Aku membuka mataku perlahan. Jariku yang semula terdiam mulai bergetar hebat. Keringat dingin tanpa henti bercucuran di dahi. Aku diam termenung menatap kosong teman-teman yang berlalu lalang di hadapanku. Aku selalu kembali bangun di dalam bus yang mogok ini setelah aku mati. Aku lelah, berapa lama lagi aku harus menanggung beban dan rasa sakit? Berapa lama lagi aku harus berperan menjadi pahlawan dalam kejadian gila ini?
Tiba-tiba sekelebat ingatan terlintas di kepalaku saat Rian dan Elizabeth atau mungkin Rian adalah Elizabeth. Entahlah, aku tidak tahu, yang jelas mereka mengatakan hal yang sama, akulah penyebab semua hal buruk ini terjadi.
Hahaha.
Aku tertawa sendiri mengingatnya.
Hahahahahaha.
Aku tertawa semakin keras sampai air mata keluar di sudut mataku. Terus keluar berlinang membasahi pipi.
Hahaha…
Ah, betapa bodohnya diriku. Mengapa aku harus peduli dengan apa yang akan terjadi di masa depan? Aku sama sekali bukan orang yang cocok untuk menjadi pahlawan penyelamat masa depan. Mengapa harus aku yang dipilih? Aku tidak layak menjadi pahlawan, aku tidak akan pernah bisa. Andai saja aku langsung mati setelah ditusuk Rian, kurasa itu lebih baik daripada terus terjebak di kejadian yang sama berulang kali. Malah, bisa jadi aku menghancurkan dunia karena sudah banyak membuat cabang dunia. Aku tidak layak menerima Force Majeure ini.
“Dirga, akhirnya kau bangun. Apa kau baik-baik saja?” Tanya Bagas khawatir. Dia mengahampiriku sambil menenteng gitarnya.
Entah sudah berapa kali aku mendengar Bagas bertanya hal ini. Tanpa kujawab pun Bagas pasti sudah tau aku tidak baik-baik saja.
Bagas menaruh gitarnya dan duduk disebelahku.
“Hei, sebenarnya apa yang terjadi Dirga? Kau sangat kacau balau. Seumur hidupku, aku baru melihat dirimu yang seperti ini.”
Aku mengusap air mataku.
“Aku sudah gila Bagas. Aku sudah muak dengan segala hal yang terjadi di hidupku. Aku benci pada dunia ini. Mengapa dunia ini memberikan takdir yang sangat berat untukku? Apakah aku pernah melakukan dosa besar? Lalu apa ini adalah hukuman untukku karena telah melalukan dosa itu?” Aku bertanya dengan ratap sedih dan kosong.
Bagas menghela napas panjang.
“Dirga, aku tidak mengerti apa yang ingin kau sampaikan. Tapi percayalah, semua ini pasti ada akhirnya dan kau bisa beristirahat dengan tenang sambil merayakan kemenanganmu melewati problematika yang kau hadapi.”
Aku melemaskan tubuhku dan perlahan menatap langit-langit bus. Bagas mungkin ada benarnya. Semua yang kualami, semua beban yang kutanggung, semua rasa sakit yang kurasakan, semua itu pasti akan ada akhirnya. Kalau begitu, aku akan menciptakan sendiri ending untukku. Akhir dari semua ini!
Aku melirik Bagas.
“Bagas, bolehkah kau pinjamkan aku pisau? Sasha pasti membawanya.”
Bagas mengangguk semangat.
“Aku akan lakukan apapun untukmu sobat! Tunggu disini sebentar!” Ucap Bagas sambil berlari kecil.
Aku tersenyum kecil melihat Bagas. Dia itu memang bodoh. Tapi tanpa ada dia kelas, sepertinya kelas akan sepi. Humor dan perilakunya yang selalu asal bunyi alias ceplas-ceplos selalu menyapu bersih rasa jenuh belajar.
“Dirga! Aku berhasil mendapatkan pisaunya!” Bagas berlari menghampiriku dan memberikan pisau Sasha.
Aku mengambil pisau itu.
“Terimakasih Bagas, dengan benda ini aku bisa membuat akhir dari problematiku ini sendiri.” Ucapku sambil tersenyum.
