NovelToon NovelToon

My Sabbatical Wife

Pernikahan Maura dan Gifali Hadnan

Bagi suaminya, Maura adalah wanita sabar yang mempunyai hati seindah lembayung senja. Sosok yang menenangkan, memabukkan dan bisa menjadi tempat temaran.

Maura, si wanita baik. Dengan senang hati mau begitu saja melepas kasta priyayi nya, demi memenuhi syarat pernikahan dari suaminya, Putra Gifali Hadnan.

Gadis berusia 18 tahun itu tidak akan menyangka bahwa pernikahan yang akan ia jalani nanti, begitu berliku, terjal dan penuh batu dalam setiap tapakkan nya.

Akan banyak pengorbanan yang harus ia lewati bersama suami dalam mengarungi bahtera rumah tangga, mengejar cita-cita dan mengkokohkan iman

Mampukah dirinya tetap sabar?

****

Sebagaimana Rembulan yang tidak akan pernah meninggalkan malam. Sebagaimana ombak yang tidak akan pernah meninggalkan lautan. Begitupun rasa sayangku untuk kamu, Ra! Tidak akan usang oleh waktu, jarak dan tempat. Kemanapun kakiku melangkah, selalu ada nama kamu yang menemani jiwa dan fikiranku.

Aku gak mau merasa bersalah untuk membawamu masuk kedalam masalahku, Ra! Aku gak bisa nikahin kamu dengan keadaan ku yang seperti ini. Untuk menghidupi diriku saja sulit, apalagi untuk kita berdua.

Masa depanku saja belum tentu cemerlang, tapi masa depanmu sudah dapat dijamin akan membahagiakan. Terimakasih atas segala pengorbanan serta rasa cinta yang tulus untukku!

Aku doakan kamu bisa menjadi chef terbaik.

Lupain aku ya, Ra! Jangan tunggu aku lagi! Selamat tinggal sayang, aku cinta kamu!

Jangan menangis ya,

----Putra Gifali---

Karena beberapa bait kata dalam surat perpisahan itu justru membuat Gifali tidak bisa menjauh dari hidup Maura. Ia benar-benar tidak bisa meninggalkan wanita itu untuk menjauh dari hidupnya.

Maura tetap menginginkan Gifali dan menerima dengan lapang dada bagaimana jatidiri Gifali sesungguhnya. Walau asal-usul nya suaminya masih tidak jelas, Maura sama sekali tidak pernah memperdulikan hal itu. Yang ia inginkan hanya sosok Gifali yang mau memulai hidup baru bersamanya. Menua sampai ajal menjemput.

Hari yang sudah dinanti-nanti pun tiba. Akad nikah untuk sepasang insan muda sebentar lagi akan dimulai. Pernikahan elegan diselenggarkan hari ini. Persatuan dua keluarga pun terjalin dengan mulus yaitu keluarga Artanegara dengan keluarga Hadnan. Sama-sama keluarga terpandang yang berpengaruh di tanah air.

Akad nikah dan resepsi di adakan di sebuah objek wisata kepemilikan keluarga Maura. Di sebuah resort yang keberadaanya ditengah-tengah Pulau. Tempat ini mereka pilih, karena ingin mengingat kembali bagaimana kisah pertemuan mereka dua belas tahun yang lalu.

Tempat yang membuat mereka hampir tiada karena gulungan ombak pantai yang hebat. Sempat membuat dua orang tua mereka berseteru namun kembali utuh. Tempat yang dapat mempertemukan keluarga Artanegara dan keluarga Hadnan diwaktu yang tepat.

Kini Gifali sudah duduk di kursi meja akad. Dengan menggunakan beskap pengantin dan songkok dikepalanya. Ia masih terus menghafal kalimat Ijab Qabul yang ingin ia ucapkan dengan satu tarikan nafas. Entah mengapa ketampanan lelaki ini semakin terpancar. Aura nya begitu menggelegar.

