Bab 6 Kedatangan Tenzo

Sudah hampir setengah jam sejak pertarungan antara kelompok William dan monster aneh milik para Demon berlangsung. Kelompok William mulai melemah. Nafas mereka memburu, tubuh mereka penuh luka dan kelelahan. Di sisi lain, monster-monster itu masih berdiri tegak, tak menunjukkan tanda-tanda melemah. Sebanyak apa pun mereka menyerang, hasilnya sia-sia. Tubuh monster-monster itu bahkan tak lecet sedikit pun.

Mereka kini terpojok.

"Hah... hah... hah..." Ares berusaha mengatur napasnya yang tersengal. Dengan sisa tenaga, ia mengangkat pedangnya lagi, lalu perlahan melangkah mendekati William yang kondisinya tak jauh berbeda dengannya.

"Bagaimana sekarang, William? Kita tak bisa meneruskan pertarungan ini. Monster-monster itu bukan tandingan kita."

William terdiam sejenak. Ia tahu Ares benar. Pandangannya beralih ke belakang, memperhatikan anggota kelompoknya yang kelelahan, beberapa bahkan nyaris tak bisa berdiri.

"Kami sudah mencapai batas kami... Apa yang harus kulakukan sekarang?" pikirnya. "Seandainya saja kami menerima tawaran petualang kelas S itu, mungkin kami masih punya peluang untuk kabur... atau bahkan menang."

Penyesalan itu menghantamnya keras. Sebelum mereka berangkat mencari sarang para Demon, seorang petualang kelas S menawarkan bantuannya. Tapi William menolaknya.

Namun kini bukan waktunya untuk meratap.

Dengan langkah mantap, ia maju ke tengah lapangan, meninggalkan semua anggotanya. Monster-monster itu segera mengelilinginya, menggeram rendah seolah menunggu aba-aba untuk menerkamnya.

Namun sebelum mereka menyerang, terdengar suara Rezgar—pemimpin pasukan Demon.

"Oh? Kenapa tidak dilanjutkan pertarungannya?" tanyanya dengan nada mengejek, bibirnya melengkung dalam senyum tajam.

William menatapnya lurus. "Kami mengakui kekalahan kami," katanya mantap. "Aku, pemimpin kelompok ini, akan menyerahkan kepalaku. Tapi sebagai gantinya, lepaskan mereka." Ia menoleh ke arah timnya.

Suasana mendadak hening.

"William, apa yang kau katakan?!" seru Ares dengan mata terbelalak. Anggota lainnya pun tak kalah terkejut.

Namun alih-alih menanggapi dengan serius, Rezgar malah tertawa terbahak-bahak.

"Hahahahaha! Setelah kalian membunuh begitu banyak bawahanku, kau pikir aku akan membiarkan kalian pergi hanya karena kau menyerah? Tidak, tidak, tidak. Aku ingin melihat kalian semua mati perlahan."

Tatapan William menegang. Harapannya pupus seketika.

"Sekarang, perintahkan pasukanmu untuk bertarung lagi. Jika tidak..." Rezgar menyeringai lebar, "aku sendiri yang akan menyuruh monster-monster ini menghabisi kalian."

William mengepalkan tangannya, lalu kembali ke barisannya. Sesampainya di sana, Ares menatapnya tajam.

"Kau benar-benar nekat, William."

William tersenyum kecil. "Aku hanya melakukan tugasku. Kalian semua adalah tanggung jawabku. Jika aku bisa menyelamatkan kalian—"

"Tak perlu berkata apa-apa lagi," potong Ares, menepuk bahunya. "Kita semua akan tetap bersama. Bertarung hingga titik darah penghabisan. Benar, teman-teman?"

"Benar!"

"Kami akan terus bersamamu, Tuan William!"

"Aku takut... tapi aku tidak sendirian."

Tak ada lagi rasa ragu. Tak ada lagi penyesalan.

Mereka tahu mereka mungkin tidak akan selamat. Tapi satu hal yang pasti—mereka akan bertarung bersama hingga akhir.

Dukungan dari anggota tim membuat William merasa terharu. Tatapannya menyapu wajah mereka satu per satu—Ares, yang meskipun kelelahan masih berusaha tersenyum, para petarung lain yang meski gemetar tetap mengangkat senjata mereka dengan tekad bulat.

Setidaknya, moral mereka telah bangkit kembali.

William menarik napas dalam-dalam, menggenggam pedangnya erat, dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Baiklah! Kita akan mencoba lagi! Kal—"

WUSHHH!

Sebuah embusan angin kencang tiba-tiba berputar di sekitar lapangan, menyapu debu dan serpihan tanah ke udara. Angin itu begitu kuat hingga membuat beberapa anggota tim William harus memejamkan mata dan menutupi wajah mereka.

"Eh?! Apa yang terjadi?!"

"Angin? Dari mana datangnya?"

"Apakah ada yang menggunakan sihir angin?"

Beberapa anggota tim berusaha melihat sekeliling, mencoba mencari sumber gangguan itu. Namun, tidak ada yang bergerak. Tidak ada yang mengucapkan mantra.

Di sisi lain, para Demon juga dibuat terkejut—meskipun hanya sesaat. Tidak seperti kelompok William yang kebingungan, mereka mulai menebak penyebabnya.

Rezgar menyeringai sinis. "Ternyata mereka masih mencoba bertarung. Lucu sekali."

Ia mengira ini adalah taktik kelompok William—usaha terakhir yang sia-sia untuk melawan monster-monsternya.

