Hadi keluar dari rumah yang dihuni Saleh dan Halima dengan tergesa. Di teras dia sempat bertemu dengan Daud yang tak membalas sapaannya. Hadi tak terpengaruh langsung menuju mobil taft tua miliknya dan meluncur.
Tapi jika Hadi mengira Daud tak peduli justru salah besar. Daud langsung tahu ada hal yang disampaikan orang kepercayaan keluarganya itu yang hanya muncul saat benar-benar diperlukan. Tadi dia tak membalas sapaan Hadi karena memang malas. Daud merasa Hadi tidak sehebat yang selama ini dikiranya. Buktinya dia tidak bisa mendapatkan informasi yang dengan mudah diketahui Lina.
"Kenapa kamu kusut begitu" Ujar Halima saat Daud duduk di meja makan sementara Halima menunggu pelayan menyajikan makan siang. Dia kemudian meminta pelayan untuk diambilkan piring tambahan untuk anaknya.
"Pusing Bu. Bapak mana?" tanya Daud tak melihat keberadaan Saleh Bardi ayahnya
"Bapakmu ke Sentul sama Agus dan Roger" jawab Halima
"Ngapain?" tanya Daud penasaran.
"ketemu temen Sma-nya dulu dari Magelang" jawab Halima.
Daud tidak lanjut bertanya dan memilih mengisi piringnya dengan makanan yang tersaji. Bisa makan siang dengan masakan rumahan adalah sebuah kemewahan baginya. Biasanya dia minta dipesankan saja atau datang ke restoran. Selama hampir 30 menit keduanya makan dalam senyap. Sesekali Daud melihat dan menggunakan ponselnya, sementara Halima fokus dengan catatan yang entah tentang apa. Setelah selesai makan dan para pelayan membereskannya, barulah Daud bertanya pada Ibunya.
"Ada apa Hadi kemari" tanya Daud yang hanya dijawab Halima pendek. "Biasa"
Biasa yang diucapkan Halima bukanlah hal biasa. Arti biasa-nya bisa berarti Hadi melakukan hal yang biasa di minta keluarganya lakukan. Yang berarti ada hal luar biasa yang sedang dikerjakannya.
"Ibu masih mengawasi Hanif?" tanya Daud memastikan.
"Apa perlu kamu menanyakannya?" jawab Halima tajam. Daud mengangkat bahunya seakan tak peduli. Halima kesal melihat respon putranya
" Dia bukan seorang Bardi, dia juga buka keturunan langsung Gazali. Dan dengan mudahnya karena warisan saham Hana dia ambil alih perusahaan yang dibangun keluarga kita. Menurutmu apa Ibu Akan diam saja" ucap Halima dengan nada tinggi
"Memang apa yang harus kita lakukan supaya dia tersingkir " jawab Daud penasaran. Dia yakin ibunya punya banyak hal tentang Hanif yang tak diketahuinya.
"Apa saja, kita hanya perlu bersabar karena ternyata dia tidak sealim dan sepolos kelihatannya. Ibu yakin ada rahasia yang menunggu kita temukan" jawab Halima optimis
"Bagaimana kalau ternyata yang kita temukan tidak cukup membuatnya tersingkir" Ucap Daud penasaran dengan apa yang akan dilakukan Ibunya.
"Maka kita munculkan sesuatu yang bisa membuatnya tersingkir, minimal dia didepak dari kursi direktur" Ujar Halima kejam. "Memangnya kamu tak ingin kembali ke kursimu" pedas ucapan Halima.
Daud hanya mengangkat bahunya saja, karena tak perlu ditanya pun dia amat sangat menginginkan kursi direktur utama kembali padanya. Tapi dia tak mau terburu-buru juka hanya mendapati kegagalan.
"Ah ya, kamu tahu dimana biasanya Hana membeli perhiasannya?" tanya Halima.
"Tidak, kenapa?" Daud balik bertanya
"Ibu ingin tahu saja, karena kalau diingat model perhiasan miliknya selalu unik dan bagus" ucap Halima santai.