Semilir angin terus saja menyeruak menyisir kalbu para hadirin. Membuat suasana sejuk dan tentram disana. Karena akad kali ini mereka lakukan tepat di pelataran bibir pantai. Bernuansa garden party.

Di hadapan nya sudah ada Papa Bilmar dan penghulu. Serta dua saksi yaitu Om Malik sebagai saksi dari pihak Gifali dan Om Rendi sebagai saksi dari pihak Maura. Serta kedua kakek Maura, yaitu Kakek Bayu dan Kakek Luky masih setia menunggu jalan akad untuk cucu mereka.

Gifa terus saja menggosok-gosokan permukaan telapak tangannya dan menghembuskan nafasnya disana. Menatap lurus ke arah para tamu dan keluarga. Ia terus saja menghela nafas, ritme dadanya pun terlihat turun naik.

"Pah, Kakak gugup banget ..." ucap Gifa menoleh ke pada Papa Galih yang sudah duduk persis disamping kiri nya.

Papa Galih tersenyum lalu mengusap lembut punggung sang anak.

"Wajar, Kak. Dulu Papa juga kayak gini. Dibawa relaks, Nak." bisik Papa Galih.

Gifali mengangguk dan kembali mencoba mengatur ritme nafasnya.

"Konsentrasi terus, siapkan hafalan terbaik untuk persembahan mahar kamu, Kak." sambung Papa Galih.

Lelaki paru bayah itu terus saja membimbing putranya untuk bisa sukses melantunkan hafalan surah Ar-Rahman sebagai mahar untuk Maura.

"Ingat Kak, Maura yang memintanya. Jangan dikecewakan...Maura pasti akan bangga sama Kakak."

Gifali kembali mengangguk. Samar-samar garis senyumnya meninggi maksimal. Tentu saja rasa percaya dirinya kembali tegap. Gifa kembali mengulang-ulang bacaan surah itu untuk memfasihkan nya. Memang mahar seperti ini khusus permintaan Maura kepada Gifali. Ia tidak menuntut cincin emas, berlian atau apapun sebagai pelengkapnya, diluar surah Ar-Rahman. Semua terserah Gifali, yang penting lelaki itu Ridho.

Kursi para tamu yang sebagian sudah terisi oleh saudara jauh, teman-teman dekat Maura dan Gifa serta beberapa para kolega dari kedua orang tua mereka yang diundang khusus, sudah hadir mengisi kursi.

"Bang, lo kapan mau nikahin, Kak Gadis?" tanya Fadil kepada Elang. Mereka duduk bersebelahan di pertengahan kursi tamu. Om Lukman beserta istrinya pun ada menemani mereka.

"Gue masih tunggu Gadis, dia bilang mau selesain kuliah dulu." jawab Elang dengan suara sendu. Sejujurnya ia iri melihat Gifali sudah bisa menikahi Maura, tentu dirinya pun ingin segera mungkin meminang Gadis.

"Lo pepet terus aja, Bang. Nanti juga Kak Gadis mau kok di pinang.."

Elang mengangguk dengan senyuman setipis benang. Ia masih tidak yakin kalau Gadis sudah benar-benar mencintai dirinya dan melupakan Gifali secara utuh.

"Apakah sudah bisa dimulai?" tanya penghulu. Semua yang berada di meja akad pun mengangguk. Papa Bilmar menoleh ke arah Ammar dan melambaikan tangan agar menghampirinya.

"Dek, tolong panggilkan Kakakmu."

"Iya, Pah."

Ammar pun berlalu menuju paviliun Berliana yang berjarak 100 meter dari tempat akad. Dimana paviliun tersebut dikhususkan untuk menjadi tempat Maura di rias dan memakai baju pengantin. Di paviliun itu pun para wanita sedang berkumpul disana. Untuk menemani Maura yang sedang menunggu dipanggil oleh penghulu untuk mengikuti jalannya akad nikah hari ini.

"Masya Allah cantik banget sih menantu Mama.."

