pun hanya diam tak mengeluarkan sepatah kata pun.
“Oh, apa karena gadis ini kau bolos kerja? Bagus sekali. Kau ingin ayahmu mati kelaparan hah!”
Aisyah tersentak kaget karena bentakan ayahku barusan. Bagaimana ini, apa yang harus kulakukan?
“Jawab!!” Ayah membentak semakin keras.
Tubuhku mulai bergetar ketakutan. Aisyah memegang tanganku erat. Tiba-tiba ayah menarik tangan kami dan melepaskan pegangan Aisyah. Ayah menyeret Aisyah dengan kasar.
Buuk.
Tubuh Aisyah didorong ke dinding dengan kasar oleh ayah. Aisyah tampak meringis kesakitan, tangannya di cengkram kuat oleh ayahku ke dinding.
“Lihatlah wajahmu yang cantik ini, apa kau berpacaran dengan anakku?”
Aisyah mulai memberontak namun cengkraman ayah pada tangan Aisyah semakin kuat, bahkan pergelangan tangannya kini terlihat memerah.
“Kenapa kau tidak berbicara hm?”
Suara ayah yang lembut berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya yang menyeramkan. Aisyah terlihat sangat ketakutan, apa yang harus kulakukan? Lututku bergetar hebat.
Gawk.
Aaaargh!
Aisyah dengan tiba-tiba menggigit lengan ayah yang berada di samping kepalanya. Hal itu menyebabkan Ayah melepaskan cengkramannya di tangan Aisyah. Ayah mengibaskan tangannya berharap rasa sakit karena gigitan itu cepat hilang. Wajahnya terlihat sangat marah sekali.
“Dasar gadis nakal! Kau tak diajarkan sopan santun oleh ayah ibumu ya!”
Dengan kasar ayah menjambak rambut Aisyah. Aisyah menangis takut sekaligus merasa sakit. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Kakiku seperti di bebani beban yang sangat berat, aku tak bisa bergerak bahkan mengatakan sepatah kata pun. Aku hanya bisa menyaksikan Aisyah disiksa oleh ayah tanpa berbuat apa-apa. Aku sungguh tak berguna.
Dengan rambut yang sangat berantakan dan air mata yang tak henti bercucuran, Aisyah menatap ayahku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.
“Jaga matamu! Kau sangat tidak sopan berani menatap mataku!”
Plaak!
Mataku membulat, tubuhku yang semula bergetar kini menjadi kaku. Tanganku terkepal kuat, gigiku bergemeletuk dengan darah yang bergejolak. Orang sinting itu, dia.. dia bukan ayahku!
Bugh.
Kepalan tanganku mendarat di wajah Ayah. Bahkan dia sudah tidak pantas aku panggil Ayah. Dia sudah menghancurkan hidupku, menghancurkan cita-cita dan segala impianku. Sekarang dia akan menyakiti orang yang kusayang? Tidak! Tidak akan kubiarkan! Aku menatapnya dengan penuh kebencian.
Bugg!!
Buggg!!!
Buggggg!!!
Kupukuli laki-laki itu dengan membabi buta. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi setelah ini. Yang jelas aku harus menyelamatkan Aisyah dari orang gila ini! Tidak boleh ada yang menyakiti Aisyah!
BUAGH!
Aku memukulnya sangat keras tepat di ulu hatinya. Hal itu membuatnya lumpuh untuk sementara. Aku segera membantu Aisyah untuk bangun, namun aku sedikit lengah dia berhasil membalasku dengan menendang perutku.
Aku terbatuk sambil menahan nyeri di perutku. Dia berhasil menarik Aisyah dan kembali menyudutkannya.
“Sialan kau!” Aku berteriak dan bersiap berlari untuk menerjangnya.
“Kevin!! Sekali lagi kau melawanku! Akan kuhabisi gadis ini!!” Leher Aisyah kemudian dicekik olehnya.