Daud tahu jika perhiasan identik dengan perempuan, dan Ibunya sama seperti Hana dan adiknya Dina yang menggilai perhiasan. Koleksi Hana memang luar biasa terutama warisan dari ibu mertuanya. Tapi jika Ibunya bertanya seperti itu dengan tiba-tiba, rasanya patut dicurigai.
Daud mendengar Ibunya memanggil salah satu pelayan keluarganya yang sudah lama, lalu mengintruksikan menu yang akan dihidangkan untuk pesta.
"Pesankan untuk 100 porsi saja, ini hanya perayaan kecil" ucap Halina mengakhiri intruksinya pada pelayannya
"Ibu bikin perayaan apa?" tanya Daud penasaran
"Ibu cuma mau merayakan syukuran karena perusahaan kita sudah stabil" ucapnya santai.
Daud mengernyit mendengarnya. Yang benar saja, perusahaan memang stabil karena harus diakui si Hanif berhasil mendapat investor kakap dari luar negeri yang membuat perusahaan cepat pulih dan kembali stabil. Tapi merayakannya? Sama seperti mengakui kehebatannya.
"Ibu tidak salah?' tanya Daud mengungkapkan keheranan dan ketidaksetujuannya
"Tidak, bagaimanapun perusahaan itu belum berganti nama dan keluarga kita masih dikenal sebagai foundernya. Semua anggota direksi dan komisaris serta staf tinggi perusahaan akan kita undang" jawab Halima biasa saja . Daud hampir meluapkan protes saat Halima kembali bersuara.
"Kamu ikut saja, jangan cari masalah. Tentu saja aku melakukannya karena agenda lain"
Daud tersenyum sinis. Halima, ibunya memang lebih ambisius dari sang ayah, dan sangat tidak bisa diusik saat tampuk kekuasaanya yang tak kasat mata tergeser. Tak ada yang biasa dalam tindakan yang diambil Ibunya.
****
Rumah besar milik Saleh dan Halima disulap menjadi area pesta pribadi yang megah, elegan namun berkesan hangat. Kursi-kursi tersedia di setiap sudut. Beberapa meja makan tertata dengan berbagai hidangan. Dari mulai hidangan ringan sampai hidangan berat, makanan Indonesia dan western. Tamu bisa memilih sendiri hidangannya.
Halima dan Saleh menjadi tuan rumah yang menyenangkan. Menyambut dan menjamu semua tanu yang merupakan keluarga dan staff serta petinggi perusahaan.
Saleh sejujurnya tak begitu menginginkan adanya pesta, tapi Halima tak bisa di bantah, anggap saja sebagai waktu silaturahmi. Di satu sudut Daud, Arsyad dan Karim tampak asyik mengobrol. Meskipun terlihat santai, isi pembicaran mereka jauh dari kata santai. Arsyad tampak menggebu mengatakan ketidaksukaannya terhadap Hanif. Apalagi posisi manager yang saat ini dipegangnya seolah tak ada artinya. Setiap idenya mental dan ditolak. Dia tak lagi punya kekuasaan. Asistennya jauh lebih terlihat dibanding dirinya.
"Sabar bro, lo ada di perusahaan cabang, bukan pusat seperti bang Daud. Bisa dibayangkan tiap saat harus bertemu dengannya. Bang Daud masih terlihat enjoy" ujar Karim yang di telinga Daud seolah sebuah sindiran. Tapi dia sama sekali tak ingin terpancing. Sepupu dan iparnya ini cuma ikan kecil yang tak tak perlu diberi perhatian lebih. Meskipun Lina sangat licik, Arsyad bukanlah sandungan berarti bagi Daud. Sementara Karim cuma ipar, setiap langkahnya bergantung pada istrinya Dina. Dan sebagai kakak, Daud rasa masih lebih mampu mengendalikan Dina jika diperlukan.
"Orangnya muncul" sahut Karim menunjuk ke arah pintu masuk dengan dagunya. Mereka bertiga langsung menunggu Hanif, karena pasti akan melewati mereka.
" Wah, menyenangkan melihat kalian bertiga, ipar dan sepupu sangat akrab" ujar Hanif berhenti dan menatap ketiganya.
"Heran kita gak bisa begitu ya" lanjut Hanif jelas ditujukan untuk Daud. Tak menunggu jawaban Hanif langsung pergi diikuti Firzan.
