Lina meradang marah dan melemparkan ponselnya ke atas sofa. Sementara suaminya Arsyad menunggunya bicara. Arsyad sudah diberitahu apa yang dia temukan mengenai aset Hanif dan pencarian Ayumi. Lina beralasan merahasiakan sementara karena tidak merasa begitu penting. Tapi sejak Daud juga mengetahuinya Lina merasa harus memberitahukan Arsyad. Dengan sedikit manipulasi kata Arsyad percaya bahwa Daud pasti akan membuat Hanif kehilangan semua harta benda dan akan dia kuasai tanpa berbagi dengan keluarga lainnya. Dengan liciknya Lina meminta Arsyad tetap menjaga rahasia sampai waktunya, supaya tidak menimbulkan kegemparan di keluarga. Padahal tentu saja untuk mengurangi tambahan orang yang tahu rahasia ini. Lina yakin semua anggota keluarga Bardi sangat ingin menyingkirkan Hanif.
"Jadi bagaimana?" tanya Arsyad tak sabar. Lina membuang nafas kesal
"Dua orang yang mencari si Ayumi disekap Daud dan sudah dibebaskan. Mereka melapor katanya Daud sudah tahu soal si Ayumi ini"
"Licik" ucap Arsyad, tak sadar dia sama istrinya pun sama.
"kedua orang itu buka mulut apa saja. Harus dipastikan jangan sampai bocor lagi" tanya Arsyad lagi.
"Hanya soal si Ayumi pemilik aset bersama si Hanif, karena mereka juga cuma bertugas cari dia. Sudah kusuruh berhenti pakai dua orang preman bodoh itu. Biar dia kembali ke terminal. Sekarang semua orangku bersiap pindah markas. Jangan sampai Daud tahu dan mengikuti mereka, nanti semua rencana kita bisa disabotase" ucap Lina panjang lebar. Arsyad tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya. Dia merasa takjub dengan kepintaran isterinya.
"Aku akan hubungi Lea, dan cari tahu soal si Hanif. Siapa tahu ada informasi lain yag terlewat dan berguna" Ucap Lina mengambil ponselnya karena tiba-tiba teringat adiknya yang satu kampus dengan Azhar di Inggris dan sekarang tinggal di Surabaya.
****
Murad berbaring di tempat tidur tipis di rumah petak yang dia tempati bersama Kohar. Sudah dua hari sejak kepulangannya dan masih tersisa lebam dan ngilu di badannya, tapi badannya sudah bisa bergerak leluasa meski harus pelan. Kohar belum kembali dari membeli sarapan di depan gang rumah mereka.
Rumah ini sudah dia tempati sejak 12 tahun lalu saat umurnya baru 17 tahun dan orang tuanya pulang kampung. Murad tinggal sendiri selama beberapa tahun sampai Kohar dia bawa. Tapi sejak tujuh tahun lalu dan direkrut Amos jarang sekali dia bisa tinggal di rumah lebih dari semalam. Hidupnya dihabiskan di jalan mengerjakan banyak pekerjaan kotor dari orang-orang kaya. Menagih utang dengan kekerasan, memukuli orang untuk balas dendam, merusak mobil dan rumah, semuanya pernah dilakukannya.
Satu tahun terakhir ini dia cukup ringan karena pekerjaan yang diberikan Amos dari Lina Bardi tidak terlalu sulit. Hanya mencari orang kesana-kemari. Amos langsung membayarkan uang untuk membayarkan kontrakannya bersama Kohar selama setahun ke depan. Lalu memberikan uang secara berkala setiap mereka bekerja. Sesekali dia dan Kohar masih bekerja sebagai penagih utang untuk menambah rupiah. Tapi pekerjaan paling mudah baginya ini yang membuat badannya paling babak belur.
"Rad, Kohar ". Murad mendengar suara Amos memanggilnya. Tapi dia tak beranjak bangun karena malas. Kalau Kohar tidak mengunci pintunya Amos bisa langsung masuk. Tapi kalau dikunci ya biar masuk sekalian saat Kohar pulang beli sarapan.
Tapi sepertinya pintunya tak terkunci dan Amos masuk ke dalam rumah melewati ruang depan yang kosong dan masuk menuju ruang kedua yang Murad gunakan sebagai tempat tidur.
"Mana Kohar. Lo masih sakit" tanya Amos sambil melihat sekitar lalu kembali melihat Murad yang terbaring di kasur. Tanpa dipersilahkan Amos duduk menyender di sebrang Murad berbaring.
" Gue kira lo beneran hampir mati, ternyata segitu doang" Komentar Amos melihat luka di badan Murad sebelum mulai merokok.
"Bos Lina gimana Bang?" Tanya Murad ingin tahu .
Amos melihat ke arah Murad yang menanti jawabannya. Disesapnya rokoknya sebelum menjawab.
"Dia marah, minta lo berdua Kohar dipecat karena gak becus dan kasih info penting ke musuh. Makanya gue kemari" Ucap Amos sedikit ragu. Bagaimanapun Kohar dan Murad salah satu orang kepercayaannya dan cukup lama ikut dengan dia. Tapi demi keberlangsungan kesejahteran dia dan yang lain, Amos harus memecat Murad dan Kohar karena Lina tak menginginkannya.
"Ya sudah Bang, gue balik nagih sama parkir lagi" jawab Murad tak merasa keberatan. Buat apa? Toh tak ada gunanya. Apapun pekerjaannya mereka hanya butuh bertahan hidup. Tak harus ikut degan Amos terus.
"Yah. Kalau besok ada yang lain gue ajak lo sama Kohar lagi Rad" ucap Amos lalu mengambil amplop yang dia siapkan dari tas selempangnya lalu menyerahkannya pada Murad
"pakai buat berobat, kalau orang kantor anggap ini pesangon" ujar Amos. Murad menerima saja karena memang haknya dan butuh.
Tak lama Kohar masuk da melihat Amos. Sayangnya dia hanya membeli dua porsi nasi uduk untuk dirinya dan Murad. Tak ada jatah untuk Amos. Tapi pada saat Kohar berniat membelikannya, Amos menolak dan pamit pulang.
"Besok kita parkir dan nagih lagi Har" ucap Murad sambil duduk membuka bungkusan nasi uduk.
"kenapa?" jawab Kohar bingung.
"Kita ga ikut bang Amos dulu. Balik nagih sama parkir saja. Penting bisa makan" ucap Murad lalu mengambil amplop cokelat.
"Ada uangnya, nanti minta tolong Bang Pandi kirim ke Ibu seperti biasa" lanjutnya dan akhirnya Kohar menganggukan kepala lalu ikut makan. Setelah makan dia baru ke toko Pandi untuk titip transfer ke kampung. Mereka tidak pernah ke Bank, hanya punya rekening e-walet yang dibantu dibuatkan Pandi. Dan tetap saja mereka mengandalkan Pandi sebagai agen salah satu Bank untuk urusan kirim uang ke rekening Ibunya Murad di kampung.
****
Ikram memperhatikan ruko milik Hanif yang sedang melakukan penambahan bangunan di sayap kanan. pemilik ruko sebelumnya menjualnya setelah bertahan dengan usahanya yang tak kunjung membaik. Ditambah pembelian lahan kosong tepat di sebelahnya milik salah satu warga, Hanif memutuskan menambah luas bangunan kantornya. Rencananya kantor tersebut akan dijadikan kantor studio perusahaan yang akan dibangunnya. Hanif adalah lulusan teknik sipil, jadi membangun perusahaan kontraktor sendiri dengan bantuan teman-temannya sudah ada dalam rencananya. Perusahaan design lebih dulu dibangunnya karena memang cukup punya kemampuan terutama teman-temannya sendiri banyak yang kompeten. Sejak di Inggris sudah menerima banyak client yang cukup banyak dan memutuskan membuka kantor saat pulang ke Indonesia.
"Makin hebat aja kulihat Nif" ucap Ikram pada Hanif yang menyusulnya dan berdiri di sebelahnya. Hanif tertawa.
"Ya kan memang ini salah satu cita-citaku" jawab Hanif tak menutupi rasa senangnya. Ikram meliriknya
"Perusahaanmu sekarang?" tanya Ikram singkat.
Hanif diam saja tak menjawab malah mengajak Ikram masuk ke ruangannya. Hanif mengambilkan minuman kalengan dari kulkas kecil di ruangannya dan memberikan satu botol air mineral pada temannya itu.
" Kamu pasti tau kalau aku hanya menjalankan amanah. Untuk sementara aku mungkin lebih fokus disana, Darwin dan yang lain membantuku disini" Ucap Hanif sebelum duduk di depan Ikram.
"Aku ingin mengajakmu kerjasama" tambahnya membuat Ikram mengerutkan kening.
"Kerjasama apa. Kamu tahu aku hanyalah dosen. Tidak ada bakatku untuk bisnis" Jawab Ikram bingung
"Aku tahu, tapi kamu punya banyak warisan tanah di sekitar jabodetabek bahkan Bandung yang belum terjual sejak almarhum abahmu meninggal" ucap Hanif namun masih tak dapat dimengerti oleh Ikram tujuannya.
"Ya memang, aku belum urus lagi untuk dijual karena masih menyelesaikan urusan lain. Aku adalah anak tunggal jadi memang semua harta Abah menjadi milikku. Tapi seperti kamu tahu semua tanah itu dibeli Abah untuk dijual kembali, karena itu mata pencahariannya. Sekarang aku bingung belum bisa menjualnya dan belum sempat menghubungi agen" jawab Ikram menjelaskan masalanya sendiri.
"Itu dia Kram, makanya aku mengajakmu bekerja sama" ucap Hanif
"Bagaimana?" kali ini Ikram mulai bisa sedikit mengira maksud dan tujuan Hanif
"setelah legalitas perusahan kontruksiku berdiri aku ingin kita bekerja sama membangun rumah tinggal di beberapa area yang cukup potensial. Dan untuk pertama aku ingin bangun di salah satu tanahmu yang berlokasi di Depok" ucap Hanif menjelaskan
"Peranku sebagai partner atau apa?" tanya Ikram butuh kejelasan
" Ada beberapa opsi, yang jelas aku butuh kerjasama karena butuh investor dan kamu punya lahan yang diinvestasikan "
"Lanjutkan" pinta Ikram mulai tertarik
"Kamu bisa mendirikan CV atau PT sendiri sebagai developer dan kita sebagai kontraktor. Kita akan bangun rumah-rumah dengan dana kita dahulu dan kamu bisa bayar ditambah dengan bagi hasil saat unit yang dibangun laku. Atau kamu menjadi stakeholder di perusahaan yang kubangun dan mendapatkan gaji serta deviden dan keuntungan lain yang sesuai. Modalmu bukan uang tapi tanah yang bisa di valuasikan ke dalam rupiah sesuai harga saat ini dan dikonversi sebagai kepemilikan saham di perusahan" Hanif menjelaskan panjang lebar
"Menarik, dan terus terang aku jadi berminat. Aku tidak pernah berpikir untuk bisnis apalagi bisnis besar seperti ini. Tapi tawaranmu dan mengingat pertemanan serta reputasimu sepertinya aku bersedia kerjasama. Hanya saja mungkin aku harus minta pendapat istriku dulu, terutama mengambil opsi yang kamu tawarkan. Bagaimanapun dia berhak untuk ikut serta dilibatkan" Ucap Ikram
"Bagus, memang seharusnya kamu libatkan istrimu, apalagi dia juga pasti bisa membantu menimbang untuk mengambil keputusannya" ucap Hanif setuju.
Kebetulan dia juga mengenal istri Ikram yang juga dapat beasiswa di Inggris. Hanif bahkan menjadi saksi saat mereka dinikahkan secara agama dengan wali paman dari Habibah yang kebetulan saat itu berkunjung. Habibah anak bungsu dari 3 bersaudara dan kedua orang tuanya sudah meninggal sejak dia menempuh pendidikan S1 di Bandung. Jadi saat pamannya datang Ikram langsung melamarnya dan bahkan langsung dinikahkan. Mereka baru meresmikan pernikahannya ke negara beberapa bulan setelahnya. Hanif senang karena sahabatnya bisa berperan menjadi imam yang baik dan partner hidup yang seimbang. Ada sekelumit iri dalam diri Hanif. Sebuah kewajaran di usianya sekarang untuk memiliki istri dan partner hidup untuk berbagi
****
"Perusahaan itu milik Hanif bersama teman-temannya. Bukan perusahaan besar tapi sepertinya cukup berkembang" ujar seorang perempuan di ruang kerja Daud di kantornya.
"Sudah berapa lama kantornya berdiri?" tanya Daud
"Sudah sekitar tiga tahun, temannya yang awalnya bangun dan mengembangkannya sebelum Hanif pulang ke Indonesia sekitar setahun lalu" tambahnya
Daud manggut-manggut. Dia sedikit kaget mengetahui Hanif ternyata memiliki usaha yang cukup menjanjikan terutama di era digital seperti ini. Tapi rupanya tampang alimnya menyembunyikan keserakahan. Buktinya dia masih ingin menjabat sebagai direksi, padahal memiliki saham dan dapat deviden saja cukup. Tapi dia memilih merebut posisi miliknya. Setidaknya itulah yang ada dalam pikiran Daud.
"Terus awasi dia, dan laporkan setiap ada hal yang mencurigakan atau penting" ucap Daud.
" Baik Pak" ujar perempuan tersebut yang tak lain adalah salah satu staf yang direkrutnya belum lama. Sengaja dia tempatkan sebagai salah satu asisten untuk menyamarkan tugas aslinya mengawasi Hanif.
*****
Dina menyuruh asistennya pergi setelah melaporkan apa yang dia dapat dari adiknya yang juga bekerja sebagai asisten rumah tangga di tempat Lina.
Dina langsung menghubungi suaminya agar segera pulang untuk membicarakan informasi penting yang dia terima.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments