Bab 20 Akhir Pertarungan dengan Penguntit

Udara di sekitar mereka bergetar.

Kilatan petir kuning gelap berkecamuk, menari liar di udara, membakar apa saja yang terlalu dekat. Tanah di bawah kaki mereka berderak, bergetar akibat energi yang dilepaskan oleh tubuh lawan Tenzo. Batu-batu kecil di sekitarnya melayang sedikit, terangkat oleh arus energi yang semakin liar.

Aura yang meluap itu hampir terasa menyakitkan. Tenzo tetap berdiri di tempatnya, merasa takjub. Dia bisa merasakan perubahan besar.

Tekanan di udara berbeda.

Suhu sekitar naik.

Bulu tengkuknya sedikit meremang.

[Kekuatannya meningkat... yah, cukup signifikan.]

Namun, bukan itu yang membuatnya tersenyum tipis. Yang menarik perhatiannya adalah kesungguhan yang kini terlihat jelas di mata lawannya.

"Baiklah!" Suaranya bergetar dengan semangat membara. "Sekarang lihatlah! Apakah kali ini kamu masih bisa selamat atau tidak?!"

Dan dalam sekejap mata—

—BZZT!!

Dia menghilang.

Tenzo hampir tidak melihatnya.

Sebuah tebasan petir muncul begitu dekat di hadapannya—hanya beberapa senti dari wajahnya.

Udara berdesis panas, menciptakan jejak listrik yang terbakar di jalur serangan itu. Instingnya bereaksi lebih cepat daripada pikirannya. Tanpa berpikir, tubuhnya bergerak ke belakang, hampir seperti kayang, menghindari serangan dengan presisi yang luar biasa.

Namun—

Angin dari serangan itu menghantam wajahnya. Sedikit helai rambutnya terpotong, melayang pelan di udara sebelum lenyap menjadi abu akibat panasnya aura lawannya. Untuk pertama kalinya, Tenzo sedikit terkejut.

"Sungguh tidak terduga... dia benar-benar bisa bergerak secepat ini."

Di balik kejutan itu, ada sesuatu yang lain di benaknya—kekaguman.

Orang ini, yang awalnya dia anggap biasa, ternyata benar-benar bersungguh-sungguh dalam menghadapinya. Dia juga ingin meladeninya dengan serius. Namun, jika dia melakukannya—pertarungan ini akan berakhir terlalu cepat. Jadi, untuk saat ini, dia hanya akan menghindar.

Mereka berdua melaju dengan kecepatan luar biasa, berlari dan saling kejar-kejaran di antara rumah-rumah.

Setiap kali Tenzo mencoba melarikan diri, lawannya muncul entah dari mana, menyerang dari sudut yang tidak terduga.

Orang itu kini menyerang dengan lebih banyak variasi—tebasan diagonal, tusukan cepat, bahkan serangan dua arah sekaligus dengan pedang pendeknya.

Namun, tidak ada satu pun yang berhasil mengenai Tenzo.

"Cepat, tapi masih bisa terbaca..."

Tenzo akhirnya mengambil sebuah bilah kayu dari rumah warga, menggunakannya sebagai pengganti katananya yang tertinggal.

Dan untuk pertama kalinya—

Dia menangkis serangan lawannya.

CLANK!

Suara benturan terdengar keras.

Bilah kayu lawan dua pedang pendek.

Kilatan petir meledak di udara, menyambar genting rumah dan memecahkannya.

Setelah beberapa saat, Tenzo mendarat di tengah sebuah area perumahan yang tertutup di empat sisi. Dia memandang lawannya, yang kini berdiri di atas salah satu rumah.

"Baiklah," katanya dengan nada datar, "Apa kamu masih butuh bukti kalau kamu lebih lemah dariku?"

"Lebih baik menyerah saja. Aku tidak punya niat buruk pada kerajaan ini."

Namun—

Jawaban yang datang bukanlah kepasrahan.

Mata lawannya dipenuhi amarah.

Giginya mengertak.

Tinjunya mengepal.

"Sekarang... kamu akan mati."

Aura hitam berkobar liar di sekeliling tubuhnya.