"Belagu, sombong" ujar Arsyad cukup kencang dan penuh emosi.Karim turut serta berang melihatnya. Hanya Daud yang meresponnya dengan santai. Buat apa juga direspon. Cuekin saja.
Dina melihat Hanif masuk dengan asistennya dengan santai dan penuh percaya diri. Sementara dirinya dan mungkin hampir seluruh keluarga Bardi membencinya. Kenapa juga ibunya harus mengundang dia. Seharusnya biarkan tersisih supaya perlahan dia sadar tak ada yang menyukainya. Dina bertaruh sebagain besar direksi dan komisaris pun banyak yang tak menyukainya.
Hanif memang berhasil membawa investor dan membuat perusahaan yang sedang goyang kembali stabil. Tapi dia terlalu serakah karena membatasi banyak hal dan kewenangan para direksi, komisaris dan petinggi lainnya. Dina masih tak bisa terima kartu kredit perusahaan yang dimiliknya dibekukan. Mobil atas nama perusahaan diambil, sehingga terpaksa dia harus menggunakan mobil miliknya sendiri Yang artinya semua kebutuhan kendaraan termasuk asuransi, perbaikan bahkan tol dan bahan bakar dia tanggung sendiri. Hanif menolak tegas ketika Dina memintanya dengan alasan dia tidak bekerja dan memberi kontribusi bagi perusahaan. Dengan kata lain dia menyebutnya beban. Sialan, benar-benar sialan. Hanya Halima, ibunya yang masih memiliki keistimewaan tersebut. Itupun dengan limitasi yang membuat Halima frustasi.
Dina melangkah berencana mendekati Hanif. Meskipun dia belum.punya rencana dan belum tahu apa yang akan dilakukannya dia tetap berjalan melangkah ke arah Hanif.
Sebelum Dina berhasil menemuinya, Hanif lebih dulu sampai di hadapan kedua orang tuanya. Dina tetap mendekat ingin mendengar pembicaraan mereka.
"Ah..dan ini" Hanif menyerahkan satu paperbag warna hitam dengan label salah satu brand jewelry ternama. Halima menerimanya dengan sedikit malas.
"Saya melihat ini beberapa hari lalu, dan saya rasa ini cocok dengan anda nyonya Halima" ujar Hanif menjelaskan.
"terimakasih" ucap Halima terlihat setengah hati setelah menerima paperbag tersbut dan memanggil pelayan kepercayaannya untuk menyimpannya. Dina melihatnya dengan sinis merasa Hanif sungguh caper.
"Ah. Tunggu" ujar Hanif buru-buru saat pelayan Halima hendak pergi.Dia menoleh ke arah Firzan yang langsung menyerahkan paperbag hitam lain. Kali ini tanpa label apapun, polos.
"Ini nyonya "ujar Hanif menyerahkan paperbag tersebut kepada Halima yang langsung menerima dan sedikit membuka bagian atas paperbag untuk melihat isi di dalamnya. Sebuah kotak perhiasan lain yang terbuat dari kayu cantik. Halima kali ini menatap Hanif sambil menaikan alisnya seolah dia bingung Hanif memberi dua hadiah perhiasan sekaligus.
"Ah maaf nyonya saya harus memberikannya di tengah suasana seperti ini. Saya berencana menemui nyonya dalam beberapa hari ke depan, tapi kebetulan sekali nyonya mengundang saya. Jadi saya berikan saja sekarang" ucap Hanif
"kamu tak perlu boros membelikan saya banyak perhiasan bersamaan" ujar Halima seolah tak suka. Hanif hanya tersenyum melihatnya.
"Ini adalah titipan dari Hana yang dipesan khusus untuk anda dan tertunda diberikan" ucap Hanif santai.
Saleh Bardi yang berada disana langsung menatap Hanif curiga. Dina dan beberapa anggota keluarga lain yang berada gak jauh dari mereka pun terlihat bereaksi meskipun berusaha tidak kaget. Sementara Hanif hanya tersenyum tahu bahwa hanya Halima sebetulnya menantikan dia menyerahkan hadiah tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments