Bulir-bulir air bening menetes pelan dari sudut matanya. Maura menangis penuh haru sambil terus membelai-belai tubuh Gifali yang masih mendekap erat tubuh polosnya. Maura tersenyum lega dan puas. Ia merasa bangga karena bisa melepas keperawanan hanya kepada suaminya. Tentu dibalik itu, ada sang Mama yang selalu menasihatinya untuk selalu menjaga kehormatan sampai menikah. Hanya suami yang boleh menikmatinya.
Maura mencium beberapa kali pucuk rambut Gifali yang sudah tertidur pulas karena merasa kelelahan. Gifali berhasil melakukan dua kali malam ini. Dalam tangisan itu Maura tersenyum, ia tidak menyangka bahwa Gifali akan memperlakukan dirinya dengan cinta dan hasrat yang menggelora. Mengingat tadi malam, Gifali mampu membawa Maura terbang ke awang-awang. Menikmati puncak kenikmatan bersama-sama.
"Begini kah rasanya menikah? Nikmat sekali, Ya Allah ..." desah Maura sambil menyeka air matanya yang turun. Ia terus memeluk suaminya.
"Harus dipisahkan dulu selama 12 tahun, lalu di duakan dan terakhir ditinggal lagi sama kamu----Sungguh mustahil kita bersama kalau mengingat semua masalah itu! Tapi aku tau sekarang kalau jodoh nggak akan lari kemana-mana." lirihnya.
"Aku bersyukur banget bisa menikah sama kamu, sayang ...." Maura kembali mengecup kening suaminya.
Gerakan tubuh Maura begitu saja terasa di permukaan kulit Gifali. Lelaki itu mengerjap kelopak matanya untuk membuka perlahan-lahan. Ia pun beringsut cepat untuk bangkit dan duduk berselonjor. Menyandarkan tubuhnya disandaran tempat tidur. Maura juga ikut duduk disebelahnya masih memegangi selimut yang menutupi dadanya.
"Masih sakit sayang?"
Maura menggelengkan kepala. Jika wanita lain akan berdecak kesal dan marah karena intinya sakit dan perih. Maura memilih untuk berdalih dan menutupinya. Ia tahu Gifali sangat menyukainya, tentu jika ia bilang sakit. Maka lelaki itu akan memutuskan untuk tidak dulu menyentuhnya. Maura tidak mau hal itu.
"Tapi kok nangis?" Gifali mengusap pipi Maura, menangkap sisa kebasahan yang membasahi pipinya.
"Aku terharu, Gifa. Akhirnya aku bisa memberikan kehormatan aku hanya kepada suami, dan aku bahagia. Yang jadi suamiku itu, KAMU!" Maura tersenyum, bola matanya berkaca-kaca. Seperti siap menumpahkan air mata kembali.
Gifali tersenyum lebar lalu merangkul tubuh istrinya, meletakan tangannya menyilang di bahu Maura.
"Makasih ya, Ra. Kamu udah selalu jaga hanya buat aku sekarang---" Gifali kembali mencium bibir ranum Maura.
"Iya sayang sama-sama. Aku bahagia, Gifa!"
Gifali mengangguk dan kembali mendekap istrinya.
"Sayang..."
"Hemm?"
"Apa sebaiknya kita nggak usah pergi ke London? Aku masih ingin kamu kuliah di UI. Aku yakin kamu pasti masuk disana! Jangan hanya karena aku, kamu melepas masa depan kamu. Aku juga bisa melanjutkan sekolah disini, dari dulu aku juga nggak tertarik untuk kuliah disana, itu hanya----"
"Tapi itu kemauan Papa kamu, Ra." Gifa menyelak cepat ucapan Maura. "Beliau ingin kamu jadi chef terbaik lulusan universitas di sana. Aku juga udah janji sama Papa kamu. Aku hanya ingin menjadikan kamu istri yang berbakti kepada orang tua."
"Tapi, sayang ...."
"Tapi, kenapa?"
"Biaya hidup di sana besar, biaya kuliah juga sama. Belum lagi kalau aku hamil, tentu kamu harus ekstra bekerja dengan giat. Tapi apakah bisa bekerja dengan tekun seperti itu disaat kamu juga harus kuliah disana?" tanya Maura apa adanya.
"Seenggaknya kalau disini kan biaya hidup juga masih terjangkau. Aku juga punya usaha, kamu bisa bantu aku di sana tanpa harus bekerja dan menganggu konsentrasi kuliah kamu. Aku tetap janji, hanya mengandalkan uang yang kita punya tanpa menerima bantuan apapun dari kedua orang tua kita."
Gifali menggelengkan kepala, ia tetap kokoh dalam pendiriannya. "Kamu nggak yakin sama aku, Ra?"
"Bu-bu-kan----gitu maksud aku, Gifa." Maura berusaha untuk terus meyakinkan suaminya.
"Aku hanya nggak ingin, demi aku. Kamu melepas cita-cita kamu untuk kuliah di UI. Lalu bekerja keras untuk menghidupi aku di London. Aku nggak tega, sayang." ujar Maura dengan nada sedih dan tatapan sendu.
Gifali tersenyum kembali. "Kamu itu, Aisyah-nya aku sekarang. Masa depan aku tuh, ya kamu! Aku mau mencontoh Papaku yang selama ini menghidupi Mamaku dan kami, anak-anaknya dari nol.
"Sama halnya dengan Papa Bilmar. Papa mu adalah Papaku juga, wajar kan aku mau buat dia bahagia dengan membuat kamu sukses sesuai harapannya?"
"Aku udah ambil kamu dari beliau, kamu yang selama ini dibesarkan olehnya tanpa kurang satu apapun, lalu sekarang dengan gampangnya aku merebut kamu. Menjadikan kamu milik aku seutuhnya, wajar kan aku ingin membalas kebaikannya?"
Air mata Maura jatuh dengan tumpah ruah. Isakan tangis membelenggu wajahnya. Ia begitu terharu dengan alasan yang Gifali berikan.
"Makasih Gifa, kamu udah sayang sama Papaku. Aku tau ini adalah pilihan terberat kamu, tapi demi orang tuaku, kamu mau berkorban!" ujar Maura dengan suara serak terbata-bata. Ia langsung beringsut untuk memeluk erat suaminya. Menjatuhkan tangisan didada Gifali. Lelaki itu hanya tersenyum dan menenangkan Maura yang masih menangis.
"Makasih banyak sayang..."
"Sst! Udah sayang jangan nangis, ayo kita mandi dulu. Sebentar lagi adzan subuh, kita shalat berjamaah ya..."
"Bentar lagi ya, aku masih mau peluk kamu, Gifa..." jawab Maura manja. Gifali mengangguk dan hanya bisa tersenyum melihat istrinya yang masih betah menempel seperti perangko.
****
Semua keluarga sudah berada di meja makan. Keluarga Hadnan berhadapan dengan keluarga Artanegara, begitu pun dengan keluarga Elang yang menjadi tamu kehormatan untuk mereka, lebih tepatnya bagi keluarga Hadnan.
Semua makanan sudah tersaji di meja makan yang panjang dan luas. Restauran di resort ini sengaja ditutup sementara dari para wisatawan. Karena mereka memutuskan untuk selalu makan bersama selama sedang berada di resort ini.
Para pelayan pun berlalu lalang untuk menyiapkan apa saja makanan yang masih kurang di meja.
"Kamu kenapa, Nak? Kaya cacing kepanasan begitu duduknya." tanya Kakek Bayu kepada Papa Bilmar.
"Kamu kenapa, Pah? Sakit?" Mama Alika pun menyahut ketika ia sedang meletakan pastry di piring suaminya. Papa Bilmar hanya menggelengkan kepala. Yang saat ini tengah ia fikirkan adalah keadaan putrinya. Ia takut anaknya kesakitan.
"Maura dan Gifa kemana? Kok belum muncul juga?" Papa Bilmar tidak menjawab pertanyaan dari Papa dan Istrinya. Malah yang ia tanyakan adalah kabar pasangan suami istri itu.
"Biarkan saja dulu, Mas. Mungkin mereka masih dikamar. Wajar kan, namanya juga pengantin baru." Jawab Papa Galih. Ia tertawa tipis karena tidak tahan melihat sikap besan yang masih saja khawatir. Papa Bilmar memang terkenal dengan si raja posesif, entah untuk istri dan kedua anaknya. Sama halnya dengan Papa Galih, tidak ada bedanya.
Sontak ucapan itu membuat Gadis tertegun. Ia kembali memikirkan Gifali yang pasti sedang bersenang-senang dengan Kakaknya. Sepertinya masih ada sedikit rasa linu dari relung hatinya yang paling dalam. Ia melamun sebentar lalu genggaman tangan dari sang Mama membuat ia terbangun.
Mama Binar seperti tengah memberikan kode kepada putrinya untuk bisa bersabar. Gadis pun mengangguk, ia seperti mengetahui apa yang Mama nya kode kan. Pandangan antara Mama dan Anak itu pun tertangkap basah di kedua mata Elang. Ia tahu wanitanya masih mempunyai rasa tidak rela.
Gadis pun memutar bola matanya dan tak sengaja menangkap tatapan Elang kepadanya. Membuat ia canggung dan tidak enak hati.
"Apakah Elang juga berfikir sama seperti, Mama?" batinnya menggema.
"Nah, itu Kak Maura dan Kak Gifa..." suara Ammar membuat semua yang ada dimeja makan menoleh untuk melihat kedatangan mereka yang baru saja terlihat dari ambang pintu restauran. Gifali dengan teramat cinta terus menggandeng istrinya untuk melangkah bersama. Membuat Gadis semakin iri dan kembali mengalihkan tatapannya untuk menatap Elang.
"Kemarin-kemarin aku sudah bisa rela. Kenapa sekarang perasaan sakit ini kembali muncul? Ya Allah, Kak, maafkan Gadis ya. Tapi Gadis janji, Gifali sebentar lagi akan hilang dari hatiku. Dan hanya lelaki ini yang akan menggantikannya----"
Gadis menatap lurus wajah Elang yang masih menatapnya dengan wajah serius. Samar-samar Gadis memberikan senyuman kepada Elang, ia hanya tidak ingin dicurigai.
"Aku juga sayang sama kamu, Lang. Tolong ya bantuin aku untuk lupain Gifa seutuhnya dari hati dan memori aku.....!" batin Gadis.
".....Sebisa aku, Dis. Akan aku buat kamu secepatnya melupakan Gifali dan mengganti namanku dihati kamu seutuhnya!"
Telepati batin antara Elang dan Gadis terus saja bersautan. Semoga saja kalian bisa berbahagia seperti Maura dan Gifali.
****
Udah tau kan kalau mau buat aku semangat up terus, harus ngapain hehehe...like dan komen nya jangan lupa ya❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Laras Kasih
the best story
2021-02-10
1
Ica Rm
uwuuu...author kereeeeen
2020-11-21
0
🌿🍁eva🍁🌿
kerrrrrreeennnn... keren banget alur ceritanya kak gaga... THE BEST dah pokoknya 😘😘😘
2020-10-28
1