Mama Difa terus saja memuji Maura yang sudah selesai dirias. Ia memakai kebaya pengantin yang di design oleh Gadis. Kebaya modern bertabur svaroski membuat tubuh Maura terlihat mempesona. Begitupun dengan hijab nya.

"Tuh kan bener kamu tuh cantik banget hari ini, Kak." sahut Gadis menimpali. Ketika ia masih sibuk mengawasi tatanan hijab Maura dengan perias pengantin.

Hijab?

Ya, ada yang berbeda kali ini. Maura memutuskan menikah dengan memakai hijab. Tidak hanya saat akad nikah dan resepsi. Tapi ia sudah memutuskan memakai jilbab untuk selama-lamanya.

Ra, apa kamu keberatan kalau setelah menikah denganku, kamu memakai hijab? Aku hanya ingin menikmati aurat kamu tanpa membaginya dengan yang lain.

Suatu permintaan Gifali untuk Maura yang terlihat mudah namun sebenarnya sulit. Walau masih mencoba-coba, namun Maura langsung mengiyakan keinginan calon suaminya kala itu.

Gifali memang bukanlah anak Kiyai atau lulusan pesantren. Namun sebelum menikah ia lebih banyak memperdalam ilmu pernikahan dalam segi agama. Mempelajarinya untuk membimbing Maura menjadi istri yang baik sesuai dengan syariat Islam.

Bolehkan kalau lelaki ini berubah, untuk menjadi suami yang lebih baik?

Begitulah perubahan Gifali, walau ia masih muda dan menikah di usia dini. Sejatinya umur tidak menjadi penghalang ketika kita mau berubah untuk menjadi lebih baik dan dewasa. Mau tidak mau, Gifali harus bisa bersikap seperti ini. Karena ia akan menjadi pelindung pengganti dari Papanya Maura. Memegang beban atas apa yang akan dilakukan oleh Maura setelah menjadi istrinya.

Beberapa wejangan terus menggema dalam ingatannya agar bisa menjadi suami yang ideal untuk Maura. Tentu masalah yang pernah terjadi dalam rumah tangga orang tuanya sebagai salah satu alasan mengapa ia ingin terus memperdalam syariat Islam dalam pernikahannya.

"Makasi ya, Ma.." Maura sudah harus membiasakan dirinya untuk memanggil Mama Difa dengan sebutan Mama bukan tante lagi. Karena beberapa belas menit kemudian Maura akan sah menjadi menantunya.

"Kakak mau minum dulu, Nak?" tanya Mama Alika. Ia terus menggenggam tangan putrinya yang terasa dingin dan berkeringat.

"Atau kamu mau ke kamar mandi? Biar Tante antar, Ra." Tante Binar menawarkan.

Maura tersenyum dan menggelengkan kepala, tanda ia tidak mau apa-apa sekarang.

Berbeda hal dengan Ganaya dan Gelfani yang masih terdengar berisik karena sibuk berfoto selfie dengan kamera handphone, didalam ruangan yang sama dengan mereka.

"Apa menikah segugup ini, Mah?" tanya Maura menatap Mama Alika lalu bergantian menatal Mama Difa. Kedua mama itu pun tersenyum.

"Gugupnya pas lagi Ijab Qabul aja, Nak. Setelah itu kamu akan lega." jawab Mama Alika.

"Gifa juga selalu latihan Ijab Qabul sambil menghafal surat Ar-Rahman untuk menjadi mahar kamu, Nak. Insya Allah, dengan tekad Gifa yang besar, ia pasti dilancarkan.." sambung Mama Difa dan diakhiri kata Aamiin oleh mereka semua.

Terlihat Ammar yang ditemani Gemma masuk kedalam paviliun untuk memberi tahu kalau keberadaan Maura sudah ditunggu di meja akad. Bukan hanya Maura dan Gifa yang semakin tegang. Orang tua serta adik-adik mereka pun merasakan hal yang sama.

