Jauh di ujung barat Benua Elder, berdiri megah Kerajaan Inavosta, salah satu kekuatan besar yang menguasai daratan ini. Sebagai kerajaan yang telah bertahan selama berabad-abad, Inavosta dipimpin oleh Raja Oldet Richard, raja ketujuh sejak berdirinya kerajaan.
Benteng pertahanannya kokoh dan berlapis. Dua dinding raksasa mengelilingi kota utama—benteng pertama yang melindungi rumah-rumah penduduk dari bahaya luar, dan benteng kedua yang menjadi pertahanan terakhir bagi Istana Kerajaan. Dengan diameter mencapai lima meter dan ketinggian menjulang 25 meter, dinding ini seharusnya menjadi tameng yang tak tergoyahkan.
Namun, keadaan saat ini jauh dari kata damai.
Dari kejauhan, bekas pertempuran masih terlihat jelas. Senjata-senjata yang patah dan tertancap di tanah berserakan di mana-mana. Tanah yang berlubang akibat ledakan, reruntuhan bangunan yang hangus terbakar, serta aroma asap dan darah yang masih samar tercium di udara.
Beberapa bagian dari dinding luar telah retak dan runtuh, menandakan kedahsyatan serangan yang menghantamnya. Puluhan pekerja bergegas di sekitar reruntuhan, berusaha memperbaiki pertahanan yang sempat hancur dalam peperangan.
Seminggu telah berlalu sejak serangan terakhir para Demon, dan untungnya, Kerajaan Inavosta berhasil bertahan. Seperti empat kali sebelumnya, mereka menang—namun kemenangan itu tidak datang tanpa harga.
Di pinggiran kerajaan, di atas tanah yang lebih sunyi dari medan perang, berdiri pemakaman para bangsawan. Batu nisan berjejer rapi, beberapa dihiasi ukiran pedang, perisai, atau lambang keluarga yang mewakili mereka yang telah gugur.
Di antara nisan-nisan itu, seorang wanita berdiri sendirian.
Rambut abu-abu mengilap miliknya tergerai hingga ke pinggul, berayun perlahan saat angin berhembus melewati pemakaman. Sepasang mata merah terang menatap dengan pilu ke satu makam di depannya. Tubuhnya berbalut armor prajurit, meski bagian kepalanya dibiarkan terbuka. Di punggungnya, sebuah Katana tersarung rapi, senjata yang selalu setia menemaninya.
Di hadapannya, di atas sebuah batu nisan yang sederhana namun elegan, terukir sebuah nama:
‘Iramura Tenzo’
Dia berlutut, menundukkan kepala, lalu berdoa.
“Guru, bagaimana kabarmu di sana...? Apakah kau baik-baik saja?” suaranya lembut, namun mengandung kepedihan yang dalam. “Jika iya, aku sangat senang mengetahuinya...”
Tangan kanannya perlahan merogoh saku, mengeluarkan sebuah lencana berukir lambang kerajaan. Lencana emas itu berkilauan di bawah cahaya matahari sore, memantulkan bayangan wajahnya yang muram.
“Hari ini aku ingin memberitahukan kabar baik, Guru...” ucapnya, menahan gejolak di dadanya. “Aku... aku akhirnya naik pangkat.”
Ia menarik napas dalam, berusaha tetap tersenyum meski hatinya terasa berat. “Semuanya berkatmu... berkat semua ajaran yang telah kau berikan kepadaku. Aku tidak akan berada di titik ini jika bukan karena dirimu... aku benar-benar berterima kasih...”
Namun, sekuat apa pun ia mencoba menahan diri, air matanya tetap jatuh.
Tetesan bening itu mengalir dari sudut matanya, membasahi pipi dan jatuh ke tanah di depan makam. Ia mengepalkan tangan, menunduk lebih dalam.
“Andai saja kau masih ada di sini, Guru...” bisiknya pelan, suaranya bergetar.
Angin berhembus, menggoyangkan bunga-bunga yang telah ia letakkan di atas makam. Seolah alam pun ikut merasakan kesedihannya.
Setelah beberapa saat, ia mengusap wajahnya, menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri. Kesedihan harus disimpan—ada tugas yang menunggunya di istana.
Ia menyelipkan kembali lencana itu ke dalam saku dan melangkah pergi, meninggalkan makam yang kini kembali sunyi.
Eydis, Sang Jenderal yang Dibentuk oleh Perang
Nama wanita itu adalah Eydis, salah satu Jenderal Kerajaan Inavosta.