Ekspresi Bagas 180 derajat berubah drastis. Wajah cerianya luntur seketika setelah mendengar perkataanku. Sepertinya dia mengerti apa yang akan kulakukan dengan pisau ini. Ah, dia tidak sebodoh yang aku kira ternyata.
“Dirga! Stop! Jangan lakukan itu!” Bagas berteriak keras.
Aku memejamkan mataku. Oke, setelah ini tidak akan ada lagi penderitaan. Aku bisa hidup damai dan tentram sampai dunia “rhythm 0” yang dibilang Elizabeth itu datang. Ya, inilah akhir yang kupilih. Ending yang tak akan kusesali.
Cleb!
Cleb!
Cleb!
“Dirga……..!!!!!!”
…
Aku membuka mataku dengan cepat, dengan segera mataku menyapu ke segala penjuru arah berharap aku terbangun di tempat yang berbeda dari sebelumnya. Tapi yang kudapatkan tetaplah hal yang sama. Bus yang mogok, kawan-kawan yang sibuk membawa tas, dan Bagas yang sebentar lagi akan bertanya kepadaku.
Aku meremas rambutku dengan kuat. Kupikir, jika aku membunuh diriku sendiri saat di bus sebelum aku pingsan karena efek samping kekuatan aneh ini, aku bisa kembali ke waktu dimana aku belum berangkat ke tempat terkutuk ini.
“Sialan!”
Bugg!
Aku melampiaskan emosiku dengan memukul kursi bus. Sepertinya aku memang ditakdirkan untuk terus menderita. Dunia ini mengekang dan memaksaku untuk menyelamatkan masa depan yang tidak jelas akhirnya.
“Berapa lama lagi aku harus memikul semua beban ini? Berapa lama lagi aku harus berusaha menyelamatkan masa depan? Mengapa…. Mengapa harus aku yang ditakdirkan untuk melakukan semua hal ini?”
Aaaaarghhhh!!!
Air mata perlahan turun membasahi pipiku. Tanganku mulai bergetar hebat. Aku benci dunia ini. Aku benci kepada dunia yang telah memberikanku takdir yang sangat berat ini.
“Dirga! Kau kenapa?” Bagas tiba-tiba berlari menghampiriku sambil menenteng gitarnya. Sepertinya dia kaget mendengar teriakanku tadi.
Aku menggeleng. Air mata terus bercucuran dari pelupuk mataku.
“Hei kawan, kau kenapa? Apa ada yang bisa kulakukan untukmu?” Tanya Bagas sambil menaruh gitarnya dan duduk di sampingku.
“Aku… A-aku ingin pulang sekarang juga Bagas….” Ucapku lirih.
Bagas memiringkan kepalanya.
“Kau ini kenapa Dirga? Sebelum kau tertidur nampaknya kau baik-baik saja. Dan sekarang kenapa ingin pulang secara tiba-tiba? Apa ada hal buruk yang terjadi?”
Aku memejamkan mataku sejenak. Hal buruk akan terjadi beberapa jam kedepan. Kepada semua orang. Termasuk Bagas. Apa yang harus kulakukan? Haruskan aku terus berjuang dan membiarkan diriku perlahan dimakan rasa putus asa? Atau pergi dan berlari tanpa mempedulikan nasib teman-teman?
“Dirga kau kenapa?”
Aku mendengar suara yang familiar. Kubukakan mataku dan melihat kearah suara itu. Ah ternyata Sasha. Dia sepertinya datang kesini karena mendengar teriakanku.
“Aku tidak tahu Sasha…. Aku hanya ingin hidup tenang dan bebas dari segala takdir yang mengikatku…”
Sasha dan Bagas saling pandang. Sepertinya mereka tidak mengerti apa yang aku coba sampaikan kepada mereka. Jika saja mereka bisa mengingat kejadia rewind sebelumnya. Aku jamin mereka pasti akan sama stressnya denganku.
“Sekarang kita turun dari bus dulu saja ya, setelah sampai di bukit Mooi kau pasti bisa lebih tenang. Pemandangannya indah, apalagi puncak bukitnya. Kau pasti akan sangat suka Dirga.” Ucap Sasha sambil memegang pundakku.
Aku menggeleng. Aku sama sekali tidak ingin pergi ketempat terkutuk itu. Mau seindah apapun tempatnya. Dalam beberapa jam kedepan tempat itu akan disulap menjadi neraka oleh Elizabeth.
