Bab 10 Fakta Yang Mengejutkan

Cahaya di Ujung Kegelapan

Udara dalam gua masih berbau darah dan kematian. Keheningan yang menyesakkan meliputi ruangan yang baru saja menjadi saksi pembantaian. Mayat-mayat Demon yang terbunuh berserakan, sementara di sudut-sudut ruangan, sisa-sisa eksperimen kejam yang dilakukan di lab bawah tanah itu masih terlihat.

Para tawanan yang baru saja dibebaskan berdiri dalam diam. Wajah-wajah mereka penuh kelelahan, tetapi lebih dari itu—ketakutan, kesedihan, dan kehilangan bercampur menjadi satu dalam sorot mata mereka yang kosong. Tidak ada yang berbicara, seolah-olah kata-kata pun tak lagi cukup untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan.

Beberapa dari mereka masih menangis dalam diam, meratapi orang-orang terkasih yang telah tiada atau yang telah berubah menjadi monster akibat eksperimen kejam para Demon. Mereka yang kehilangan segalanya hanya bisa menatap kosong ke depan, tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Tenzo mengamati mereka satu per satu. Ini bukan pertama kalinya dia melihat pemandangan seperti ini. Dia sudah terbiasa menghadapi wajah-wajah putus asa, air mata yang tak terhitung jumlahnya, dan jeritan mereka yang kehilangan segalanya. Baginya, ini hanyalah satu episode lagi dalam siklus yang tak berujung—sebuah tragedi yang selalu berulang.

Tanpa berkata-kata, Tenzo mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka berkumpul.

"Sudah saatnya pergi."

Langkah demi langkah, mereka bergerak perlahan di sepanjang lorong gua yang gelap. Cahaya obor yang berkelap-kelip menyoroti dinding batu yang kasar, menciptakan bayangan panjang yang seakan-akan bergerak di antara mereka.

Udara di dalam gua terasa berat dan lembap, bercampur dengan bau anyir darah dan aroma logam dari senjata yang telah digunakan untuk membantai para Demon. Suasana semakin mencekam ketika mereka melangkah memasuki arena tempat pertempuran sebelumnya terjadi.

Saat itu terjadi.

Beberapa tawanan yang berada di depan tiba-tiba berhenti, tubuh mereka menegang. Yang lain yang berada di belakang mencoba melihat apa yang menyebabkan mereka berhenti, dan seketika itu juga ekspresi mereka berubah.

Mata mereka membelalak ngeri.

Di depan mereka terbentang lautan mayat Demon.

Darah yang telah mengering membentuk pola gelap di atas tanah berbatu, sementara anggota tubuh yang terpotong-potong berserakan tanpa arah. Beberapa mayat tergeletak dalam keadaan mengenaskan—perut mereka robek, kepala mereka terpenggal, atau tubuh mereka terbelah menjadi dua. Bahkan ada beberapa yang tampaknya mati dalam ekspresi ketakutan, seolah mereka tidak pernah menyangka kematian akan datang begitu cepat.

Seorang wanita di antara tawanan menutup mulutnya dan berusaha keras menahan mual, tetapi akhirnya dia tersungkur ke tanah, muntah dengan hebat. Yang lain hanya berdiri terpaku, berusaha menghindari untuk melihat pemandangan mengerikan itu lebih lama.

Beberapa orang mencoba melangkah dengan hati-hati, tetapi setiap langkah yang mereka ambil membuat mereka merasa semakin mual—seolah-olah mereka sedang berjalan di atas tanah yang telah diubah menjadi neraka.

Namun, mereka tidak punya pilihan. Mereka harus terus berjalan.

Perjalanan berlanjut, dan akhirnya, di kejauhan, mereka melihat cahaya.

Cahaya itu bersinar terang, memancar dari celah sempit di ujung lorong gua. Itu adalah tanda bahwa kebebasan mereka sudah dekat.

Salah seorang pria di antara mereka hampir menangis saat melihatnya.

"Itu… itu pintu keluar…" suaranya bergetar, penuh emosi.

Begitu cahaya itu terlihat, sebagian besar dari mereka mulai mempercepat langkah. Ada yang berlari kecil, ada yang tersenyum tipis meskipun wajah mereka masih dipenuhi kelelahan.

Namun, sebelum mereka bisa keluar, suara Tenzo menghentikan mereka.

"Tunggu sebentar."

