Di dalam ruang singgasana yang megah, seorang pria duduk di atas takhtanya, dikelilingi oleh tumpukan dokumen yang berserakan di atas meja kecil di sampingnya. Mahkotanya tampak berat di kepala, bukan hanya karena usianya yang telah menua, tetapi juga karena beban yang harus ia tanggung sebagai pemimpin kerajaan Inavosta.
Pria itu adalah Oldet Richard, raja yang kini tengah menghadapi masalah yang tak kunjung usai.
Di hadapannya, beberapa orang duduk dalam posisi hormat, menunggu titahnya. Mereka adalah para menteri dan penasihat kerajaan, menanti keputusan yang akan diambil sang raja setelah membaca laporan yang ada di tangannya.
Raut wajah Oldet terus berubah-ubah, mencerminkan pikirannya yang berkecamuk. Setelah membaca beberapa dokumen, akhirnya ia meletakkan kertas itu dengan helaan napas berat dan menatap orang-orang di hadapannya.
“Sungguh, aku tidak menyangka biaya perbaikan akan setinggi ini… Begitu banyak yang harus dilakukan.”
Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, mata tajamnya menyapu seluruh ruangan.
“Namun, ini masih lebih baik dibandingkan dengan invasi sebelumnya.”
Para menteri mengangguk kecil. Mereka semua tahu seberapa besar kehancuran yang ditimbulkan oleh serangan para Demon terakhir kali.
Oldet kembali berbicara, suaranya penuh kewaspadaan.
“Tugas kalian adalah mempercepat perbaikan ini. Kita tidak tahu kapan serangan berikutnya akan datang, dan aku tidak ingin kita dalam keadaan lemah ketika itu terjadi.”
“Baik, Yang Mulia!”
Mereka serentak membungkuk dengan hormat, lalu segera meninggalkan ruangan untuk menjalankan perintah raja.
Begitu pintu besar ruang singgasana tertutup, Oldet kembali menyandarkan dirinya ke kursi takhta, menekan pelipisnya yang berdenyut akibat stres yang terus menumpuk.
Suasana hening itu tak berlangsung lama.
Dari sisi ruangan, seorang wanita berjalan mendekat dengan anggun.
Ia adalah Erisilia, ratu dari kerajaan Inavosta sekaligus istri dari Oldet. Dengan senyum tipis di wajahnya, ia perlahan duduk di samping suaminya, menatapnya dengan penuh perhatian.
“Sayang, ada apa? Kenapa wajahmu terlihat begitu lesu?” tanyanya lembut.
Oldet mendesah, matanya tampak lelah.
“Kepalaku terasa pusing memikirkan semua ini.” Ia mengusap wajahnya dengan satu tangan sebelum melanjutkan, “Para Demon itu… mereka tidak puas-puas menyerang kerajaan kita. Aku tidak tahu sampai kapan kita bisa bertahan jika ini terus terjadi.”
Suasana menjadi semakin berat.
Erisilia mengangguk kecil, ia memahami betul kekhawatiran suaminya.
“Itu memang wajar, Sayang. Kerajaan kita adalah salah satu dari sedikit kerajaan yang bisa memanggil para pahlawan. Mereka menganggap kita sebagai ancaman.”
Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, suaranya lebih serius.
“Dan sekarang, dengan kabar kematian salah satu pahlawan kita… para Demon semakin berani. Mereka melihat ini sebagai tanda bahwa pahlawan yang kita panggil ternyata tidak sekuat yang mereka bayangkan.”
Oldet mengepalkan tangannya di atas kursi. Ia tahu istrinya benar.
Hari ini mereka mungkin masih bisa bertahan, tetapi bagaimana dengan besok? Bagaimana dengan serangan berikutnya?
Jika keadaan ini terus berlanjut, kerajaan mereka akan perlahan runtuh.
Penduduknya akan hidup dalam ketakutan.
Ekonomi akan melemah.
Dan pada akhirnya… Inavosta mungkin tidak akan ada lagi di peta dunia.
Oldet menghela napas berat, tatapannya kosong sejenak.
Sementara itu, Erisilia memperhatikannya dalam diam, sebelum akhirnya memberikan sebuah usulan.
“Kalau begitu, mungkin ini saatnya kita mengirim pahlawan-pahlawan kita untuk menyerang balik.”
