"Gila, masa dia cuma kasih kamu mobil tua dan rumah yang hancur. Bahkan saham pun kamu tidak dikasihnya" omel Dina sambil melemparkan tas ke sofa. Sementara Daud hanya terdiam penuh amarah.
"kamu seharusnya langsung mengurus tabungan Hana di bank sebelum baca wasiat. Sekarang pasti sudah tak bisa diakses" ujar Henry menyayangkan kelalain adiknya. Daud enggan menjawab dan tak ingin saudaranya tahu kalau dia berhasil memindahkan tabungan Hana yang diketahuinya ke rekeningnya pribadi. Tidak ada dibahas Pak Roby, berarti aman.
"Nah, tuh" tambah adiknya Dina
"oh ya bang, apa brankas di rumah kalian masih berfungsi, sudah dicek belum" Dina kembali bertanya mengingat perhiasan Hana yang disimpan di brankas.
"sudah kucek dan hanya ada beberapa lembar uang USD serta satu set perhiasan"
"Mana, itu sebaiknya buatku saja" potong Dina cepat. Daud melirik adiknya malas. Urusan begini saja semua adiknya ngotot. Daud tak berminat menjawab permintaan adiknya sama sekali
"Heran selama 2 tahun menikah kok abang bisa tidak tahu kalau Hana punya banyak aset selain saham. jahat banget dia ternyata menyembunyikan semuanya dari kita keluarganya bahkan suaminya" kali ini Dina berbicara sambil bersender lemas ke sofa, meskipun begitu nada sinisnya masih terdengar.
"uang penjualan tanah itu, apakah tidak bisa bang meminta bagian. Aku rasa nilainya pasti fantastis. Uang itu bisa digunakan untuk suntikan dana perusahaan yang sedang membutuhkan dana segar" kali ini Henry yang bersuara.
"mungkin harus minta langsung ke keluarga mereka. Tapi aku tidak yakin. Hubunganku dengan keluarga ibunya Hana tidaklah akrab. Kami bahkan hampir tidak saling mengenal"
"ya coba dulu lah bang, sepertinya keluarga Hana tidak terlalu berharap warisan. Mereka bahkan punya yayasan yang menampung anak yatim piatu dan tidak mampu. Seharusnya mereka juga punya empati kepada kita yang masih keluarganya" kali ini Henry yang berbicara panjang
"ehmmmmm" Karim berdehem membuat semua orang melirik ke arahnya.
"Kenapa Mas" tanya istrinya, Dina.
"Kalau menurut saya, sebaiknya hubungi Hanif. Karena dia adalah kakak sepupu dari pihak ayahnya. Dia yang mewarisi semua saham dan surat berharga lainnya. Tidak ada aset yang diberikan untuknya. Siapa tahu kita bisa ajak kerjasama dan dia ada di pihak kita. Tidak mungkin dia terima begitu saja hanya diberikan harta tak bergerak yang tidak sebanding dengan nilai property lainnya"
Mereka bertiga saling berpandangan dalam diam, namun ketiganya Merasa pendapat Karim ada benarnya.
****
"saya harus meeting 1jam lagi. Jadi, sebaiknya langsung katakan saja keperluanmu"
Daud melongok kaget mendengar ucapan Hanif yang to the point begitu duduk di depannya. Sedikit ragu menyelimutinya, tapi kembali dia mengingat tujuannya.
"maaf mengganggu urusanmu, sepertinya kamu memang manusia super sibuk" Daud tertawa canggung saat berucap, meskipun sebenarnya dia juga sedikit menyindir karena tahu saat dia menikahi Hana, sebagai wali hanif tidak bisa pulang ke Indonesia. Hana tidak memberitahu kalau Hanif sakit, jadi Daud mengira ya karena Hanif sok sibuk dan tidak perduli saja. Sebuah pikiran keliru. Sementara Hanif hanya melirik tajam tanpa bereaksi mendengar ucapan adik iparnya tersebut. Daud makin canggung dan suasana makin kaku.
"baiklah.." ucap Daud akhirnya meneruskan dengan ragu dan waswas. " menurutmu apakah adil Hana tidak memberikanmu aset tanah atau rumah sama sekali. Sementara semua keluarga dari pihak ibunya mendapatkan begitu banyak aset bahkan juga minimarket dan hotel yang cukup besar." ujar Daud cepat sebelum keberaniannya hilang. Lagi, Hanif tak bereaksi sedikitpun. Dia memilih diam dan menunggu Daud melanjutkan ucapannya. Setelah hening sesaat dan tahu Hanif menunggunya berbicara lebih lanjut akhirnya Daud kembali bicara. Tentu saja dengan keraguan yang makin besar. Tapi sudah terlanjur bukan?.
"Kurasa kamu dan saya berhak meminta bagianmu kepada keluarga Hana. Bukankah kita keluarga? Seharusnya membaginya dengan adil. bagaimana kalau kita berdua meminta keluarga Hana membagi sebagian warisan property Hana untuk kita berdua. Pengacaraku akan membantu jika kamu setuju" Daud berbicara cepat dan selugas mungkin sebelum kehilangan keberanian melihat reaksi Hanif yang hanya diam. Satu, dua, tiga detik. .sampai mungkin semenit kemudian barulah Hanif bicara.
"mengagetkan, tuan muda keluarga Bardi ternyata serakah dan mental miskin. Aku akan melakukan permintaanmu..." jeda Hanif melihat reaksi Daud yang sedikit terlihat percaya diri kembali mendengar ucapannya. "dalam mimpi" lanjut Hanif pelan namun penuh tekanan.
Daud kaget dan kehilangan kata-kata. Entah kenapa dia bukan sekedar malu, tapi marah dan juga benci melihat reaksi manusia di depannya. Apalagi dirinya benar-benar merasa kehilangan keberanian .
"Brengsek, dia membuatku seperti manusia rendahan. Aku ini Daud Bardi, pengusaha hebat. Dia siapa? Santri kere gak jelas kerjaan yang pasti menumpang hidup pada almarhum keluarga Hana tapi gaayanya sok banget" omel Daud dalam hati yang tidak berani dia keluarkan.
Dan tanpa sepatah katapun, setelah terdiam lama dan menatap Daud tanpa ekspresi, Hanif berdiri lalu meninggalkan Daud begitu saja.
" Argghh..... . Sialan, brengsek, manusia miskin kurang ajar" rutuknya kesal setelah Hanif tidak terlihat. Tak dihiraukannya waiters dan pengunjung lain meliriknya aneh.
***
"apa kabar paman? Ujar Hanif menyalami Hamid begitu muncul di hadapannya. Sementara istri Hamid langsung masuk ke dalam lagi.
"Alhamdulillah sehat, bagaimana denganmu, ayok diminum" ujar Hamid mempersilahkan. Hanif kemudian mengambil gelas berisi air putih dingin yang tadi dihantarkan Istri paman Hamid.
"paman kaget saat melihatmu di malam doa setelah pemakaman Hana. Sama sekali tidak tahu kalau kamu sudah di Indonesia "
"iya Paman. Maaf karena saya belum lama tiba dan begitu sampai Indonesia sebelum sowan malah Hana pergi" jawab Hanif sendu.
"tidak apa nak, jodoh,maut memang tidak ada yang tahu"
"saya ada saat pemakaian Hana sebetulnya. Tapi saya tidak menyapa kalian semua dan memilih mengikuti proses di belakang. Saya yakin paman dan keluarga sudah mempersiapkan dengan baik"
"berarti apa yang dibilang Anida benar toh" ungkap Hamid. Hanif menatapnya seolah bertanya. Hamid menghela nafas.
"Anida bilang dia seperti melihatmu, tapi karena pakai masker dan kacamata apalagi hanya di belakang, Anida mengira itu hanya orang yang mirip denganmu" jelas Hamid sesuai yang dikatakan keponakannya itu. Saat itu mereka tidak lanjut membahasnya karena sibuk terlebih malam tersebut Hanif datang ke acara doa.