Dia mengangkat salah satu pedangnya tinggi-tinggi—aura hitam menelannya, seperti api yang membakar dari dalam. Udara di sekitar menggetarkan jendela-jendela rumah.

Gelombang energi berdenyut liar.

"Black Death Stab!"

ZRRRMM!!

Dalam sekejap, dia menghilang.

NaMun kali ini, bahkan jejak keberadaannya pun nyaris lenyap.

Tenzo tidak bergerak.

Dia menutup matanya.

Perlahan, dia menurunkan bilah kayu yang dipegangnya hingga ujungnya menyentuh tanah.

Saat itu terjadi—

—gelombang samar terbentuk di udara. Seperti tetesan air yang jatuh di permukaan danau yang tenang.

Orang itu akhirnya muncul.

Tepat di belakang Tenzo.

"Sekarang aku akan membunuhmu!"

Dia mengayunkan pedangnya—

Namun sebelum pedang itu sempat mengenai Tenzo...

—SLASH!

Sesuatu menembus tubuhnya. Seketika, dia merasakan rasa sakit yang luar biasa. Matanya melebar dan darah muncrat keluar. Bukan dari luka yang nyata—tetapi itulah yang dia rasakan.

Tenzo tidak bergerak.

Namun, dalam pikirannya, serangan itu sudah terjadi. Tubuh lawannya kejang sebelum akhirnya terlempar ke belakang, jatuh dengan suara dentuman keras.

Tangannya melemah.

Pedangnya terlepas.

Kesadarannya lenyap.

Tenzo membuka matanya, lalu melihat ke arah tubuh yang kini tergeletak tak bergerak.

Dia pingsan.

Tenzo menatapnya sejenak, lalu mendekati tubuh itu. Dia berjongkok, memperhatikannya dengan seksama.

"Potensinya besar."

"Namun, dia masih belum cukup terlatih untuk mengeluarkannya sepenuhnya."

Lalu, dia bangkit dan berjalan pergi, meninggalkan tubuh lawannya yang masih tak sadarkan diri.

Malam pun kembali tenang.

**

Sinar matahari pagi perlahan menembus celah jendela penginapan, merayap melewati kaca dan memantulkan kilau lembut di udara berdebu. Cahaya itu jatuh tepat ke atas tubuh seseorang yang tengah terbaring di ranjang, tubuhnya terikat erat oleh tali.

Di sudut ruangan, seseorang duduk santai.

Dia sedang menikmati secangkir kopi hitam, aroma pahitnya bercampur dengan udara pagi yang masih dingin. Di mejanya terdapat beberapa camilan yang belum tersentuh—dan di antara barang-barang yang berserakan di atasnya, terdapat sebuah kartu identitas.

Tenzo, dengan ekspresi santai, menyeruput kopinya.

Sementara itu—

Orang yang terikat di ranjang menggerakkan kelopak matanya.

Awalnya, dia hanya beringsut sedikit, namun perlahan-lahan, kesadarannya mulai kembali. Tatapannya masih samar, kepalanya terasa berat, dan pikirannya belum sepenuhnya jernih.

"Heh... di mana aku...?" gumamnya pelan, suaranya serak karena baru bangun.

Namun, begitu pikirannya mulai menghubungkan potongan-potongan ingatan dari malam sebelumnya—mata Ramez membelalak.

Ingatan itu menghantamnya seperti badai.

Tebasan!

Darah!

Kesakitan yang luar biasa!

Refleks, dia meraba bagian depan tubuhnya dengan panik.

[Aku ingat! Aku... aku terkena serangan—]

Tapi sebelum dia bisa memastikan keadaannya, sesuatu yang lain menarik perhatiannya.

Tangannya... terikat.

Begitu dia menyadarinya, rasa panik itu berubah menjadi kemarahan.

"Apa-apaan ini?!" Ramez menggeliat, mencoba melepaskan diri. "Kenapa aku terikat begini?! Hei, kau! Cepat lepaskan aku!!"

Dia menoleh ke arah satu-satunya orang lain di ruangan itu—dan langsung mengenalinya.

Tenzo.