Seketika langkahku terhenti, aku menatap Aisyah yang kesakitan dan mulai kehabisan napas. Pria itu benar-benar gila. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak bisa melawan orang itu dengan tangan kosong. Tenaganya denganku jelas jauh berbeda.
Kulihat sebuah botol kaca kosong tak jauh dariku. Ya benar, aku bisa menggunakan ini untuk menolong Aisyah!
Arrrrghhh!!
Prang!!
Aku memukulkan botol kaca itu tepat di kepalanya dengan penuh emosi. Darah mulai mengalir di kepalanya. Ini kesempatanku untuk membuatnya lumpuh sesaat dan kabur dengan Aisyah! Kami harus selamat!!
Arrghh!
Aku menusuk leher botol kaca itu ke perut ayah, seketika darah keluar dengan sangat banyak. Dia tersungkur sembari menahan sakit yang luar biasa di perutnya. Serangan yang kuberikan sepertinya memberikan efek luka yang cukup dalam. Aku jamin dia akan mati kehabisan darah jika dia tidak segera di tolong. Tapi aku sama sekali tak peduli, kuharap dia mati saja. Aku tak butuh ayah gila yang menyuruhku bekerja dan menyiksaku setiap hari!
Aku segera menggenggam tangan Aisyah dan berbalik arah untuk membawanya kabur ke tempat yang aman. Tapi sungguh tidak terduga, warga disini ternyata sudah melihat apa yang kulakukan terhadap ayah, beberapa diantara mereka malah merekam apa yang sudah terjadi.
“Bukannya mereka ayah dan anak? Mengapa mereka berkelahi?”
“Sepertinya Si anak meminta uang paksa kepada ayahnya. Namun ayahnya tidak memiliki uang karena dipecat dari pekerjaannya. Si anak marah dan akhirnya perkelahian pun terjadi.”
“Atau mungkin, dia dan pacarnya itu melakukan hal yang tidak senonoh. Ayahnya memergogi mereka dan sangat marah kemudian terjadilah perkelahian.”
“Dasar anak durhaka!”
Aku bisa mendengar bisikan mereka. Mereka memandang hal ini sebelah mata! Disini aku yang mejadi korban! Aku menjadi korban kekerasan ayahku dan aku dipaksa kerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan sehari hari!
Tak kudengarkan lagi bisikan menuduh mereka, prioritas utamaku saat ini adalah keselamatan Aisyah. Aku harus kabur dan mengantarkan Aisyah ke rumahnya dengan aman.
…
Kevin mengheka napas. Ekspresinya berubah drastis dari yang tadi bahagia menjadi sedih. Sepertinya sekaranglah bagian konflik utama yang gelap dan menyayat hati.
“Kevin, jika kau tidak sanggup untuk mengingat rasa sakitmu, tak apa. Kau bisa menceritakannya lain waktu padaku.” Ucapku sambil menepuk bahu Kevin.
Kevin menggeleng.
“Tak apa Dirga, aku bisa melanjutkan cerita ini.”
“Netizen Indonesia, mereka mudah sekali menerima informasi yang tidak jelas asal-usulnya apalagi memastikan kebenarannya alias hoax. Setelah aku mengantarkan Aisyah pulang ke rumah dengan selamat, aku melihat internet. Ada banyak videoku yang memukul ayah tersebar di internet. “Anak Durhaka Memukuli Ayahnya Karena Tidak Memberinya Uang Jajan”. Begitulah mereka memberi judul videonya. Internet begitu menyeramkan ya jika digunakan oleh orang yang salah.” Kevin mengusap wajahnya.
“Setiap hari di sekolah, aku selalu menjadi bahan bully dan bahan gosip warga sekolah. Tak ada satu pun yang bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan Aisyah menjauhiku pada waktu itu. Aku pikir dia tidak mau dekat denganku lagi karena takut akan ayahku yang gila itu.”
Kevin diam sejenak.