Oldet menoleh, menatap istrinya.
“Kita harus membuktikan kekuatan pahlawan kita, Sayang. Jika mereka melihat betapa kuatnya mereka, para Demon mungkin akan berpikir dua kali sebelum menyerang kembali.”
Logikanya masuk akal.
Namun, Oldet menggeleng pelan.
“Aku juga berpikir seperti itu… tetapi untuk saat ini, kita harus bertahan.”
Erisilia menatapnya, menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Saat ini, para pahlawan kita sedang menjalankan misi yang jauh lebih penting. Mereka tengah mencari dua artefak terakhir yang akan kita gunakan dalam perang ini.”
Matanya menyipit.
“Jika kita mengirim mereka untuk menyerang sekarang, maka kita kehilangan kesempatan untuk menemukan artefak itu lebih dulu. Dan jika para Demon menemukannya sebelum kita…”
Ia tidak perlu menyelesaikan kalimatnya. Erisilia sudah mengerti apa yang akan terjadi.
Jika para Demon mendapatkan artefak itu lebih dulu, maka tidak akan ada lagi harapan bagi kerajaan ini.
Sang ratu terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk kecil.
“Kalau begitu… kita tidak punya pilihan lain selain bertahan dulu.”
Oldet mengangguk. “Ya… dan berharap mereka bisa menemukannya sebelum semuanya terlambat.”
Suasana di ruangan kembali hening.
Di luar, matahari perlahan mulai tenggelam, seakan melambangkan waktu yang semakin menipis bagi kerajaan ini.
**
Di dalam sebuah dungeon yang gelap dan sunyi, aroma darah masih menguar di udara. Puluhan mayat kadal raksasa berserakan di sepanjang lorong batu. Darah mereka yang kental masih menggenang, menandakan bahwa pertempuran baru saja terjadi. Beberapa dari mayat itu masih mengejang, bukti bahwa kematian mereka begitu cepat dan brutal.
Jauh di depan, empat sosok bergerak menyusuri koridor sempit dungeon, menapaki jejak pertempuran yang baru mereka lalui. Mereka bukan orang biasa—mereka adalah para pahlawan yang dikirim langsung oleh Raja Inavosta untuk menjalankan misi paling krusial: mencari artefak kuno yang memiliki kekuatan luar biasa untuk melawan para Demon.
Sang Pemimpin. Di barisan terdepan, seorang pria berarmor penuh berjalan dengan langkah mantap. Pedang besar tergantung di pinggangnya, sementara perisai baja kokoh tersemat di punggungnya. Helmnya yang mengilap menyembunyikan sebagian wajahnya, tetapi rambut pirang pendeknya tetap terlihat di balik celah-celah pelindungnya. Mata biru tajamnya terus mengawasi setiap sudut dungeon, waspada terhadap ancaman yang mungkin muncul. Namanya adalah Andreas, seorang knight dan pemimpin kelompok ini.
Di sampingnya, seorang pria bertubuh tinggi dengan tubuh atletis menggenggam tombak panjang yang ujungnya masih berlumuran darah. Rambut merah bergelombangnya tergerai hingga bahu, dan mata merah menyala seperti bara api memancarkan ketajaman yang tak kalah dari senjatanya. Dialah Carles, prajurit bertipe spear yang lincah dan mematikan dalam pertempuran jarak menengah.
Di belakang mereka, seorang wanita bertubuh tinggi dengan bahu lebar dan otot yang terukir jelas berjalan dengan percaya diri. Kapak raksasa hampir setinggi tubuhnya tergenggam erat di tangan. Rambut panjang berwarna abu-abu keperakan terurai liar, serasi dengan mata cokelat tajam yang dipenuhi rasa percaya diri. Kulitnya yang kecokelatan semakin menegaskan sosoknya sebagai seorang petarung yang telah melalui banyak medan perang. Hanibal, atau yang biasa dipanggil Hani, adalah seorang berserker yang mengandalkan kekuatan fisik brutal dalam pertempuran.
Yang terakhir, seorang wanita berbalut jubah putih panjang berjalan di belakang mereka. Wajahnya tenang dan lembut, tetapi ada aura keteguhan di balik ekspresinya yang kalem. Rambut cokelatnya tergerai rapi, dan di tangannya tergenggam tongkat sihir yang dihiasi kristal suci di ujungnya. Carla, seorang priest yang menjadi tulang punggung tim, memastikan bahwa rekan-rekannya tetap hidup dalam pertempuran serta sekaligus berperan sebagai salah satu pemberi buff untuk mereka ketika memasuki pertarungan.
Selama tiga bulan terakhir, mereka telah menjelajahi dungeon demi dungeon, mencari petunjuk keberadaan artefak kuno yang dikabarkan memiliki kekuatan besar. Namun hingga kini, mereka masih belum menemukan apa yang mereka cari.
Namun kali ini, sesuatu terasa berbeda.
Di hadapan mereka berdiri sebuah gerbang baja raksasa yang kokoh, lebih besar dan lebih megah dari pintu mana pun yang pernah mereka temui di dungeon sebelumnya. Ukiran-ukiran kuno menghiasi permukaannya, menyiratkan bahwa di baliknya tersembunyi sesuatu yang sangat penting.
Hanibal, dengan sikap khasnya yang sembrono, langsung maju ke depan sambil memutar-mutar kapak besarnya dengan santai.
"Pintu sebesar ini pasti dibuat untuk mencegah orang masuk ke dalam," ujarnya dengan nada antusias. "Hahaha! Sudah jelas artefaknya ada di dalam sana! Ayo kita dobrak saja!"
Namun sebelum langkahnya semakin dekat, Andreas segera mengulurkan tangan, menahan bahunya.
"Hani, ingat siapa pemimpinnya di sini," katanya dengan nada tegas. "Kita tidak tahu apa yang ada di balik pintu ini. Jangan gegabah."
Carles ikut menimpali, menyilangkan tangannya di dada. "Iya, lihat saja kejadian tadi. Kamu asal menyerbu masuk dan akhirnya dikepung oleh puluhan kadal raksasa. Kalau saja kami tidak bertindak cepat, mungkin kamu sudah jadi santapan mereka." Ia lalu melirik Carla, meminta persetujuan.
Carla hanya tersenyum tipis, mengangguk pelan tanpa mengatakan apa pun.
Hanibal mendengus kesal. "Tch! Makhluk-makhluk lemah seperti itu tidak akan bisa membunuhku! Kalian saja yang panik berlebihan dan langsung menyerang semuanya. Aku bisa menangani mereka sendirian kalau kalian tidak mengganggu."
Andreas menghela napas panjang, lalu menatap Hanibal dengan serius.
"Dengar, Hani. Meskipun kita ini pahlawan yang dipanggil dengan anugerah luar biasa, bukan berarti kita tidak bisa mati. Jangan lupakan itu. Kerja sama adalah kunci. Aku tidak mau ada yang mati sia-sia hanya karena kesembronoan."
Sejenak, keheningan menyelimuti mereka. Hanibal mendengus pelan, lalu membuang muka dengan ekspresi kesal. Tapi dalam hati, ia tahu Andreas benar.
Kemudian, sesuatu yang lain muncul dalam pikirannya—sesuatu yang membuat kemarahannya semakin membuncah. Ia melirik Andreas dengan tajam, lalu berkata dengan nada sinis,
"Jangan samakan aku dengan orang itu."
Andreas langsung menegang. Ia tahu siapa yang dimaksud Hanibal.
Carles pun terdiam, dan Carla yang biasanya diam kini menggenggam tongkatnya lebih erat. Nama itu masih menjadi luka bagi mereka semua.
Hanibal mencibir. "Orang itu hanyalah seorang pengecut yang bahkan tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Jangan bandingkan aku dengannya."
Andreas mengepalkan tangan, tetapi ia menahan diri untuk tidak membalas ucapan Hanibal.
Carles menghela napas dan mencoba mencairkan suasana. "Sudahlah, yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita bisa masuk ke dalam tanpa membunyikan alarm atau jebakan. Ada ide?"
Hanibal, meski masih kesal, akhirnya memilih untuk menuruti instruksi pemimpin mereka. Mereka pun bersiap memasuki gerbang besar itu, tanpa menyadari bahwa sesuatu yang jauh lebih berbahaya menanti mereka di baliknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
F~~
Oh, jadi ini Party pahlawan yang dulu bersama Si MC
2025-03-25
2