"Kak, kamu sudah ditunggu di meja akad. Ijab Qabul akan segera dimulai ..."

***

Bagi yang baru bergabung. Aku perkenalkan ini adalah novel ke 6 ku di mangatoon. My Sabbatical Wife adalah sequel dari Novelku yang berjudul Gifali dan Maura. Disana sudah menceritakan secara detail siapa Maura dan Gifali beserta keluarganya. Serta lika-liku hubungan mereka sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah.

Boleh pilih profilku untuk membacanya, terima kasih❤️

Persembahan Mahar untuk Maura

Suara ombak terdengar jelas menderu-deru dipertengahan air laut. Memperlihatkan berbagai kapal yang sedang membawa wisatawan menuju dermaga. Artanegara Resort, adalah tempat wisata sekaligus penginapan yang selalu dikunjungi oleh orang-orang berkelas baik dari dalam maupun luar negeri.

Menurut pembagian harta waris keluarga Artanegara. Maura adalah adalah pemegang hak waris utuh atas Artanegara Resort. Tentu bisa dibayangkan berapakah uang yang akan masuk ke dalam rekening pribadinya setiap bulan.

Beruntungnya Gifali bisa mendapatkan wanita itu untuk menjadi istrinya. Wanita yang pernah ia duakan, ia tinggali dan ia jauhkan. Namun wanita itu tetap saja meregangkan kedua tangannya untuk selalu mendekap Gifali agar mau kembali.

Beberapa hari sebelum pernikahan mereka di gelar. Gifali memberikan beberapa syarat kepada Maura. Pernikahan akan berlanjut jika Maura mau menerima syarat yang sudah ia ajukan.

"Aku ingin kita tidak membawa harta kekayaan orang tua setelah kita menikah. Aku ingin membuat diriku pantas untuk bisa menghidupimu sendiri dengan hasil jerih payahku. Memulai hidup berdua di London tanpa campur tangan kedua orang tua kita, apa kamu bersedia?"

Tanpa hening panjang yang menjuntai, Maura dengan satu anggukan kepala, langsung menyetujui syarat tersebut.

"Aku akan melepas semua kekayaan ini, jika kamu tidak meridhoi nya, Gifa. Aku hanya ingin menikah dan menjadi istri yang berbakti untukmu ..."

Keputusan yang begitu berat harus diambil oleh Maura. Melepas segala harta dan tahta yang selama ini menemani kehidupannya. Namun demi lelaki itu, demi rasa cinta dan kasihnya. Maura mengikhlaskan semuanya, walau awalnya semua syarat itu ditentang oleh kedua orang tua Maura.

"Maura yang menjalani pernikahan, Pah, Mah. Gifali tidak akan mungkin menterlantarkan Kakak. Aku akan berjuang untuk terus berada di sisinya demi kehidupan kami disana."

Berbagai keyakinan yang diberikan oleh Maura kepada kedua orang tuanya. Agar mereka mau melepas Maura secara utuh. Tidak lagi memberikan bantuan untuk biaya hidup dan biaya perkuliahan mereka selama di London.

Gifa sudah menjual harta kekayaan dari ibu kandungnya untuk biaya pernikahan dan sisanya untuk biaya hidup dan biaya kuliah mereka beberapa semester kedepan. Di London Gifa akan mencoba mencari pekerjaan tambahan untuk menambah pundi-pundi uang mereka.

Dengan berat hati hanya karena ingin melihat sang anak bahagia bisa bersatu dengan lelaki yang ia cintai. Papa Bilmar dan Mama Alika akhirnya merestui syarat tersebut. Tapi mereka tetap akan memantau buah hatinya dari kejauhan.

Setelah syarat sudah diterima, dua keluarga saling menyetujui. Maka proses pernikahan pun berlanjut dan disini lah, saat ini mereka berada.