“Setiap hari rasanya semakin buruk. Aku diperlakukan tak baik oleh teman-temanku. Mereka mulai semena-mena terhadapku. Mereka memukuliku, menyiramku dengan kuah bakso, dan mencoret-coret buku pelajaranku. Bahkan guru-guru pun tak mengambil tindakan yang pantas.”
“Kau pantas menerima semua ini Kevin.” Begitulah yang mereka katakan.
“Aku semakin terpuruk dan memutuskan untuk berhenti sekolah sementara. Aku lelah dengan bully dan gosip-gosip aneh tentangku. Aku tidak lagi tinggal di rumah karena diusir oleh ayah gilaku itu. Aku tinggal di sebuah mobil bus rusak di tempat pembuangan sampah. Sialan, aku benci semua orang saat itu.”
Aku menghela napas, tidak menyangka masa lalu Kevin sangat menyedihkan,
“Setaip hari aku bertahan dengan segala macam gunjingan, cacian maupun hinaan. Sampai akhinya aku sampai pada titik dimana aku tak dapat bertahan lagi. Aku tidak kuat terus menerus menahan ini dan aku memutuskan akan mengakhiri hidupku pada saat itu. Tidak ada lagi yang peduli denganku, hidupku sudah tidak berarti. Aku sudah sangat siap menggantung diriku ditali tambang. Tapi seseorang datang menghentikanku….”
…
…
…
Aku menaiki kursi dan mulai mengkalungkan tali tambang itu ke leherku. Sudah tidak artinya lagi aku hidup. Semuanya membenciku. Semuanya tidak peduli kepadaku. Bahkan Aisyah, orang yang kuanggap penyelamat yang memberi perubahan dihidupku hilang begitu saja.
Aku benci dunia ini! Tidak, sepertinya aku lebih benci terhadap diriku sendiri karena tidak bisa menahan ini.
Aku melihat ke atas langit-langit bus tempat aku tingga, aku menarik napas panjang. Entah kenapa air mata mulai bercucuran membasahi pipiku. Tanganku juga dingin dan terus bergetar hebat. Apakah seperti ini rasanya menghadapi kematian? Tidak seburuk yang aku kira ternyata hahaha…
“Selamat tinggal dunia..”
Aku memejamkan mata, bersiap melompat dari kursi dengan tali yang sudah melilit leher. Tepat disaat aku akan melompat dari kursi. Seseorang memeluk kakiku dengan erat. Orang itu amat kukenal, dia sangat berharga bagiku, pahlawanku yang telah membut hariku menjadi cerah beberapa waktu lalu.
Hiks….Hiks….
“Ja….han akhu..khan Ke khin….”
Dia memaksakan pita suaranya untuk berbicara. Walaupun tidak jelas, aku dapat menangkap artinya dengan jelas. ‘Jangan lakukan kevin’ Itu kalimat yang dia coba sampaikan. Dia memeluk kakiku lebih erat.
“Kenapa, kenapa baru sekarang kau datang Aisyah..?” Air mataku mengalir semakin deras.
Aisyah menggeleng, sepertinya dia tidak kuat lagi berbicara. Tapi ada satu hal yang kumengerti dari pelukan eratnya ini. Dia tidak mau aku pergi. Dia menginginkanku tetap disini, bersamanya. Menghabiskan waktu dengan bermain musik, berkomunikasi dengan bahasa isyarat yang tidak dimengerti orang lain, dan membuat kenangan indah lainnya.
“Ke khin..”
Dengan suara parau dan tak jelas dia menggumamkan namaku. Air matanya berlinang semakin deras. Dia terus memeluk kakiku semakin erat. Sungguh, aku luluh dibuatnya. Kurasa aku masih di butuhkan di dunia ini, untuknya.
Kulepaskan tali tambang yang mengalungi leherku dan beranjak turun dari atas kursi. Dengan segera Aisyah memelukku erat. Tangisnya pecah saat aku balas memeluknya. Entah kenapa aku merasa ini seperti mimpi. Aku ikut menangis di pelukannya.