Tapi ia salah.

Semakin lama, embusan angin itu bukannya melemah, melainkan semakin kuat. Anginnya terasa aneh—seperti bukan bagian dari dunia ini. Jarak pandang semakin terbatas. Debu yang beterbangan menyelimuti seluruh medan pertempuran, menciptakan dinding kabut cokelat pekat. Suara gemuruh samar terdengar di kejauhan, seperti sesuatu yang akan datang.

Lalu, tiba-tiba...

Hening.

Angin berhenti seketika, dan debu perlahan mengendap kembali ke tanah.

Di tengah lapangan, berdiri seorang pria asing.

Pakaiannya lusuh, robek di beberapa bagian seolah sudah lama tak diganti. Tapi ada sesuatu yang aneh dalam posturnya—ia berdiri tanpa ketakutan sedikit pun, meskipun dikelilingi oleh monster-monster mengerikan.

Tatapannya tenang, namun tajam.

William mengerutkan alis. "Siapa orang itu?" gumamnya.

---

Pria itu tidak langsung bergerak. Ia hanya berdiri, memperhatikan monster di depannya dengan ekspresi penuh minat.

"Hmmm... jadi seperti ini bentuknya kalau dilihat dari dekat. Menarik."

Dialah Tenzo.

Ia bukan bagian dari kelompok William. Sejak awal, ia hanya mengamati pertempuran ini dari kejauhan. Berdiri di pintu masuk reruntuhan, menyaksikan bagaimana kelompok William bertarung mati-matian, hanya untuk menyadari bahwa serangan mereka tidak berpengaruh sedikit pun.

Dan kemudian, ia mendengar William menyerah.

Tenzo tahu mereka tidak memiliki peluang menang. Serangan mereka tidak berdampak apa-apa pada monster-monster ini. Tapi bagi Tenzo, justru itulah yang menarik perhatiannya.

Ia ingin menguji mereka.

Dan sekarang, ia ada di sini.

Di seberang lapangan, Rezgar memicingkan mata ke arah pria itu.

"Siapa dia?" gumamnya dengan nada curiga.

Tenzo tetap diam. Tidak menjawab. Bahkan tidak menoleh.

Kesabaran Rezgar habis. "Oi! Aku bicara padamu!" teriaknya.

Tetap tidak ada reaksi.

"Tch, dasar sombong." Rezgar mendecak. "Aku tidak peduli siapa kau! Bunuh dia, sekalian habisi mereka semua!"

Dalam sekejap, monster-monster yang mengelilingi lapangan mulai bergerak.

Langkah mereka mengguncang tanah, tubuh besar mereka bergetar penuh kekuatan. Salah satu monster yang berdiri tepat di hadapan Tenzo meraung rendah, suara gemuruhnya menggema ke seluruh medan.

Kemudian, dengan kecepatan yang tidak wajar untuk makhluk sebesar itu, ia melesat ke arah Tenzo.

Cakar raksasanya melayang di udara, siap menebas kepala pria asing itu.

Namun—

SRAK!

Sesuatu terjadi dalam sekejap.

Monster itu terbelah dua.

Tubuhnya tidak terbagi dengan potongan yang bersih seperti tebasan pedang, tetapi dengan bekas luka kasar dan tidak beraturan. Seolah-olah sesuatu telah mencabiknya secara brutal, meninggalkan robekan yang terus terurai hingga akhirnya kedua belahannya jatuh ke tanah.

Monster itu tidak bangun lagi.

Suasana lapangan berubah drastis.

Semua mata menatap pria yang masih berdiri di tengah lapangan—dengan tangan tetap di sisinya, tanpa tanda-tanda telah menyerang.

Di kejauhan, William menahan napas. "Apa yang baru saja terjadi?"

Para anggota kelompoknya saling berpandangan, tak percaya dengan apa yang mereka lihat.

Namun yang paling terkejut dari semuanya adalah Rezgar.

"Mustahil!" suaranya bergetar. "Bagaimana bisa...?!"

Salah satu ciptaan terbaiknya—monster yang ia yakini sebagai makhluk tak terkalahkan—tumbang dalam sekejap mata.

Dan yang lebih menakutkan, Tenzo tidak bergerak sama sekali.

---

Di sisi lain, Tenzo jongkok, memperhatikan jasad monster yang tergeletak di hadapannya. Tidak ada darah. Tidak ada luka terbuka.

Ia menyentuh permukaannya, merasakan tekstur kulit keras monster itu.

Lalu, ia mendesah.

"Hah... ekspetasiku terlalu tinggi."

Nada suaranya lesu. Penuh kekecewaan.

"Pada akhirnya, hanya makhluk lemah." lanjutnya ucapnya.

Saat itu juga, tiga monster lain melompat ke arahnya, taring mereka terbuka lebar, siap mencabik-cabiknya. Tenzo masih tetap di tempatnya. Tak ada pergerakan mencolok, tak ada suara serangan.

Namun tiba-tiba, sesuatu berkelebat di sekitar mereka—sebuah bayangan gelap yang mengelilingi ketiga monster itu.

Lalu—

SREK!

Garis tipis muncul di leher masing-masing monster.

Mereka jatuh ke tanah.

Tewas.

Tanpa perlawanan.

Tenzo menghela napas panjang. "Sungguh mengecewakan."

.

Terpopuler

Comments

F~~

F~~

Hahahaha inilah sang MC, selalu muncul disaat yang tepat

2025-03-24

3

F~~

F~~

Kukira keras ternyata keras

2025-03-24

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!