Mereka semua berhenti dan menoleh ke arahnya.

"Itu adalah pintu keluar dari gua ini. Sesampainya di luar, sudah ada beberapa petualang yang akan mengantar kalian ke kota terdekat."

Nada suara Tenzo tetap datar, seolah-olah ini hanyalah tugas biasa baginya.

Salah satu tawanan, seorang pria tua dengan bekas luka di wajahnya, melangkah maju.

"Tuan… apakah Anda tidak ikut keluar bersama kami?"

Tenzo menggeleng.

"Tidak, aku masih memiliki beberapa urusan di sini."

Tidak ada yang bertanya lebih lanjut. Mereka tahu bahwa Tenzo bukanlah orang biasa, dan mereka juga tahu bahwa jika dia berkata demikian, maka tidak ada yang bisa mengubah keputusannya.

Satu per satu, mereka mulai berjalan lagi, meninggalkan Tenzo sendiri.

Namun, sebelum semua orang pergi, seorang pemuda tiba-tiba berhenti dan berbalik. Dengan ragu-ragu, dia mendekati Tenzo dan bertanya,

"Tuan… bolehkah saya tahu nama Anda? Saya ingin memberitahukan jasa Anda kepada semua orang."

Tenzo terdiam.

Dia menatap pemuda itu sejenak. Pertanyaan itu mungkin terdengar sederhana, tetapi jawabannya jauh lebih rumit. Dia tidak ingin meninggalkan jejak. Identitasnya harus tetap tersembunyi. Setelah beberapa detik berpikir, dia akhirnya menjawab,

"Rezgar. Namaku adalah Rezgar. Seorang pengembara biasa."

Di tempat yang lebih dalam di dalam gua, suara Rezgar yang asli terdengar.

"Eh, tunggu dulu… bukannya itu na—"

Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, sensasi dingin menyayat bibirnya. Darah mengalir dari mulutnya, membungkam kata-kata yang ingin ia ucapkan.

Tenzo menatapnya tanpa ekspresi.

"Pergilah. Mereka sudah cukup jauh. Susul mereka sekarang."

Orang itu menelan ludah, lalu buru-buru berlari pergi, masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi.

Sekarang, hanya ada Tenzo dan Rezgar yang tersisa di dalam kegelapan.

Mereka kembali ke arena yang dipenuhi mayat Demon.

Saat mereka berjalan, Tenzo tiba-tiba berbicara.

"Hei Rezgar, apakah kamu tahu tentang Jenderal Demon yang bernama Demigrada?"

Rezgar mengangkat alisnya.

"Tuan Demigrada? Tentu saja aku tahu! Dia adalah salah satu jenderal terkuat di antara kami. Tetapi… dia menghilang lima tahun lalu tanpa jejak."

Tenzo berhenti.

Lalu, dengan suara tenang, dia berkata,

"Aku hanya ingin memberitahumu… kalau dia sudah mati."

Mata Rezgar membelalak.

"Apa?! Mati?! Tahu dari mana kau?!"

Tenzo tidak langsung menjawab. Sebagai gantinya, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam kantongnya.

Saat melihat benda itu, wajah Rezgar langsung memucat.

"T-tunggu… benda itu… itu milik Tuan Demigrada! Bagaimana bisa…?!"

Tenzo hanya tersenyum tipis.

"Jadi sekarang kau percaya?"

Lalu, tanpa peringatan, dia melempar Rezgar ke udara.

"Eh?! Apa yang kau lakukan?!"

Dari kejauhan, suara Tenzo terdengar lagi.

"Seharusnya sekarang kau tahu siapa yang membunuhnya, bukan?"

Seperti petir yang menyambar, Rezgar akhirnya menyadari jawabannya.

"Jangan-jangan… orang yang membunuh Tuan Demigrada itu…!"

SHLASH!

Darah berhamburan di udara.

Tubuhnya terbelah menjadi beberapa bagian sebelum jatuh ke tanah dalam keheningan yang mencekam.

Rezgar telah mati.

Tenzo menghela napas.

Dia menatap lautan mayat di sekelilingnya dan berkata pelan,

"Waktunya untuk mengubur mereka."

Terpopuler

Comments

F~~

F~~

Nah kan, kalau aku ada disitu bakalan mual juga sih🤢

2025-03-24

2

F~~

F~~

Sheshhh sat set langsung mati si demon itu😎

2025-03-24

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!