Aisyah melepas pelukan kami dan mengusap kedua matanya yang sembab dan merah. Dengan ingus yang keluar dari hidungnya dan air mata yang tak henti mengalir meski terus diusapnya, dia menggerakan tangannya berusaha berbicara padaku dengan bahasa isyarat.
“Kevin maafkan aku, aku salah selama ini. Aku menjauhimu karena aku menganggap diriku penyebab masalah untukmu. Karena aku, kau berkelahi dengan ayahmu. Karena aku, kau menjadi bahan buly dikelas dan dunia maya. Harusnya aku tak menjauhimu, aku sadar menjauhimu tidak akan menyelesaikan masalah malah memperburuk kondisimu. Maafkan aku Kevin, aku bodoh sekali ”
Aku tersenyum lembut menatapnya.
“Bagaimana kau bisa mengetahui aku ada di sini?”
Aisyah mulai menggerakan tangannya lagi.
“Aku mencari informasi dari semua penduduk di daerah ini tentang dimana kau tinggal dan akhirnya aku mengetahui kau ada di sini Kevin. Aku sangat menyesal telah menjauhimu. Tolong maafkan aku.”
Aku mengangguk.
“Tidak apa-apa Aisyah, aku bersyukur kau masih peduli padaku. Aku kira kau akan meninggalkanku selamanya.” Aku mengusap-usap kepala Aisyah.
Aisyah tersenyum dan memelukku lebih erat. Hangat dan nyaman, rasanya aku tidak ingin lepas dari pelukan ini.
…
Kevin tersenyum kepadaku. Ekspresinya kembali berubah dari yang sedih menjadi ceria. Sepertinya kisah sedih dan derita hidupnya berakhir sampai situ.
“Setelah itu Aisyah membantuku lepas dari masalahku ini. Kami pergi ke kantor polisi dan melaporkan ayahku dan beberapa orang lainnya dengan tuduhan pencemaran nama baik. Dalam beberapa hari kemudian namaku berhasil dibersihkan. Terimakasih kepada Aisyah, berkat dia namaku terbersihkan dan aku bebas dari masalahku.” Kevin tersenyum sangat bahagia.
“Seperti biasa, di jam istirahat kami berduet musik. Alunan biolanya seperti biasa indah dan menenangkan hati. Lalu aku teringat sesuatu. Apa hubungannya lagu yang menenangkan hati itu dengan sejarah Orleans?”
Aku terdiam. Aku juga penasaran dengan hal itu.
“Ternyata isi lagu tersebut menceritakan tentang Jeanne yang pemberani dan tangguh sekaligus lembut. Sama seperti lagu yang dimainkannya yang membangun semangat dalam diriku. Betapa bodohnya aku tidak bisa mengerti hal sesimpel itu hahaha. Mulai saat itu aku menganggap Aisyah sebagai pahlawanku, dia Jeanne D’Arc ku. Namun, aku tidak akan membiarkannya berakhir sama dengan Jeanne. Aku akan melindunginya dari apapun yang membahayakannya termasuk dirimu.” Ucap Kevin sambil menatap tepat ke dalam mataku.
Aku bergidik ngeri. Soal keselamatan Aisyah, Kevin bisa sangat menyeramkan sekali.
“Tapi, sepertinya aku terlalu overprotective ya? Hahahaha” Kevin menggaruk-garuk kepalanya.
“Ya, kau ini terlalu overprotective hahaha. Aku salut kepada Aisyah yang betah bersamamu. Walaupun begitu, sebenarnya aku juga pernah mempunyai seoseorang yang cukup berharga untukku. Namun, aku gagal melindunginya. Aku harap kau bisa melindungi dan menjaga Aisyah, jangan mengulangi kesalahan yang pernah aku perbuat.”
Kevin terdiam sejenak dan menghembuskan napasnya.
”Omong-omong soal Aisyah, aku sangat khawatir padanya.
“Kenapa?”
“Peristiwa yang sedang terjadi saat ini sungguh aneh dan berbahaya. Aku bukannya tak ingin menolongmu. Tapi Aisyah adalah Jeanneku aku tak ingin terjadi hal buruk padanya karena usaha kita untuk menyelamatkan teman-teman. Aku tahu di setiap rewind yang baru aku memang tak akan mengingat apa yang telah terjadi di rewind sebelumnya. Namun aku takut ingatan itu akan masuk serentak dalam kepalaku tiba-tiba begitu saja karena suatu hal yang membuatnya mungkin. Aku tak ingin merasakan rasa takut kehilangan Aisyah. Di rewind selanjutnya kau bisa meminta bantuan pada teman yang lain. Aku yakin kau sanggup menyakinkan mereka. Aku percaya padamu Dirga. Tolong buatlah perubahan yang baik di alur berikutnya.”
Aku terpaku mendengar ucapan Kevin. Maksudnya dia tak ingin berurusan lagi denganku atau bagaimana? Apa dia tak mempercayaiku? Yang lebih penting dari itu, bila aku gagal kepada siapa lagi aku meminta bantuan? Teman-teman yang lain pasti tidak akan ada yang percaya ceritaku dan mungkin saja menganggapku gila.
“Tapi sepertinya sekarang kita tidak perlu khawatir memikirkan rewind selanjutnya.” Ucap Kevin sambil tersenyum.
Aku memasang wajah kebingungan.
“Lihatlah.” Ucapnya sambil menunjuk sesuatu.
Aku mengikuti kemana arah yang ditunjukan Kevin. Polisi datang dari arah yang ditunjukan Kevin. Lengkap dengan senjata dan baju taktis yang gagah. Aku tersenyum bahagia melihat kedatangan mereka. Teman-teman yang sedang beristirahat di bawah pohon terbangun dan bersorak senang dengan bahagia.
“Kita selamat!!” Ucap Rizky sambil melompat-lompat kegirangan bersama Bagas.
Aisyah dan Sasha pun tersenyum lebar melihat kedatangan polisi itu. Pak koko terlihat sangat girang, kami pun berkumpul untuk menyambut kedatangan mereka.
“Kita berhasil kawan.” Ucapku sambil mengulurkan tangan kepada Kevin, mengajak berjabat tangan.
“Hahaha sejak kapan kita berteman hah?” Ucap Kevin sambil menjabat tanganku.
“Sekarang kita akan menjalani hari seperti biasa. Hari-hari damai dan ten-“
Door!
Door!
Bruk!
Darah seketika terciprat diwajahku. Mataku membulat, tubuhku membeku menatap tubuh Pak Koko, dan Aisyah yang jatuh bergelimpangan tersungkur di tanah. Apa yang terjadi?!
Door!
Door!
Semua terjadi begitu cepat, aku masih tidak dapat mencerna semua ini.
Bruk!
Tubuh Kevin dan Bagas seketika jatuh. Aku membeku bagai patung.
“Untuk membuat kami semua berada di atas, melawan hukum alam, melawan Tuhan. Rhythm 0, kami akan mecapai tujuan kami dan berkuasa diantara kalian semua.”
Apa yang mereka katakan? Sialan, aku tak dapat berpikir jernih. Apa yang terjadi?
“Kau tak bisa lari dari takdirmu Dirga.”
Aku membulatkan mata tak percaya. I-ini, bukankah ini adalah suara Si manusia bertopeng. Kusapu semua penjuru arah. Tampak bayangan berkelebat di antara pasukan polisi. Tak salah lagi, dia memang ada di sana. Mengapa dia ada di sana bersama sekumpulan polisi ini. Apa semua polisi ini berpihak pada mereka? Hahahahaha. Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak. Bodoh sekali aku tak menyadari ini dari awal.
Door!
Sesuatu menembus tengkorak kepalaku. Cairan hangat berwarna merah mulai membasahi wajahku. Rasa sakit merambat dengan cepat ke seluruh tubuhku, perlahan pandanganku mulai pudar.
Bruuk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 11 Episodes
Comments