"Oh ya pasti ada hal penting yang mau kamu bicarakan ya?" lanjut Hamid menebak.
Hanif menghela nafas kemudia menganggukan kepala menatap Hamid. "kemarin saya bertemu Daud. singkat, jelas dia mencoba menghasut supaya saya menggugat paman dan keluarga untuk meminta bagian property Hana"
"apa?" jawab Hamid kaget
"iya paman, sepertinya bukan sekedar serakah, saya rasa Daud atau mungkin keluarga Bardi sedang memiliki masalah finansial" Hanif mengatakan kecurigaannya.
"lalu apakah kamu memang merasa berhak dengan aset-aset Hana? Bagaimanapun secara hukum kamulah yang sebetulnya pewaris terkuat Hana. Karena kamu keluarga Hana dari pihak ayah. Sementara kami dari pihak ibunya"
Hanif menggeleng mendengar ucapan Hamid " saya bahkan tidak menginginkan sepeserpun. Keluarga Om Gazali sudah sangat berjasa mengurusi dan membiayai pendidikan saya. Secara pribadi saya ingin menolaknya. Tapi saya punya alasan untuk tetap menerima warisan dari Hana. Lagipula kalau boleh memilih, lebih baik Hana saat ini bersama kita meskipun tidak memiliki harta"
Air muka Hamid tampak lega meskipun kesenduan masih terlihat.
"Syukurlah, kamu tulus menyayangi Hana. Saudara kandung sekalipun kadang jadi duri jika serakah dan tidak punya iman"
"Betul paman, beruntung paman dan semua keluarga Tante Julia sangat baik dan tidak serakah"
Hamid tersenyum "Butuh untuk selalu diingatkan untuk menjaga semua tetap bersyukur Hanif. Salah satunya adalah adanya yayasan yatim piatu dan sekolah bagi anak kurang mampu. Bahkan sekarang ada juga bantuan untuk ibu Hamil yang tidak memiliki suami. Hana yang memintanya. Dan ini akan menjadi warisan paling berharga darinya sekaligus menjadikan ladang jariyah bagi semuanya"
"kamu juga, usahakan sering bertandang kemari atau ke yayasan. Bagaimanapun kita keluarga. Apalagi Paman tahu kamu sudah tidak memiliki keluarga sedarah. Tapi kamu akan selalu jadi keluarga kita Hanif" ujar Hamid membuat Hanif terharu.
"terimakasih paman"
"oh ya paman ada hal yang harus saya ceritakan kepada paman. Saya percaya paman bisa menerima dengan bijak. Tapi apakah bisa saya bicara disini dengan aman?" tanya Hanif sedikit pelan. Hamid merasa janggal dengan permintaan Hanif. Namun dia tahu Hanif bukanlah orang yang senang bermain-main.
"kita bicara sambil jalan saja ke yayasan. Sepanjang jalan itu sunyi dan tidak terhalang pandangan. Kurasa itu lebih aman. Ayo!" ucap Hamid sambil berdiri.
Sebelum keluar dia sempat pamit kepada istrinya lalu berjalan beriringan dengan Hanif. Dan setelah dirasa aman Hanif mulai berbicara pelan, jelas dan singkat kepada Hamid. Beberapa kali terlihat Hamid berhenti berjalan dan menatap Hanif dengan muka kaget bahkan matanya sampai melotot. Namun semakin lama mereka semakin tenang berjalan sambil berbicara.
****
Di lain tempat Daud merasa kesal dan marah menghadapi keluarganya. Bukan cuma adik-adiknya saja, bahkan ibu dan sepupunya pun terlihat marah. Sebabnya apalagi kalau bukan karena penolakan Hanif. Mereka merasa Daud tidak mampu hanya sekedar membujuk Hanif melawan keluarga almarhum Julia. Padahal kalau saja Daud bisa membuat Hanif bersekutu akan mudah bagi mereka menang gugatan secara hukum sekalipun. Tapi mereka lupa bahwa Hanif adalah manusia bebas dan bukan pribadi lemah. Tidak gampang menjadikan Hanif kroni mereka. Hal yang sia-sia karena Hanif sangat berprinsip .