Dulu, ia hanyalah seorang prajurit biasa—seorang imperial yang bertarung seperti ratusan pasukan lainnya. Namun, pertempuran demi pertempuran telah membentuknya menjadi seorang pemimpin.
Ia tidak mendapatkan pangkatnya secara instan. Di setiap pertempuran, ia menunjukkan kecemerlangan strategi, keberanian, serta kekuatan yang luar biasa. Kemampuannya dalam mengendalikan medan perang tidak bisa diremehkan, dan atas berbagai pencapaiannya, ia akhirnya diberikan gelar Jenderal—salah satu jabatan tertinggi dalam militer kerajaan.
Namun, tidak ada kejayaan tanpa kehilangan.
Alasan sebenarnya ia berdiri di pemakaman tadi bukan hanya untuk merayakan pencapaiannya.
Ia datang untuk mengenang seseorang—seseorang yang namanya terukir di batu nisan yang baru saja ia kunjungi.
Iramura Tenzo.
Nama itu bukan sekadar tulisan di batu. Ia adalah gurunya, mentornya, seseorang yang telah mengajarkannya segalanya. Namun, Tenzo telah dinyatakan mati oleh pihak kerajaan. Ia hanyalah kenangan yang tertinggal di ingatan mereka yang mengenalnya.
Meskipun dunia telah melanjutkan langkahnya... Eydis masih belum bisa benar-benar merelakannya.
Di tengah jalan menuju istana, ia mengepalkan tangannya. Ada sesuatu di hatinya yang belum bisa ia lepaskan.
Namun untuk saat ini, ia harus fokus pada tugasnya.
Dengan langkah mantap, ia terus berjalan menuju istana, tempat takdir baru sedang menantinya.
Senjata yang kau pilih mencerminkan siapa dirimu.
Bagi Edyis, Katana ini bukan sekadar pedang, melainkan simbol dari ajaran gurunya, Iramura Tenzo. Setiap goresan pada bilahnya adalah bukti dari pelatihan keras yang ia jalani, ilmu yang diwariskan kepadanya, dan kenangan yang terukir dalam setiap tebasannya.
Namun, kemampuannya tak hanya terbatas pada seni pedang. Tenzo tidak hanya mengajarkan teknik, tetapi juga strategi, refleks, dan yang terpenting—paduan antara sihir dan ilmu pedang. Kombinasi itu membuat gaya bertarung Edyis berkembang pesat hingga akhirnya ia mendapatkan gelar jenderal.
Bagi Edyis, Tenzo bukan hanya seorang guru—ia adalah orang paling berharga dalam hidupnya.
Setibanya di istana, langkah Edyis terdengar mantap, meski hatinya masih sedikit berat.
Di sepanjang lorong megah yang dihiasi pilar-pilar tinggi, para prajurit yang melihatnya seketika memberi hormat. Dengan pangkatnya saat ini, sudah sewajarnya ia menerima penghormatan semacam itu. Namun, bagi Edyis, semua ini masih terasa begitu baru, begitu mendadak.
Baru saja ia akan melangkah lebih jauh, seorang gadis muncul di hadapannya, diapit beberapa prajurit penjaga.
Seorang putri.
Gadis itu mengenakan gaun mewah, dengan desain elegan khas keluarga kerajaan. Rambut pirangnya tergerai indah, dan di atas kepalanya bertengger mahkota kecil yang menandakan statusnya.
Begitu jarak mereka cukup dekat, sang putri memberi isyarat pada para penjaganya.
“Pergilah.”
Para prajurit itu menundukkan kepala, lalu meninggalkan mereka berdua.
Setelah para penjaga pergi, gadis itu tersenyum kecil, mata ungunya berkilau penuh keusilan.
“Halo, Jenderal Edyis~” ujarnya, dengan nada menggoda yang sudah sangat familiar.
Edyis langsung menatapnya dengan ekspresi tidak terkesan, tetapi tetap membalas sapaannya dengan sopan.
“Oh, halo juga, Tuan Putri. Selamat siang.”
Dialah Ina Richard, putri bungsu dari tiga bersaudara dalam keluarga kerajaan Inavosta.
Ina tersenyum semakin lebar melihat reaksi Edyis. Ia tahu betul bagaimana prajurit itu tidak nyaman dengan gelar barunya.
Dan benar saja—begitu mendengar kata “Jenderal,” Edyis segera menghela napas panjang, lalu berkata,
“Tuan Putri, tolong jangan panggil saya ‘Jenderal’. Apalagi jika Anda yang mengatakannya. Saya masih belum terbiasa.”
