Makan malam hari ini berjalan begitu tenang. Amora sampai beberapakali memperhatikan kedua orang tuanya yang tidak sedikitpun mengusik dirinya.
Bahkan ketika dia dengan sengaja duduk dengan gaya sembrono, ayah dan ibunya bertindak seperti tak melihat kesalahan itu.
Lirikan mata Amora beralih kepada Regina dan Lucius. Kedua kakaknya tampak makan dengan tenang, tidak pernah tergesa meski sedang menikmati makanan yang paling enak sekalipun.
“Sebenarnya, ada apa ini?”, batinnya tak tenang.
Viscount Alexander meletakkan sendok dan garpu dalam posisi terbalik diatas piring. Dia telah menyelesaikan makan malamnya.
Dengan begitu, semua anggota keluarga mau tidak mau harus menyudahi makan malam mereka juga, tidak perduli meski mereka sebenarnya masih lapar.
“Amora”, panggil sang ayah dengan suara lembut.
Kening Amora berkerut dalam. Dia tidak terbiasa dengan suara lembut ayahnya dan menatap pria paruh baya itu dengan penuh keheranan.
“Ya, ayah”, jawabnya setelah terdiam beberapa detik.
“Kamu memang belum debut, tetapi setelah kamu debutpun, para bangsawan merasa tak rela melepaskan putra mereka untuk bersanding denganmu”, perkataan Viscount Alexander masih pembukaan, namun Amora yang cerdas sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan ini.
Bukan hanya tidak disayang, dia juga akan dibuang. Kenyataan pahit ini membuat Amora tertawa masam didalam hatinya.
“Dua hari lagi akan ada seorang Marquess dari provinsi Rethym yang mengunjungi kota Erythra. Kamu sambutlah beliau dengan baik”, ucap Viscount Alexander penuh penekanan.
“Sesuai dengan perkiraan”, batin Amora sinis.
Melihat Amora tak merespon, Regina yang sejak awal penasaran kenapa adiknya yang belum debut justru hendak dijodohkan oleh kedua orang tuanya, sementara dirinya yang telah merima banyak lamaran ditolak oleh mereka, membuat jiwa kepo Regina meronta-ronta akan hal baik apa yang membuat kedua orang tuanya yang biasanya tenang menjadi terburu-buru seperti ini.
“Ayah, apakah Marquess itu masih muda dan tampan?”, tanya Regina sedikit antusias.
Meski tidak akrab, bukan berarti Regina membenci adiknya. Gadis itu berharap Amora akan berjodoh dengan pria baik, tampan dan kaya tentunya.
“Walaupun tidak lagi muda, tapi dia seorang Marquess”, jawaban sang ayah membuat Regina terdiam.
Gadis itu beberapa kali membuka mulut, akan tetapi tidak juga muncul suara disana. Seolah apa yang akan dia ucapkan tersangkut begitu saja ditengorokannya.
Sementara Lucius yang sudah tahu akar permasalahannya hanya bisa diam, meski dia sadar jika tak seharusnya kedua orang tuanya mengorbankan Amora demi melindungi Regina.
Sangat tak adil, tapi dia juga tak bisa berbuat apapun karena ini berkaitan dengan kekuasaan dan kekuatan besar yang tak bisa keluarga Gilbert lawan.
Viscount Alexander melihat wajah sendu Regina, merasa tak enak hati sehingga diapun segera menjelaskan kenapa perjodohan ini harus dilakukan.
Baru saja dia hendak membuka mulut, sang istri yang lebih memahami karakter anak keduanya pun membuka mulut, membantu sang suami untuk memberi penjelasan.
“Regina sayang, lihatlah betapa kacaunya adikmu. Menjadi seorang selir Marquess sudah lebih dari cukup. Bagaimanapun, tidak akan ada bangsawan yang sudi menikahkan putra mereka dengan Amora”, Viscountess Sabrina mencoba membantu sang suami dengan memberi penjelasan ketika melihat riak ketidak setujuan diwajah Regina.
Sementara itu, Amora yang sedang menjadi topik pembicaraan tetap terdiam dan terus menggerutu dalam hati.
“Sial, aku bahkan belum debut namun kedua orang tuaku sudah tak sabar ingin menjualku”, batin Amora tak puas.
Amora terdiam, mencoba berpikir, mencari jalan keluar agar masa depannya tak hancur ditangan kedua orang tuanya.
Melihat anak keduanya masih murung dan seperti tak menerima penjelasan yang ibunya berikan, Viscountess Sabrina pun kembali bersuara.
“Sayang, kamu tidak mengetahui bagaimana keengganan seperti apa yang ditunjukkan para nyonya bangsawan setiap kali mereka mendengar nama adikmu disebut. Status kebangsawanan ayahmu hanya Viscount, meski kita kaya raya, mereka yang memiliki derajat tinggi tak akan pernah sudi untuk memboyong Amora kekediaman mereka. Jadi, begitu kesempatan baik ini datang, kenapa tak kita ambil”, Viscountess Sabrina menjelaskan secara gamblang, berharap Regina paham akan maksud baik kedua orang tuanya.
Menurutnya, menjadi selir Marquess tua adalah opsi terbaik untuk masa depan putri bungsunya. Sebagai ibu, Viscountess Sabrina tak ingin putrinya menikah dengan rakyat jelata.
Sementara Regina tak menemukan kat-kata yang tepat untuk membantah ucapan sang ibu, namun sebuah bola lampu terang tiba-tiba menyala dikepala Amora. Dia pada akhirnya menemukan sebuah solusi yang brilian.
Jika sudah jatuh tercebur, kenapa tak berenang sekalian saja, begitulah kira-kira ungkapan yang terlintas dalam benak Amora saat ini.
Daripada membantah perkataan kedua orang tuanya, akan lebih baik dia menunjukkan baktinya sebelum dia benar-benar bebas melakukan semua hal yang dia sukai diluaran sana.
Otak kecil Amora pun langsung menyusun berbagai macam rencana dengan cepat, seolah jika dia melewatkan kesempatan bagus ini maka keberuntungan belum tentu akan kembali menghampirinya.
“Saya akan melakukan apa yang ayah dan ibu perintahkan”, ucap Amora penuh keyakinan.
Apa yang Amora ucapkan membuat semua orang terbelalak dan tak lama kemudian senyum lebar kedua orang tuanya merekah.
Namun hal itu tak terjadi pada Lucius dan Regina serta Klara yang kedua matanya hampir keluar karena terkejut akan keputusan spontan yang Amora ambil.
“Amora!”, tegur Regina dengan nada sedikit keras.
Dia mendelik tak percaya adik bungsunya yang biasanya selalu membangkang akan pasrah begitu saja, terutama mengenai permasalahan yang menyangkut masa depannya.
Lucius juga memiliki ekpresi yang tak kalah tegang dengan raut wajah yang ditampilkan oleh Regina.
Meski tak bisa membantu adiknya keluar dari kesulitan, setidaknya Lucius ingin mendengar Amora menolak perminataan kedua orang tuanya dan membantahnya, seperti apa yang selama ini gadis itu lakukan jika merasa tak setuju akan sesuatu.
Sementara Klara yang berdiri dibelakang tubuh Amora beberapa kali memberi kode agar sang nona muda melirik kebelakang.
Amora yang tak tahan akan desakan Klara yang sudah menendang-nendang kursinya, menoleh sekilas dan kedua matanya langsung bersibobrok dengan netra biru milik sang pelayan pribadi yang kini telah mempelototinya seolah mempertanyakan keputusan nona mudanya yang dianggap sangat tak masuk akal itu.
Dengan senyum lebar, Amora diam-diam memberi satu kerlingan jahil pada pelayan pribadinya itu, kemudian kembali fokus pada wejangan-wejangan yang diberikan oleh kedua orang tuanya agar ketika pertemuan nanti dia tak membuat ulah dan bisa berjalan dengan baik.
Klara yang menyadari jika nona mudanya tampaknya telah memiliki rencana sendiri merasa lebih tenang.
Dia juga tahu, membantah keinginan Viscout Alexander dan Viscountess Sabrina sama saja dengan bunuh diri.
Keduanya jelas tak menerima penolakan dengan berbagai macam alasan ketika keputusan telah keduanya buat.
Karena sudah tak ada lagi yang perlu dibicarakan dimeja makan, seluruh anggota keluargapun kembali ke ruang pribadi mereka masing-masing dengan pemikiran rumit.
Yarex, yang mengetahui alasan dari keputusan yang kedua majikannya ambil malam ini hanya bisa berharap jika keputusan yang dibuat oleh majikannya tak akan membuat mereka menyesal dikemudian hari, karena demi melindungi salah satu anak, mereka tega mengorbankan anak mereka yang lain.
“Nona Amora. Saya harap, anda tetap bahagia dimanapun dan dalam kondisi apapun yang akan anda jalani dimasa depan”, doa Yarex tulus.
Pria tua yang tak memiliki suara untuk mengungkapkan pemikirannya itu hanya bisa mendoakan nona muda kecilnya agar tetap mendapatkan kebahagiaan dimanapun dan dalam situasi apapun.
Tanpa Viscount Alexander dan Viscountess Sabrina sadari, apa yang mereka putuskan hari ini akan membawa kehancuran bagi keluarga Gilbert, hanya karena rasa sayang yang berlebihan pada seorang anak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments