My Sabbatical Wife
Bagi suaminya, Maura adalah wanita sabar yang mempunyai hati seindah lembayung senja. Sosok yang menenangkan, memabukkan dan bisa menjadi tempat temaran.
Maura, si wanita baik. Dengan senang hati mau begitu saja melepas kasta priyayi nya, demi memenuhi syarat pernikahan dari suaminya, Putra Gifali Hadnan.
Gadis berusia 18 tahun itu tidak akan menyangka bahwa pernikahan yang akan ia jalani nanti, begitu berliku, terjal dan penuh batu dalam setiap tapakkan nya.
Akan banyak pengorbanan yang harus ia lewati bersama suami dalam mengarungi bahtera rumah tangga, mengejar cita-cita dan mengkokohkan iman
Mampukah dirinya tetap sabar?
****
Sebagaimana Rembulan yang tidak akan pernah meninggalkan malam. Sebagaimana ombak yang tidak akan pernah meninggalkan lautan. Begitupun rasa sayangku untuk kamu, Ra! Tidak akan usang oleh waktu, jarak dan tempat. Kemanapun kakiku melangkah, selalu ada nama kamu yang menemani jiwa dan fikiranku.
Aku gak mau merasa bersalah untuk membawamu masuk kedalam masalahku, Ra! Aku gak bisa nikahin kamu dengan keadaan ku yang seperti ini. Untuk menghidupi diriku saja sulit, apalagi untuk kita berdua.
Masa depanku saja belum tentu cemerlang, tapi masa depanmu sudah dapat dijamin akan membahagiakan. Terimakasih atas segala pengorbanan serta rasa cinta yang tulus untukku!
Aku doakan kamu bisa menjadi chef terbaik.
Lupain aku ya, Ra! Jangan tunggu aku lagi! Selamat tinggal sayang, aku cinta kamu!
Jangan menangis ya,
----Putra Gifali---
Karena beberapa bait kata dalam surat perpisahan itu justru membuat Gifali tidak bisa menjauh dari hidup Maura. Ia benar-benar tidak bisa meninggalkan wanita itu untuk menjauh dari hidupnya.
Maura tetap menginginkan Gifali dan menerima dengan lapang dada bagaimana jatidiri Gifali sesungguhnya. Walau asal-usul nya suaminya masih tidak jelas, Maura sama sekali tidak pernah memperdulikan hal itu. Yang ia inginkan hanya sosok Gifali yang mau memulai hidup baru bersamanya. Menua sampai ajal menjemput.
Hari yang sudah dinanti-nanti pun tiba. Akad nikah untuk sepasang insan muda sebentar lagi akan dimulai. Pernikahan elegan diselenggarkan hari ini. Persatuan dua keluarga pun terjalin dengan mulus yaitu keluarga Artanegara dengan keluarga Hadnan. Sama-sama keluarga terpandang yang berpengaruh di tanah air.
Akad nikah dan resepsi di adakan di sebuah objek wisata kepemilikan keluarga Maura. Di sebuah resort yang keberadaanya ditengah-tengah Pulau. Tempat ini mereka pilih, karena ingin mengingat kembali bagaimana kisah pertemuan mereka dua belas tahun yang lalu.
Tempat yang membuat mereka hampir tiada karena gulungan ombak pantai yang hebat. Sempat membuat dua orang tua mereka berseteru namun kembali utuh. Tempat yang dapat mempertemukan keluarga Artanegara dan keluarga Hadnan diwaktu yang tepat.
Kini Gifali sudah duduk di kursi meja akad. Dengan menggunakan beskap pengantin dan songkok dikepalanya. Ia masih terus menghafal kalimat Ijab Qabul yang ingin ia ucapkan dengan satu tarikan nafas. Entah mengapa ketampanan lelaki ini semakin terpancar. Aura nya begitu menggelegar.
Semilir angin terus saja menyeruak menyisir kalbu para hadirin. Membuat suasana sejuk dan tentram disana. Karena akad kali ini mereka lakukan tepat di pelataran bibir pantai. Bernuansa garden party.
