Setelah menempuh perjalanan selama 16 jam di udara. Sampailah Gifali dan Maura di London dengan selamat tanpa kurang satu apapun. Udara yang dingin begitu mengelibat di tubuh mereka berdua. Dini hari tiba di negara yang belum pernah mereka jamahi, adalah suatu pengalaman yang luar biasa untuk mereka berdua tanpa dampingan keluarga.
Jika anak-anak sepantar mereka masih akan ditemani oleh para orang tua, Gifali memilih untuk belajar mandiri untuk menjaga dirinya dan juga seorang wanita yang sudah ia nikahi dan ia cintai sepenuh hati. Ia harus bisa belajar dewasa dua kali lipat dari umurnya. Mengambil alih beban mertuanya untuk merawat dan mendidik Maura.
Terlihat kedua mata Gifali masih terus terjaga didalam taxi sambil mendekap Maura yang masih memeluknya dan tertidur. Gifa meminta kepada sopir taxi untuk menurunkan mereka di hotel yang dekat dengan pemukiman Brick Lane. Daerah yang tidak jauh dengan tempat yang sebentar lagi Maura pergunakan untuk menimba ilmu.
Perjalanan dari Bandara menuju Brick Lane pun lumayan menguras waktu. Biaya taxi pun mahal, namun bagaimana lagi, mereka harus tetap menempuh perjalanan yang berjejal ini.
Sesekali kedua mata lelaki muda itu terpejam. Gulungan asap keluar dari mulutnya, karena udara semakin dingin walau ia sudah memakai jaket yang cukup tebal. Entah mengapa setelah meninggalkan keluarganya, hatinya seperti tertusuk, wajah Mama dan Papanya terus saja berputar-putar mengelilingi kepalanya.
Sentuhan dan suara dari sang Mama masih saja terasa. Air matanya begitu saja menetes dari sudut matanya. Namun lebih dulu ia seka ketika Maura terdengar bergumam tidak jelas walau masih tertidur.
"Ssst, tidur sayang..." Gifali mengelus-elus lengan sang istri untuk tetap tertidur.
Ia terus mengawasi sopir yang sedang fokus mengemudi. Sopir sesekali bertubruk pandangan dengan Gifa didalam kaca spion. Ada guratan aneh penuh tanda tanya dari sopir. Mungkin karena wajah mereka masih muda untuk menikah.
"Apakah masih jauh, Pak?" suara itu membangunkan sopir dari lamunan. Sopir pun terkesiap dan menggeleng.
"Sebentar lagi, Tuan!"
Gifali mengangguk dan tersenyum. "Baik, Pak. Terimakasih."
"Kalau mengantuk tidur saja Tuan, saya akan membangunkan Tuan, jika sudah sampai."
"Terimakasih, Pak. Tapi maaf saya tidak mengantuk." Sopir pun membalas senyuman Gifa dari kaca spion. Gifa harus tetap berjaga-jaga dan waspada. Ia tidak mau dirinya lengah dan begitu saja percaya kepada orang yang baru saja ia lihat dan kenal.
****
"Baik, Bu, saya pesan----"
Maura menarik tangan Gifali untuk menjauhi meja resepsionis.
"Kenapa sayang?" tanya Gifali.
"Harga kamarnya mahal, Gifa. Hanya untuk semalam, apa ini tidak berlebihan?"
"Tapi kita mau kemana lagi? Ini masih jam tiga pagi, nggak mungkin kan kita dapat kosan langsung saat ini juga?"
Maura terdiam dan terus berfikir. Kedua matanya bergerak kesana kemari. Ia menyesal kenapa tertidur selama di taxi, bisa kan ia mencari hotel di aplikasi sesuai harga yang standar? Tidak begitu saja menyerahkan kepada sopir taxi untuk mencarikan mereka hotel, apalagi hotel berbintang yang lelaki itu pilihkan untuk mereka.
"Udah enggak apa-apa, ayo!" Gifali mengandeng tangan Maura untuk kembali melangkah menuju meja resepsionis.
