"Kenapa, Pah?" tanya Tamara ketika melihat suaminya yang baru pulang begitu saja terduduk lemas di sofa. Lelaki itu masih terdiam dan sedikit melamun dengan kejadian barusan. Mengapa kenangan masa lalu yang sudah ia tutup rapat harus kembali muncul dan terngiang-ngiang dibenaknya.
"Siapa anak muda itu, mengapa melihatnya saya jadi teringat dengan Gita?" desah Pramudya.
"Pah?" Tamara kembali mengguncang bahu suaminya, melonggarkan dasi yang masih setia melilit kerah leher kemeja lelaki itu.
Pramudya menoleh dan mengelus lembut pipi istrinya. "Enggak apa-apa sayang. Aku hanya sedikit lelah..."
"Papa, mau makan sekarang?"
Lelaki paru baya yang masih saja terlihat tampan itu hanya menggelengkan kepala dan memejam kedua matanya, ia menyandarkan kepalanya di bahu sofa.
"Jangan terlalu letih, Pah. Lagian kan kampus sudah banyak yang mengurus."
"Sebagai Dekan, Papa harus tetap mengawasinya, Mah." Pramudya membuka matanya dan menoleh menatap wajah istrinya kembali, dan wanita itu hanya memberikan senyuman tipis tanda menerima dengan pasrah. Ia tidak bisa melarang sifat keras kepala suaminya jika sudah berkaitan dengan dunia kampus yang saat ini sedang ia emban.
"Oh iya, apakah Adrian dan Agnes sudah pulang? Selama di kampus, Papa juga tidak melihat Adrian."
"Adrian tadi sudah pulang, tapi pergi lagi, katanya ingin kumpul dengan para anggota senat untuk membicarakan jalannya ospek mahasiswa baru. Begitupun dengan Agnes, dia masih dikampus nya Pah, sama halnya seperti Adrian, masih kumpul dengan temannya untuk membicarakan jalannya ospek mahasiswa baru." jawab Tamara sedikit berdalih.
"Bukannya sudah dua hari Agnes tidak pulang kerumah?"
Netra gelap Tamara membulat dan melebar sempurna, ia tersentak, begitu kaget dirinya ketika Pramudya mengetahui hal itu.
"Mau sampai kapan, anak kamu itu bisa bersahabat dengan hatinya dan mau menerima saya sebagai orang tuanya?"
Tamara hanya diam dan menatap lekat wajah suaminya.
"Maafkan, Agnes, Pah. Dia masih belum bisa menerima semua ini."
"Sudah delapan belas tahun saya mencoba untuk melunakkan hatinya. Tetap saja Agnes memandang saya dengan tatapan benci." desah frustasi mencuat dari bibir Pramudya.
Tamara hanya bisa mengusap pundak suaminya dengan umpatan yang mulai muncul untuk memaki Agnes dalam hatinya. Tamara begitu kasihan melihat Pramudya, begitu besar kasih sayang suaminya kepada kedua anaknya, Agnes dan Adrian.
"Jika saja Gita tidak bodoh untuk mengaborsi kan bayi itu, dia pasti sudah tumbuh dewasa sekarang!" lirihan batin Pramudya.
Penyesalan kembali membelenggu dada Pramudya. Lelaki paru baya yang baru menginjak usia 45 tahun itu terus saja menatap sudut rumahnya dengan tatapan getir penuh nestapa.
"Ya Allah, saya sudah letih menjalani hidup seperti ini...." lirihnya lagi.
"Sabar ya, Pah. Suatu saat nanti Agnes pasti akan seperti Adrian. Papa jangan benci Agnes ya..." pinta Tamara dengan tatapan sedih memohon.
Pramudya tersenyum dan mencium pipi istrinya. "Iya sayang, demi kamu."
****
"Sabar sayang, mungkin sudah jalannya seperti ini."
Maura mengusap lembut punggung suaminya. Gifali masih terdiam dan kecewa setelah tes mahasiswa baru itu berlangsung satu jam yang lalu. Ia menyesal, karena tidak berhasil untuk memenangkan beasiswa itu, nilainya berada di urutan ketiga. Ia hanya bisa masuk menjadi mahasiswa baru biasa.
"Aku hanya ingin membuat kamu bangga, Ra!"
"Walau tidak mendapatkan beasiswa, tapi kamu tetap bisa bersekolah di sini. Aku tetap bangga sayang..."
"Cari kampus lain aja ya, Ra. Di sini biayanya juga mahal, uangku tidak akan cukup."
Maura menatap sedih wajah suaminya.
"Ini semua pasti gara-gara uang kampusku ya, Gifa?" Gifali dengan cepat menggelengkan kepalanya.
"Aku minta maaf ya, sayang." Maura kembali bersuara dan menundukkan kepalanya.
"Bukan salah kamu, Ra. Aku memang ingin kamu di sana..." Gifa membetulkan kerudung Maura yang sedikit bergerak karena sapuan angin kencang ditaman.
"Dan aku juga ingin kamu bersekolah dikampus ini, aku yakin kita bisa. Aku akan membantu kamu mencari pekerjaan, toh sisa uang kan masih cukup untuk membayarkan dua semester kuliah kamu, Gifa, sisanya kita akan cari."
"Tapi peraturan di sini juga sama, Ra. Aku tidak boleh menikah."
Maura kembali teringat dengan perasaan kecewanya yang masih belum sempurna terobati.
"Demi kamu aku rela. Walau ini berat, kita harus bisa mengubah status kita didepan semua orang." ucap Maura dengan keputusannya. Mau bagaimana lagi, dirinya dan Gifa harus bisa ikhlas menerima semua cobaan di awal rumah tangga yang mereka rasakan sekarang.
Gifali tersenyum dan menggenggam tangan Maura. "Makasih sayang, sudah mau bersabar untuk menemani aku."
"Kita berjuang sama-sama ya." Maura mencium punggung tangan suaminya.
"Ya udah ayo kita selesaikan administrasinya. Biar lusa kamu bisa langsung ospek."
Gifali dan Maura pun berlalu dari taman kampus untuk kembali masuk ke ruang administrasi. Menyelesaikan segala sesuatunya agar Gifali tetap menjadi mahasiswa baru di kampus yang terfavorit di negara ini.
****
Hari sudah semakin sore. Maura dan Gifa belum beristirahat dari pagi. Seharian mereka disibukkan untuk mendatangi kampus masing-masing. Pucat karena letih tercetak jelas diwajah Maura, beberapa kali telapak tangan Gifali menepis air keringat yang menetes di wajah sang istri.
Mereka sudah beberapa kali memasuki berbagai bentuk kosan yang ingin mereka tempati, namun lagi-lagi karena biaya yang menjadi sandungannya. Harga kosan perbulan cukup tinggi walau hanya dengan luas 3X4 meter saja. Sudah dibayangkan bagaimana sempitnya kamar mereka, jika dibandingkan dengan kamar Gifa dan Maura dirumah tentu sangat jauh berkali-kali lipat.
"Ayo minum dulu sayang." Gifali menyodorkan botol minum kepada istrinya setelah lebih dulu ia tenggak.
"Permisi." suara lelaki yang tidak mereka kenal begitu saja hadir diantara kelelahan mereka.
"Iya, Pak?" tanya Gifa menoleh dan memandang lelaki yang tidak sama sekali ia kenal.
"Saya lihat Mas dan Mba sedang mencari tempat tinggal?" tanya lelaki itu dengan senyuman khas pencuri.
Maura yang merasa tidak enak hati, kemudian mendekat untuk sedikit bersembunyi dibalik lengan suaminya.
"Jangan takut, saya bukan orang jahat. Saya ingin menawarkan kalau beberapa meter dari sini, ada sebuah rumah susun milik ibu saya, jika berminat bisa sewa kamar di sana, perbulannya juga tidak terlalu mahal."
"Berapa perbulannya?" tanya Gifali dengan tatapan mata semangat.
"Tiga ratus ribu."
Sepasang mata Maura dan Gifali membola sempurna.
"Benarkah?" bisik Maura. "Kok aku jadi curiga ya? Mengapa juga dia bisa tau kalau kita sedang mencari tempat tinggal? Jangan percaya sayang, aku takut dia ingin berbuat jahat!"
Gifa menoleh sedikit untuk menatap kedua mata istrinya.
"Tenang dulu, Ra. Jangan gampang menilai orang dari tampilannya."
Betul memang, melihat lelaki yang tidak dikenal dengan tampilan sedikit berandal, membuat Maura langsung berfikir macam-macam. Dirinya takut, lelaki itu akan membohonginya dan Gifali.
"Hem..." lelaki itu kembali berdehem. "Bagaimana? Saya hanya ingin membantu kalian, tidak ada niat aneh-aneh." ucapnya terus meyakinkan Gifali dan Maura.
"Boleh antar kami untuk melihat kamar sewanya?" jawab Gifali.
"Baik, mari ikut saya." jawab lelaki itu lalu melangkah lebih dulu dibanding mereka.
"Gifa, jangan!" Maura menarik-narik lengan baju suaminya.
"Tenang sayang, kita lihat dulu aja kamarnya. Kalau tidak memungkinkan, ya tidak jadi, bagaimana?"
Akhirnya Maura menurut dengan perkataan suaminya. Ia pun mengangguk setuju walau hatinya diliputi dengan rasa cemas dan was-was akan penawaran dari lelaki yang menurutnya seperti orang tidak baik.
Semoga saja lelaki itu memang mempunyai niat yang baik untuk menolong mereka.
****
Like dan Komennya untuk Gifali dan Maura ya❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Riska Wulandari
peraturan kampus internasional malah aneh ya...🤭🤭🤭 pasti bikin banyak kesalahpahaman ini nanti..
2021-12-17
0
Laras Kasih
Apa gak sebaiknya jangan diambil gifa, negara orang dg sejuta sifat manusia. Apalagi kalian belum berpengalaman, jgn langsung percaya. Takutnya malah menjerumuskan kalian 😔😔
2021-02-10
2
Nabila Hanum
Semoga..
Amiin
2021-01-13
0