"apa kita perlu mengirimkan yang lain untuk membujuk Hanif?" Kali ini Arsyad yang bersuara
Daud mendengus sementara Yang lain masih berfikir.
"kamu hubungi dia dan bujuk sampai berhasil Syad" kali ini Halima yang bicara. Arsyad berjengit
"Aku tidak mengenalnya " kelitnya halus.
Yang lain melirik sinis mendengar jawabannya
"punya saran tapi ga bisa eksekusi" dengus Dina membuat Arsyad mendelik ke arahnya.
"Kurasa tak perlu, sia-sia. Kalian akan tahu kalau ada disana bersamaku kemarin" saran Daud
"halah bang mungkin karena Abang tidak tegas" kali ini adiknya Henry yang bicara. Daud memelototi adiknya kesal. Tersinggung seolah dia adalah mahluk tidak kompeten. Padahal dia direktur di perusahaannya.
" Sebaiknya memang tidak perlu" Karim bersuara.
"Kita memang tidak mengenal Hanif dengan baik, mungkin bang Daud benar dia tidak bisa dibujuk. Jadi tak perlu kita temui. Mungkin kita harus memaksanya" usul Karim yang disambut tatapan diam namun tertarik dari beberapa pasang mata di sekitarnya.
"hal sia-sia" Karim melirik Lina, istri Arsyad yang tiba+tiba saja bersuara. Namun ekspresi Lina sangat datar dan tenang
"Arsyad sangat cerdik, adiku mengenalnya saat kuliah di UK" lanjut Lina yang disambut tatapan kesal dan kaget dari keluarganya. Baru kali ini fakta itu terkuak. Tapi Lina seperti tidak terusik
"Biarkan dia menerima bagiannya, lalu kita awasi dia. Cari tahu saat yang tepat untuk bisa menguasai bagiannya. Buat dia menghilang ' Ucapnya tegas namun santai. Dina yang merasa dia kadang sangat kejam sampai merinding. Entah kenapa dia merasa Lina sangat jahat dibalik ketenangannya. Bahkan kata-kata yang diucapkan tanpa beban tersebut sudah menunjukan betapa tidak punya hati perempuan itu.
"Sepertinya itu lebih baik. Henry segera hubungi Hadi untuk mengawasinya"
Keputusan yang diucapkan Halima tentu saja mutlak. Tak satupun anak dan keponakannya membantah. Mereka tentu saja setuju dengan keputusan Halima. Selain itu dirasa paling baik, resiko buat pribadi mereka berkurang karena Halima sendiri sebagai nyonya besar Bardi yang mengambil alih keputusan.
****
Di ruangan berukuran 5x 10 m Saleh Bardi duduk menatap ke arah taman hijau melalui kaca besar di hadapannya. Terlihat diamnya penuh dengan hal yang dipikirkan dalam kepalanya. Kepergian Hana beserta warisannya jelas membuat hidup keluarganya sedikit terusik. Kenyataan bahwa Hana bukan sekedar memiliki saham yang cukup besar, melainkan juga memiliki banyak aset property baru diketahuinya setelah tiada. Seandainya dirinya tahu Hana memiliki begitu banyak aset sebelumnya mungkin dirinya tidak akan segelisah ini. Terlebih kenyataan Hana mewariskan sebagian besar hartanya untuk yayasan dan keluarga Julia. Kembali dia menghela nafas.
"tok. ...Tok....
"masuk" jawabnya tanpa berpaling ke arah pintu
"permisi tuan, maaf saya menganggu. Baru saja saya dapat kabar keluarga besar anda termasuk nyonya melangsungkan pertemuan di rumah tuan muda Henry"
Saleh Bardi mendengarkan laporan Roger, tangan kanannya sejak lama. lalu mengambil cangkir kopinya yang sudah hampir dingin dan menyesapnya perlahan.
"Terus awasi dan laporkan padaku" ucapnya
"Baik Tuan, kalau begitu saya permisi' jawab Roger membungkukan badannya sebagai penghormatan lalu undur diri keluar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments