"Mau kemana, Pah---?"
"...Papa, mau kemana? Malam-malam begini?"
Pertanyaan yang keluar dari bibir Mama Alika dan Mama Difa kepada para suaminya ketika mereka sudah berada di paviliun masing-masing.
Para suami terlihat sedang memperhatikan paviliun Gifa dan Maura yang sudah mulai gelap.
"Bentar ya, Mah. Papa mau cari angin..." Papa Galih membuat alasan kepada istrinya. Tanpa mau ambil pusing, Mama Difa hanya mengiyakan saja. Karena memang tubuhnya hari ini terasa sangat letih sekali, pasca acara pernikahan putranya.
Begitupun dengan Papa Bilmar.
"Bentar ya sayang, aku mau ke toilet." Papa Bilmar pun beralasan dan Mama Alika hanya mengangguk dan bersiap untuk tidur. Ia menarik selimut untuk menutup tubuhnya. "Ya udah sana, jangan lama-lama, Pah!"
Sejujurnya dua lelaki paru bayah itu sedang penasaran, Papa Galih terus berharap agar Gifali bisa melaksanakan misinya dengan baik, lelaki itu ingin segera memiliki cucu. Beda hal dengan Papa Bilmar, ia merasa tak tega jika anaknya mengalami sakit dan perih. Sejujurnya lelaki itu masih tak rela jika ditinggal sang anak untuk menikah cepat seperti ini, hanya saja karena kebahagiaan sang anak, mau tidak mau ia harus mengalah.
Maura sudah duduk ditepian ranjang. Menunduk malu menatap lantai lalu memejam kedua matanya, ketika Gifali masih terus menciumi pipi mulusnya.
Tangan mereka saling menggenggam. Kadang pergerakan Gifali membuat Maura sedikit membidikkan bahunya karena merasa geli. Gifa terus mengikuti suasana hasratnya. Hanya insting yang ia pergunakan. Tidak ada persiapan atau ilmu apapun yang ia bawa.
"Buka mata kamu, Ra.." bisik Gifali tepat di daun telinga istrinya.
Membuat Maura membuka matanya cepat dan menoleh. Ia sedikit memiringkan wajahnya dan bibir mereka pun bertemu. Gifa memberikan gigitan-gigitan kecil disana, membuat Maura terpaksa membuka katupan bibirnya. Gifa pun melahap masuk untuk terus menginvasi rongga mulut sang istri.
Mereka berdua terlihat seperti pasangan yang sedang haus. Mereka merindu, karena selama dua minggu tidak bertemu karena menurut apa kata orang tua mereka dalam istilah pingit. Di tambah lagi Gifa tidak mencium Maura seperti ini sejak beberapa bulan yang lalu. Tentu lelaki itu menagih untuk mengulanginya lebih dalam.
"Gifa ..." suara Maura begitu saja merintih ketika Gifali melepas perpagutan bibir mereka.
Gifali memberi celah untuk mereka agar leluasa menghirup oksigen. Wajah Gifali penuh damba, begitu pun Maura yang sudah terpancing akan awal permainan suaminya.
"Kamu siap, Ra? Memberikan yang paling berharga didiri kamu, buat aku?" tanya Gifali.
Maura tersenyum dan mengangguk. "Aku siap sayang.." Maura mengelus pipi suaminya. "Tapi aku nggak tau gimana memulainya--" sambung Maura.
Gifali tertawa. "Aku juga nggak tau gimana memulainya, tapi pakai insting aja ya?"
Maura mengangguk setuju. "Kalau ada yang nggak nyaman atau sakit, kamu bilang ya, Ra.." ucap suaminya kembali.
"Iya sayang, pasti." jawaban Maura membuat hati Gifali tenang. Ia bahagia karena Maura sudah rela dan ikhlas melepas kehormatannya.
Pelan-pelan tubuh sang istri ia rebahkan diatas kasur. Ucapan kata Basmallah pun sudah mencuat dari bibir mereka sedari tadi. Gifali mulai bergerak untuk kembali menghujam wajah istrinya dengan kecupan. Ia hanya mengikuti ritme hasratnya. Mengikuti arah jari-jemarinya yang refleks membelai-belai kemana pun bagian yang ingin ia sentuh.
Satu kancing piyama Maura pun terlepas lama-kelamaan merembet sampai ke kancing terakhir. Wajah tegang mulai tampak di keduanya. Decitan saliva terdengar bercampur menjadi satu. Tidak ada lagi Gifali yang lembut, kini ia berubah menjadi lelaki garang yang penuh nafsu.
"Eum ..." Maura melenguh. Ketika bibir suaminya berhasil menyesap tulang selangka dadanya. Sapuan nafas Gifali terdengar bergelora hebat.
Jari-jemari Gifa terus saja bekerja ke lekukan mana yang ia sukai. Sampai akhirnya ia berhasil melucuti helaian kain-kain yang sedari tadi masih menutupi keindahan tubuh istrinya.
Membuat Maura memalingkan wajahnya, karena merasa malu. Tanpa menunggu, Gifa pun melakukan hal yang sama, ia membuka seluruh helaian kain ditubuhnya. Maura kembali berjerengit ketika Gifali berhasil mengusap, memilin dan menyentuh dua buah pucuk sintal miliknya. Bagian lunak yang tidak terlalu besar namun proporsional, sangat pas dalam genggaman tangan Gifali.
Maura sedikit bergelinjang. Tentu ia baru tahu, bagaimana nikmat dari rasanya. Tanpa bisa menunggu lama, akhirnya Gifa memberi kode kepada Maura, untuk memulai masuk kedalam inti permainan.
Maura mengangguk pasrah dengan keringat yang mulai mengucur. Ia sudah mengikhlaskan sepenuh jiwa untuk suaminya. Apapun yang membuat Gifali bahagia, akan Maura lakukan.
"Kalau sakit bilang ya? Aku akan berhenti, Ra!"
"Iya sa--yang ..." jawab Maura dengan nafas yang tersengal-sengal.
"Aku masuk, Ra ..."
Maura mengangguk sambil memejamkan kedua matanya.
Terlihat tapak tangan Maura ketika meremas seprai. Ia menggigit bibir bawahnya ketika rasa perih itu muncul dan menyakitkan.
"Sakit, Gifa!" Maura mulai menjerit.
Gifali pun dengan cepat menghentikan pergerakannya yang baru saja, masuk menembus selaput inti.
"Sakit, ya? Ya udah tunda dulu aja ya, Ra. Aku kasian lihat kamu---"
"Enggak, sayang. Ayo terusin aja, aku bisa tahan." Maura tetap berusaha meyakinkan suaminya.
"Beneran nggak apa-apa?"
Maura mengangguk dan mulai mengubah ritme nafasnya menjadi tenang.
"Kamu mau minum, sayang?" tanya suaminya.
"Enggak sayang!" dengan langkah cepat Maura memajukan wajahnya untuk mencium bibir sang suami.
Ia ingin Gifali memulai kembali pergerakannya. Wanita ini tidak ingin gagal, ia hanya ingin memberikan kesan malam pengantin yang membahagiakan untuk suaminya.
Melihat Maura seperti ini, tentu membuat hasrat Gifa kembali muncul. Malah semakin panas. Libido nya naik secara maksimal, sudah dipastikan ia tidak akan meloloskan Maura malam ini.
"Aku masuk ya, Ra..."
"Eum..iya sayang."
Gifa pun mengulang kembali, ia memasukan paksa miliknya kedalam pusat tubuh Maura. Membuat wanita itu kembali merintih sakit dan menjerit.
Gifa sudah kepalang tanggung, ia merasa ada kehangatan. Ada denyutan yang melahap intinya dari dalam.
"Ah, Gifa sakit!"
"Sakit, Gifa! Perih!"
Maura terus merancau. Namun Gifa tetap saja fokus dengan apa yang sedang ia tuju. Ia sudah tidak sadar dengan rancauan Maura.
"Maaf sayang, aku udah nggak bisa berhenti, Ra." rintih Gifali sambil menginvasi rongga mulut istrinya kembali. Membuat Maura berteriak dalam rongga mulut suaminya.
Gifa tetap melancarkan aksinya sampai ke tujuan yang ia mau. Dimana titik pangkal kenikmatan itu berada. Maura hanya bisa pasrah dan tetap menjerit karena sakit.
Jika dikamar ini terasa hangat dan bergelora. Beda hal dengan keadaan diluar paviliun mereka, tepatnya didekat jendela kamar. Ada dua lelaki paru baya yang sedang ribut karena merasa ketahuan satu sama lain.
"Ngapain kamu, Mas?" tanya Papa Galih kepada Papa Bilmar yang tidak sengaja saling menubruk punggung ketika jalan mengendap-endap persis didekat jendela kamar anak mereka.
"Kamu yang ngapain?" Papa Bilmar tidak mau kalah.
"Saya cari angin, Mas." jawab Papa Galih santai.
"Cari angin? Ke bibir pantai aja sana, anginnya bagus tuh. Biar masuk angin sekalian..." decak Papa Bilmar.
Papa Galih tertawa. "Kamu sendiri ngapain, Mas? Cari angin juga? Apalagi cari tahu tentang anak-anak kita?"
Papa Bilmar menukik kan kedua alisnya. "Ya nggak lah, gila kamu! Saya disini hanya ingin memantau apakah paviliun yang mereka tempati itu aman."
"Hahahahaha, nggak banget alasannya!"
"Jangan berisik! Nanti mereka dengar, udah sana kamu pulang. Nggak belah duren lagi kamu sama Mba Difa?"
"Masih ingat aja, Mas. Masalah kita 12 tahun yang lalu?"
"Iyalah, nggak mungkin saya lupa. Kan kamu pernah jadi teman senasib saya." jawab Papa Bilmar.
Lalu
Tak lama kemudian
Gelak tawa mereka kembali menggema dan mencuat. Mentertawakan kejadian masa lampau, saling bekerja sama untuk membobol pertahanan para istri.
"Sst! Jangan berisik, nanti mereka tahu kita ada disini!" Papa Bilmar lebih dulu tersadar.
Papa Galih pun mengangguk dan menghentikan gelak tawanya.
Lalu
"Eugh, Gifa!" ada suara nyaring Maura yang mengalir begitu saja menembus jaring-jaring ventilasi jendela kamar mereka.
"Wah, GOAL!!!!" seru Papa Galih dengan rasa bangga. "Gifali betul-betul menurun dari saya! Dia adalah lelaki perkasa!" Papa Galih tersenyum bangga sambil melipat dada.
Beda hal dengan Papa Bilmar, ia terlihat meringis.
"Duh, kasian anak saya. Menjerit kesakitan." Papa Bilmar cemas sambil terus menggaruk-garuk kepalanya.
"Harus dihentikan nih, kasian Maura, anak saya belum siap. Anak kamu nggak sabaran banget sih!" Papa Bilmar berjalan untuk memutar langkahnya menuju pintu utama, ia ingin menggedor pintu paviliun Maura dan Gifali.
"Et, et! Mau ngapain kamu, Mas?" Papa Galih dengan cepat menyekal lengan besan nya.
"Suruh mereka berhenti, kasian tuh anak saya. Kesakitan!" Papa Bilmar melepas cekalan tangan besannya dan mulai kembali melangkah.
"Gila kamu, Mas! Itu sama aja buat mereka malu! Udah ayo kembali ke paviliun---" Papa Galih menarik paksa tubuh Papa Bilmar untuk menjauh dari paviliun anak mereka.
"Kayak nggak pernah malam pengantin aja kamu, Mas! Waktu sama Mba Alika, memang nya kamu mau diganggu?"
Papa Bilmar hanya mendengus malas. Ia pun akhirnya menurut untuk pergi pulang bersama Papa Galih.
Dan malam ini, adalah malam bersejarah untuk Gifali dan Maura. Berbahagialah selalu, ingatlah malam indah ini, sebelum kalian berdua memutuskan untuk tidak melakukannya lagi.
***
Beri like dan komennya yang banyak ya. Biar aku cemangat, hehe❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
YuWie
ahhh..sopan banget malam pertamanya
2022-12-29
0
Nur Yanti
aduuh papa2 yg kepo mlam pertama anak nya.. ada ga yg gitu di dunia nyata 😂😂😂
2022-04-26
0
Yuko_Arfa
masa sih sang papa2 yang kepo abis..pdhal mrk sudah pengalaman.....🤭
2022-04-06
0