Senyum Ina semakin melebar. Ia mengangkat tangan, seolah menyerah, lalu berkata,
“Iya, iya, iya… santai saja….”
Lalu, dengan jeda yang sedikit lebih panjang, ia menambahkan satu kata lagi,
“…Jenderal.”
Ekspresi Edyis semakin tidak mengenakkan.
Namun, Ina hanya terkekeh kecil, puas dengan reaksinya.
Setelah beberapa percakapan singkat yang diwarnai candaan khas mereka, keduanya mulai berjalan santai di sepanjang koridor istana, berbincang ringan tentang berbagai hal. Di tengah langkah mereka, tiba-tiba Ina mengubah topik pembicaraan.
“Edyis, apakah kamu tadi habis berkunjung ke makam Tuan Tenzo?”
Edyis mengangguk. “Iya, aku baru saja dari sana. Memangnya kenapa?”
Ina menatapnya dengan sedikit rasa ingin tahu.
“Yah… aku sering mendengar kalau kamu sering pergi ke sana. Sepertinya hampir setiap waktu luang yang kamu punya kamu habiskan di makam itu. Apakah dia sepenting itu bagimu?”
Nada suaranya lembut, tetapi mengandung rasa penasaran yang dalam.
Sejujurnya, meski sering mendengar tentang kedekatan Edyis dan Tenzo, Ina tidak pernah benar-benar melihat sendiri hubungan seperti apa yang mereka miliki.
Ia tahu bahwa mereka sering pergi bersama dalam misi. Ia juga tahu bahwa Tenzo adalah gurunya. Tetapi seberapa dalam ikatan itu?
Edyis terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab, menatap gagang Katana-nya dengan penuh makna.
“Tentu saja dia orang yang sangat penting bagiku.”
Suaranya terdengar lebih dalam, seakan mengandung emosi yang sulit diungkapkan.
“Dia adalah guru terbaikku… satu-satunya orang yang bisa membuatku sampai di titik ini.”
Ia menggenggam gagang pedangnya sedikit lebih erat.
“Selama dia menjadi guruku, aku mendapatkan begitu banyak pelajaran. Tentang dunia. Tentang peperangan. Tentang diri sendiri.”
“Dia mengubahku.”
“Dulu, aku hanya seorang prajurit yang gegabah. Tidak pernah berpikir panjang, tidak pernah belajar dari kesalahan. Tetapi Tenzo…” ia terdiam sesaat, “…dia membuatku lebih baik.”
“Aku ingin membalas semua kebaikan yang dia berikan kepadaku. Tapi sayangnya, dia sudah tiada.”
Ia menarik napas panjang, kemudian berkata dengan suara lebih lirih,
“Jadi, setidaknya… dengan sering mengunjunginya, aku harap dia bisa melihat bagaimana perkembanganku. Dan… aku harap dia bangga.”
Ina mengangguk pelan, memahami perasaan sahabatnya.
Ia sudah melihat perubahan yang terjadi pada Edyis sejak kedatangan Tenzo ke dunia ini. Gadis prajurit yang dulu hanya bertarung dengan naluri kini telah menjadi pemimpin yang bijak dan tenang.
Tenzo telah membentuknya menjadi seseorang yang baru.
Ina tersenyum kecil, lalu berkata dengan penuh ketulusan,
“Aku paham maksudmu, Edyis. Sekarang kamu sudah menjadi orang yang hebat. Tuan Tenzo pasti senang melihatmu seperti ini.”
Edyis tersenyum mendengar pujian itu, tetapi tidak membalas.
Tatapannya justru meredup, seakan memikirkan sesuatu yang jauh di dalam benaknya.
Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbisik pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
“Kuharap ada suatu keajaiban… jika saja Guru masih hidup di luar sana.”
Ina menoleh, melihat ekspresi Edyis yang hampir rapuh.
“Ya… walaupun itu hanyalah harapan belaka…” Edyis menundukkan kepala sedikit, “…tapi aku sangat berharap pada keajaiban itu.”
Walaupun ia sudah dewasa, walaupun ia sudah menjadi seorang jenderal.... Jauh di lubuk hatinya, ia masih belum bisa benar-benar merelakan kepergian gurunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
F~~
Uuuh, ternyata MC dinyatakan meninggal, semoga si Edyis dpt mengetahui kalau Tenzo masih idup
2025-03-24
2