Malam harinya, Viscountess Sabrina yang mendengar suara kuda berhenti dihalaman, bergegas bangkit dari tempat duduknya, menyambut kepulangan sang suami. Riak wajah wanita itu menunjukkan minat yang kuat.
Sementara Viscount Alexander yang baru saja turun dari atas kuda, terlihat sangat lelah dan tertekan.
Entah sudah berapa kali dia menghela nafas dengan berat. Sang pria paruh baya terlihat seperti orang yang baru saja kalah berjudi.
Viscountess Sabrina yang melihat wajah murung sang suami merasakan firasat buruk.“Pasti putri kita mengacau”, tudingnya tanpa tendeng aling-aling.
Wanita itu menebak kemungkinan yang masuk akal yang menjadi penyebab suaminya terlihat putus asa adalah tingkah pola sang putri bungsunya yang sulit diatur.
Namun omelan diujung lidahnya tertelan kembali setelah mendapat respon gelengan kepala dari sang suami.
“Jadi, mengapa kamu sekuyu ini?”, tanyanya keheranan.
“Tuan Marquess ternyata lebih tua dari yang kita bayangkan. Beliau...benar-benar reyot dan mesum”, bahu Viscount Alexander terkulai, dia berjalan menunduk dan hampir roboh hingga harus dipegangi oleh sang istri.
“Lalu kenapa jika dia sudah tua? Apa kita akan berbalik arah?”, cecarnya tak senang.
Viscount Alexander menggeleng lesu, “Tidak, aku tak akan memutar haluan, jika saja dia masih berminat pada Amora.”, jawabnya dengan lidah kelu.
“Tuan Marquess Boryet tiba-tiba menanyakan Regina. Besok, beliau meminta aku membawa anak kedua kita untuk menemaninya meninjau perkebunan gandum”, ujarnya frustasi.
Kedua mata Viscountess Sabrina terbelalak lebar, dia sama sekali tak menyangka, meski telah disembunyikan, informasi mengenai Regina mampir juga di telinga sang Marquess.
“Ba-bagaimana bisa?”, tanya Viscountess Sabrina panik.
Viscount Alexander pun menceritakan semua hal yang terjadi selama dia berada di kediaman Count Stalen fan Bouten.
Semua itu dipicu oleh celetukan pelayan pribadi Countess Miskha. Entah itu disengaja atau tidak, yang jelas, setelah pelayan tersebut menyebutkan nama anak keduanya, Marquess Boryet yang penasaran akan sosok Regina pun menyuruh salah satu pengawalnya untuk mencari tahu.
Karena Regina sangat popular, pengawal Marquess Boryet tentu saja tak mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi mengenai sang primadona kota Erythra.
Marquess Boryet yang mesum, kedua matanya langsung berbinar cerah ketika mendengar jika Regina sangat cantik dan berbudi luhur.
Yang jelas, Regina telah berada di usia yang siap untuk menikah, membuat ambisi sang Marquess tua pun semakin tak tertahan.
“Ini pasti ulah Countess Miskha”, guman Viscountess Sabrina dengan wajah geram.
Di kota Erythra, siapa yang tak tahu jika Contess Miskha sangat tak menyukai Viscountess Sabrina karena wanita itu selalu mengalahkannya dalam segala hal.
Memiliki putri yang cantik, anggun, dan cerdas seperti Regina, membuat Viscountess Sabrina ikut bersinar seiring bertambahnya popularitas sang anak.
Hal itu memicu kecemburuan dan rasa tidak puas Countess Miskha. Seharusnya, sebagai wanita nomor satu di kota Erythra, semua sorotan harus terarah kepadanya.
Tapi, dilingkungan sosial, ibu dan anak keluarga Gilbert telah mengambil perhatian semua orang yang seharunya menjadi miliknya.
Belum lagi di pengadilan, Viscount Alexander dan putranya, Lucius, terlalu lurus dan sama sekali tidak bisa dia goyangkan, membuat hati Countess Miskha sangat tidak puas.