“Aku…Aku….Aku tidak mau pergi ketempat gila itu lagi!”
Brugg!!
Aku mendorong tubuh Sasha hingga ia terjatuh. Aku membalikan badannya dengan paksa dan dengan cepat membuka tasnya.
“Jika aku melakukannya lagi kali ini. Mungkin aku bisa kembali ke waktu sebelum aku berangkat ke tempat terkutuk ini!”
Aku mengambil pisau dapur milik Sasha dan segera mengarahkannya ke leherku.
“D-Dirga! Jangan lakukan hal bodoh!” Pak koko yang baru saja masuk kedalam Bus tiba-tiba berseru setelah melihatku.
“Pak Koko benar Dirga! Kita diskusikan masalahmu bersama dan cari jalan keluarnya!” Sasha berseru panik.
Aku menggeleng. Tidak ada yang harus didiskusikan. Masalah ini, jalan keluarnya hanya aku yang bisa tentukan.
“Selamat tinggal kawan-kawan. Maaf aku tidak bisa menyelamatkan kalian semua.”
Cleb!!
…
Aku membuka mataku perlahan, awalnya aku berpikir akan mendapatkan pemandangan berupa kasur tempat tidurku, di depan sekolah ketika kami semua menunggu bus, atau didalam bus ketika mogok. Tapi semua perkiraanku itu salah total. Aku mendapatkan sebuah pemandangan yang sama sekali tidak pernah terbesit dipikiranku. Yaitu, neraka.
Ya, neraka yang diciptakan oleh orang gila itu. Elizabeth Bathory.
Api menyala di mana-mana. Hutan yang asalnya rimbun dipenuhi dedaunan sekarang berubah seratus delapan puluh derajat dilalap Si jago merah. Tenda-tenda yang seharusnya menjadi tempat kami tidur dan bermalam disini sekarang berubah seperti api unggun.
“Dirga! Tolong aku..! Arrgghhh!”
Seseorang berlari keluar dari tenda yang terbakar. Itu Bagas, tubuhnya menyala-nyala karena dilahap api.
“Bagas! Bagas! Kau kenapa? Biarkan aku membantumu!” Aku berusaha berteriak Tapi anehnya mulutku terkunci rapat. Tubuhku tidak bisa kugerakan sama sekali. Astaga sebenarnya apa yang terjadi? Jika tubuhku sama sekali tidak bisa digerakan seperti ini Bagas akan mati!
“Dirga…! Arghh…!”
Bagas terus meneriakkan namaku. Dia berguling-guling di tanah, berusaha memadamkan api yang perlahan membuat tubuhnya hangus.
“Kau tidak bisa lari dari takdirmu Dirga.”
Tiba-tiba Elizabeth berada di hadapanku dengan pisau berlumuran darah berada di tangannya. Pisau itu milik Sasha, sepertinya dia mengambil paksa pisau itu dari Sasha dan menjadikan pisau itu senjata untuk membunuh kami satu persatu.
“Dirgaaaa…!!!”
Bagas berteriak kesakitan. Elizabeth berjalan pelan kearah Bagas yang berguling-guling ditanah.
Cleb!
“Tidak….! Bagas…!” Aku berusaha berteriak. Namun, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Sialan! Mengapa hal ini terjadi kepadaku?
Pisau dapur milik Sasha tertancap dengan mantap di dada Bagas. Darah perlahan mengalir keluar. Merah, seperti pemandangan hutan ini sekarang.
Panas, tempat ini benar-benar sudah berubah jadi neraka. Mengapa tak ada satu orang pun yang datang ke hutan ini? Padahal hutan ini kebakaran, jika tidak dihentikan apinya akan terus merambat sampai ke pemukiman penduduk.
“Tak akan ada yang datang kesini untuk menyelamatkanmu Dirga. Semuanya sudah berada di tangan organisasi. Kau tidak akan bisa lari dari takdirmu.” Ucap Elizabeth sambil meninggalkanku di hutan ini.
“Elizabeth..! Elizabeth..! Tunggu…!” Aku berusaha menyebut namanya, namun semua itu sia-sia. Mulutku terkunci rapat.
Panas…
Rasanya panas sekali…
“Aku tidak akan mati disini bukan? Aku tidak boleh mati terbakar.”
...
Drap…drap….drap…
Aku melangkahkan kakiku dengan cepat meninggalkan teman-taman yang penuh tanya dan Pak Koko yang marah besar atas tingkahku ini. Setelah aku mendapatkan mimpi buruk di hutan Mooi yang terbakar itu, aku terbangun dengan perasaan yang begitu kacau. Aku tidak bisa menanggung semua ini lagi. Aku tidak lagi peduli apa yang akan terjadi di masa depan. Aku sudah muak.
Aku mengabaikan Bagas yang bertanya padaku, aku segera mengambil tas dan bergegas keluar bus. Aku sudah mengatakan kepada Pak Koko bahwa aku ingin pulang ke rumah. Namun, bukannya mengantarkanku pulang, dia malah berusaha meyakinkan kepadaku bahwa tidak akan terjadi apa-apa di perkemahan ini.
Dia tak tahu apa-apa, mengapa berkata seolah tahu segalanya, dia membuatku marah dengan berbicara hal-hal yang membuatku berharap padahal aku tahu betul acara perkemahan ini tidak akan berjalan dengan mulus. Beberapa jam ke depan hutan Mooi ini akan menjadi tempat Elizabeth melakukan kejahatan genosidanya. Semua akan mati satu persatu termasuk aku.
“Kau tahu busnya kempes. Kau ingin pulang naik apa Dirga?”
“Berjalan kaki, ketika ada signal aku akan menelepon supir pribadiku.”
Pak Koko terus saja melarangku, bahkan Sasha dan Rizky pun memintaku untuk tidak pulang dan menikmati liburan ini. Liburan apanya? Aku akan menjadi gila jika terus berada di tempat liburan ini.
Aku tak lagi mengindahkan panggilan mereka, aku segera berlari sekuat tenaga meninggalkan bus. Sebenarnya aku ingin mengajak kawan-kawan untuk pulang juga. Tapi apadaya, jika aku mengajak mereka pulang dengan mengatakan aku adalah time traveler dan beberapa jam ke depan akan ada pembunuhan. Mereka semua pasti menganggapku gila.
…
Matahari memang masih bersinar saat aku memutuskan untuk pulang dari perkemahan, namun lebatnya pepohonan yang berjejer di pinggir jalan menghalangi sinar matahari dan membuat kesan suram di sepanjang jalan.
Drap..Drap…Drap…
Aku mendengar suara langkah kaki di belakangku. Siapa? Apa ada orang yang mengikutiku dari bus? Apa jangan-jangan Elizabeth sedang berusaha membunuhku?
Jantungku perlahan berdetak lebih kencang. Orang ini terus mengikutiku. Apa maunya? Dengan pelan aku menengok ke arah sumber suara itu. Di dalam hati aku terus berdoa semoga hal yang buruk tidak terjadi dan aku bisa pulang ke rumah dengan selamat.
“Halo Dirga!” Ucap seseorang sambil melompat.
“Waaaah…!” Aku berteriak secara spontan.
Bruk!
Orang itu membuatku syok dan terjatuh. Sialan, dari dulu orang ini memang selalu menjengkelkan.
“Chika? Kenapa kau mengikutiku?” Tanyaku padanya sambil memegang dada, ah rasanya jantungku akan copot saja.
Chika tersenyum lebar.
“Karena aku juga ingin pulang. Aku tidak ingin menginap di perkemahan! Pasti dingin dan banyak nyamuk.” Chika memegang lengannya dan mengusap-usapnya seolah sedang kedinginan.
“Lalu kenapa kau ikut kesini?”
“Bu Nina memaksaku untuk ikut. Katanya, sekali-kali aku harus merasakan keindahan alam. Tapi jujur saja, aku sama sekali tidak tertarik.”
Sepertinya Chika dan aku adalah korban disini. Sama-sama dipaksa untuk mengikuti acara ini. Jika saja Rizky tidak mengancamku pada saat itu, mungkin saja aku tidak akan mendapat kekuatan ini dan bisa hidup tenang tanpa terbebani beban.
“Kau sendiri kenapa ikut kesini dan ingin kabur Dirga?” Ujar Chika sambil memain-mainkan rambut panjangnya. Itu kebiasaannya dari dulu. Dia selalu memainkan rambut panjangnya dikala merasa bosan. Chika itu orangnya sangat aktif. Saking aktifnya, kadang jika berada di dekatnya aku merasa tidak nyaman.
“Aku ikut disini karena dipaksa Rizky.” Ujarku singkat.