Ada keheningan sebentar sebelum Maura meraih mikrofon untuk mengucapkan beberapa kalimat permohonan izin kepada Mama dan Papanya. Menata ritme nafasnya yang mulai berat karena menahan sesak.

Setetes air mata pelan tidak bisa terbendung, begitu saja jatuh membasahi permukaan pipinya yang sudah berlapiskan kosmetik mahal.

"Papa ... Mama."

Baru saja mengucapkan nama orang tua mereka membuat Maura kembali menunduk menatap meja. Ada suara isak namun tertahan membelenggu lidahnya.

Namun perlahan ia kembali memberanikan diri mendongakkan wajahnya untuk menatap Papa nya yang tepat berada dihadapannya disamping penghulu lalu beralih menatap Mama Alika yang sejak tadi sudah menangis.

Bulir-bulir air mata pun menetes di wajah Papa Bilmar. Lelaki paru bayah itu berulang kali menghela nafas panjang untuk menahan agar tidak menangis.

Mikrofon kembali Maura arahkan ke bibirnya, dengan suara bergetar ia pun kembali melanjutkan permohonan izin nya.

"Papa, Mama. Terimakasih karena selama ini sudah mau bersusah payah untuk membesarkan Kakak. Mau menerima sikap dan sifat Kakak dengan kelapangan dada kalia. Maafkan Kakak belum bisa berbakti menjadi anak yang membanggakan. Namun Kakak akan selalu berusaha untuk mengharumkan selalu nama kalian ..."

Isakkan tangis antara Maura, Mama Alika dan Mama Difa begitu membuat keheningan dan kesyahduan amat dalam. Mengajak semua yang hadir ikut menangis dan terjebak dalam situasi yang menyedihkan seperti saat ini.

"Hari ini, Kakak meminta izin kepada Mama dan Papa untuk menikah dengan lelaki pilihan Kakak. Sekiranya Mama dan Papa berkenan untuk memberikan ridho kepada pernikahan kami berdua dihari ini. Semoga lelaki yang Kakak pilih menjadi suami, akan selalu menjaga Ijab nya untuk Kakak."

Air mata turun semakin deras. Banyak dari mereka yang mengepal tissu karena berhasil membuat tatanan eyeliner dan maskara mereka menjadi tidak beraturan.

Kedua mata Papa Bilmar memerah diiringi dengan air mata yang juga menetes namun pelan. Begitu pun Papa Galih dan Om Malik kedua mata mereka sudah berkaca-kaca.

Papa Bilmar menoleh untuk menatap wajah Kakek Bayu, seolah meminta kekuatan ketika tubuhnya seperti ingin terkoyak.

"Apa ini yang dirasakan Papaku ketika melepas ku untuk menikahi Alika? Sesedih itu kah hatinya? Tentu hatiku pilu saat ini, sesedih ini kah? Ketika akan melepas putriku menjadi milik orang lain?"

Papa Bilmar terus menatap Kakek Bayu yang akhirnya menganggukan kepala. Seraya mengetahui dan membenarkan apa yang sedang dirasakan oleh dirinya.

"Bil ..." Om Rendi mengelus bahu Kakak iparnya. Papa Bilmar pun terenyak sadar dari dalam lamunannya.

Papa Bilmar pun membawa arah matanya untuk kembali memandang kedepan. Menatap kepada dua insan yang sebentar lagi akan resmi menjadi suami istri.

"Papa dan Mama mengizinkan, Nak ..." jawab Papa Bilmar dan mewakili nama istrinya yang masih menangis tersedu-sedu.

Maura dan Gifali kembali memperlihatkan rasa sedikit kelegaan, karena acara intinya belum dimulai.

Penghulu pun mempersilahkan Papa Bilmar dan Gifali saling berjabat tangan. Kedua mata mereka pun saling menatap. Dua lelaki yang mempunyai hak utuh untuk Maura. Namun Papa Bilmar harus bisa merelakan bahwa lelaki yang sedang berjabat tangan dengannya akan lebih unggul mendapatkan cinta dari putrinya.

"Sudah siap, Nak Gifa?" tanya bapak penghulu lalu bergantian bertanya kepada Papa Bilmar. Mereka pun akhirnya mengangguk bersamaan.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya, Maura Zivannya Artanegara binti Bilmar Artanegara dengan perhiasan emas sebesar 100 gram, seperangkat alat shalat dan hafalan surah Ar-Rahman, dibayar tunai ...." suara bariton Papa Bilmar menggema, melingkup masuk kedalam semua telinga para hadirin yang sedang mendengarkan dan mengawasi prosesi Ijab Qabul.

Tangan mereka masih berjabat satu sama lain. Terasa dingin membasahi telapak tangan mereka yang kini menjadi satu

Tanpa celah dan tanpa jeda. Dengan satu tarikan nafas Gifali begitu lancar untuk mengucap Ijab Qabul dengan satu tarikan nafas tanpa salah dan tanpa pengulangan. Sontak membuat para hadirin berteriak dalam kegembiraan.

"SAH!!"

"Alhamdulillah..." ucapan syukur saling beriringan keluar dari mempelai pengantin, keluarga dan para hadirin yang masih menatap mereka. Suasana semakin mengharu biru ketika Gifali dipersilahkan untuk menunaikan maharnya kepada Maura.

Gifali membacakan surah Ar-Rahman dengan hafalan mata telanjang. Walau suaranya tidak merdu seperti para Hafidz Al-Quran. Tetapi suaranya begitu lembut dan enak didengar. Ayat yang dibacakan pun fasih dan terdengar jelas.

Orang tua mana yang tidak akan bangga melihat anaknya seperti ini. Belajar mengaji memang sejak dini di terapkan oleh Mama Difa kepada semua anak-anaknya. Maka saat ini wanita itu bangga kepada Gifali karena berhasil membuat dirinya bangga.

Maura melongo tidak mengedip sama sekali. Air mata yang sejak tadi berseliweran di wajahnya kini sudah pupus tergantikan dengan desahan kagum dan takjub.

Ia terus menatap Gifali yang masih berjuang untuk membacakan 78 ayat Surah Ar-Rahman dengan hafalan yang sudah berminggu-minggu ia lakukan. Ini semua hanya untuk Maura, wanita yang akan menjadi teman hidup sampai ia tidak bisa lagi melihat dunia.

"Ini kah suamiku? Lelaki yang baru saja melakukan Ijab Qabul untukku?" desah haru menyeruak di dalam relung hati Maura. Begitu bahagia jiwanya ketika melihat pengorbanan Gifali untuk dirinya. Inilah persembahan mahar dari Gifali untuk istrinya.

"Sungguh, aku mencintaimu suamiku .... Tuntun lah aku, untuk selalu menyayangimu karena Allah semata."

****

Persiapan Malam Yang Indah

Acara akad nikah sudah selesai, prosesi sungkem pun sudah terlewati dengan khidmat dan cucuran air mata. Maura dan Gifa sudah resmi menjadi pasangan suami istri termuda.

Sedikit dari para hadirin dan kolega mencemooh karena pasangan itu masih terlalu muda untuk menikah. Namun Mama Alika berpendapat, lebih baik menikah muda dibanding harus berbuat dosa.

Karena sejatinya pergaulan anak jaman sekarang sangat susah untuk diatur. Ia tahu Maura dan Gifa saling menyayangi, walau hubungan mereka sempat diterpa badai dan topan namun saat ini mereka kembali bersatu. Bukankah semua ini bisa disebut dengan kata jodoh?

"Lang, udah ya ..." Gadis melepas persatuan bibir mereka. Elang tidak sengaja mencium Gadis ketika ia mengantar kekasihnya untuk kembali ke paviliun.

"Kenapa, Dis? Kok tumben?" tanya Elang, sambil terus menatap wajah Gadis.

"Lang ...udah. Nanti lagi ya, jangan sekarang!" ucap Gadis ketika ia berhasil mendorong tubuh Elang untuk menjauh darinya.

"Kamu kenapa sayang? Sakit?" Elang menyentuh bibir Gadis. Gadis hanya diam dan menggelengkan kepala. Ia memalingkan tatapan matanya dengan menunduk kebawah.

"Kamu sedih melihat Gifali sudah menikah dengan Maura?"

Pertanyaan itu berhasil membuat Gadis mendongakkan wajahnya untuk menatap manik mata Elang dalam-dalam.

"Enggak sayang, aku malah bahagia melihat mereka sudah menikah." Gadis mengusap lembut pipi Elang. Ia berusaha mengubur perasaannya rapat-rapat. Sejujurnya masih ada perasaan sedikit sedih karena melepas Gifali dengan Kakaknya.

Namun Gadis faham bahwa rasa cintanya tidak akan terbalas. Cinta Gifali hanya untuk Maura dan ia pun saat ini sudah mempunyai Elang. Lelaki yang selalu mencinta dan menerima diri Gadis apa adanya. Ia masih terus berusaha memupuk cinta untuk Elang.

Dengan pernikahannya bersama Kakak dan kepergian mereka ke London setelah ini, itu pasti cara yang ampuh untuk melupakan Gifali seutuhnya dari hatiku. Aku yakin seluruh hatiku hanya bisa dimiliki oleh Elang.

"Kamu masih sayang sama Gifali?" Elang kembali bertanya.

Gadis tersenyum dan mencium pipi Elang. "Itu kan dulu. Sekarang aku hanya sayang sama kamu, Lang."

"Terus kenapa kamu masih menolak ketika aku ingin menikahi kamu, Dis?"

Gadis terdiam sejujurnya pada saat itu ia menolak, karena hatinya belum tegap. Ia juga masih ingin meneruskan kuliah dan masa depannya. Namun Elang tetap memaksa ingin menikahinya. Lelaki itu takut jika Gadis didekati pria lain di tempat pendidikan baru nya. Gadis adalah wanita yang selalu membuat fikirannya terbang melayang-layang.

"Itu juga kan kemarin, maaf aku sempat menolak. Sekarang aku siap, Lang."

"Beneran, Dis?" tanya Elang dengan mata penuh cahaya.

Senyum manis mengembang dari wajahnya. Ia tidak akan menyangka, bahwa kebahagiaan Gifali dan Maura hari ini akan menular kepadanya.

"Iya sayang ..." Gadis tersenyum.

"Kita menikah ya? Kita tetap bisa kuliah kayak Gifa dan Maura. Aku hanya nggak ingin kelepasan lebih jauh ke kamu, Dis!" Elang menatap wajah Gadis dengan syahdu.

"Iya Lang, aku ngerti. Aku mau kok, tinggal kamu yang atur sama Mama dan Papa kamu ya mau kapan lamar aku.."

Mendengar ucapan wanitanya. Membuat Elang terharu dan menitikkan air mata.

"Aku nggak nyangka, aku bisa dapetin hati kamu dengan utuh, Dis. Aku janji pasti akan bahagian kamu. Aku nggak akan kalah sama Gifa!"

"Udah jangan banding-bandingin diri kamu terus sama Gifa. Dia itu sekarang udah jadi suaminya Kakakku. Kamu juga harus menghormati itu, Lang."

Elang mengangguk dengan senyum yang masih belum surut.

"Aku sayang kamu, Dis.."

"...Aku juga, Elang."

"Wah.."

"Duh.."

Suara beriringan mencuat dari mulut Fadil dan Gelfa. Mereka berdua kaget dengan pandangan yang saat ini mereka lihat. Sontak suara dan kedatangan para adik mereka, membuat, Gadis dan Elang kelabakan.

"Ngapain sih lo?" tanya Elang kepada Fadil.

"Yang harusnya nanya tuh gue, Bang!"

"Udah yuk, Dis. Kita pergi dari sini----" Elang langsung menggandeng tangan Gadis yang masih malu karena ketahuan. Mereka pun berlalu meninggalkan Gelfa dan Fadhil.

"Kayaknya Kak Gadis udah cinta sama Abang kamu, Dil." ucap Gelfa.

"Semoga aja Kak Gadis emang beneran sayang sama Abang aku, Gel. Kasian dia bertahun-tahun hanya memendam rasa."

"Aamiin, semoga aja. Kenapa kamu nggak suruh Bang Elang untuk melamar Kak Gadis, Dil?"

"Katanya udah, tapi Kak Gadis masih nolak. Tapi nanti aku akan nasihatin lagi, Bang Elang. Siapa tau dia mau ngeyakinin Kak Gadis lagi."

"Semoga aja ya, Dil. Aku hanya nggak mau, Kak Gadis----"

"...Mengacaukan pernikahan Kakak kamu?" selak Fadhil.

Gelfa mengangguk.

"Ya enggak lah. Kak Gadis kan juga udah tau kalau sekarang Kak Gifa itu udah sah jadi suaminya Kak Maura. Lagian dia juga udah pacaran sama Abang aku, dan tadi kan kamu liat sendiri mereka lagi ngapain?"

"Iya, sih. Heheheh." jawab Gelfa.

"Atau kamu juga mau, Gel---" Fadil mengusap lembut bahu Gelfani.

Gelfa mendelik tajam dan bersiap mengeluarkan jurus taekwondo nya. "Kita emang pacaran, Dil. Tapi jangan harap kamu bisa cium aku sembarangan!"

Fadil memutar bola matanya jenga. "Bercanda kali, Gel. Ya udah sana pipis, aku tunggu disini!"

Gelfa mengangguk dan melangkah masuk kedalam toilet.

****

Terdengar kucuran air shower dari dalam kamar mandi. Ada wanita cantik yang beberapa jam lalu sudah sah untuk menyandang status sebagai seorang istri. Hari ini adalah hari bahagianya, bisa menikah dengan lelaki yang amat ia cintai. Lelaki yang menjadi teman kecilnya dan berpisah selama 12 tahun.

Banyak cobaan silih berganti menerjang kisah mereka. Namun semua bisa terlewati walau dengan jalan yang amat berat. Maura pernah mengalami shock dan kejang, ketika Gifali memutuskan untuk meninggalkannya karena ia merasa tidak pantas untuk bersanding dengan Maura yang merupakan keluarga priyayi. Namun itu lah jodoh, kemana pun kita berlari. Jodoh pasti akan mengikuti.

"Na..na..na.." Senandung bait lagu terus mencuat dari bibir cantiknya ketika ia sedang sibuk berendam di bath up. Menenggelamkan tubuhnya dengan cairan susu. Ia ingin memberikan kehormatannya malam ini kepada sang suami.

Maura sangat senang, ia begitu bahagia.

"Ra...?" Suara suaminya terdengar dan memanggil.

"Kamu masih lama?" Tanya Gifa sambil sedikit menggedor pintu kamar mandi.

"Bentar lagi ya sayang.."

"Jangan lama-lama, nanti kamu masuk angin, Ra!"

Gifali kembali meregangkan kedua tangannya. Ia baru saja selesai **** up dan push up. Ingin menjaga staminanya agar terus bugar. Sang Mama menyuruh ia menenggak ayam telur kampung sebagai persiapan untuk membobol keperawanan istrinya.

Apakah berhasil? Kita tunggu saja huru-hara malam pengantin mereka

✌️🤭

****

Bagi yang baru bergabung. Aku perkenalkan My Sabbatical Wife adalah sequel dari Novelku yang berjudul Gifali dan Maura. Disana sudah menceritakan secara detail siapa Maura dan Gifali beserta keluarganya. Serta lika-liku hubungan mereka sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah.

Boleh pilih profilku untuk membacanya, terima kasih❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!