Dan puncak rasa tidak senangnya adalah, anak semata wayangnya, yang selama ini menjadi harapan dan kebanggaannya, jatuh hati kepada Regina dan menjalin kasih secara sembunyi-sembunyi dibelakangnya, membuatnya amarah dalam hatinya semakin berkobar.
Jadi, begitu ada kesempatan, Countess Miskha tentu memanfaatkan celah tersebut untuk menjatuhkan keluarga Gilbert.
“Aku sama sekali tak menyangka jika Countess Miskha akan menggunakan cara licik ini untuk menjatuhkanku”, ujarnya lesu.
Viscountess Sabrina sama sekali tak mengira, akibat kecemburuan Countess Miskha kepadanya, masa depan Regina dipertaruhkan.
Wanita itu tak bisa membayangkan bagaimana harga diri yang selama ini dia junjung tinggi akan hancur tak bersisa jika sampai Regina menikah dengan Marquess Boryat dan menjadi selirnya yang keempat.
Membayangkannya saja sudah membuatnya ngeri. Apalagi jika sampai dia mendengar cemohan dan pandangan sinis para nyonya bangsawan, mungkin seumur hidup dia tak akan berani untuk keluar dari rumah.
Melihat sang suami masih tak bereaksi, Viscountess Sabrina pun menggoyangkan lengan Viscount Alexander dengan wajah pias.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita benar-benar harus menghancurkan masa depan cerah putri kita?”, tanyanya menuntut.
“Tentu saja tidak. Aku akan menghalangi Marquess Boryet untuk bertemu dengan Regina. Apapun yang terjadi”, ucap Viscount Alexander dengan rahang mengeras.
Apapun akan pria itu lakukan demi bisa melindungi sang buah hati yang sang sangat disayanginya, meski itu harus mempertaruhkan segalanya.
*****
Pagi hari, kediaman Gilbert dikejutkan oleh kedatangan Marquess Boryet. Pria tua itu datang secara tiba-tiba di pagi buta, saat semua orang baru saja terbangun dari tidurnya.
“Mengapa dia berkunjung ke kediaman kita pagi-pagi sekali? bukankah hari ini kalian akan bertemu diladang gandum?”, ucap Viscountess Sabrina penuh ketidak puasan. Tanpa sadar, dia meremat-remat tangannya sendiri dengan penuh kegelisahan.
“Perintahkan Regina agar tak keluar dari kamar, apapun yang terjadi!”, ucap Viscount Alexander penuh ketegasan.
Setelah memakai pakaian kerjanya, Viscount Alexander bersama istrinya keluar dari dalam kamar. Keduanya berjalan menuju ruang tamu sambil berjalan secara berdampingan dengan wajah pias.
Dari jarak dua meter, keberadaan Marquess Boryet di ruang tamu telah tertangkap retina sepasang suami istri itu.
Semakin dekat jarak mereka dengan sang Marquess, semakin melambat pula langkah mereka. Seolah ada rantai bola besi yang menjerat kaki keduanya, hingga setiap satu langkah terasa begitu berat.
“Salam tuan Marquess”, Viscount Alexander menyapa, begitu langkah enggannya berhenti.
Sang istri mengikutinya memberi salam, kemudian duduk tak jauh dari sang Marques.
“Maaf untuk kedatanganku yang tiba-tiba”, kening para pengawal Marquess Boryet kompak memiliki kerutan dalam.
Mereka terheran-heran mendapati tuan mereka yang sombongnya selangit mengucapkan kata maaf begitu mudah. Terlebih pada bangsawan yang memiliki status lebih rendah darinya.
“Anda tak perlu meminta maaf tuan Marquess, bangsawan tinggi seperti anda, mau berbesar hati meluangkan waktu untuk mengunjungi kediaman saya yang sederhana ini, sungguh suatu kehormatan”, kalimat palsu sang Viscount mampu meninggikan hati Marquess Boryet.
Pria tua itu kesenangan hingga tertawa lepas, dengan perut buncit yang naik turun akibat terlalu bersemangat.
“Baiklah, aku tidak akan berbasa-basi. Aku ingin bertemu dengan anak kedua kalian”, senyum mesum sang Marquess membuat Viscountess Sabrina memiliki keingginan untuk memukul pria tua itu dengan panci.
Sebelah tangan Viscount Alexander memegangi kepalan jemari istrinya, bermaksud menenangkan, sebab dia bisa merasakan sebesar apa emosi yang saat ini tengah mendera Viscountess Sabrina.
Mendengar kedatangan Marquess Boryat, Amora yang baru saja selesai berganti pakaian pun segera bersiap dan turun untuk menyambut pria tua yang akan membawanya keluar dari kediaman Gilbert menuju kebebasan yang diinginkannya.
Begitu tiba diruang tamu, Amora berjalan dengan anggun, mendekat pada kedua orang tuanya dan menatap sang Marquess seraya tersenyum manis. “Salam tuan Marquess Boryet”.
Keheningan melanda sesaat, setelahnya terdengar suara mengerikan sang Marquess mengatakan, “ Tidak, bukan gadis kecil ini yang aku inginkan. Aku ingin bertemu Regina, anak kedua kalian. Bukan kecambah yang belum matang ini”.
Yarex hampir terjatuh mendengar perkataan tak terduga Marquess Boryet. Kepala pelayan itu segera menoleh pada Viscount Alexander yang amat tercekat hingga tubuhnya membeku layaknya patung.
Amora bahkan sudah mengepalkan kedua tangannya, “Siapa yang kecambah belum matang? aku masih belum sepenuhnya berkembang, jika sudah,Kamu, pria tua tak tahu malu, pasti tak akan sanggup menerima pesonaku”, batinnya geram.
Melihat kedua orang tuanya terdiam membeku, dan kedatangan tiba-tiba sang Marquess di kediaman Gilbert pagi buta begini, Amora yang cerdas pun segera menangkap adanya konspirasi disini.
Tanpa adanya provokasi dari seseorang, pasti hal semacam ini tak akan terjadi. AMora sangat yakin, pasti ada seseorang yang telah memamerkan Regina pada si pria tua mesum ini. Jika tidak, berdasarkan apa yang terjadi kemarin, seharusnya dia yang Marquess Boryet cari.
“Mohon maaf tuan Marquess. Kakak perempuan saya terserang demam semenjak dua hari yang lalu”, Amora mengambil alih keadaan setelah ayah dan ibunya tak kunjung menemukan kata penolakan.
Kesempatan untuk bisa menjelelajahi dunia telah berada didepan mata, dia tak ingin mengalami kegagalan sehingga diapun membantu kedua orang tuanya menyembunyikan keberadaan Regina dari pandangan si pria tua mesum ini.
“Aku memiliki tabib yang tidak kalah mahir dari tabib kerajaan. Tunjukkan kamar kakakmu dan tabibku akan mengobatinya”, wajah sombong Marquess Boryet terpampang nyata. Pria tua itu jelas tak menerima penolakan.
Amora cukup paham, dengan karakter pria tua itu serta ambisi besar yang dimilikinya, dia tak akan menyerah sebelum berhasil menemui kakak perempuannya.
“Tuan Marquess, kakak saya hanya demam. Alasan mengapa dia tak menemui anda karena tak ingin anda tertular”, Amora berusaha sebaik mungkin untuk menjaga intonasi suaranya, dibuat selembut mungkin sehingga enak didengar.
Namun dalam hati, dia terus mengumpat. “System kasta sialan! Benar-benar merepotkan!”.
Jika bisa, dia ingin menendang keluar pria tua mesum ini dalam satu kali tendangan agar wujudnya tak mengotori pandangan mata.
Meski sangat kesal, dipermukaan, Amora masih menampilkan senyum yang sangat tulus, berbanding terbalik dengan suasana hatinya saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Tiara Bella
aki" bau tanah aja ampun deh pngnnya daun muda.....
2025-04-12
0