“Bukannya kalian bersahabat? Seharusnya sahabat bisa saling mengerti. Kau kabur dari sini karena tidak tertarik dengan alam juga?” Tiba-tiba Chika berdiri di hadapanku sambil memiringkan kepalanya. Aku secara otomatis menghentikan langkahku. Kelakuannya memang selalu membuat orang kaget saja.
“Jika saja aku tidak ikut kesini. Aku mungkin tidak akan menanggung beban dan bertemu dengan Elizabeth.” Ucapku.
“Hah? Kau bertemu dengan Elizabeth Bathory?” Ucap Chika semangat. Tunggu, bagaimana dia tahu tentang Elizabeth Bathory?
“Chika, kau tahu Elizabeth Bathory?” Ucapku penasaran.
Chika mengangguk mantap kemudian dia tersenyum lebar.
“Tentu saja wahai kawanku Dirga.” Seketika gaya bicara Chika berubah.
“Aku mengenal dengan jelas Elizabeth Bathory! Vampir haus darah dari Hungaria!” Dia berbicara mantap sambil …..
Aku mengabaikan Chika yang mulai bersikap aneh dan mulai bertanya.
“Bagaimana kau bisa mengenal Elizabeth?”
“Hahahaha karena aku seorang time traveler sobat.” Ucap Chika santai.
Tubuhku seketika membeku. Aku tidak salah dengar? Chika bilang dia seorang time traveler, berarti ada yang mempunyai kekuatan force majeure selain diriku. Dunia ini memberikan kekuatan untuk mengubah masa depan kepada dua orang. Atau mungkin masih ada time traveler selain aku dan Chika?
“Sebenarnya aku berasal dari tahun 2020, aku secara tidak sengaja mendapatkan kekuatan ini setelah menemukan batu misterius dari planet Mars yang bernama Emerald Stone yang membuatku bisa menjelajah waktu sesuai keinginanku. Lalu aku pergi ke tahun 1560 untuk ber-“
“Itu semua hanya karanganmu bukan?” Ucapku kesal.
“Hehehe ketahuan deh.” Chika menggaruk-garuk kepalanya.
Aku menghela napas kesal. Aku lupa, Chika adalah seorang penulis novel yang cukup terkenal dikalangan publik. Seharusnya aku tidak langsung merasa terkejut tadi. Dia telah menulis beberapa novel bergenre fantasy yang selalu menjadi best seller. Sepertinya karangannya sebentar lagi akan mendunia. Ah, lupakan itu. Yang jelas aku sudah ditipu, dia bukan time traveler tapi pengarang dan pembohong yang handal.
“Tapi Dirga, aku memang tahu soal Elizabeth Bathory loh. Mau kuceritakan sejarahnya?” Tanya Chika sambil terus berjalan.
Aku mengangguk. Ternyata Elizabeth Bathory adalah tokoh sejarah. Lalu apa hubungannya dengan Elizabeth Bathory yang kutemui di pengulangan waktu sebelumnya? Apa dia menjelajahi waktu dari masa lalu ke masa depan? Ah, memikirkan semua ini membuatku pusing.
“Ehem. Kita mulai dari latar belakang keluarga Elizabeth.” Chika memulai ceritanya.
“Elizabeth adalah putri dari keluarga bangsawan Hungaria, Bathory. Dari keluarga ibu, Elizabeth masih memiliki hubungan kekerabatan dengan raja Polandia. Elizabeth Bathory tinggal dan besar di istana keluarga di Ecsed, Hungaria timur dalam limpahan kekayaan, pendidikan dan status social yang besar.”
“Namun, meskipun terlahir di tengah keluarga bangsawan yang istimewa, Elizabeth tidak bebas. Dia dikekang dengan peraturan keluarganya yang sangat ketat. Bahkan pada usia 10 tahun, Elizabeth telah bertunangan dengan keluarga bangsawan lain.” Terang Chika.
“Elizabeth menikah dengan Ferenc Nadasy pada usia 15 tahun. Pernikahan mereka dilatar belakangi kepentingan politik. Selesai menikah Elizabeth pindah ke kastil milik Nadasy di Sarvar. Sementara Nadasy melanjutkan pendidikannya di Wina, Austria.”
“Karena pernikahan itu didasari latar belakang politik Elizabeth tidak menikahi Nadasy dengan tulus. Apalagi suaminya itu sering bepergian, hal itu membuat Elizabeth kesepian dan akhirnya dia melakukan hubungan gelap dengan banyak pria. Suaminya mengetahui hubungan gelap itu dan melarang ada pelayan pria di kastil mereka. Elizabeth begitu kesepian, apalagi ketika suaminya sudah menjadi komandan pasukan Hungaria, dia meninggal saat berperang melawan kesultanan Utsmaniah. Aku tak bisa berkomentar kehidupan Elizabeth sampai saat itu menyedihkan atau tidak. Yang jelas dia akhirnya berwenang dengan urusan bisnis, kenegaraan, bahkan kesehatan warga Hungaria sendirian.”
“Disinilah bagian menariknya Dirga, kisah horror dan kejamnya Elizabeth Bathory dimulai saat suaminya meninggal. Elizabeth mulai terpengaruh ajaran satanisme oleh pelayan terdekatnya yaitu Dorothea Szentes atau yang biasa disebut Dorka. Elizabeth mulai menyenangi kepuasan seksualnya lewat penyiksaan yang dilakukannya kepada pelayan-pelayannya yang masih muda.”
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Elizabeth Bathory ini orang yang sangat gila. Baik Elizabeth di masa lalu ataupun Elizabeth Bathory di waktu sekarang. Dua-duanya tidak jauh berbeda. Mereka pembunuh keji yang tidak tahu apa arti kemanusiaan.
Chika menarik napas panjang kemudian melanjutkan ceritanya.
“Saat Elizabeth berusia 40 tahun, Elizabeth menyadari dirinya mulai menua, kecantikannya perlahan memudar dan kulitnya juga mulai berkeriput. Sebenarnya itu hal yang lumrah di usia tersebut. Namun, Elizabeth Bathory adalah pemuja kesempurnaan. Dia akan melakukan apa saja agar kecantikannya bertahan lama. Kemudian, dia pun melakukan hal yang gila. Hal yang membuat seluruh masyarakat Hungaria kaget.”
Aku menelan ludah, sepertinya Elizabeth akan melakukan hal yang di luar akal sehat.
“Suatu hari, seorang pelayan yang sedang menyisir rambut Elizabeth tidak sengaja menyisir rambut Elizabeth terlalu keras sehingga rambutnya rontok. Elizabeth marah besar, dia langsung menampar gadis malang tersebut. Darah keluar dari hidung gadis itu dan mengenai telapak tangan Elizabeth. Dari situlah Elizabeth percaya darah gadis muda memancarkan aura kemudaan mereka.”
Chika tiba-tiba berhenti berjalan dan menatap mataku.
“Kau pernah menonton film vampir atau drakula Dirga?”
Aku mengangguk.
“Elizabeth lebih buruk dari kedua mahluk itu. Bahkan drakula atau vampir akan ketakutan jika bertemu Elizabeth hahaha…” Chika tertawa ringan dan kembali berjalan.
“Elizabeth yang masih marah memerintahkan kepada pelayan lain untuk menelanjangi gadis malang itu. Dia ditarik ke dalam bak mandi, kemudian urat nadinya dipotong. Ketika si gadis kehabisan darah dan meninggal, Elizabeth masuk kedalam bak mandi tersebut dan berendam dalam kubangan darah. Elizabeth menyebut hal keji ini dengan rahasia awet muda.”
Dapat kubayangkan senyum keji Elizabeth saat berendam dalam kubangan darah itu. Aku bergidik ngeri, dia sungguh gila!
“Ketika semua pelayannya sudah mati, Elizabeth tidak berhenti disitu. Dia mulai merekrut gadis-gadis muda di desa untuk menjadi pelayan di kastilnya. Namun, semua gadis muda itu bernasib buruk. Mereka semua mati dijadikan tumbal untuk rahasia awet muda Elizabeth.”
“Lama kelamaan, Elizabeth merasa bahwa darah gadis desa masih kurang untuk kecantikannya. Dia mulai menculik beberapa gadis bangsawan dan mengambil darahnya untuk rahasia awet muda. Senjata makan tuan, keputusan Elizabeth menculik beberapa gadis bangsawan adalah keputusan yang salah. Hilangnya beberapa gadis bangsawan dengan cepat mendapat perhatian diantara kaum bangsawan. Pasukan tentara yang dipimpin oleh György Thurzó, yang merupakan sepupu Elizabeth sendiri akhirnya menyerang kastil dimana Elizabeth tinggal.”