"Pilih kamarnya yang kecil aja sayang.."
Gifali tersenyum dan mengangguk. Setelah ia memilih kamar dan membayarnya. Mereka pun berjalan menuju lift dengan dua pelayan hotel yang membawakan barang-barang mereka. Maura terus saja lengket di rangkulan suaminya, ketakutan dan kegelisahan pun muncul dibenaknya. Baru ia sadari kalau di negara ini hanya Gifali yang ia punya.
"Terimakasih ya, Pak." ucap Gifali sambil memberikan uang tip kepada dua pelayan hotel tadi. Ia menutup pintu dan berjalan menuju ranjang, sedangkan Maura memilih untuk masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Tak lama kemudian ia keluar dari kamar mandi dan melihat suaminya sudah mendengkur di ranjang. Maura duduk ditepian ranjang untuk membuka sepatu dan kaos kaki Gifali. Lelaki itu pun bergerak refleks karena sentuhan tangan lembut dari Maura.
"Ra.." suara serak Gifa mencuat. "Ayo tidur dulu, besok pagi kita kan harus ke kampus kamu. Sehabis itu kita harus check out dari sini dan mencari-cari kosan." Gifa menepuk bagian kosong disebelahnya.
Maura mengangguk dan melepas hijab yang sejak tadi melindungi kepala dan rambutnya agar tidak terurai dan terlihat oleh sepasang mata yang bebas.
"Mau aku buatkan susu sayang?" tanya Maura sambil melepaskan jarum pentul yang tersemat dibawah dagunya.
Gifa menggeleng. "Aku hanya ingin kamu tidur, besok kan kamu harus tes. Biar segar nanti, ayo sini sayang..."
Gifa merentangkan kedua tangannya agar di terjang oleh Maura. Wanita itu pun tersenyum lalu beringsut untuk mendekap tubuh suaminya. Tidurlah ia disamping Gifali sambil memeluk dada bidang lelaki itu.
Gifa dan Maura pun memejamkan kedua mata mereka untuk melepas lelah dan penat sebelum akhirnya besok mereka akan berjuang untuk mengejar masa depan di tempat mengemban ilmu.
****
Sinar matahari di London sangat menyengat, membuat pasangan suami istri itu bercucur air keringat. Terasa panas di kulit dan panas juga di hati Maura, wanita itu masih saja menangis dan menggigit bibir bawahnya.
Mengepal erat kedua tangannya dan menghentak satu kepalan di pangkuannya. Isakkan tangis begitu saja tumpah ruah. Gifali yang duduk disebelah Maura pun berkali-kali menyeka air mata istrinya untuk membuat wanita itu tenang. Mengusap lembut punggung Maura, ia pun mengerti perasaan kecewa itu.
"Jangan digigit gitu bibirnya, nanti berdarah sayang." Gifali menyentuh bibir istrinya. Maura menoleh dengan leleran air mata.
"Pokoknya aku enggak mau kuliah di sini!" ucapannya sambil menghentakkan kepalan tangannya lagi di paha kirinya. Ia menghambur ke pelukan suaminya. Menangis tersedu-sedu menahan kekecewaan.
"Sabar sayang, satu tahun itu enggak lama."
"Tapi apa mungkin kamu bisa tahan, Gifa?" Maura mendongakkan wajahnya, menatap jakun Gifa yang terlihat bergerak-gerak. Kedua mata lelaki itu bergerak kesana kemari mencari kekuatan diri.
Benarkan ia akan kuat?
Benarkah ia akan tahan?
Satu tahun? Selama itu?
Wajah Gifali seketika menunduk ke atas lantai. Istrinya tahu hal ini sangat berat untuk suaminya.
"Insya Allah aku bisa, sebisa mungkin kita jaga ya..."
Maura semakin menangis, ketika melihat genangan air mata sudah tiba di pelupuk mata suaminya. Ia tahu Gifali ingin berteriak tidak setuju, tapi mau bagaimana lagi, sudah hukum alam seperti ini.
"Aku mau cari kampus yang lain saja!" Maura bangkit dari dekapan suaminya. Memposisikan tubuhnya untuk kembali duduk dengan tegak.
"Mau kemana lagi? Seharian kita sudah mencari tiga kampus dan semua peraturannya sama. Papa mu hanya ingin kamu berkuliah di kampus ini, ia akan kecewa sayang jika kamu tidak menuruti keinginannya."
"Tapi, Gifa. Biaya kuliah dan praktikum nya juga mahal.."
Gifali menggeleng. "Bukan tugas kamu untuk memikirkan hal itu! Ada aku disini yang akan berjuang untuk kamu. Aku masih sanggup membayarkan uang kuliahmu sampai 4 semester. Sisanya aku akan mencarinya dengan bekerja."
"Tapi bagaimana jika nanti uang kuliahmu lebih mahal, dan uang yang kita punya tidak cukup sayang." Maura merintih menatap suaminya.
"Cukup kok, aku akan mengikuti tes beasiswa calon perwakilan dari Indonesia, siapa tahu aku lolos. Ya, jika tidak, uang yang aku punya juga masih cukup untuk membiayai uang masuk kita berdua. Kamu enggak usah cemaskan itu sayang---Aku akan mencari pekerjaan!" Gifali kembali menuang senyum untuk menyemangati istrinya.
"Tapi satu tahun itu kan---"
"Cepat kok, enggak lama. Insya Allah kita bisa melewatinya, kamu harus selalu dukung dan doakan aku. Aku ingin kamu berbakti kepada Papa dan Mamamu, Ra, karena aku sudah berjanji akan menjadikanmu chef dari lulusan terbaik."
Maura memandang lesu dan sendu. Ia merintih mendengar pengorbanan suaminya yang begitu membuat hatinya tertusuk.
"Mau ya? Demi aku, suamimu."
"Tapi, apakah kamu ridho dengan jalan kita yang seperti ini, Gifa?"
"Aku sebagai suamimu, meridhoi jalan ini. Bismillah sayang, kita serahkan semua kepada Allah." ucapan Gifali yang lembut begitu saja menghangatkan jiwa dan batin seorang Maura Zivannya Artanegara.
Wanita itu kembali memeluk suaminya dan memberikan banyak kecupan sayang. Walau hati Gifali terhimpit dan sesak namun demi kebahagiaan sang istri serta keluarganya. Mau tidak mau, suka tidak suka, Gifali sebagai kepala rumah tangga harus bisa berkorban dan berjuang untuk menghadapi masalah ini.
"Aku mencintaimu, sayang..." bisik Maura.
"Aku lebih dan lebih mencintai kamu, istriku." Gifali menjawil hidung bangir milik Maura. Membuat wanita itu mengubah tatapannya menjadi teduh dan syahdu.
"Senyum dong, suamimu ini suka dengan senyumanmu---"
Samar-samar simpul senyum indah begitu saja tercetak jelas di wajah Maura. Ia tersenyum walau hatinya masih terasa berat, namun melihat kerelaan dan keridhoan dari suaminya, membuat jiwanya kembali kuat. Semoga saja kemudahan selalu menemani dimanapun kalian berada
"Kita kembali kesana ya? Kamu siap kan sama tesnya?"
Maura pun mengangguk.
"Ya udah ayo!" Gifa kembali menggandeng istrinya untuk bangkit dari bangku taman kampus yang begitu sepi.
***
Nah kan udah dua episode, baik kan aku? Ayolah like dan komennya ya guys❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Laras Kasih
Kuat dan tahan dari apa sih maksudnya ? apa gak boleh hamil ? terus selama 1th itu apa artinya ?
tolong thor jangan kasih teka teki, bacanya jadi gak 'ngeh' 😣
2021-02-10
2
Nabila Hanum
Aq hanya bs bantu doa dan semangat untuk pengantin baru..
gifali dan maura..cayo
2021-01-13
0
Faidatul
trnyt kampusnya tdk menerima mahasiswa/ mahasiswi yg udah menikah, semoga maura dan gifali kuat menjalani semua ini
2020-12-29
0