Ungkapan Stevan.

...Meskipun benaknya dipenuhi tanda tanya dan kecemasan mencengkeram hatinya, Amina memberanikan diri melangkah mendekati Stevan yang tengah bersandar di sofa....

"Kak," sapa Amina ragu.

"Duduk di sana," Stevan memotong ucapan adiknya dengan nada datar dan dingin.

...Amina hanya bisa mengangguk kecil. Dengan langkah perlahan, ia menghampiri sofa dan duduk berhadapan dengan Stevan, pandangannya tertunduk dalam ketakutan....

"Sebelum Kakak pergi," Stevan memulai, suaranya rendah namun menusuk, "apa yang Kakak ingatkan padamu?"

"T~tidak boleh pacaran," jawab Amina dengan suara tercekat, ketakutan jelas terpancar dalam setiap katanya.

"Lalu?" desak Stevan, nada suaranya datar namun mengancam.

...Amina memberanikan diri mengangkat wajahnya, menatap mata Stevan yang dingin. Ia tahu, kakaknya pasti sudah mengetahui kejadian di taman minggu lalu....

"Aku... aku sudah bicara dengan Kakak Kevin," jelas Amina dengan suara sedikit bergetar, "dan dia bilang tidak akan melakukan apa pun padaku, Kak."

"Kau berani melawanku, Amina?" Tatapan Stevan kini semakin tajam, dinginnya menusuk seperti es.

Amina tersentak, tubuhnya menegang. Ia segera menundukkan kepala. "Ti-tidak berani, Kak," jawabnya lirih, suaranya bergetar tak terkendali.

...Stevan berdiri, meninggalkan lekukan sofanya, dan berjalan perlahan menghampiri Amina. Ia berhenti tepat di depannya, menciptakan jarak yang intim namun terasa mengintimidasi....

...Dengan gerakan pelan, jemarinya menyentuh dagu Amina, mengangkatnya dengan lembut hingga wajah mereka sejajar. Tatapan Stevan menusuk, membuat Amina tak bisa mengalihkan pandangannya....

"Dengarkan Kakak baik-baik, Amina," ucap Stevan dengan nada tenang namun dingin, "kau adalah tanggung jawab Kakak, satu-satunya yang Kakak punya. Kakak tidak sudi membagi kamu dengan siapa pun." Kata-kata itu membuat mata Amina membulat sempurna, terkejut dan tak percaya.

"Kakak..." pinta Amina dengan suara tercekat, air mata mulai membasahi pipinya, "ini tidak benar... kita adalah adik dan kakak."

"Sejak dulu, hatiku tidak pernah melihatmu sebagai seorang adik, Amina. Justru sebaliknya," tukas Stevan dengan suara berat dan penuh penekanan.

...Tanpa menunggu respons, Stevan mencondongkan tubuhnya, merengkuh wajah Amina, dan mencium bibirnya dengan kasar dan memaksa. Amina terkesiap, tubuhnya menegang. Refleks, ia mendorong dada Stevan sekuat tenaga, berusaha menjauhkan diri....

Plak!

...Suara tamparan keras menggema di ruangan, membungkam keheningan yang tegang. Jejak merah seketika tercetak di rahang Stevan. Ia terhuyung sedikit, matanya membulat sempurna, menatap Amina dengan tatapan yang terluka bercampur amarah yang membara....

"Kak!" jerit Amina histeris, air mata mengalir deras membasahi pipinya. "Aku... aku selalu menyayangi dan menghormati Kakak sebagai kakak kandungku sendiri! Lalu kenapa... kenapa Kakak melakukan hal menjijikkan ini padaku?!" tanya Amina dengan suara bergetar hebat, menatap Stevan dengan tatapan nanar penuh kekecewaan dan rasa jijik.

...Senyum sinis mengembang di bibir Stevan. Ia menjilat sisa saliva di sudut mulutnya, tatapannya lekat dan penuh hasrat menelanjangi Amina....

"Karena aku mencintaimu, sayang," jawab Stevan dengan nada rendah dan penuh keyakinan yang mengerikan.

Duar!

...Pengakuan itu menghantam Amina bagai petir di siang bolong. Tubuhnya membeku, jiwanya terasa kosong....

"Tidak mungkin..." bisik Amina lirih, menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia segera berdiri, menjauhi Stevan. "Kakak sakit... aku harus pergi." Tanpa menunggu jawaban, Amina berbalik dan melangkah cepat menuju pintu apartemen.

...Stevan terkekeh pelan, lalu memutar tubuhnya, mengawasi punggung Amina yang semakin menjauh....

"Kau akan menyesalinya, Amina," desis Stevan penuh ancaman, suaranya dingin seperti es, "jika kau berani keluar dari pintu itu."

"Aku tidak takut lagi, Kak," balas Amina tanpa menoleh, suaranya bergetar namun penuh tekad. "Aku akan memberitahu Papa dan Mama tentang semua ini." Ia terus melangkah, meraih kenop pintu, dan membukanya.

...Setelah berhasil keluar, Amina membanting pintu apartemen dengan keras, suaranya menggelegar. Di dalam, Stevan tertawa dingin, suaranya menggema penuh amarah yang tertahan. Matanya menyala-nyala, memancarkan kemarahan yang siap meledak....

...Meninggalkan apartemen, Amina berlari sekencang-kencangnya, tangisnya pecah tak tertahankan. Kata-kata Stevan terus menghantuinya, membuatnya tak mampu menghentikan air mata yang mengalir deras. Ia segera mencari lift, berharap bisa menjauh secepat mungkin....

Di dalam lift yang sunyi, Amina terduduk lemas. "Aku takut pulang... tapi aku harus kemana?" bisiknya putus asa.

Tiba-tiba, ia teringat Amel. Dengan cepat, ia merogoh ponselnya dari dalam tas dan menghubungi sahabatnya itu di tengah isak tangisnya.

"Mel..." ucap Amina dengan suara bergetar.

"Amina? Ada apa?" tanya Amel cemas.

"Aku... aku tidak ingin pulang. Bolehkah aku menginap di rumahmu?" pinta Amina.

"Tentu, datanglah. Aku tunggu di depan gerbang," jawab Amel tanpa ragu.

...Amina mengakhiri panggilan dan kembali menangis. Pintu lift tiba-tiba terbuka, menandakan ia telah sampai di lantai dasar....

(Bersambung)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!