“György Thurzó menemukan belasan gadis yang ditahan, menunggu giliran untuk dibunuh. Kemudian di ruang basement ditemukan lebih dari 50 mayat yang mulai membusuk. Sekurangnya 650 nama tercatat dalam pengadilan Elizabeth Bathory. Raja Hungaria kemudian memerintahkan Elizabeth untuk dikurung dalam kamar istana seumur hidupnya. Kamar Elizabeth ditutup dengan rapat., tidak ada pintu atau jendela, hanya ada lubang kecil untuk memasukan makanan dan minuman untuk Elizabeth.”
“Setelah Elizabeth diisolasi selama empat tahun, Elizabeth ditemukan meninggal dikamarnya. Elizabeth ‘The Blood Countess’ bathory meninggal di usia 54 tahun pada tanggal 21 Agustus 1914.”
“Bagaimana Dirga? Kau suka cerita Elizabeth?” Chika mulai berjalan sambil melompat-lompat kecil.
“Kisahnya cukup menarik sekaligus menyeramkan. Aku tidak percaya di dunia ini pernah hidup seseorang seperti Elizabeth Bathory. Dia kejam sekali.”
Chika mengangguk.
“Dia benar-benar kejam, di luar sana mungkin saja ada yang lebih kejam dan lebih jahat dari Elizabeth. Atau mungkin ada Elizabeth Bathory kedua di zaman ini.”
Elizabeth Bathory kedua? Ya, mungkin Chika benar. Dia sepertinya memang Elizabeth kedua. Hal itu benar-benar ada Chika. Dia berencana membunuh kita semua di perkemahan dengan cara yang kejam. Aku sangat membenci Elizabeth Bathory.
“Tapi Dirga, ada satu hal yang kita bisa pelajari dari Elizabeth Bathory.”
“Apa itu? Aku pikir tidak ada hal positif yang bisa kita ambil dari Elizabeth Bathory.”
Chika menggeleng.
“Seburuk apapun seseorang, kejadian, bahkan takdir. Pasti ada pelajaran yang bisa kita ambil Dirga.” Chika tersenyum lembut.
“Kejahatan apapun di dunia ini pasti akan terungkap suatu saat. Itulah yang kupelajari dari Elizabeth. Menangkap Elizabeth Bathory pada awalnya mungkin hal yang tidak mungkin karena dia ini bangsawan tinggi dan perannya berpengaruh besar terhadap Hungaria. Ini sama halnya dengan koruptor di zaman sekarang. Walaupun dia berperan penting dan mempunyai jabatan tinggi, suatu saat kejahatannya pasti terbongkar dan dia akan ditangkap.”
“The filnal illusion of history atau ilusi akhir sejarah, para gadis yang Elizabeth kurung mungkin merasa tidak ada lagi harapan untuk selamat. Mereka pasti merasa sangat terpuruk dan tidak bisa lagi berjuang. Kau jangan merasa seperti mereka, jangan pernah masuk kedalam ilusi itu Dirga, tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini. Elizabeth Bathory bisa tertangkap, piramida yang mustahil dibangun pada zaman Mesir kuno berdiri kokoh hingga sekarang. Jika hal buruk terjadi padamu, percayalah kau bisa mengubah hal itu. Mengubah takdir hidup yang mengekangmu.” Chika tersenyum lebar kepadaku.
Ilusi akhir zaman ya? Sepertinya aku sudah terjatuh kedalam ilusi itu.
…
“Ayo belikan aku minuman. Tenggorokanku rasanya seperti sungai yang kering.” Ucap Chika sambil mengelus-elus lehernya.
Aku menggeleng, tapi Chika malah terus menggangguku dengan menggoyang-goyangan bahuku.
“Oh ayolah, beli saja dengan uangmu sendiri.” Aku merespon Chika dengan malas.
“Tadi sudah kuceritakan sejarah tentang Elizabeth Bathory. Anggap saja biaya dan ganti rugi karena telah membuat tenggorokanku kering seperti ini.”
Aku menepuk jidat.
“Baiklah-baiklah, ini uangnya. Belikan aku minuman bersoda dan kau bebas memilih minuman apapun yang kau mau.” Ucapku sambil memberikan uang selembaran lima puluh ribu.