Di hadapan nya sudah ada Papa Bilmar dan penghulu. Serta dua saksi yaitu Om Malik sebagai saksi dari pihak Gifali dan Om Rendi sebagai saksi dari pihak Maura. Serta kedua kakek Maura, yaitu Kakek Bayu dan Kakek Luky masih setia menunggu jalan akad untuk cucu mereka.
Gifa terus saja menggosok-gosokan permukaan telapak tangannya dan menghembuskan nafasnya disana. Menatap lurus ke arah para tamu dan keluarga. Ia terus saja menghela nafas, ritme dadanya pun terlihat turun naik.
"Pah, Kakak gugup banget ..." ucap Gifa menoleh ke pada Papa Galih yang sudah duduk persis disamping kiri nya.
Papa Galih tersenyum lalu mengusap lembut punggung sang anak.
"Wajar, Kak. Dulu Papa juga kayak gini. Dibawa relaks, Nak." bisik Papa Galih.
Gifali mengangguk dan kembali mencoba mengatur ritme nafasnya.
"Konsentrasi terus, siapkan hafalan terbaik untuk persembahan mahar kamu, Kak." sambung Papa Galih.
Lelaki paru bayah itu terus saja membimbing putranya untuk bisa sukses melantunkan hafalan surah Ar-Rahman sebagai mahar untuk Maura.
"Ingat Kak, Maura yang memintanya. Jangan dikecewakan...Maura pasti akan bangga sama Kakak."
Gifali kembali mengangguk. Samar-samar garis senyumnya meninggi maksimal. Tentu saja rasa percaya dirinya kembali tegap. Gifa kembali mengulang-ulang bacaan surah itu untuk memfasihkan nya. Memang mahar seperti ini khusus permintaan Maura kepada Gifali. Ia tidak menuntut cincin emas, berlian atau apapun sebagai pelengkapnya, diluar surah Ar-Rahman. Semua terserah Gifali, yang penting lelaki itu Ridho.
Kursi para tamu yang sebagian sudah terisi oleh saudara jauh, teman-teman dekat Maura dan Gifa serta beberapa para kolega dari kedua orang tua mereka yang diundang khusus, sudah hadir mengisi kursi.
"Bang, lo kapan mau nikahin, Kak Gadis?" tanya Fadil kepada Elang. Mereka duduk bersebelahan di pertengahan kursi tamu. Om Lukman beserta istrinya pun ada menemani mereka.
"Gue masih tunggu Gadis, dia bilang mau selesain kuliah dulu." jawab Elang dengan suara sendu. Sejujurnya ia iri melihat Gifali sudah bisa menikahi Maura, tentu dirinya pun ingin segera mungkin meminang Gadis.
"Lo pepet terus aja, Bang. Nanti juga Kak Gadis mau kok di pinang.."
Elang mengangguk dengan senyuman setipis benang. Ia masih tidak yakin kalau Gadis sudah benar-benar mencintai dirinya dan melupakan Gifali secara utuh.
"Apakah sudah bisa dimulai?" tanya penghulu. Semua yang berada di meja akad pun mengangguk. Papa Bilmar menoleh ke arah Ammar dan melambaikan tangan agar menghampirinya.
"Dek, tolong panggilkan Kakakmu."
"Iya, Pah."
Ammar pun berlalu menuju paviliun Berliana yang berjarak 100 meter dari tempat akad. Dimana paviliun tersebut dikhususkan untuk menjadi tempat Maura di rias dan memakai baju pengantin. Di paviliun itu pun para wanita sedang berkumpul disana. Untuk menemani Maura yang sedang menunggu dipanggil oleh penghulu untuk mengikuti jalannya akad nikah hari ini.
"Masya Allah cantik banget sih menantu Mama.."
Mama Difa terus saja memuji Maura yang sudah selesai dirias. Ia memakai kebaya pengantin yang di design oleh Gadis. Kebaya modern bertabur svaroski membuat tubuh Maura terlihat mempesona. Begitupun dengan hijab nya.
"Tuh kan bener kamu tuh cantik banget hari ini, Kak." sahut Gadis menimpali. Ketika ia masih sibuk mengawasi tatanan hijab Maura dengan perias pengantin.
Hijab?