Orang yang telah mengalahkannya tadi malam.

Wajah Ramez mengeras.

"Hei! Kau dengar aku tidak?! Cepat lepaskan aku, atau kau akan merasakan akibatnya!"

Namun, Tenzo hanya menatapnya sekilas sebelum kembali menyesap kopinya dengan santai.

"Pagi-pagi sudah cari ribut, ya?" katanya, suaranya terdengar malas. "Dinginkan dulu kepalamu, lalu kita bicara baik-baik."

Sambil berkata demikian, dia mengambil sesuatu dari meja—kartu identitas. Dengan santai, dia membaca informasi di kartu itu dengan suara pelan.

"Hmm... jadi namamu Ramez. Ras rubah hitam. Seorang petualang peringkat B..."

Tenzo meliriknya sekilas. "Pantas saja tadi malam kau bisa bergerak cukup cepat. Rupanya sudah di peringkat B."

Mata Ramez membelalak lebih lebar.

"Hei! Itu kartuku!" teriaknya. "Kembalika—! AAAAA!!"

Dalam usahanya menggeliat liar, tali di tubuhnya tertarik ke samping, dan tanpa sadar ia terjatuh dari ranjang.

BRAK!

"..."

Suasana mendadak hening.

Tenzo hanya menghela napas panjang, meletakkan kartu identitas itu kembali ke meja.

"Kan sudah aku bilang..." katanya pelan. "Dinginkan dulu kepalamu. Sekarang lihat, apa akibatnya?"

Beberapa saat kemudian, keadaan akhirnya lebih tenang. Ramez kini duduk bersila di lantai, mencoba meredakan emosinya. Meski matanya masih melotot kesal, setidaknya ia tidak lagi berteriak.

Sementara itu, Tenzo menceritakan asal-usulnya. Dia bercerita tentang perjalanannya yang panjang, bagaimana dia menjadi pengembara selama bertahun-tahun, dan bagaimana akhirnya dia tiba di kota ini tanpa tujuan yang jelas.

Dia juga menegaskan satu hal—

"Aku tidak ada hubungan dengan para Demon."

Tentu, ada beberapa kisah yang dibuat-buat, tetapi inti ceritanya tetap sama.

Ramez mendengarkan dengan saksama, sesekali mengernyit. Namun, pada akhirnya, ekspresinya melembut.

"Ohh, jadi begitu, ya?" katanya, kini dengan nada yang lebih santai. "Maaf. Aku salah sangka karena menyebutmu antek-antek mereka."

Tenzo hanya mengangkat bahu.

"Akhirnya kau paham juga."

Dengan itu, ia pun membuka ikatan tali di tubuh Ramez.

"Baiklah, kau bebas sekarang."

Tali yang menggulung tubuh Ramez terlepas satu per satu.

Saat gulungan terakhir akhirnya jatuh ke lantai—

—senyum aneh muncul di wajahnya.

Tenzo langsung curiga.

"Hah?"

Dalam hitungan detik—

Ramez MELONJAK ke arah Tenzo.

Di tangannya, sepotong kayu tajam, entah dari mana ia mendapatkannya, diarahkan langsung ke leher Tenzo.

"Kena kau—!"

Namun—

Tepat sebelum kayu itu bisa mengenai Tenzo, sesuatu yang aneh terjadi.

"A-apa...?"

Tangannya... mati rasa.

Kayu itu jatuh dari genggamannya.

Ramez sendiri terhuyung ke depan, kehilangan keseimbangan, sebelum akhirnya terjatuh ke lantai dengan keras.

"Ugh...! Apa-apaan ini?!"

Dari atas, Tenzo hanya menatapnya dengan ekspresi datar.

"Hah..." Ia menghela napas panjang, "Kau benar-benar keras kepala, ya?"

Ramez hanya meringis di lantai, mencoba menggerakkan tangannya.

Namun—

Dia sudah tahu.

Tenzo membiarkannya hidup.

Dan itu berarti satu hal—

Dia tidak akan menang.

Terpopuler

Comments

F~~

F~~

udah kalah masih ngeyel, ad2 saja

2025-03-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!