Dengan cekatan uang itu berpindah ke tangan Chika.
“Terimakasih wahai temanku yang agung, Dirgatha Wijaya. Hehe.” Ucap Chika sambil mengedipkan sebelah matanya dan langsung berlari ke dalam minimarket.
Aku duduk dan menghela napas lelah. Setelah berjalan selama kurang lebih dua jam, akhirnya kami bisa sampai ke pemukiman penduduk. Aku bersyukur ada minimarket disini. Jika tidak, aku bisa mati kehausan.
Pip.
Aku menyalakan smartphoneku. Ah, sinyalnya bagus, aku bisa menelepon Mas Rohmat untuk menjemputku sekarang.
“Halo Mas Rohmat? Bisa jemput aku sekarang? Ya, di minimarket sebelum bukit Mooi, aku menunggu bersama temanku disini. Jangan lama-lama ya.”
Pip.
Aku mematikan layar smartphoneku. Sebentar lagi aku akan baik-baik saja, aku akan pulang. Akhirnya aku bisa hidup dengan tenang. Ya, harusnya aku merasa begitu. Tapi, perasaanku malah gelisah memikirkan teman-teman yang sedang dalam bahaya di sana. Seketika aku teringat kejadian di rewind sebelumnya. Kevin yang berusaha menolong Aisyah apapun halangannya, Rian yang terus berusaha mencari Saras, Rizky yang bertaruh nyawa untuk melindungi aku dan Sasha. Mereka terus berjuang, walaupun mereka tahu persentase berhasilnya kecil.
Aku menghela napas, apa aku pantas untuk berhenti dikala yang lain terus berjuang? Jika aku meninggalkan mereka di bukit Mooi, mereka semua akan mati. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Aku ingin menyelamatkan mereka tapi aku tidak ingin menanggung beban lagi. Aku tidak ingin merasakan rasa sakit yang berulang-ulang lagi.
“Kau tidak bisa lari dari takdirmu Dirga..”
Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepalaku. Aku mulai berkeringat dingin dan tubuhku mulai bergetar, aku takut. Aku merasakan hal buruk akan menimpaku.
Puk.
“Kau kenapa Dirga? Apa kau sakit?” Ucap Chika yang tiba-tiba berada di belakangku.
Aku menggeleng.
“Aku tidak apa-apa Chik- aahh apa yang kau lakukan dengan uangku!”
Aku berseru kaget saat melihat Chika yang membawa banyak sekali minuman dalam kantong plastiknya. Dari mulai yang berbentuk kaleng, karton, plastik, semua ada di kantong plastik itu.
“Chika! Untuk apa kau membeli minuman sebanyak itu? Jangan bilang sudah kau menghabiskan seluruh uangku?”
Chika mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Ya! Aku menghabiskan seluruh uangmu.” Ujar Chika semangat sambil memberikan minuman bersoda untukku.
“Siapa yang menyuruhmu untuk menghabiskan seluruh uangku hah?”
“Kau tidak ingat? Tadi kau bilang… Ehem.. Belikan aku minuman bersoda dan kau bebas memilih minuman apapun yang kau mau. Yasudah aku ambil saja beberapa minuman yang kumau.” Ucap Chika sambil meniru suaraku.
“Ugh…”
Aku mengambil minuman dari Chika dengan kasar. Sialan, dia seenaknya saja menghabiskan uang jajanku. Aku bersumpah tidak akan pernah menyuruh Chika untuk berbelanja lagi. Bisa habis semua uangku di tangannya.
Gluk…Gluk..Gluk…
“Ah segarnya…..”
Chika meneguk minumannya tanpa rasa bersalah. Dasar, dia ini memang gadis yang aneh. Aku harus memberinya pelajaran suatu hari nanti.
“Oh ya Dirga, bagaimana caranya kita pulang? Rumah kita jauh dari sini dan tidak ada angkutan umum didaerah ini.” Chika kembali meneguk minumannya.
“Kalau aku sih santai saja, Mas Rohmat supir pribadiku akan menjemputkku kesini.”
“Kalau begitu aku menumpang ya!!” Chika berseru riang.
“Tidak boleh!”
“Heh? Kenapa?” Chika memiringkan kepalanya.
“Karena kau ini ti-“
Nyuuutt…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 11 Episodes
Comments