Ya, ada yang berbeda kali ini. Maura memutuskan menikah dengan memakai hijab. Tidak hanya saat akad nikah dan resepsi. Tapi ia sudah memutuskan memakai jilbab untuk selama-lamanya.
Ra, apa kamu keberatan kalau setelah menikah denganku, kamu memakai hijab? Aku hanya ingin menikmati aurat kamu tanpa membaginya dengan yang lain.
Suatu permintaan Gifali untuk Maura yang terlihat mudah namun sebenarnya sulit. Walau masih mencoba-coba, namun Maura langsung mengiyakan keinginan calon suaminya kala itu.
Gifali memang bukanlah anak Kiyai atau lulusan pesantren. Namun sebelum menikah ia lebih banyak memperdalam ilmu pernikahan dalam segi agama. Mempelajarinya untuk membimbing Maura menjadi istri yang baik sesuai dengan syariat Islam.
Bolehkan kalau lelaki ini berubah, untuk menjadi suami yang lebih baik?
Begitulah perubahan Gifali, walau ia masih muda dan menikah di usia dini. Sejatinya umur tidak menjadi penghalang ketika kita mau berubah untuk menjadi lebih baik dan dewasa. Mau tidak mau, Gifali harus bisa bersikap seperti ini. Karena ia akan menjadi pelindung pengganti dari Papanya Maura. Memegang beban atas apa yang akan dilakukan oleh Maura setelah menjadi istrinya.
Beberapa wejangan terus menggema dalam ingatannya agar bisa menjadi suami yang ideal untuk Maura. Tentu masalah yang pernah terjadi dalam rumah tangga orang tuanya sebagai salah satu alasan mengapa ia ingin terus memperdalam syariat Islam dalam pernikahannya.
"Makasi ya, Ma.." Maura sudah harus membiasakan dirinya untuk memanggil Mama Difa dengan sebutan Mama bukan tante lagi. Karena beberapa belas menit kemudian Maura akan sah menjadi menantunya.
"Kakak mau minum dulu, Nak?" tanya Mama Alika. Ia terus menggenggam tangan putrinya yang terasa dingin dan berkeringat.
"Atau kamu mau ke kamar mandi? Biar Tante antar, Ra." Tante Binar menawarkan.
Maura tersenyum dan menggelengkan kepala, tanda ia tidak mau apa-apa sekarang.
Berbeda hal dengan Ganaya dan Gelfani yang masih terdengar berisik karena sibuk berfoto selfie dengan kamera handphone, didalam ruangan yang sama dengan mereka.
"Apa menikah segugup ini, Mah?" tanya Maura menatap Mama Alika lalu bergantian menatal Mama Difa. Kedua mama itu pun tersenyum.
"Gugupnya pas lagi Ijab Qabul aja, Nak. Setelah itu kamu akan lega." jawab Mama Alika.
"Gifa juga selalu latihan Ijab Qabul sambil menghafal surat Ar-Rahman untuk menjadi mahar kamu, Nak. Insya Allah, dengan tekad Gifa yang besar, ia pasti dilancarkan.." sambung Mama Difa dan diakhiri kata Aamiin oleh mereka semua.
Terlihat Ammar yang ditemani Gemma masuk kedalam paviliun untuk memberi tahu kalau keberadaan Maura sudah ditunggu di meja akad. Bukan hanya Maura dan Gifa yang semakin tegang. Orang tua serta adik-adik mereka pun merasakan hal yang sama.
"Kak, kamu sudah ditunggu di meja akad. Ijab Qabul akan segera dimulai ..."
***
Bagi yang baru bergabung. Aku perkenalkan ini adalah novel ke 6 ku di mangatoon. My Sabbatical Wife adalah sequel dari Novelku yang berjudul Gifali dan Maura. Disana sudah menceritakan secara detail siapa Maura dan Gifali beserta keluarganya. Serta lika-liku hubungan mereka sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah.
Boleh pilih profilku untuk membacanya, terima kasih❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Devia Ratna
mampir
2022-12-10
0
Sazia Almira Santoso
nyimak
2022-03-26
0
Riska Wulandari
kembali lagi ke kakak Gaga..
2021-12-16
0